Selasa, 29 Agustus 2017

HIKMAH BERKURBAN

HIKMAH BERKURBAN


Oleh:



Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Dari Abu Hurairah ra, Nabi Saw bersabda:

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ، فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Barangsiapa mempunyai kemampuan (harta), kemudian ia tidak mau berkurban, maka orang itu sungguh-sungguh tidak boleh mendekati tempat shalat (Idul Adha) kami (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Bayhaqi, dll).
Al-Dzahabi dalam al-Talkhish men-shahih-kan hadis ini, sedangkan al-Albani dalam al-Targhib Wa al-Tarhib meng-hasan-kannya.

            Hadis tersebut agaknya bernada mengancam kepada orang yang tidak mau berkurban, bagi yang mampu. Ancamannya tidak sembarangan, ancaman itu berupa larangan mendekati tempat shalat Idul Adha yang diselenggarakan oleh Nabi Saw. Betapa tidak terhormatnya orang yang tidak mau berkurban, sementara ia sebenarnya mampu. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya perintah berkurban dan betapa pentingnya berkurban untuk pembelajaran dirinya dalam membangun komunikasi, baik kepada Allah (secara vertical) maupun kepada sesama (secara horizontal). Untuk itu perlu dibahas, di sini,  tentang makna dan hikmah berkurban.

Makna Kurban

Kata kurban, diambil dari kata qaruba(fi’il madhi) – yaqrabu(fi’il mudhari’) – qurban wa qurbanan(mashdar), yang berarti mendekati atau menghampiri. Menurut Ibn Mandzur, kurban yaitu sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah(Lisan al-‘Arab, Vol. I/662). 
Menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya(al-Mu’jam al-Wasith, Vol. II/723). Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udhhiyah atau dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban. Dari sini maka hari penyembelihan hewan kurban kemudian dinamakan dengan Yaum ‘al-Adha(Subul al-Salam, Vol. VI/304). Ibnu Mandzur menulis dalam Lisan al-‘Arab bahwa  udhhiyah adalah kambing yang disembelih pada waktu dhahwah, yaitu kala matahari agak meninggi dan sesudahnya”( Lisan al-‘Arab, Vol. XIV/ 474).



Hikmah Kurban

Pertama, bukti kepatuhan kepada Allah dan cinta yang sempurna;
Kurban adalah pendekatan diri secara sempurna kepada Allah. Kurban akar kata dari qaruba-yaqrabu-qurbanan; biasanya dalam bahasa Arab kalau satu kata diakhiri dengan alif dan nun berarti sempurna. Dalam bahasa Arab disebut shighat mubalaghah. Misalnya Qara-a yaqra-u qira-atan qur'anan, artinya bacaan yang sempurna; irfaanan, artinya pengetahuan yang sempuna; maka kata qurbaanan, berarti pendekatan yang sempurna. Untuk menggambarkan kesempurnaan itu terlihat pertama kali pada binatang yang disembelih, tidak boleh ada yang cacat. Artinya hewan yang disembelih harus sebaik-baiknya. Dari segi substansinya seorang yang berkurban tidak boleh setengah-setengah, harus total-sempurna. Dalam hal ini bisa dikaitkan dengan sikap Nabi Ibrahim saat diperintahkan untuk menyembelih Ismail, putera yang sangat disayanginya. Saat itu ia pun secara total dan tanpa ragu, siap melaksanakannya. Di sini Nabi Ibrahim sanggup memprioritaskan perintahNya dan cintanya kepada Allah daripada cintanya kepada yang lain, termasuk kepada anak yang sangat dicintainya. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa dalam mencintai Allah itu tidak boleh setengah-setengah, dan harus dibuktikan dengan kepatuhan secara total dalam menghadapi segala perintah maupun larangan-Nya. Di sini, kita juga diuji, dapatkah kita  memprioritaskan kepentingan Allah di atas kepentingan yang lain? Allah menyatakan:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
 Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha mengetahui. (QS. Ali Imran, 92).

Kedua, Menumbuhkan semangat berbagi, peduli kepada sesama, terutama terhadap kaum dhu’afa;
Setelah hewan kurban disembelih, maka daging-dagingnya kemudian dibagikan kepada kerabat, tetangga, terutama kepada kaum dhu’afa.  Kepedulian kepada sesama, terutama kepada kaum dhu’afa yang sangat membutuhkan, bisa bernilai lebih tinggi daripada ibadah haji (sunnah).


Ibn Katsir mengisahkan, suatu saat, Ibnul Mubarak (w.181 H) pergi haji bersama rombongan. Sesampainya di satu daerah, seekor burung yang mereka bawa mati. Abdullah bin Mubarak pun menyuruh untuk membuangnya di tempat sampah yang ada di situ. Ketika para sahabatnya telah berjalan di depan, beliau melihat seorang anak perempuan mengambil bangkai itu kemudian lari masuk rumah.
Ibnul Mubarak mendatanginya dan menanyakan keadaannya. Ia penasaran dan menanyakan juga untuk apa ia mengambil bangkai burung itu. Anak perempuan itu menjawab: “Saya dan saudara saya di rumah ini tidak memiliki sesuatu pun selain sarung ini.  Kami makan apa yang dilemparkan orang ke tempat sampah itu. Sejak beberapa hari yang lalu, bangkai telah menjadi halal bagi kami. Bapak kami sebenarnya berharta, namun ia dizalimi, hartanya diambil dan kemudian ia dibunuh.”
Mendengar keterangan anak perempuan itu, Ibnul Mubarak langsung memberikan barang-barang yang dibawanya. Lantas ia berkata kepada wakilnya: “Berapa uang yang ada pada Anda?” Wakilnya menjawab, “1000 dinar.” Lalu beliau berkata, “Ambillah 20 dinar untuk mencukupi kita sampai di Marwa dan berikan sisanya kepada anak perempuan itu. Perbuatan ini lebih utama dari haji kita pada tahun ini.” Setelah itu beliau pulang ke daerahnya(al-Bidayah Wa al-Nihayah, Vol. X, 178).
Untuk meringankan beban anak itu dan keluarganya, Ibnul Mubarak rela membatalkan hajinya, dan uang buat ongkos perjalanan hajinya dia berikan kepada anak itu.  Itu prioritas.
Kita ini biasa beragama tidak melihat apa yang prioritas. Kita biasa beragama melaksanakan seperti apa yang kita sukai bukan seperti apa yang disukai Allah. Secara syariat mungkin sudah betul tapi ada yang jadi prioritas utama. Boleh jadi substansinya belum masuk atau boleh jadi substansinya sudah masuk tapi ada yang lebih penting. Nah, ini yang harus diambil pelajaran atau hikmah dari ibadah kurban. Kita tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan orang lain. Nabi Saw bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ - أَوْ قَالَ لِجَارِهِ - مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
 “Tidaklah seorang di antara kamu dikatakan mukmin hingga ia sanggup mencintai saudara atau tetangganya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. al-Bukhari No. 13; dan Muslim No. 179).

Ketiga, Tidak boleh melecehkan manusia;
Dari peristiwa Nabi Ibrahim yang begitu total dalam mematuhi perintah untuk menyembelih Ismail, dan akhirnya Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan qibas untuk disembelihnya, hal ini mengandung pelajaran, yakni jangan pernah menganggap sesuatu itu ‘mahal’ kalau untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Selain itu, di sisi lain jangan sekali-kali melecehkan manusia, jangan sekali-kali mengambil hak-hak manusia, karena manusia itu makhluk agung yang sangat dikasihi Allah. Karena kasihnya Allah kepada manusia, maka digantilah Ismail, yang tadinya akan dikurbankan, lalu diganti dengan seekor binatang. Hal ini menunjukkan betapa mulianya manusia. Ia tidak boleh dihina dan tidak boleh dilecehkan.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud dikisahkan, suatu ketika Abu Jurayy, Jabir bin Sulaim berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berilah wasiat kepadaku”. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi wasiat:
« لاَ تَسُبَّنَّ أَحَدًا ».
Jangan sekali-kali  engkau menghina seseorang(siapa) pun.

قَالَ فَمَا سَبَبْتُ بَعْدَهُ حُرًّا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ بَعِيرًا وَلاَ شَاةً
  Abu Jurayy Jabir bin Sulaim berkata: “Sejak itu, aku pun tidak pernah menghina seorang pun, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta, maupun seekor domba.” (HR. Abu Dawud No. 4086). Menurut al-Albani, hadis ini shahih(Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib,  Vol. III/37).


 Semoga bisa memberikan pencerahan!