Selasa, 03 Mei 2011

Hukum Nikah Sirri

Hukum Nikah Sirri

Nikah Sirri disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi Saw dan para sahabat yang mulia, di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahn dalam hati mereka.

Sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan resmi (pemerintah) dengan pernikahan sirri (‘urfi). Perbedaannya, kalau pernikahan sirri (‘urfi) hanyalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, tetapi belum diakui oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat. Sedangkan nikah secara resmi, selain diakui oleh pemerintah juga sah secara syar’i .

DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit digugat .

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG NIKAH SIRRI

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memilih Nikah Sirri (pernikahan tanpa dicatat di KUA). Di antaranya adalah faktor sosial, harta dan agama.

1.Faktor Sosial

a. Problem Poligami

Syariat Islam membolehkan bagi laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki pun ingin mempraktikkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakat atau undang-undang negara mempersulit atau cenderung melarangnya.

b. Undang-undang usia

Dalam suatu Negara biasanya ada peraturan tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka akhirnya dia memilih jalan ini.

c. Tempat tinggal yang tidak menetap.

Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaannya atau selainnya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa mendampinginya. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.

2. Faktor Harta

Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahar sehingga menjadi medan kebanggaan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan mahar yang relative murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.

3. Faktor Agama

Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, di mana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi’

SEJARAH PENCATATAN AKAD NIKAH

Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaaan, di mana dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai, meninggal dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis.

Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagian mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya.

HUKUM NIKAH SIRRI (TANPA KUA)

Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak heran jika para ulama berbeda pandangan tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut:

Pendapat Pertama

Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syariat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat.

Pendapat Kedua

Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu nikah sirri termasuk yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat.

Pendapat Ketiga

Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya adalah sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja dia berdosa karena melanggar perturan pemerintah yang bukan maksiat.

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz:

Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa maslahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi
Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Allah mewajibkan kita menaati para pemimpin kita”

Kesimpulan:

1. Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi.

2. Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabat, hal ini termasuk politik syar’i yang tidak bertentangan dengan agama bahkan memiliki banyak manfaat.

3. Wajib bagi setiap muslim menaati undang-undang tersebut karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.

Wallahu A’lam bishshawab !

Dipresentasikan oleh:
Achmad Zuhdi Dh (0817581229)
Dalam berbagai acara majelis taklim

Hukum Merokok

HUKUM MEROKOK
Oleh: Achmad Zuhdi Dh
Hp.0817581229


Ulama berbeda pendapat mengenai hukum merokok; ada yang mengharamkannya, memakruhkannya, dan membolehkannya. Pangkal permasalahannya adalah ada tidaknya bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. Jika menimbulkan bahaya maka hukumnya haram, jika tidak maka hukumnya makruh.

Kalangan ulama yang berpendapat bahwa merokok itu hukumnya boleh atau paling tinggi makruh, mereka beralasan bahwa tidak ditemukan dalil yang tegas, baik dari al-Qur’an maupun al-hadis yang menyatakan keharamannya. Tentang bahaya merokok, kelompok ini berpendapat bahwa bahayanya tidak begitu jelas, buktinya banyak orang ahli merokok ternyata kondisinya lebih sehat daripada orang yang tidak merokok, dan banyak juga orang yang ahli merokok ternyata matinya belakangan dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok. Kalau dikatakan bahwa merokok itu mubadzir, membuang-buang uang, kelompok ini berpendapat bahwa dalam aspek yang lain, seperti makanan pada saat acara pesta juga sering berlebihan dan membuang-buang. Apakah kalau begitu juga berarti haram?

Begitulah antara lain alasan mereka yang menyatakan bahwa merokok itu hukumnya boleh-boleh saja, paling tinggi makruh atau tergantung kepada kondisi seseorang yang merokok, apakah membahayakan bagi dirinya atau tidak.

Lalu apa alasan ulama yang mengharamkannya?

Memang tidak ada dalil khusus dari Al-Quran maupun al-Sunah yang menunjukkan haramnya rokok, karena rokok tidak dikenal di zaman Rasulullah shallawahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, maupun zaman tabi’in. Karena rokok baru dikenal di dunia islam sekitar abad sepuluh hijriyah melalui Barat. Meskipun tidak ada dalil khusus, kita tidak boleh tergesa-gesa menganggapnya halal berdasarkan kaidah: “hukum asal dari setiap sesuatu itu boleh” , karena kaidah ini berlaku apabila hal tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah dan maqoshid al- syariah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum rokok, sebagian besar mengharamkan, sebagian lagi memakruhkan, dan sebagiannya menghalalkan dan tawaqquf. Mereka yang membolehkan rokok ketika itu lebih melihat kepada orangnya ketimbang rokoknya, mereka kurang memahami bahwa rokok dapat membahayakan kesehatan tapi menganggapnya seperti minuman atau makanan yang dikonsumsi.

Di antara ulama yang mengharamkan adalah Syeikh Umar bin Abdur Rohman Al-Husaini Asy-Syafi’ie demikian pula Syeikh Muhammadi Muhammad Fathullah bin Ali Al-Maghribi, Muhammad bin Shiddiq Az-Zubaidi Al-Hanafi, dan Syeikh ‘Amir Asy-Syafi’ie dimana beliau berkata :

الدخان المشهور إن أضر في عقل أو بدن فهو حرام، وضرره بين يشهد به الحس وما قرره الأطباء في الدخان بأنواعه

Artinya : rokok yang kita kenal jika membahayakan akal atau badan maka haram hukumnya, dan bahayanya sudah jelas disaksikan oleh kita dan di tetapkan para dokter mengenai rokok dengan segala jenisnya.

Bahkan Asyaron Bilali berpendapat bahwa rokok haram karena tidak mengandung unsur gizi maupun obat, dan dilarang menjualnya dan menghisapnya karena termasuk khabaits (benda-benda yang menjijikkan).

Ini benar, karena keharaman rokok bisa didasari dengan beberapa dalil.

Pertama : dari sisi penelitian kedokteran membuktikan bahwa rokok dapat menyebabkan bermacam-macam penyakit berbahaya seperti jantung, ginjal, kanker dan sebagainya, apalagi kalau dikonsusmsi oleh wanita hamil, maka lebih riskan menyebabkan keguguran.

Kedua : agama kita memerintahkan kita untuk menjaga harta benda dengan baik, rokok bertentangan dengan perintah itu, karena termasuk membuang harta, apalagi kalau sampai kecanduan, belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit-penyakit akibat rokok kalau dibandingkan pendapatan dari rokok maka jauh lebih besar.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya : Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[ Al-A'raf : 31]

Apabila larangan ini pada hal-hal yang mubah dan baik, apalagi kalau berkaitan dengan makanan atau minuman yang buruk dan membahayakan?

قوله صلّى الله عليه وسلم :" إن الله كره لكم ثلاثا قيل وقال ، وكثرة السؤال ، وإضاعة المال

Artinya : Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam bersabda : " sesungguhnya Allah membenci tiga perkara atas kalian : mengatakan " katanya" , banyak bertanya, dan membuang harta " (HR.al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Ketiga : ada beberapa kaidah umum yang dapat diterapkan pada keharaman rokok.

1- Allah menceritakan tentang NabiNya dalam firmanNya :

... يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث

Artinya : “ Beliau memerintahkan mereka yang baik dan melarang dari yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk”( Al-A’raf: 157).

Cukuplah Allah mengharamkan sesuatu yang buruk atau berbahaya, sehingga bisa dimasukkan ke dalamnya semua makanan atau minuman yang buruk dan berbahaya, sehingga ulama sepakat haramnya ganja dan semacamnya karena termasuk narkoba yang berbahaya.

Begitu juga termasuk rokok karena keburukan dan bahayanya, seandainya kita bertanya kepada seseorang tentang rokok : apakah bagus atau tidak? Maka dia akan menjawab bahwa rokok tidak bagus kecuali kalau berdasarkan hawa nafsu mereka menganggapnya baik, bermanfaat, kalau tidak merokok tidak bisa beraktifitas dengan baik, itu bukan jawaban yang sebenarnya.

2- Allah Ta’ala melarang kita membunuh diri dan menjatuhkan diri dalam kebinasaan ketika berfirman:

ولا تلقوا بأيديكم الى التهلكة

Artinya : Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [ Al-Baqarah: 195]

Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. Dan mereka yang mengkonsumsi racun atau sesuatu yang membahayakan dirinya dan kesehatannya, tidak ragu lagi dia melemparkan dirinya dalam kebinasaan, dan rokok termasuk hal yang membinasakan karena bahaya yang telah disebutkan di atas.

3- Menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam syari’at, baik bahayanya terhadap badan, akal ataupun harta. Nabi Saw bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ أخرجه الإمام أحمد في المسند ومالك في الموطأ وابن ماجة

Artinya : Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain). HR. Ahmad, Malik dan Ibn Majah

Mereka yang membolehkan rokok mengatakan: seandainya rokok diharamkan tentunya akan mengakibatkan banyak pengangguran baru karena tutupnya pabrik rokok, berarti berkurangnya pendapatan. Ini adalah keliru, karena ketika rokok haram maka bekerja di pabrik rokok tentunya tidak diperbolehkan, demikian juga kita hendaknya percaya bahwa rizki di tangan Allah, apabila manusia berusaha mencari yang halal tentu akan dimudahkan rizkinya, tergantung keyakinan kita.

Adapun haramnya rokok mengurangi pendapatan, maka berapa biaya yang dikeluarkan akibat bahaya rokok ? jauh lebih besar. Dan berapa yang dikeluarkan untuk membeli rokok jika dibandingkan dengan jutaan orang yang mati kelaparan ? Hanya Allah yang Tahu.

Kesimpulan dari kelompok ini menyatakan bahwa rokok hukumnya haram karena bertentangan dengan kaidah syariah yang ditetapkan untuk mencapai tujuan yang lima maqashidu syariah, yaitu menjaga agama, keturunan, akal, harta , dan jiwa.

Setelah melalui perdebatan panjang, maka melalui IJTIMA’ ULAMA FATWA III MUI yang digelar di Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang Sumatera Barat (25/1/09) telah sepakat menentukan hukum merokok itu HARAM bagi anak-anak, remaja dan wanita hamil dan merokok ditempat umum.

Syekh Ali Thanthawi dalam Fatwa-Fatwa populer mengatakan: “Orang yang merasakan bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan dirinya -terhadap tubuh yang merupakan milik Allah dan bukan miliknya sendiri- maka rokok adalah haram baginya. Jika bahayanya ringan maka makruh hukumnya dengan tetap memperhatikan bahwa keburukan ringan lambat laun akan menyeret kepada keburukan yang berat. Barangsiapa penghasilannya minim, kemudian ia memotong dari kebutuhan hidupnya atau kebutuhan hidup orang yang menjadi tanggung jawabnya untuk dibelikan rokok dan dihisapnya, maka ia telah melakukan perilaku yang haram. Barangsiapa banyak merokok sehingga baunya mengganggu teman duduk atau isterinya maka yang demikian ini juga termasuk perbuatan yang haram”. (Fatwa-Fatwa Populer Ali Thanthawi, 1998:144)

Wahbah Zuhaili, mufti Syria dan pengarang buku yang sangat fenomenal, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Fikih Islam dan Dalil-dalilnya) ditaanya tentang hukum rokok. Beliau menjawab: “Dulu, saya berpendapat, merokok hukumnya makruh. Tetapi, setelah jelas dampak buruk yang ditimbulkan, terutama begitu banyaknya bahan racun yang dikandungnya, saya dan banyak ulama lainnya menetapkan rokok hukumnya haram. Apalagi, merokok menyebabkan ketergantungan seseorang kepada rokok, seperti halnya orang tergantung kepada minuman keras dan obat-obat terlarang. Jadi, saya dan para ulama mengharamkan rokok karena dampak bahaya yang ditimbulkan.
Allah SWT berfirman, "Ia menghalalkan makanan yang baik-baik dan mengharamkan makanan yang buruk." Berdasarkan ayat itu, merokok termasuk makanan yang buruk setelah diketahui bahayanya. (Republika, Minggu 28 Maret 2010)
Wallahu a’lam bishshawab !

Dzikir Sesudah Shalat Lima Waktu

DZIKR SESUDAH SHALAT LIMA WAKTU
(Oleh: Achmad Zuhdi Dh)



أَسْتَغْفِرُ اللهَ ( ثلاث مرّات)
اَللَّهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَاالْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ (رواه مسلم
)

Artinya:
“Aku mohon ampun kepada Allah 3 X
Ya Allah, Engkaulah Yang Sejahtera dan dariMu kesejahteraan itu (datang). Engkau Pemberi berkah wahai pemilik keagungan dan kemuliaan”. (HR. Muslim)

لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَي كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ اَللّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَاأَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ (رواه البخاري و مسلم
)

Artinya:
“Tidak ada Tuhan kecuali Allah Yang Esa, tiada sekutu bagiNya, milikNya kekuasaan dan segala pujian, dan Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tiada seorang pun yang mampu menghalangi terhadap pemberianMu, dan tiada pula yang dapat memberi sesuatu yang Engkau tidak mau atasnya pemberian, dan tidak berguna kekayaan itu bagi pemiliknya di sisiMu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

اَعُوْذُ باللهِ مِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ
اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَّ لاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّموَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ مَنْ ذَاالَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَالْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ (البقرة
255)

Artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya). Ia tidak mengantuk dan tidak tidur. Hanya milikNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa seizinNya ? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Allah tak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS.al-Baqarah, 255)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اللهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ (الاخلاص , 1-
4)

Artinya:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Katakanlah bahwa Allah itu Esa. Allah itu tempat bergantung (semua makhluk). Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada satu pun yang menyamaiNya”.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِنْ شرِّ مَا خَلَقَ وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِنْ شَرِّ النَّفّثتِ فِى الْعُقَدِ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (الفلق, 1-5)

Artinya”
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Katakanlah ! Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai shubuh, dari kejahatan makhlukNya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang-orang yang dengki apabila ia telah dengki”.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلهِ النَّاسِ مِنْ شَرِّ الْوَسْوَا سِ الْخَنَّاس اَلَّذِىْ يُوَسْوِسُ فِىْ صُدُوْرِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (الناس,1-
6)

Artinya:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Katakanlah ! Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia, Sesembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada (hati) manusia, dari golongan jin dan manusia”.

اَللّهُمَّ أَعِنِّىْ عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Artinya:
“Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa dapat mengingatMu, dan bersyukur kepadaMu serta (semakin) bagus dalam beribadah kepadaMu”. (HR.Abu Dawud)


سُبْحَانَ اللهِ 33 مرات
اَلْحَمْدُ ِللهِ 33 مرات
اَللهُ اَكْبَرُ 33 مرات

Artinya:
“ Maha suci Allah 33 kali.
Segala puji bagi Allah 33 kali.
Allah Maha Besar 33 kali”.
(HR.al-Tirmidzi dan al-Nasa-i)

لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَي كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لاَ إِلهَ إِلاَّاللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ (رواه مسلم)

Artinya:
“Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, milikNya segala kekuasaan dan pujian. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izinNya. Tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan tidaklah kami beribadah kecuali kepadaNya, hanya milikNya kenikmatan, keutamaan dan sanjungan yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah dengan ikhlas beribadah kepadaNya walaupun orang-orang kafir membenci”. (HR.Muslim)

DZIKR SESUDAH SHALAT MAGHRIB ATAU SHUBUH

Selain dzikr-dzikr yang sudah disebutkan di atas, khusus sesudah shalat maghrib dan shalat subuh disunnahkan menambah bacaan dzikr dibawah ini :

لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِىْ وَيُمِيْتُ
وَهُوَ عَلَى كُلِِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 10 مرات (رواه الترمذي)

Artinya:
“Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi Nya, miliknya segala kekuasaan dan segala pujian. Ia yang menghidupkan dan yang mematikan. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu 10 kali”. (HR. Al-Tirmidzi)

اَللّهُمَّ أَجِرْنِيْ مِنَ النَّارِ : 7 مرات (رواه ابو داود)

Artinya:
“Ya Allah selamatkanlah aku dari api neraka.... 7 kali”. (HR. Abu Dawud)

Pesan Spiritual KH. Ahmad Dahlan

PESAN-PESAN SPIRITUAL
KH. AHMAD DAHLAN


Oleh: Achmad Zuhdi Dh


A. Muqaddimah


Banyak orang mengira bahwa Muhammadiyah itu anti tasawuf atau anti tarekat. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, karena memang tidak sedikit di kalangan Muhammadiyah sendiri yang tidak simpati terhadap kedua istilah tersebut. Mereka bahkan terkesan allergi bila mendengar kedua kata tersebut. Bila mendengar istilah tasawuf atau tarekat, yang tergambar dalam benak mereka adalah praktik-praktik ibadah yang melenceng dari syari'at Islam. Mereka beranggapan bahwa para pelaku tasawuf atau tarekat itu adalah shufi-shufi yang keluar dari Islam, yang sesat dan menyesatkan.


Jika dilacak dari sejarah perkembangan tasawuf, sebenarnya kesan negatif terhadap tasawuf itu sudah muncul sejak awal adanya gerakan tasawuf itu sendiri. Dalam kitab al-Luma', Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi (w.378 H) menulis bahwa sejak dulu ada anggapan negatif tentang tasawuf yang menyatakan bahwa para pengamal tasawuf itu adalah orang-orang zindiq dan orang-orang sesat. 'Abd al-Salam (1351 H) juga mengatakan bahwa di antara orang-orang yang berpaling dari al-Qur’an adalah al-mutashawwifah, para ahli tasawuf. Tulisan yang terbilang baru (Riyad,1990), Laila binti Abdullah menilai tasawuf sebagai pemikiran infiltrasi yang beracun terhadap Islam. Tasawuf banyak berlandaskan kepada bid’ah. Bid’ah-bid’ah itu mereka jadikan sebagai bentuk ber-Islam lalu mereka masukkan ke dalam Islam.(baca al-Thusi,1960, ‘Abd al-Salam,1980 dan Binti ‘Abdillah,2003).


Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoteris (zhahiriyah) dan esoteris (bathiniyah) secara sekaligus. Tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilbrium (tawazun) dalam Islam. Dalam kenyataannya banyak kaum muslimin yang pengahayatan keagamaannya lebih mengarah ke bentuk lahiriyah saja (sebagai ahl al-zhawahir) atau kehidupan keagamannnya hanya mengarah ke aspek batini (sehingga disebut ahl al-bawathin).


Dalam sejarah pemikiran Islam, antara kedua orientasi penghayatan keagamaan tersebut sempat terjadi ketegangan dan polemik dengan sikap-sikap saling menuduh; kelompok ahl al-bawathin dinilai telah menyeleweng dari ketentuan syari'at dan sesat, sebaliknya yang dari kalangan ahl al-zhawahir dinilai tidak sempurna, kaku dan kering dalam penghayatannya. Salah seorang ulama yang dipandang berhasil merekonsiliasi antara kedua orientasi tersebut adalah Imam al-Ghazali, yang tidak hanya mementingkan salah satunya, tetapi kedua-duanya, yaitu aspek shari'at dan thariqahnya (aspek lahir dan batin). Ketegangan tersebut, saat ini, sudah berangsur hilang, kecuali di kalangan masyarakat tertentu, termasuk sebagian kalangan Muhammadiyah. Mereka yang masih belum bisa terima ungkapan tasawuf dan tarekat ini pada umumnya masih trauma dengan praktik-ptaktik shufi atau ahli terekat yang pernah dipandangnya melenceng dari Islam.


Benarkah Muhammadiyah anti shufi? Untuk menjawab persoalan ini, akan dibahas mengenai sikap ulama Muhammadiyah dalam menghayati Islam, apakah hanya mementingkan aspek lahir saja atau juga mementingkan aspek batin? Karena keterbatasan halaman, pada makalah ini hanya menampilkan sosok dan pemikiran KH.Ahmad Dahlan (W.1923 M) sebagai ulama dan pendiri Muhammadiyah.


B. Sekilas tentang biografi dan Perjuangan KH. Ahmad Dahlan


KH. Ahmad Dahlan memiliki nama kecil Muhammad Darwis. Ia lahir di Yogjakarta tahun 1869 dan wafat tahun 1923 M dalam usia 54 tahun. Bapaknya bernama KH.Abu Bakar b.Kyai Sulaiman, khatib di masjid Sultan Yogjakarta. Ibunya adalah anak Haji Ibrahim, penghulu. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Yogjakarta mengenai Nahwu, Fiqh, dan Tafsir, ia pergi ke Mekkah tahun 1890. Di Mekkah ia tinggal selama satu tahun. Salah seorang gurunya adalah Shaykh Ahmad Khatib (Imam dari madhhab Shafi'i di Masjid al-Haram. Pada tahun 1903 ia mengunjungi kembali Tanah Suci dan ia kemudian menetap di sana selama dua tahun.


Sekembalinya ke tanah air, ia mulai berjuang menegakkan Islam. Ia mulai mengintrodusir cita-citanya itu dengan mengubah arah orang salat kepada kiblat yang sebenarnya (sebelumnya arah salat biasanya ke Barat). Pada waktu yang bersamaan ia mulai pula mengorganisir kawan-kawannya di daerah Kauman-Yogjakarta untuk melakukan pekerjaan sukarela dalam memperbaiki kondisi higenis daerahnya dengan memperbaiki dan membersihkan jalan-jalan dan parit-parit.


Dalam melaksanakan kegiatan dakwahnya, ia pernah mendapatkan tantangan dari ulama setempat, yaitu Kyai Haji Mohammad Khalil yang memerintahkan untuk merobohkan langgar yang didirikannya sesuai dengan arah kiblat yang sebenarnya itu. Saat itu ia hampir putus asa, tetapi kemudian keluarga dan para simpatisannya membantu membangunkan langgar untuknya dengan jaminan ia dapat mengajarkan dan mempraktikkan agama menurut keyakinannya. Selanjutnya ia menggantikan posisi ayahnya sebagai khatib di masjid Sultan. Saat itu Dahlan telah diakui sebagai seorang ulama oleh kyai-kyai lain. Karena kelurusannya dan kesungguhannya dalam bekerja, ia mendapatkan julukan ketib amin (khatib yang diandalkan). Tindakan penghulu untuk menghancurkan langgar yang dibuat oleh Kyai Dahlan tadi, mungkin disebabkan oleh dua pertimbangan, yaitu cemburu ataupun kepercayaan tradisional bahwa hanya sebuah masjid yang bisa dilakukan salat Jumat dalam satu daerah tertentu. Ataupun alasan kedua-duanya.(baca Deliar Noer, 1980)


Pada tahun 1909, Dahlan masuk Budi Utomo dengan tujuan memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap akan dapat memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah, oleh sebab anggota-anggota Budi Utomo itu pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah dan juga di kantor-kantor pemerintah. Dia pun mempunyai harapan agar guru-guru sekolah yang diajarnya itu sendiri dapat meneruskan isi pelajarannya kepada murid-murid mereka pula. Pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Dahlan kelihatannya memenuhi harapan dan keperluan anggota-anggota Budi Utomo tadi. Oleh karena itu mereka kemudian menganjurkan kepada Dahlan agar membuka sebuah sekolah sendiri, yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen untuk menghindarkan nasib kebanyakan pesantren tradisional yang terpaksa ditutup lantaran kyainya meninggal.

Dari gagasan tersebut maka didirikanlah Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogjakarta. Organisasi ini mempunyai cita-cita: "menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saw kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya". Sambil memimpin Muhammadiyah, Dahlan tetap aktif bertabligh, aktif pula mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti salat, dan dalam memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk mereka. Dari kepedulian sosial yang di contohkan oleh Dahlan ini kemudian Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga sosial seperti Panti Asuhan, Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) dan lembaga-lembaga pendidikan.


KH. Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah hanya dalam tempo 10 tahun 3 bulan, tetapi hampir satu abad kemudian, gagasan, karya, dan amal Dahlan telah mampu mengubah pola kehidupan keagamaan pemeluk Islam di negeri ini menjadi lebih fungsional. Pengelolaan ibadah seperti zakat, haji, salat, puasa, korban bagi tujuan-tujuan sosial, selain sebagai kewajiban ritual, telah menjadi tradisi umat, bukan hanya anggota Muhammadiyah. Kini, hampir tidak ada pemeluk Islam di negeri ini yang tidak berminat menyekolahkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan moderen seperti sekolah atau madrasah hingga pendidikan tinggi. Dulu, khutbah Jum'at di masjid-masjid yang tidak disampaikan dalam bahasa Arab dianggap tidak sah, kini hampir di semua pelosok negeri ini khutbah-khutbah dapat disampaikan dengan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah setempat.

C. Pesan-Pesan Spiritual KH. Ahmad Dahlan


KH. Ahmad Dahlan memang tidak banyak meninggalkan karya tulis, kecuali dua buah dokumen yang disampaikan dalam kongres Islam ke-1 di Cirebon pada tahun 1921 M dan transkrip pidato terakhirnya dalam Kongres Muhammadiyah bulan Desember tahun 1922 M, beberapa bulan sebelum wafatnya, pada bulan Februari 1923 M. Dari dua dokumen tersebut dapat diketahui bagaimana gagasan dan pemikiran Dahlan tentang Islam, ilmu pengetahuan, masyarakat dan pendidikan. Dari kedua dokumen itu pula dapat ditemukan gagasan sufistik dalam rumusan kalimat yang bernuansa batiniah seperti Islam sejati , akal suci , hati suci , dan Qur'an suci.


Dalam prasaran Muhammadiyah pada Kongres Islam ke-1 tahun 1921 di Cirebon dinyatakan bahwa: "Jalan yang betul itu ialah Islam sejati. Islam sejati itu ada dua bagiannya, yakni lahir dan batin. …Persatuan Islam itulah yang harus kita tuju, supaya orang Islam dapat hidup secara Islam, menurut rancangan yang hukum-hukumnya sudah sempurna terpaku dalam al-Qur'an suci. ….bahwa hidup orang Islam harus berasaskan Qur'an….Beribadah kepada Allah, tiada dengan perantaraan antara manusia dengan Allah".(baca Mulkhan, 2003)


Pemikiran KH.Ahmad Dahlan juga bisa dilihat dari kutipan ringkas berikut ini: "Sebagian besar pemimpin belum menaruh perhatian kepada kebaikan dan kesejahteraan manusia, akan tetapi baru memperhatikan kaum dan golongannya sendiri bahkan badannya sendiri. Baginya, pemimpin yang bersedia berjuang bagi kesejahteraan seluruh manusia, tidak terbatas kelompoknya sendiri ialah…orang-orang yang benar-benar menemukan hal-hal yang baik bagi sebagian besar orang serta mereka berpikir secara dalam dan luas…dalam menentukan baik-buruk, betul-salah, hanyalah hukum yang sah dan hati yang suci….selain hati suci, ia juga menyebut fungsi akal pikiran yang suci. Yakni menurutnya, pembuatan keputusan yang bukan keputusan yang dibuat sendiri.


Dalam hal ini ia berpendapat, suatu pengetahuan hanya akan bermanfaat jika direalisasi sesuai keadaan, dan bahaya besar akan dihadapi jika setiap persoalan tidak dipecahkan dengan hati yang suci atau pikiran yang suci.(baca Mulkhan, 1990).


Dalam Kongres 1922, KH.Ahmad Dahlan menyatakan: "Untuk memimpin kehidupan seharusnya mempergunakan satu metode kepemimpinan, yaitu al-Qur'an….seluruh manusia harus bersatu hati mufakat yang disebabkan karena segala pembicaraan memakai hukum yang sah dan hati yang suci…untuk mencapai maksud dan tujuan harus dengan mempergunakan akal yang sehat….tidak ada gunanya pangkat yang tinggi kecuali dengan hati yang suci.


KH.Ahmad Dahlan dalam Sidang Tahunan 1922, menyatakan bahwa kehidupan dunia-akhirat harus dicapai dengan pengetahuan yang benar dari hasil penelitian. Kecerdasan ialah kemampuan mengatasi penderitaan disertai selalu ingat kepada Tuhan. Dalam Kongres Islam di Cirebon, Dahlan menyatakan, karena persamaan kedudukan, tidak perlu perantara dalam ibadah. Untuk itu, manusia harus bekerja sama dengan semua pihak, walaupun berbeda agama. Perubahan kehidupan manusia dan alam bersifat kausal seperti temuan penelitian.


Bagi Dahlan, kesalehan ialah pencarian kebenaran tanpa final, terbuka berdialog dengan semua pihak yang berbeda. Keputusan adalah benar jika: (a) paling kecil pertentangannya, (b) mendengar, membanding dan menimbang segala pendapat, (c) sesuai akal dan hati suci. Keikhlasan adalah dasar hidup sosial dan mencapai tujuan berdasarkan teori dan ketrampilan. Kebahagiaan adalah sikap ikhlas, tidak lupa kematian, dan ilmu sebagai kunci kemajuan dan kebahagiaan bersama.


Beberapa komentar dari para peneliti tentang gagasan dan pemikiran Dahlan dari kedua dokumen tersebut menyimpulkan, di antaranya Yunus Salam mengatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan memandang ketaatan syari'at sebagai hasil ketaatan batiniah. Farid Ma'ruf bahkan menyatakan bahwa keagamaan Kyai Ahmad Dahlan seperti shufinya Imam al-Ghazali. Apa yang dikemukakan oleh Ma'ruf bahwa keagamaan Dahlan sama dengan shufinya Imam al-Ghazali ini barangkali yang dimaksud adalah bahwa Dahlan sangat memperhatikan aspek batiniah di samping aspek syari'at sebagaimana al-Ghazali juga mementingkan aspek syari'at di samping tarekat.(baca Salam, 1968 dan Ma’ruf, 1964)


Jainuri, dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pandangan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu sebagai relativis dan pluralis yang meletakkan hati suci jauh lebih penting dari lembaga formal. Organisasi bagi Dahlan adalah instrumen pengembangan kesalehan hati suci itu. (baca Jainuri,1997)


Jika dicermati lebih dalam, apa yang digagas oleh KH.Ahmad Dahlan dalam pidato-pidatonya itu, sebenarnya tampak jelas kesadaran sufistiknya. Istilah Islam sejati, akal suci, hati suci, dan Qur'an suci adalah gambaran tentang pentingnya aspek batin dalam mengamalkan agama. Memang tidak banyak atau hampir tidak ada istilah-istilah teknis dalam tradisi shufi yang muncul dari seluruh pemikirannya. Beberapa kandungan pidato yang pernah disampaikan Dahlan dapat disari sebagai berikut: (1). Mengamalkan ajaran Islam tidak cukup dari aspek shari'at (eksoteris)nya saja, akan tetapi harus juga memperhatikan aspek batin (esoteris)nya; (2). Setiap amalan dan segala bentuk perjuangan harus dilandasi hati yang suci, bersih (ikhlas) semata karena Allah Swt; (3). Dalam hidup bermasyarakat tidak boleh mementingkan diri sendiri, tetapi harus mengutamakan orang lain (itsar); (4). Setiap memegang jabatan atau kekuasaan harus didasari dan disadari sebagai amanah dari Allah, karena tidak ada artinya memegang jabatan yang tinggi jika tidak dilandasi hati yang suci, untuk mendapatkan rid}aNya; (5). Setiap menghadapi kesulitan hidup harus selalu ingat kepada Allah (dhikr), dan dengan pikiran yang cerdas; (6). Dalam usaha meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidup di dunia jangan sampai lupa bahwa hidup di dunia ini sifatnya sementara, masih ada kehidupan yang kekal, yaitu di akhirat; (7). Dalam melakukan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), tidak perlu pakai perantara, karena di hadapan Allah semua manusia itu sama, dan Allah sudah menyatakan bahwa Allah itu sangat dekat (qarib) dengan hambaNya.


Dari tujuh hal yang disampaikan oleh KH.Ahmad Dahlan tersebut, agaknya selaras dengan apa yang telah disampaikan oleh para tokoh shufi seperti al-Junaid yang mengatakan bahwa tasawuf artinya engkau berada semata-mata bersama Allah tanpa keterkaitan dengan apa pun; kemudian kata al-Mishri bahwa orang-orang shufi adalah mereka yang mengutamakan Allah di atas segala-galanya; kata al-Suyuti bahwa shufi itu adalah seseorang yang terus-menerus melakukan penyucian hati dalam berhubungan dengan Allah dan berbuat baik kepada makhluk; dan kata al-Ghazali bahwa shufi itu adalah orang yang selalu berusaha membersihkan diri dari segala kotoran melalui penyucian hati dengan tujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt .

D. Penutup


Menjawab pertanyaan apakah Muhammadiyah anti tasawuf atau tidak, dapat dicermati melalui pokok-pokok pikiran yang bernuansa sufistik, yang dikemukakan oleh KH.Ahmad Dahlan (ulama dan pendiri Muhammadiyah).


KH.Ahmad Dahlan menyatakan bahwa Islam yang sejati itu menganduang dua hal, yaitu unsur lahir dan unsur batin. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ulama Muhammadiyah tidak hanya mementingkan aspek eksoteris (yang biasanya dikaji dalam wilayah ilmu shariat atau ilmu fiqh), tetapi juga aspek esoteris (yang biasanya dikaji dalam wilayah ilmu tasawuf). Dalam banyak kesempatan bahkan ia menekankan betapa pentingnya hati suci dan akal suci dalam setiap tindakan dan menyelesaikan masalah. Bagi Dahlan, tidak ada gunanya pangkat dan jabatan yang tinggi kecuali dengan hati yang suci.


Dari gagasan-gagasan tersebut dapat diketahui bahwa Muhammadiyah tidak anti tasawuf. Muhammadiyah sebenarnya sangat mendukung dan mementingkan hidup bertasawuf. Tasawuf yang dipedomani haruslah berlandaskan kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw, artinya dalam praktik amaliahnya harus melalui peribadatan yang resmi (masyru'). Kehidupan tasawuf, sungguhpun mementingkan aspek batin (esoteris), dalam praktiknya harus berimplikasi pada kehidupan sosial, seperti peduli kepada kaum dhu'afa, peduli dan mementingkan orang lain (itsar), dan tak pernah berhenti berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai petunjuk dari Allah dan RasulNya.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

'Abd al-Salam, Muhammad Ahmad. al-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqat bi al-Adhkar wa al-Shalawat. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1980.
Binti Abdullah, Laila. Ancaman Sufisme terhadap Islam, terj. Aris Munandar. Yogjakarta: Tajidu Press, 2003.
Dahlan, Ahmad. "Kesatuan Hidup Manusia" dalam Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Damami, Mohammad. Tasawuf Positif. Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad b. Muhammad. Ihya ‘Ulum al-Din,Vol.V. Bayrut: Dar al-Ma'rifah,tt.
Haeri,Fadllalla. Dasar-Dasar Tasawuf, terj. Tim Forstudia. Yogjakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003.
Ibn Khaldun, 'Abd al-Rahman. Muqaddimah Ibn Khaldun. TT: Dar al-Fikr, tt.
Ibn Taymiyah. Majmu’ al-Fatawa, Vol.11. TT:tp,tt.
Jainuri, Ahmad. The Formation of Muhammadiyah Ideology 1912-1942. (Montreal: The Institute of Islamic Studies MacGill University, 1997.
Kamal, Musthafa Pasha dan Ahmad Adabi Darban. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Yogjakarta: LPPI, 2002.
al-Kurdi, Muhammad Amin. Tanwir al-Qulub Fi Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub. (tt: Dar al-Fikr, 1994.
Ma'ruf, Farid. Analisa Achlak dalam Perkembangan Muhammadiyah. Yogjakarta: Yogjakarta Offset, 1964.
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. (Jakarta: LP3ES, 1980.
al-Qushayri, Abu al-Qasim 'Abd al-Karim b. Hawazin. al-Risalah al-Qusyayriyah Fi 'Ilm al-Tasawwuf. TT: Dar al-Khayr, TT.
Salam, Junus. KH.A.Dahlan, Amal dan Perdjoeangannja. Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968.
Syukur, HM. Amin. Tasawuf Kontekstual. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Tim Penyusun. Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menuju Sufi. Surabaya: Hikmah Press, 2003.
al-Thusi, Abu Nashr al-Sarraj. al-Luma’ . Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960.

IDUL FITRI DAN HALAL BIHALAL

IDUL FITRI Dan HALAL BIHALAL

Oleh Achmad Zuhdi Dh


Ada dua hari raya yang dipandang sah dalam Islam, idul fitri dan idul adha. Sedangkan hari-hari besar Islam lain yang biasa diperingati oleh umat Islam Indonesia seperti perayaan tahun baru hijriyah, isra dan mi’raj, maulid Nabi, dan nuzulul Qur’an adalah hari raya “budaya Islam”, bukan hari raya “agama Islam”.
Jika Amerika mengenal ada perayaan “Thanksgiving Day”, yang diperingati setiap tahun pada hari Kamis keempat bulan November, oleh rakyat negeri itu dengan bersuka-ria dan bersyukur kepada Tuhan bersama keluarga, maka di Indonesia ada perayaan “idul fitri”, di mana gerak mudik rakyat Indonesia terdorong kuat untuk bertemu keluarga, ayah-ibu, sanak-saudara yang dikemas dalam budaya silaturrahim dan halal bi halal.

Makna Idul Fitri

Idul fitri terdiri dari kata ‘id dan al-fithr. Kata ‘id berasal dari akar yang sama dengan kata-kata ‘awdah atau ‘awdatun, ‘aadah atau ‘aadatun dan isti’aadatun. Semua kata tersebut mengandung makna asal “kembali” atau “terulang”. Ungkapan bahasa Indonesia “adat-istiadat” adalah serapan dari bahasa Arab ‘aadat wa isti’aadatun yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan akan terus terulang, yakni sebagai “adat kebiasaan”. Dalam bahasa Arab, hari raya diartikan dengan ‘id, karena ia akan selalu datang kembali berulang-ulang secara periodik setiap tahun.

Sedangkan al-fithr adalah satu akar dengan kata al-fihtrah, yang berarti “kejadian asal yang suci” atau “kesucian asal”. Secara kebahasaan, fithrah searti dengan khilqah, yaitu ciptaan atau penciptaan. Allah sebagai Maha Pencipta adalah makna dari kata al-Khaliq atau al-Fathir. Dalam perkembangannya, istilah al-fithrah kemudian berarti “penciptaan yang suci”. Dalam pengertian ini, kata Nurcholis Madjid (2000), semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fithrah. Semua itu bernilai kebaikan dan kesucian karena semuanya itu berasal dari desain penciptaan Tuhan. Karena itu, berbuka puasa atau “kembali makan dan minum” setelah tadinya berpuasa juga disebut ifthar, yang secara harfiah dapat diartikan “memenuhi fitrah” yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan bagian dari fitrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan manusia berusaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar seperti makan, minum, tidur, berumah tangga dan lain sebagainya. Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Saya mendengar bahwa kamu (Abdullah bin ‘Amr bin As) puasa sepanjang siang hari dan bangun untuk selalu salat malam? Benar, Ya Rasulullah. Beliau kemudian mengingatkan dengan sabdanya: “Janganlah berbuat begitu, berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan bangunlah untuk salat malam, karena sesungguhnya bagi tubuhmu ada hak, bagi kedua matamu ada hak, bagi isterimu ada hak dan bagi tamu juga ada hak”. Hadis ini menerangkan bahwa segala tindakan manusia yang meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fitrah.

Berangkat dari pemahaman tentang arti idul fitri tersebut, dalam perayaan idul fitri -setelah selesai berpuasa selama bulan Ramadan- terkandung makna kembali kepada hakikat yang wajar dari manusia dan kemanusiaan, yaitu wajar untuk memenuhi keperluan makan dan minum sampai kembalinya manusia kepada fitrah dalam arti mentauhidkan Allah dan hanya ingin berbuat yang baik dan benar.
Fitrah terkait dengan hanif, artinya suatu sifat dalam diri manusia yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran. Nabi saw bersabda:

الْبِرُّ مَااطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ

Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat hati dan jiwa merasa tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah dan menimbulkan kebimbangan dalam dada (HR. Ahmad dan lain-lain. Syekh Al-Albani menilai hadis ini hasan)

Hadis tersebut menerangkan bahwa perbuatan dosa adalah tindakan yang bertentangan dengan hati nurani, tidak sesuai dengan fitrah yang suci. Karena itu, idul fitri dapat berarti kembali kepada hati nurani, yang hanya cenderung kepada kebaikan dan kebenaran sesuai dengan fitrahnya. Keadaan ini hanya bisa diraih oleh orang yang benar-benar telah melatih dirinya dengan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Nabi Saw bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan ibadah puasa atas dasar iman dan penuh perhitungan, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Idul fitri berarti kembali kepada kesucian. Kesucian, kata Quraish Shihab (1992), adalah gabungan tiga unsur: benar, baik dan indah. Sehingga, seseorang yang ber-idul fitri dalam arti “kembali ke kesuciannya” akan selalu berbuat yang indah, baik dan benar. Bahkan lewat kesuciannya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia akan selalu mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika dan mencari yanag benar menimbulkan ilmu. Dengan pandangan demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan apabila hal itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.

Menyambut Idul Fitri

Idul fitri adalah hari raya umat Islam setelah selesai melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Idul fitri artinya kembali kepada kesucian (fitrah). Setiap pribadi muslim yang telah menyelesaikan ibadah puasa dengan dasar iman dan penuh perhitungan, ia akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, bagaikan bayi yang baru lahir dari rahim ibunya.( HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Untuk mengagungkan dan memarakkan suasana idul fitri, disunnahkan :

Pertama, mengagungkan asma Allah dengan melaksanakan “takbiran”, yakni mengumandangkan takbir, tahmid dan taqdis, mulai dari terbenamnya matahari pada malam iduli fitri hingga shalat iduli fitri dilaksanakan; Contoh lafal takbir menurut riwayat Umar dan Ibn Mas’ud (baca Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I/275) adalah sebagai berikut:

أَللهُ اَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Bagi Allahlah segala puji

Kedua, Pada saat hari raya idul fitri di sunnahkan melakukan hal-hal sbb: a). Mandi besar, sebelum shalat idul fitri; b). Memakai pakaian yang baik dan sopan disertai harum-haruman; c). Makan dan minum sekedarnya sebelum berangkat menuju ke tempat shalat idul fitri, sebagai tanda bahwa hari itu sudah tidak puasa; d). Menempuh perjalanan menuju tempat shalat dan kembali dari shalat melalui jalan yang berbeda; e). Melaksanakan shalat sunnah idul fitri dua rakaat secara berjamaah di lapangan; f). Mengadakan silaturrahim (halal bi halal) antara satu dengan yang lain, setelah shalat idul fitri. Dan bila bertemu antara satu dengan yang lain dianjurkan mengucapkan :

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ

“Semoga Allah berkenan menerima amal-amal kita”
(Sabiq, Fiqhus Sunnah, Vol. I, 274. Baca juga al-Albani, Tamamul Minnah, 335)

Halal bi Halal

Halal bi halal adalah sebuah tradisi yang sudah mengakar di negeri ini. Pelaksanaannya biasa dilakukan setelah shalat idul fitri atau dalam suasana lebaran. Inti dari kegiatan halal bi halal ini adalah sama dengan silaturrahim.
Jika dilihat dari asal-usul istilah halal bi halal, memang tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Bahkan dalam kamus bahasa Arab pun tidak ada istilah halal bi halal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka terdapat keterangan bahwa halal bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Atas dasar ini, maksud halal bihalal sesuai dengan istilah bahasa Indonesia adalah untuk menciptakan suasana saling memaafkan antara satu dengan yang lain (Tim Penyusun Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1989 hal, 293).

Berdasarkan maksud penyelenggaraan halal bi halal tersebut, ada ulama yang berusaha melakukan identifikasi mengenai asal-usul istilah halal bi halal ini. Menurutnya, istilah halal bi halal ini mungkin diambil dari ungkapan sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sbb:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيْهِ فِى عِرْضِهِ أَوْ شَيْئٍ
فَلْيَتَحَلّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ (رواه البخارى)

“Barangsiapa melakukan penganiayaan (kesalahan) terhadap orang lain, baik menyangkut kehormatan ataupun yang lain, maka hendaknya pada saat itu juga minta dihalalkan/dimaafkan”. (HR. Al-Bukhari)

Pada hadis tersebut terdapat ungkapan bahasa Arab “fal yatahallalhu”, yang artinya hendaknya minta dihalalkan atau dimaafkan. Kata-kata inilah yang diambil oleh ulama Indonesia tempo dulu dalam rangka menciptakan suatu momen di mana antara satu orang dengan yang lain bisa saling memaafkan. Istilah saling halal menghalalkan ini kemudian didekatkan dengan kaidah bahasa Arab sehingga menjadi halal bi halal.

Dengan demikian, halal bi halal bukanlah asli istilah dari Arab, tetapi sengaja dibuat oleh ulama Indonesia dengan menggunakan kosakata Arab.
Sebenarnya perintah untuk saling halal-menghalalkan atau maaf-memaafkan antara satu dengan yang lain, bukanlah hanya pada saat lebaran atau dalam suasana idul fitri saja, akan tetapi berlaku sepanjang waktu, kapan saja, di mana saja bilamana telah melakukan kesalahan atau penganiayaan kepada orang lain. Imam al-Kahlani al-Shan’ani dalam kitabnya “Subul al-Salam” mengatakan bahwa berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tersebut menunjukkan “wujub al-istihlal”, yakni kewajiban meminta maaf kepada orang yang didzalimi.

Mengenai ditempatkannya acara halal bi halal pada suasana lebaran atau suasana idul fitri, hal ini ada hubungannya dengan amalan ibadah puasa. Salah satu bukti orang yang berhasil melakukan ibadah puasa adalah munculnya sikap atau kepribadian yang positif, di antaranya adalah suka memaafkan kepada orang lain. Nah, dengan melakukan halal bi halal yakni saling memaafkan antara satu dengan yang lain, diharapkan hal itu menjadi salah satu bukti keberhasilan ibadah puasanya. Orang inilah yang insya Allah akan benar-benar dapat menikmati hakikat ber-idul fitri.
Wallahu a’lam !