Sabtu, 24 April 2021

KHATAMAN ALQUR'AN

 

KHATAMAN ALQUR’AN

 

Oleh

 

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِي شَهْرٍ

 

Abdullah bin Amr berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Bacalah Alqur’an (hingga khatam) dalam satu bulan” (HR. al-Bukhari No. 5054).

 

Status Hadis

              Hadis tersebut dinilai sahih oleh Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari No. 5054. Selain Imam al-Bukhari, beberapa imam ahli hadis yang meriwayatkan hadis tersebut adalah Imam Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud No. 1390, Imam al-Nasai dalam Sunan al-Nasai No. 2400, Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad No. 6506, Imam Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah No. 8584, Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 1486, Imam al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra No. 4228, Imam al-Bazzar dalam Musnad al-Bazzar No. 2346, dan Imam Abu Awanah dalam Mustakhraj Abi Awanah No. 3147.  Muhammad Nashiruddin al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah al-Kamilah, IV/87).

 

Kandungan Hadis

              Hadis tersebut berisi perintah Nabi saw. kepada sahabat bernama Abdullah bin Amr bin al-Ash untuk membaca Alqur’an hingga khatam dalam satu bulan. Beberapa hadis tentang perintah mengkhatamkan Alqur’an tersebut di atas, ditemukan beragam redaksi tentang berapa lama sebaiknya untuk mengkhatamkan Alqur’an. Bila dirangkum antara satu dengan yang lain maka dapat dinarasikan sebagai berikut:

Pada mulanya, ketika Abdullah bin Amr meminta saran berapa lama sebaiknya mengkhatamkan Alqur’an, Nabi saw. memerintahkan agar mengkhatamkannya dalam satu bulan. Lalu Abdullah mengatakan bahwa dirinya sanggup mengkhatamkannya kurang dari sebulan. Kemudian Nabi saw. memerintahkan mengkhatamkannya dalam 20 hari. Abdullah masih mengatakan bahwa dirinya sanggup mengkhatamkannya kurang dari itu. Nabi saw. memerintahkan mengkhatamkannya dalam 15 hari. Abdullah masih mengatakan bahwa dirinya sanggup mengkhatamkannya kurang dari itu. Nabi saw. memerintahkan mengkhatamkannya dalam 10 hari. Abdullah masih mengatakan bahwa dirinya sanggup mengkhatamkannya kurang dari itu. Lalu Nabi saw. memerintahkan mengkhatamkannya dalam 7 hari atau 5 hari. Abdullah masih mengatakan bahwa dirinya sanggup mengkhatamkannya kurang dari itu. Lalu Nabi saw. membatasinya minimal tiga hari saja (jangan kurang dari tiga hari).

Larangan atau batasan mengkhatamkan Alqur’an kurang dari tiga hari tersebut dimaksudkan agar saat membaca Alqur’an bisa disertai pemahaman. Dalam hadis Riwayat Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad diterangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan dapat memahami atau menghayati Alqur’an, orang yang membacanya kurang dari tiga hari” (HR. Abu Daud No. 1392, al-Tirmidzi No. 2946, Ahmad No. 6546). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah al-Kamilah, IV/87).

Keutamaan Mengkhatamkan Alqur’an

Mengkhatamkan Alqur’an adalah amalan sunnah, mengikuti petunjuk Rasulullah saw. Dari Abdullah bin Amru bin Ash, beliau berkata, “Wahai Rasulullah saw., berapa lama aku sebaiknya membaca (hingga khatam) Alqur’an?” Beliau menjawab: “Khatamkanlah dalam satu bulan.” Aku berkata lagi, “Sungguh aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam dua puluh hari.” Aku berkata lagi, “Aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima belas hari.” “Aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam sepuluh hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Namun beliau tidak memberikan izin bagiku. Dalam riwayat versi lain dikatakan bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Tidak akan sanggup memahami Alqur’an bila dibaca hingga khatam dalam waktu kurang dari tiga hari” (HR. Tirmidzi No. 2946; Abu Dawud No. 1390). Al-Albani menilai hadis tersebut shahih (al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, IV/87).

Membaca Alqur’an hingga khatam adalah salah satu amalan yang paling disukai Allah swt. Dari Ibnu Abbas r.a., beliau mengatakan ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling disukai Allah?” Beliau menjawab, “al-hal al-murtahil (الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ).” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal al-murtahil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Alqur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi No. 2948). Menurut Al-Tirmidzi, hadis ini lebih sahih daripada hadis Riwayat Nashr bin Ali dari al-Haitsam bin al-Rabi’ (al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, V/197).

              Mengkhatamkan Alqur’an adalah saat yang mustajabah untuk berdoa. Al-Darimi meriwayatkan bahwa Mujahid telah berkata: “Bahwasanya doa itu mudah dikabulkan saat khataman Alqur’an”. Lebih lanjut beliau berkata: “Maka berdoalah dengan doa-doa apa saja” (HR. al-Darimi, al-Sunan No. 3482; al-Bayhaqi, Syu’ab al-Iman No. 1909). Husain Salim Asad menilai sanad riwayat ini shahih.

              Mengkhatamkan Alqur’an akan mendatangtkan rahmat dari Allah. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dalam al-Mushannaf dari Sufyan dari Manshur dari al-Hakam dari Mujahid, ia berkata: (الرحمة تنزل عند ختم القرآن), rahmat akan turun ketika khataman Alqur’an (Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, VII/169). 

              Betapa besar fadilah atau keutamaan mengkhatamkan Alqur’an, sahabat Nabi saw. bernama Anas bin Malik, biasanya apabila mengkhatamkan Alqur’an, maka beliau mengumpulkan keluarganya dan anak-anaknya, kemudian mendoakan untuk mereka (al-Darimi, al-Sunan No. 3474; al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir No. 673; Said bin Manshur, al-Sunan No. 27; dan al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman No. 2070). Para ahli hadis menilai bahwasanya Riwayat ini shahih (Jami’ Shahih al-Adzkar Li al-Albani, VI/2).   

Ibn Saad memberitakan bahwa Al-A’raj Maula Ali al-Zubair bin al-Awwam, seorang qari (ahl qiraat Alqur’an) penduduk Makkah biasa membacakan Alqur’an di masjid, dan mengumpulkan orang-orang pada saat khatam Alqur’an (Ibn Saad, al-Thabaqat al-Kubra, V/486; Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, VII/388).

 

Doa Khataman Alqur’an

              Doa saat khataman Alqur’an secara khusus tidak ditemukan dalam hadis-hadis shahih. Memang ada hadis yang meriwayatkan adanya doa setelah khatam Alqur’an, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Manshur al-Mudhaffar bin al-Husain al-Arjani dalam kitab Fadhail al-Quran, juga Abu Bakar bin al-Dhahhak dalam kitab al-Syamail, keduanya dari jalan Abu Dzar al-Harawi dari riwayat Abu Sulaiman Daud bin Qays, ia berkata: “Rasulullah saw. ketika khatam Alqur’an membaca doa:

اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي بِالْقُرْآنِ وَاجْعَلْهُ لِي إِمَامًا وَنُورًا وَهُدًى وَرَحْمَةً، اللَّهُمَّ ذَكِّرْنِي مِنْهُ مَا نُسِّيتُ وَعَلِّمْنِي مِنْهُ مَا جَهِلْتُ وَارْزُقْنِي تِلَاوَتَهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ وَاجْعَلْهُ لِي حُجَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ

(Ya Allah sayangilah aku dengan sebab Alqur’an dan jadikanlah Alqur’an untukku sebagai pemimpin, cahaya, petunjuk dan rahmat. Ya Allah, ingatkanlah aku akan ayat-ayat Alqur’an yang kulupa, ajarilah aku tentang isi Alqur’an yang tidak aku ketahui dan berilah aku nikmat bisa membacanya di waktu malam. Jadikanlah Alqur’an sebagai pembelaku wahai Tuhan semesta alam).

              Hadis tersebut telah popular dan dimuat di sejumlah kitab. Di antaranya oleh al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din, I/278; al-Zarkasyi dalam al-Burhan Fi Ulum al-Quran, I/475; Abu al-Khair Ibn al-Jazari dalam al-Nasyr Fi Qiraat al-Asyr, II/464; Muhammad Thahir al-Kurdi dalam Tarikh al-Quran al-Karim, 207; Abu al-Fadl al-Iraqi dalam al-Mughni An Haml al-Asfar, I/226; al-Bahuti dalam Kasysyaf al-Qina, I/428; dan Abu al-Wafa dalam al-Qaul al-Sadid Fi Ilm al-Tajwid, 267.

Dalam kitab-kitab tersebut, Sebagian besar penyusunnya berkomentar bahwa hadis tersebut berstatus mu’dhal (معضلاً). Hadits mu’dhal adalah salah satu jenis hadis dhaif, yang tingkatannya di bawah hadits munqathi’ dan mursal. Hadits mu’dhal adalah  hadis yang pada sanadnya terdapat dua perawi atau lebih yang hilang (tidak disebutkan namanya) secara berturut-turut.

 Al-Hafidh al ‘Iraqi mengatakan: “Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Manshur al-Muzhaffar bin al-Husain al-Arjani dalam kitabnya Fadha-il al-Qur’an dan Abu Bakr bin al-Dhahhak dalam Al-Syama-il. Sanad yang ada di dalam kedua kitab tersebut semuanya bersumber dari Abu Dzar al-Harawi dari Sulaiman Dawud bin Qais dengan periwayatan secara mu’dhal” (Abu al-Fadl al-Iraqi, al-Mughni An Haml al-Asfar, I/226).

Mengingat hadis tentang doa khataman Alqur’an tersebut statusnya dhaif, maka membaca doa khataman Alqur’an dengan doa tersebut tidak bernilai sunnah, karena dianggap tidak ada tuntunan yang sah dari Rasulullah saw. Namun demikian, boleh saja membaca doa tersebut karena isinya baik dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini berarti bahwa berdoa pada saat khataman Alqur’an boleh dengan doa apa saja, boleh dengan doa tersebut atau doa yang lainnya.

Kesimpulan

              Mengkhatamkan Alqur’an adalah sunnah Rasulullah saw. Beliau menyarankan kepada sahabatnya agar mengkhatamkan Alqur’an sekali dalam sebulan. Bila dirutinkan sebulan sekali, maka membacanya bisa dilakukan dengan cara satu hari satu juz atau one day one juz (ODOJ). Adapun tradisi khataman Alqur’an dengan upacara atau tata cara tertentu memang tidak ada tuntunannya dari Nabi saw. Namun dari kalangan sahabat, ada contoh dari mereka ketika melakukan khataman. Misalnya sahabat Anas bin Malik pernah melakukan khataman Alqur’an dengan cara mengumpulkan keluarga dan anak-anaknya kemudian berdoa untuk mereka. Karena itu mengadakan acara khataman Alqur’an merupakan suatu amalan yang baik untuk dilakukan, dan acara tersebut merupakan acara yang dapat menjadi syiar Islam serta memberikan semangat dalam membaca dan mengkaji Alqur’an (SM. 10 Juni 2020). Wallahu A’lam!

 

 

 

Minggu, 18 April 2021

KIAT MENGGAPAI ISTIQAMAH

 

BAGAIMANA KIAT MENGGAPAI ISTIQAMAH?

 

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:

              Assalamu’alaikum wr.wb.!

              Ustadz Zuhdi rahimakumuallah! Mohon penjelasan apa yang dimaksud dengan istiqamah, dan bagaimana kiat-kiat untuk menjadi orang yang bisa istiqamah? Demikian pertanyaan saya, atas perkenannya kami sampaikan banyak terima kasih. Jazakumullah khairan katsiran! (Abdul Halim, Sidoarjo)

 

Jawab:

              Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita kutipkan hadis berikut ini:

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِىِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ - وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ - قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ (رواه مسلم)

Artinya: Dari Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah! Katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun setelah Anda! Dalam Riwayat Abu Usamah “selain Anda”! Beliau menjawab: “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah”! Lalu istiqamahlah!”(HR. Muslim No. 168).

              Hadis tersebut menjelaskan tentang dialog antara Nabi saw. dengan sahabatnya bernama Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi. Saat itu al-Tsaqafi memohon kepada Nabi saw. agar menjelaskan tentang Islam secara general dan mencakup keseluruhan sehingga tidak memerlukan penjelasan lagi dari orang lain. Nabi saw. kemudian menjawabnya dengan singkat dan padat: “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah”! Lalu istiqamahlah!”

              Sebagian besar ulama, di antaranya al-Mubarakfuri (Tuhfat al-Ahwadzi, VII/77); al-Nawawi, (Syarah Sahih Ala Muslim, II/9); al-Suyuti, (al-Dibaj Ala Muslim, I/55); dan al-Munawi, (Faid al-Qadir, IV/523), memandang bahwa hadis tersebut memperkuat firman Allah swt. surat Fussilat ayat 30:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

 Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. Fussilat, 30).

              Dalam hadis dan ayat tersebut ada dua hal penting untuk difahami, yaitu masalah iman kepada Allah dan istiqamah.

Iman kepada Allah merupakan tingkat iman tertinggi. Dalam hal ini, iman bukan sekedar percaya, tetapi harus ditunjukkan dengan aksi nyata. Keimanan kepada Allah secara mutlak mengharuskan kepercayaan kepada semua ajaran yang diturunkan-Nya. Selain itu juga mengharuskan adanya ketaatan terhadap perintah dan larangan-Nya.

              Pengakuan iman seseorang tidaklah cukup. Allah telah menetapkan sebuah ketentuan bahwa setiap pengakuan iman akan melalui tahap ujian. Firman Allah:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ # وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan “Kami telah beriman” lalu mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang benar (dengan pengakuan imannya) dan benar-benar mengetahui orang-orang yang dusta (QS. al-Ankabut, 2-3).

Dalam kehidupan manusia, ujian keimanan selalu datang silih berganti. Kadang-kadang ujian itu datangnya melalui setan, menggoda orang beriman agar ingkar kepada Allah. Allah terkadang juga menurunkan ujian melalui bala bencana. Apakah ketika ditimpa ujian berupa musibah mereka masih teguh dengan keimanannya? Ujian keimanan bisa juga berupa sesuatu yang menyedihkan, bahkan terkadang berupa sesuatu yang menyenangkan hingga lupa daratan. Di sini manusia akan diuji konsistensinya dalam beriman. Apakah ia tetap istiqamah?

 Istiqamah atau istikamah secara bahasa berarti lurus, ajeg, teguh dan kukuh, tidak mudah goyah. Secara istilah istiqamah adalah sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen dalam setiap tindakan(https://kbbi.web.id/istiIah). Abu Bakar Al-Shiddiq ra. berkata: “Istiqamah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapa pun). Umar bin Khattab ra berkata: “Istiqamah adalah komitmen terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu”. Utsman bin Affan ra berkata: “Istiqamah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah Taala”. Ali bin Abu Thalib ra berkata: “Istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”. Mujahid berkata: “Istiqamah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah Ta’ala” (al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, VII/172).

Istiqamah dalam mempertahankan keimanan digambarkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dengan menempuh “shirath al-mustaqim”, agama yang lurus, tidak melenceng ke kanan atau ke kiri. Hal itu mencakup pelaksanaan semua ketaatan yang nampak dan tersembunyi, juga meninggalkan semua larangan(Ibn Rajab, Jami al-‘Ulum wa al-Hikam, I/205).

              Dari definisi di atas, dapat difahami bahwa seorang mukmin yang istiqamah adalah mukmin yang selalu mempertahankan keimanan dan akidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Ia selalu menjaga ketaatan kepada Allah lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi seluruh godaan, dan syukur dengan segala nikmat. Itulah manusia mukmin yang sesungguhnya.

              Seorang mukmin yang benar-benar istiqamah dalam memegang teguh keimanan dan keislamannya, dijanjikan akan menerima penghargaan yang sangat tingi, di antaranya malaikat akan turun memberi kabar gembira kepadanya sebelum maut menjemputnya. Tentang firman Allah: “Janganlah takut dan janganlah bersedih”, menurut penafsiran Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam adalah “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya”. Selain itu, mereka juga diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam keburukan (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, VII/177).

Zaid bin Aslam mengatakan bahwa maksud QS. Fussilat ayat 30 adalah orang-orang yang beriman dan selalu istiqamah akan diberikan kabar gembira pada saat jelang kematiannya, saat dalam kuburnya, dan saat ia dibangkitkan. Selanjutnya ia kemudian dimasukkan ke dalam surga (Ibn Rajab, Jami al Ulum Wa al Hikam, l/191).

Kiat-Kiat Menggapai Istiqamah

Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar. Nabi saw. bersabda: Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”. (HR. al-Bukhari No. 4699). Qatadah  mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan salih. Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir)” (Badruddin al-Aini, Umdat al-Qari, XIII/101).

Kedua: Mengkaji Alqur’an dan menghayatinya. Allah menceritakan bahwa Alqur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan menjadi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dalam QS. Al-Nahl, 102, Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Alqur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. Atas dasar ini, dapat difahami bahwa orang yang giat mempelajari Alqur’an dan menghayatinya, akan lebih kokoh dan teguh dalam beragama.

Ketiga: Berkomitmen dan konsisten dalam menjalankan syari’at. Dari ’Aisyah ra., Nabi saw. bersabda: “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun sedikit (HR. al-Bukhari No. 6464 dan Muslim No. 1866). Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan: “Amalan yang dilakukan oleh Nabi saw. adalah amalan yang konsisten dan kontinu. Beliau pernah mengingatkan sahabatnya: “Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi (HR. al-Bukhari No. 1152 dan Muslim No. 2790).

Keempat: Membaca kisah-kisah orang salih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqamah. Dalam Alqur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman masa lalu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah saw. dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut saat menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah swt. berfirman: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Hud, 11).

Imam Abu Hanifah mengatakan: “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak yang luhur” (al-Qadi Iyad, Tartib al-Madarik, I/6).

Kelima: Memperbanyak do’a kepada Allah agar diberi keistiqamahan. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian: “Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah: 250). Dalam upaya meraih istiqamah, Al-Hasan ketika membaca QS. Fussilat ayat 30 beliau pun berdo’a: “Allahumma anta rabbuna, farzuqna al-istiqamah, Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqamahan pada kami (al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, VII/172).

Keenam: Bergaul dengan orang-orang salih. Allah memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119). Para ulama menasehati agar kita selalu dekat dengan orang shalih. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: (نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ), Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati” (al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala, XV/455).

              Sungguh beruntunglah orang yang berhasil menggapai istiqamah. Orang-orang arif berkata:al-istiqamatu khayr min alf karamah”, bersikap istiqamah itu lebih baik daripada memiliki seribu karamah (al-Mubarakfuri, Mirqat al-Mafatih, I/208).