Minggu, 27 November 2016

SHALAT JUMAT DI JALAN

HUKUM SHALAT JUMAT DI JALAN

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, Fil I


Fatwa tentang “hukum shalat Jumat di jalan” belakangan ini menjadi isu yang rame diperbincangkan. Hal ini merespon rencana gelar sajadah di Monas dan sepanjang Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin yang berpusat di Bundaran HI  Jakarta, pada 2 Desember 2016 yang akan dilakukan oleh jutaan umat Islam dengan agenda shalat Jumat dan doa untuk keselamatan NKRI.
         Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan bahwa shalat Jumat di jalan raya tidak sah, bahkan bisa haram jika menggangu ketertiban umum dan masalah social (http://www.nu.or.id ). Pandangan ini kemudian dibantah oleh tokoh dari kalangan NU garis lurus, KHM. Luthfi Rochman yang ditulis dalam laman nugarislurus.com dengan judul: “Meluruskan Fiqh PBNU: Sholat Jum’at Di Jalan Sah Dan Boleh Jika Darurat”. Rochman mengutip pendapat Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:
قال أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة
“Berkata sebagian ashab kami (dari mazhab Syafi’ie) bahwa sholat jum’at tidak disyaratkan didalam masjid tetapi boleh di lapangan terbuka dengan syarat lapangan atau tempat terbuka itu ada di dalam desa atau daerah negara yang sudah ditetapkan batas-batas wilayahnya (Majmu’ Syarah Muhadzzab, juz IV/334 dan juz IV/501).
 Pandangan Rochman tersebut dipertegas lagi oleh KH. Sholahuddin Wahid bahwa shalat Jumat di jalan diperbolehkan sepanjang memenuhi kondisi yang memungkinkan untuk dilaksanakan di jalan. Misalnya, saat kondisi masjid penuh tidak bisa menampung jamaah (http://obsessionnews.com/tokoh-nu-silang-pendapat-soal-shalat-jumat-di-jalan/)

            Terjadinya perbedaan pendapat mengenai sah atau tidaknya shalat Jumat di jalan (di luar masjid) dikarenakan adanya beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, adanya perbedaan mengenai syarat shahnya tempat shalat Jumat. Sebagian ulama (Malikiyah) mensyaratkan tempatnya harus di masjid, sebagian ulama yang lain lain (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) tidak mensyaratkannya;
Kedua, terdapat hadis Nabi yang menyatakan:
 وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
Dan dijadikan untukku bumi ini sebagai masjid dan suci. Maka dimanapun umatku  menemui waktu shalat, maka shalatlah (HR. al-Bukhari No.438 dan Muslim No. 1190).
Juga hadis sebagai berikut:
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
 “Semua tempat di muka bumi adalah masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.
 (HR. Tirmidzi, no. 317; Ibnu Majah, no. 745; Abu Daud, no. 492. Ahmad, no 11788). Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih (Misykat al-Mashabih, I/162).

Ketiga,  ada riwayat (atsar) yang menerangkan sebagai berikut:
حدثنا عبد الله بن إدريس عن شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة عن أبي رافع عن أبي هريرة أنهم كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا حيث كنتم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Syu’bah, dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuun, dari Abu Raafi’, dari Abu Hurairah bahwasannya para shahabat menulis surat kepada ‘Umar (bin Al-Khaththaab) menanyakan tentang shalat Jum’at. Lalu ‘Umar menulis balasan: “Lakukan Shalat Jum’at dimana saja kalian berada” (HR.  Ibnu Abi Syaibah, 2/11). Al-Albani: sanadnya shahih (Irwa al-Ghalil, III/66).
Keempat, ada hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِى سَبْعَةِ مَوَاطِنَ فِى الْمَزْبَلَةِ وَالْمَجْزَرَةِ وَالْمَقْبُرَةِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَفِى الْحَمَّامِ وَفِى مَعَاطِنِ الإِبِلِ وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di tujuh tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) pekuburan, (4) tengah jalan, (5) tempat pemandian, (6) tempat menderumnya unta, (7) di atas Ka’bah.” (HR. Tirmidzi, no. 346; Ibnu Majah, no. 746). Al-Albani: hadis ini dha’if (Irwa al-Ghalil, I/318).
Kelima, Nabi shalat Jumat pertama kali di Wadi Ranuna (وادى الرانوناء)  pada 16 Rabi al-Awwal 1 H hari keempat setelah tiba di Quba. Untuk mengenang sejarah maka tempat shalat jumat tersebut kemudian didirikan sebuah masjid yang diberi nama masjid al-Jumah.

Pendapat Empat Imam Madzhab tentang shalat jumat di luar masjid.
Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqhu ‘Ala al-Madzāhib al-Arba’ah (I/602)  menyebutkan perbedaan mengenai masalah ini sebagai berikut:
اتفق ثلاثة من الأئمة على جواز صحة الجمعة في الفضاء وقال المالكية: لا تصح إلا في المسجد
Tiga Imam madzhab (Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat mengenai kebolehan shalat Jum’at di tempat terbuka, lapang (di luar masjid). Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak sah, kecuali di masjid.
Pendapat Malikiyah:
لا تصح الجمعة في البيوت ولا في الفضاء بل لا بد أن تؤدي في الجامع
Tidak sah melaksanakan shalat Jum’at di rumah dan di tempat terbuka, tetapi harus ditunaikan di dalam masjid jami’.
Pendapat Hanabilah:
تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريبا من البناء ويعتبر القرب بحسب العرف فإن لم يكن قريبا فلا تصح الصلاة وإذا صلى الإمام في الصحراء استخلف من يصلي بالضعاف
Sah shalat Jum’at yang dilakukan di tempat terbuka (di luar masjid) jika dekat dengan bangunan. Ukuran dekat yang teranggap sesuai dengan kebiasaan. Jika tidak dekat -secara adat- maka shalatnya tidak sah. Jika imam shalat Jum’at di gurun pasir maka ia mewakilkan orang untuk shalat dengan masyarakat.
Pendapat Syafi’iyah:
تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريبا من البناء وحد القرب عندهم المكان الذي لا يصح فيه للمسافر أن يقصر الصلاة متى وصل عنده وسيأتي تفصيله في مباحص " قصر الصلاة " ومثل الفضاء الخندق الموجود داخل سور البلد إن كان لها سور
Sah shalat Jum’at di tempat terbuka jika dekat dengan bangunan. Ukuran dekatnya menurut mereka ialah jarak yang seorang musafir tidak boleh mengqashar shalat ketika sampai pada jarak itu. Contoh fadha (tempat terbuka) seperti halaman yang terletak  di dalam pagar negeri jika memiliki pagar.
Sebagai tambahan, Ibnu Hajar Al-Haitsami As-Syafi’i menjelaskan:
أَنَّ الْجُمُعَةَ لَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ إقَامَتِهَا الْمَسْجِدُ كما صَرَّحُوا بِهِ فَلَوْ أَقَامُوهَا في فَضَاءٍ بين الْعُمْرَانِ صَحَّتْ
“Sesungguhnya Jum’at tidak disyaratkan keshahannya di masjid. Sebagaimana mereka secara tegas berpendapat sekiranya mereka melaksanakan shalat Jum’at di tempat terbuka di antara gedung atau bangunan maka shalatnya sah.” (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, I/234).
Pendapat Hanafiyah:
لا يشترط لصحة الجمعة أن تكون في المسجد بل تصح في الفضاء بشرط أن لا يبعد عن المصر بأكثر من فرسخ وأن يأذن الإمام بإقامة الجمعة فيه كما تقدم في الشروط
Sahnya shalat Jum’at tidak dipersyaratkan harus di masjid. Bahkan sah ditunaikan di tempat terbuka. Dengan syarat tidak jauh dari kota lebih dari empat farsakh (3 mil) dan Imam mengizinkan untuk menunaikan Jum’at di situ.
Dari sekian ulama yang berpendapat tentang hukum shalat Jumat di jalan atau di luar masjid, maka dapat diketahui bahwa mayoritas ulama berpendapat boleh shalat Jumat di luar masjid, lebih-lebih jika masjid yang tersedia tidak bisa menampungnya. Wallahu A’lam bishshawab!