Sabtu, 22 Agustus 2020

JANGAN SIA-SIAKAN KESEMPATAN

 

JANGAN SIA-SIAKAN KESEMPATAN

 

Oleh:


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu di dalamnya, yaitu sehat dan sempat (HR. al-Bukhari No. 6412 dari Ibn Abbas ra.)

Status Hadis

            Hadis tersebut statusnya sahih. Selain Imam al-Bukhari yang meriwayatkannya dalam kitab Sahih al-Bukhari, I/3218 hadis No. 6412, beberapa ulama ahli hadis lain yang juga meriwayatkannya adalah Imam al-Tirmidzi dalam kitab al-Sunan, IV/126 hadis No. 2304; Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad, IV/177 hadis No. 2340; Imam Ibn Majah dalam kitab al-Sunan, II/1396 hadis No. 4170; Imam Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, VII/82 hadis No. 34357; Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, IV/341 hadis No. 7845; Imam al-Thabrani dalam kitab al-Ausath, VI/193 hadis No. 6163; Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Sunan, III/370 hadis No. 6760; dan Imam al-Darimi dalam kitab al-Sunan, II/385 hadis No. 2707;  Muhammad Nashiruddin al-Albani, dalam kitab Misykat al-Mashabih tahqiq al-Albani, V/3 hadis No. 5155 menilai bahwa hadis tersebut sahih.

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menjelaskan tentang dua nikmat yang banyak dilupakan atau dilalaikan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan nikmat sempat. Kedua nikmat ini sangat penting dan sangat menentukan kehidupan seseorang. Sabda Nabi saw: “kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” ini mengisyaratkan bahwa orang yang mendapatkan taufik (bimbingan) untuk itu, tidak banyak.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

 

قَدْ يَكُون الْإِنْسَان صَحِيحًا وَلَا يَكُون مُتَفَرِّغًا لِشُغْلِهِ بِالْمَعَاشِ، وَقَدْ يَكُون مُسْتَغْنِيًا وَلَا يَكُون صَحِيحًا، فَإِذَا اِجْتَمَعَا فَغَلَبَ عَلَيْهِ الْكَسَل عَنْ الطَّاعَة فَهُوَ الْمَغْبُون، وَتَمَام ذَلِكَ أَنَّ الدُّنْيَا مَزْرَعَة الْآخِرَة، وَفِيهَا التِّجَارَة الَّتِي يَظْهَر رِبْحهَا فِي الْآخِرَة  

“Kadang-kadang manusia itu sehat, tetapi tidak punya waktu longgar, karena kesibukannya dengan penghidupan. Kadang-kadang manusia itu cukup (waktu dan kebutuhannya), tetapi tidak sehat. Jika keduanya terkumpul (dalam kondisi sehat dan sempat), lalu dikalahkan oleh kemalasannya melakukan kataatan, maka dia adalah orang yang tertipu. Kesempurnaan akan diperoleh bila ia bisa menjadikan dunia ini sebagai ladang akhirat. Di dunia inilah tempat ia berdagang yang keuntungannya akan nampak di akhirat”.

Lebih lanjut Ibnul Jauzi berkata: “Barangsiapa menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya untuk ketaatan kepada Allah, maka dia adalah orang yang mendapatkan kejayaan dan kebahagiaan. Dan barangsiapa menggunakan keduanya untuk maksiat kepada Allah, maka dia adalah orang yang tertipu”(al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala, IX/553; Ibn Hajar, Fath al-Bari, XI/230).

Nikmat Sehat

Banyak manusia yang sehat, anggota tubuhnya juga sempurna, namun mereka tertipu. Mereka lalai, tidak pandai mensyukuri nikmat sehat itu sebagaimana mestinya. Seharusnya nikmat sehat itu digunakan untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan ketaatan dalam beribadah. Tetapi kebanyakan mereka malah bermalas-malasan bahkan melakukan perbuatan maksiat. Sementara di luar sana ada sebagian orang yang ingin bekerja dan beribadah maksimal, tetapi tidak sanggup melakukannya dikarenakan sakit atau menderita cacat. Orang seperti ini, biasanya baru sadar kalau sudah tidak lagi sehat dan sebagian tubuhnya tidak lagi berfungsi dengan baik.

            Dikisahkan bahwa ada seseorang yang mengadukan kemiskinannya dan menampakkan kesedihannya di hadapan orang arif (bijak). Orang arif itu bertanya: “Apakah engkau senang menjadi buta dengan mendapatkan uang 10 ribu dirham?”. Ia menjawab: “Tidak”. Orang arif itu bertanya lagi: “Apakah engkau senang menjadi bisu dengan mendapatkan uang 10 ribu dirham?”. Ia menjawab: “Tidak”. Orang arif itu bertanya lagi: “Apakah engkau senang menjadi orang yang tidak punya kedua tangan dan kedua kaki dengan mendapatkan uang 20 ribu dirham?”. Ia menjawab: “Tidak”. Orang arif itu bertanya lagi: “Apakah engkau senang menjadi gila dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”. Ia menjawab: “Tidak”. Orang arif itu berkata: “Nah renungkan baik-baik, apakah engkau tidak malu mengeluh di hadapan Tuanmu (Allah swt), sedangkan Dia memiliki harta setara dengan 50 ribu dinar padamu” (Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, IV/47).

Kisah ini mengingatkan setiap orang agar pandai mensyukuri nikmat, terutama nikmat sehat yang memungkinkan ia bisa memanfaatkannya untuk melakukan apa saja yang ia bisa.

Nikmat Senggang

Waktu adalah sesuatu yang terus berjalan ke depan dan tak akan kembali lagi. Oleh karena itu, banyak sekali manusia yang menyesal karena tidak pandai memanfaatkan waktu senggangnya. Ia tertipu oleh hawa nafsunya, ia melalaikannya sehingga waktu berlalu begitu saja, tanpa ada manfaat dan faidahnya. Hidupnya dan waktu senggangnya hanya dihabiskan untuk perbuatan yang sia-sia. 

Waktu ibarat pedang bermata dua, jika digunakan untuk kebaikan, bekerja keras, menggapai mimpi indah, maka kebaikan dan keindahan pula yang akan diraihnya. Sebaliknya, jika digunakan untuk keburukan, bermalas-malasan, dan berbagai perilaku yang tidak bermanfaat, maka keburukan juga yang akan ia dapatkan.

            Ada kisah menarik tentang seseorang yang mendapatkan kesempatan untuk melakukan kebaikan yang sebenarnya akan menguntungkan bagi dirinya, tetapi peluang itu tidak dimanfaatkannya.

             Orang itu dipanggil Pak Misrun. Ia bekerja sebagai seorang mandor pada sebuah perusahaan pengembang perumahan. Selama ini perusahaan yang mempekerjakannya selalu puas atas kinerjanya. Saat itu, usianya sudah menginjak kepala enam. Fisiknya sudah terlihat rapuh. Karena itu ia mulai mempertimbangkan untuk berhenti, pensiun.

Suatu saat, Pak Misrun mengajukan pengunduran dirinya kepada pemimpin perusahaan, tetapi ditolaknya secara halus, dengan alasan karena tenaga Pak Misrun masih sangat dibutuhkan. Selain dedikasinya yang tinggi, juga karena ketulusan dan amanahnya. Sampai tibalah di hari itu, Pak Misrun benar-benar ingin berpamitan untuk berhenti kerja. Permohonan yang sekian kali ini sepertinya ada tanda-tanda akan dikabulkan. Pimpinan berkata: “Boleh saja, jika Pak Misrun ingin mengundurkan diri, tetapi mohon kerjakan dulu satu proyek rumah untuk yang terakhir kali”.

Pak Misrun sebenarnya sudah merasa lelah, tidak bisa lagi menikmati segala macam pekerjaannya. Karena itu, meskipun tawaran pimpinan perusahaan tersebut diterima, Pak Misrun melakukannya tidak dengan semangat seperti awal-awal dia bekerja. Kali ini ia mengerjakannya asal-asalan, setengah hati, dan cenderung yang penting asal jadi, asal selesai. Pilihan bahan-bahan bangunan dan furniture, perkakas rumah tangga seperti meja, kursi, almari, kulkas, dan televisi, pun tidak dipilihkan yang bagus seperti biasanya.

Singkat cerita, selesai sudah proyek rumah yang dikerjakan oleh Pak Misrun itu. Karena sudah selesai, maka Pak Misrun berniat untuk menghadap sang pimpinan perusahaan. Beberapa kunci rumah dan kamar pun di genggamnya. Namun, ketika hendak masuk ke dalam ruangan si bos, sekretaris kantor memberi kabar bahwa si bos sedang menunaikan ibadah umrah dan menitipkan dua amplop besar untuk Pak Misrun. Penasaran dengan isi dari dua amplop tersebut, Pak Misrun membukanya dengan seksama.

Amplop pertama berisi ucapan terima kasih perusahaan kepada Pak Misrun atas pengabdiannya selama ini. Sedangkan amplop kedua berisi Surat Sertifikat Tanah. Sedikit terkejut, ketika isi surat kepemilikan tanah tersebut ternyata mencantumkan nama dirinya (Misrun) sebagai pemilik dari rumah yang baru saja diselesaikannya.

Terselip secarik kertas kecil, tulisan tangan sang pimpinan. “Dengan telah dibukanya kedua amplop ini saya mengucapkan untuk terakhir kalinya ucapan terima kasih atas pengabdian yang tulus dari Pak Misrun untuk perusahaan ini. Sebagai tanda mata kami, mohon berkenan menerima satu unit rumah dengan seluruh isi yang telah Pak Misrun siapkan”.

 Kontan, berbagai gejolak rasa menyergap hatinya. Di antara rupa-rupa rasa itu adalah penyesalan yang tak terhingga. Kenapa, untuk terakhir dia bekerja, dia tidak maksimal mengerjakan proyek yang sebenarnya direncanakan untuk sebuah hadiah atas pengabdiannya selama ini (http//republika.co.id). Kisah ini patut menjadi renungan kita. Allah swt. berfirman:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا

Jika engkau melakukan suatu kebajikan, maka kebajikan itu sebenarnya untuk dirimu sendiri; dan jika engkau melakukan keburukan, keburukan itu juga untuk dirimu sendiri (QS. Al-Isra, 7).

Allah mengingatkan: “Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu mengatakan; “Sungguh jika kamu bersyukur, pasti Aku akan tambah (nikmat) kepadamu, tapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).

            Salah satu bentuk syukur kepada Allah atas nikmat sehat dan senggang adalah tidak menyia-nyiakan kesempatan.


Materi tersebut juga bisa disaksikan melalui youtube berikut ini: