Jumat, 01 April 2016

PENYAKIT HASUD DAN TERAPINYA

PENYAKIT HASUD DAN TERAPINYA


Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Allah Swt berfirman:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain...” (QS. Al-Nisa, 32)

            Ada kisah menarik terjadi pada masa Rasulullah Saw. Anas bin Malik ra meriwayatkan: “Suatu hari kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Saw,  maka Rasulullaah Saw menyatakan: “sekarang telah datang di tengah-tengah kita seorang laki-laki calon penghuni surga”. Saat itu yang yang datang adalah seorang laki-laki dari kalangan Anshar bernama “Saad bin Malik”, seorang yang hidupannya sangat sederhana. Peristiwa ini berulang-ulang hingga tiga kali (tiga hari). Salah seorang pemuda (sahabat Nabi) bernama Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash sangat penasaran, dan mempertanyakan apa sebenarnya kelebihan orang itu hingga Rasulullah Saw menyatakannya sebagai calon penghuni surga.
Pemuda tersebut kemudian membuntuti orang Anshar itu dan meminta izin untuk dapat menginap di rumahnya, dengan alasan ada masalah dengan orang tuanya. Saat menginap di rumahnya, sang pemuda terus mengamati amalan-amalan yang dilakukan oleh orang itu. Ternyata, selama tiga hari tiga malam, tidak ditemukan amalan istimewa yang dilakukannya, alias biasa-biasa saja amalannya. Karena itu, sang pemuda merasa kecewa, kemudian pamit pulang. Sebelum pulang, sang pemuda menyampaikan terus terang maksudnya kenapa ingin menginap hingga tiga malam di rumah orang Anshar itu.  Kepada orang itu, pemuda mengatakan: “Wahai Tuan, sebenarnya saya tidak ada masalah dengan orang tua saya. Adapun keinginan saya untuk menginap di rumah tuan hingga tiga malam ini karena saya sangat penasaran mengenai pernyataan Nabi Saw bahwasanya tuan adalah calon penghuni surga. Amalan istimewa apa yang tuan lakukan sehingga Rasulullah Saw menyatakan tuan sebagai calon penghuni surga”. Orang Anshar itu mengatakan: “wahai anak muda, apa yang kau amati tentang diri saya selama tiga hari tiga malam  itu benar. Saya tidak mempunyai amalan istimewa apa pun”. Ketika pemuda itu hendak melangkahkan kaki untuk pulang, orang Anshar itu memanggilnya dan mengatakan: “Wahai anak muda, saya ini orangnya seperti yang kau lihat, biasa-biasa saja”. Orang Anshar itu kemudian mengatakan:

غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ
Hanya saja saya ini benar-benar berusaha menjaga diri agar tidak sampai menipu orang, dan menjaga hati jangan sampai dengki, rasa iri hati(hasud) kepada orang yang mendapatkan nikmat dari Allah”.
            Mendengar keterangan orang Anshar itu, sang pemuda justru sangat kagum dan mengatakan: Wahai tuan, amalan atau sikap tuan yang seperti itulah (tidak menipu dan tidak hasud) yang menyebabkan Rasulullah menyatakan kalau anda pantas menjadi calon penghuni surga. Dan sikap yang seperti itulah yang pada umumnya kami lemah, tidak sanggup melakukannya.  (HR.Ahmad No.12697, hadis shahih).
            Kisah tersebut nenjelaskan bahwa menjaga diri dari penipuan dan menjaga hati agar tidak hasud atau dengki adalah sikap terpuji yang menyebabkan pelakunya menjadi calon penghuni surga (ahl al-jannah).
 Makna Hasud
Hasud berasal dari bahasa arab  hasada-yahsudu-hasadan (حَسَدَ يَحْسُدُ حًسَداً), artinya iri hati atau dengki.  Hasad menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dapat diartikan dengki . Sedangkan dengki  ialah menaruh perasaan benci yang amat sangat ketika melihat kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain dan berusaha menghilangkan kenikmatan itu sendiri .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, X/111) telah melakukan pengkajian mendalam mengenai makna hasad dan beliau menyimpulkan:
وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ
Definisi hasad yang benar adalah merasa benci atau tidak suka karena melihat kebaikan atau keberuntungan (nikmat) yang ada pada orang lain.
Hasad dalam pengertian seperti ini (tidak senang melihat orang lain mendapatkan kenikmatan/kesenangan),  menurut Ibn Taymiyah termasuk penyakit hati(Amradh al-Qalb Wa Syifa-uha, I/17). Hasad seperti ini harus dihilangkan, karena termasuk sifat yang tercela. Adapun hasad dalam pengertian senang melihat orang lain mendapatkan nikmat, dan ia juga ingin mendapatkannya seperti itu, maka yang demikian ini dibolehkan. Hasad yang seperti ini disebut ghibthah.
Ibn Hajar al-Asqalani (Fath al-Bari, I/161) mengatakan bahwa hasad itu adalah berangan-angan agar nikmat yang dimiliki orang lain itu hilang, sedangkan ghibthah adalah berangan-angan agar dirinya memiliki nikmat seperti nikmat yang dimiliki orang lain.
Dengan demikian, ada dua macam hasad. Pertama, hasad yang tercela yaitu tidak suka melihat orang lain mendapatkan nikmat, seperti hasadnya Qabil kepada habil. Kedua, hasad dalam pengertian berangan-angan ingin memiliki nikmat seperti orang lain karena kebaikannya, seperti ingin seperti orang kaya yang dermawan, atau ingin seperti orang berilmu yang dapat mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya kepada orang lain sehingga banyak membawa manfaat bagi orang lain. Hasad dalam pengertian yang kedua ini disebut ghibthah.

Tanda-Tanda Hasud:
         
1.    Hatinya panas dan marah saat melihat orang lain mendapat keberuntungan;
2.    Merasa sesak dadanya apabila orang lain atau saingannya dipuji orang;
3.    Berusaha mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain yang menjadi saingannya;
4.    Merasa puas kalau saingannya dicela orang;
5.    Merasa puas kalau saingannya tiada, meninggal dunia.


Bahaya Hasud

1.  Hati risau dan tidak tenang;
2.  Menghancurkan persatuan, kesatuan dan persaudaraan, karena biasanya orang yang hasud akan mengadu domba dan suka memfitnah;
3.  Mengancam akidah dan keimanan. Orang yang hasud biasanya suka menbenci kepada orang lain. Padahal  Rasulullah mengingatkan: Seseorang di antara kalian tidak dipandang beriman hingga seseorang itu sanggup mencintai saudaranya seperti cintanya pada diri sendiri (HR. Bukhari dan Muslim);
4.  Menghapus amal kebaikannya. Nabi Saw bersabda:  “ Jauhilah olehmu sifat hasud, karena sesungguhnya hasud itu dapat menghilangkan segala kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu yang kering.”(HR. Abu Dawud).

Terapi Hasud

1.    Menanamkan sikap ridha dan qana’ah dengan rizki yang datang dari Allah. Nabi Saw bersabda:
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ
“Ridhalah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling kaya  (HR. al-Tirmidzi, hadis hasan);
2.    Husnudzdzan, berpikir positif. Membangun prasangka positif bahwa orang yang sukses itu adalah saudara atau teman sendiri, sehingga perlu didukung, tidak perlu dicurigai. Nabi Saw mengingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
 “Jauhilah olehmu prasangka(buruk), karena prasangka buruk itu adalah perkataan yang paling dusta”.(HR.al-Bukhari dan Muslim);
3.    Meyakini sepenuh hati bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Maha Adil, dan Maha Bijaksana, sehingga pembagian rizkiNya itu sudah sesuai dengan pengetahuan dan kebijaksanaanNya.  Allah Swt berfirman:
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
 “Dan Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Nisa, 26);
4.    Tidak bergantung kepada orang lain (makhluk), tetapi hanya mengandalkan dan bergantung kepada Allah dengan suka berdoa, mohon kepada Allah agar mendapatkan anugerah dari-Nya. Allah mengingatkan:
وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
 “Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. an Nisa’: 32)






Minggu, 27 Maret 2016

CARA TURUN UNTUK SUJUD


CARA TURUN UNTUK SUJUD:
Dengan Kedua Tangan Dulu atau Kedua Lutut Dulu

Oleh:


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Matan Hadis

Ada dua riwayat hadis yang berbeda tentang tata-cara turun untuk bersujud:
Hadis Pertama, meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangannya. Keterangan ini berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud dari Wail bin Hujr
 حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ وَحُسَيْنُ بْنُ عِيسَى قَالاَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ (رواه ابو داود)
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami al-Hasan bin Ali dan Husain bin Isa, keduanya berkata: “Yazid bin Harun menceritakan kepada kami,  telah menyampaikan berita kepada kami Syarik dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wail bin Hujr, ia berkata: “Aku melihat Nabi Saw apabila melakukan sujud, ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila ia bangkit, mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (HR. Abu Dawud No. 828)
            Selain diriwayatkan Abu Dawud no.828, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Tirmidzi no. 268, al-Nasa-I no. 206-207, Ibn Majah no. 882, al-Daruqutni no. 345, dan al-Hakim no. 226.
            Menurut Ibn al-Qayyim, Rasulullah Saw biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (ketika hendak bersujud), baru setelah itu meletakkan dahi dan hidungnya. Ibn al-Qayyim menilai bahwa hadis yang menerangkan tentang cara sujud seperti ini adalah sahih berdasarkan riwayat Syarik dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wail bin Hujr [1].
  
Hadis Kedua, meletakkan kedua tangan sebelum kedua lututnya. Keterangan ini berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah:

 حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَسَنٍ عَنْ أَبِى الزِّنَادِ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ (رواه ابو داود)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Manshur, telah menceritakan kepada kami Abd al-‘Aziz bin Muhammad, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abd Allah bin Hasan dari Abu al-Zanad dari al-A’raj dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu hendak bersujud, maka janganlah berlutut seperti berlututnya unta, dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya” (HR.Abu Dawud no.840).
Selain diriwayatkan oleh Abu Dawud no 840, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad no.8942, al-Nasa-I no. 1091, al-Baihaqi no. 2465, al-Darimi no. 1321, dan al-Tirmidzi no.269.
Menurut al-Hafid Ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini (yang menerangkan….hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya…) kualitasnya lebih kuat dibandingkan dengan hadis riwayat Wail bin Hujr (…ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya…)
."إن حديث إبى هريرة هذا أقوى من حديث وائل"  [2]  

Menimbang kualitas kedua hadis
            Hadis yang pertama, riwayat dari Wail bin Hujr, yang menerangkan bahwa Nabi Saw apabila hendak sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dinilai oleh Ibn al-Qayyim sebagai hadis yang sahih. Bahkan beliau mengatakan tidak ada riwayat lain yang menerangkan cara sujud Rasulullah Saw selain itu[3].
            Penilaian Ibn al-Qayyim bahwa hadis riwayat Wail bin Hujr tersebut itu sahih, dipandang oleh Muhammad Nasiruddin al-Albani sebagai penilaian yang tak berdasar, karena bertentangan dengan hadis riwayat Ibn Umar yang sahih  mengenai cara sujud Rasulullah Saw dan hadis riwayat Abu Hurairah yang marfu’ mengenai perintah Rasulullah  dalam bersujud, yang intinya menerangkan bahwa cara sujud yang benar adalah mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut.[4]
            Bila dilihat dari aspek sanadnya, dalam hadis riwayat Wail bin Hujr ini terdapat seorang perawi yang bernama Syarik bin Abdullah al-Qadi; orang ini dinilai lemah (da’if) dan jelek hafalannya. Oleh karena itu hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah bila riwayatnya sendirian. Adapun bila bertentangan dengan hadis lain maka yang lebih kuat yang harus dipilih. Dalam hal ini Ibn Hajar al-Asqalani menilai bahwa hadis yang dari Abu Hurairah itu yang lebih kuat dibanding dengan hadis dari Wail bin Hujr[5].
           
            Hadis yang kedua, riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar, yang menerangkan bahwa cara sujud yang disyariatkan adalah dengan mendahulukan kedua tangan baru kemudian kedua lutut. Hadis ini dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, al-Daruqutni, dan al-Hakim serta disepakati oleh al-Dzahabi. Hadis yang bertentangan dengan ini tidak betul. Hal ini dikatakan oleh Malik dan Ahmad. Al-Marwazi di dalam al-Masa-ilnya telah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Imam al-Auza’i : “Aku mengetahui orang-orang (ketika hendak bersujud) meletakkan kedua tangan mereka sebelum kedua lututnya[6]. Ibn Abi Dawud berkata bahwa perkataan ini adalah pendapat ahli hadis.[7]
            Pendapat yang memandang bahwa cara sujud yang benar adalah dengan cara meletakkan kedua tangan sebelum kedua lututnya, didukung dan diperkuat oleh dua alasan, yaitu adanya hadis yang sesuai dengan perbuatan Rasulullah Saw, dan hadis yang sesuai dengan perintah Rasulullah Saw.
            Adapun hadis yang sesuai dengan perbuatan Rasulullah Saw adalah berdasarkan pada riwayat Ibn Umar ra sebagai berikut
كان صلى الله عليه وسلم إذا سجد يضع يديه قبل ركبتيه "
(Rasulullah Saw itu apabila hendak bersujud, meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya). Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis, di antaranya al-Hakim yang menilai sahih dengan syarat Muslim, dan disepakati oleh al-Dzahabi.
            Sedangkan  hadis yang sesuai dengan perintah Rasul Saw adalah hadis sebagai berikut:
              
إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه
Artinya: “Apabila salah seorang di antara kamu hendak bersujud, maka janganlah berlutut seperti berlututnya unta, dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. Hadis ini dinilai sahih oleh Abu Dawud dalam Sahihnya dan dinilai oleh al-Nawawi dan al-Zarqani sebagai hadis yang jayyid, bagus[8].

            Sebagian ulama menilai hadis riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar ini memiliki tiga cacat (kelemahan), yaitu:
1. Al-Darawardi meriwayatkan sendirian dari Muhammad bin Abdillah;
2. Muhammad juga sendirian dalam meriwayatkan dari Abu al-Zinad;
3. Al-Bukhari berkata: “Aku tidak tahu apakah Muhammad bin Abdillah bin Hasan pernah mendengar dari Abu al-Zinad atau tidak ?

            Menurut Muhammad Nasiruddin al-Albani bahwa penilaian adanya tiga kelemahan dalam hadis riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar tersebut “tidak ada masalah” dan tidak mengganggu kesahihannya sama sekali. Al-Albani memberikan beberapa argumentasi sebagai berikut:
1. Mengenai masalah nomor satu dan nomor dua, bahwa sesungguhnya al-Darawardi dan gurunya Muhammad bin Abdillah adalah orang-orang yang siqah, kredibel, dapat dipercaya. Karena itu kesendiriannya dalam periwayatan hadis tidak masalah, tidak perlu dikhawatirkan.
2. Adapun yang ketiga, maka tidak ada yang memandangnya cacat selain al-Bukhari. Sebagaimana yang sudah maklum bahwa al-Bukhari mensyaratkan adanya liqa, pernah bertemu dalam periwayatan hadis. Persyaratan ini tidak dibebankan oleh jumhur ahli hadis, tetapi cukup ’ashara, pernah hidup sezaman dan memungkinkan bertemu serta aman dari “tadlis”, penipuan. Hal ini juga diakui oleh Imam Muslim dalam penjelasan muqaddimah Sahihnya.
            Untuk diketahui bahwa Muhammad bin Abdillah tidak dikenal sebagai pelaku “tadlis”, dan ia pernah hidup semasa dengan Abu al-Zinad dalam waktu yang cukup lama. Muhammad meninggal tahun 145 H dalam usia 53 tahun, sedangkan gurunya yakni Abu al-Zinad meninggal pada tahun 135 H. Hal ini berarti pada saat gurunya itu meninggal, Muhammad berusia 43 tahun. Keterangan ini menunjukkan bahwa terjadinya liqa, adanya pertemuan antara keduanya sangat mungkin. Atas dasar ini maka hadisnya sahih, tidak meragukan sama sekali.
            Adapun al-Darawardi, dia tidak sendirian dalam periwayatan hadis, akan tetapi diikuti oleh sejumlah periwayat yang lain. Seperti dalam riwayat Abu Dawud, al-Naasa-i dan   al-Tirmidzi terdapat jalur melalui Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad bin Abdillah bin Hasan, yang meriwayatkan hadis:
      يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَيَبْرُكَ كَمَا يَبْرُكُ الْجَمَلُ؟
            Keterangan ini menjadi “mutaba’ah qawiyyah”, penguat bagi periwayatan hadis dari al-Darawardi. Dan sesungguhnya Abdullah bin Nafi’ juga siqah, kredibel, dapat dipercaya sebagaimana al-Darawardi, yang menjadi rijal, perawi-perawi dalam hadis Muslim.  Karena itu tidak ada alasan untuk melemahkan hadis riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar[9].
            Selain dari aspek sanad/ perawi yang menjadi ajang kritikan terhadap hadis riwayat Abu Hurairah ini, kritikan juga gencar ditujukan dari aspek matannya. Dari aspek ini sejumlah ulama menilai hadis Abu Hurairah ini mudtarib, karena matannya berlawanan dengan riwayat yang lain, dari Wail. Mereka juga menilai hadis ini maqlub, yaitu terbalik lafalnya pada matan. Dalam hal ini mereka menganggap bahwa yang benar adalah …”hendaklah meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”, bukan ….”hendaklah meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”[10]. Keterangan ini diperkuat oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyah bahwasanya unta itu kalau berlutut meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Atas dasar ini Ibn al-Qayyim menduga bahwa hadis Abu Hurairah itu terbalik.[11]
            Pendapat Ibn al-Qayyim bahwa hadis Abu Hurairah itu maqlub, dibantah oleh al-Albani yang mengatakan bahwa hadis Abu Hurairah itu sahih. Tentang cara sujud manusia agar berbeda dengan cara unta, al-Albani menegaskan bahwa sesuai dengan keterangan ulama ahli bahasa, al-Fairus Abadi, bahwa sesungguhnya kedua lutut unta itu berada di kedua tangan yang di depan itu.[12] Sesuai dengan pandangan ini, al-Tahawi dalam kitabnya Syarh Ma’ani al-Atsar, mengatakan….”sebenarnya kedua lutut unta itu berada pada kedua tangannya, demikian pula hewan pada umumnya. Sedangkan manusia tidaklah seperti itu. Beliau berkata, manusia tidak berlutut di atas kedua lututnya yang ada pada kedua kakinya, sebagaimana unta berlutut di atas kedua lututnya yang ada pada kedua tangannya, akan tetapi (manusia) lebih dahulu meletakkan kedua tangannya baru meletakkan kedua lututnya. Dengan demikian berbedalah cara berlutut yang diperbuat manusia dengan cara yang diperbuat oleh unta”.[13]
            Keterangan bahwa manusia berlutut/bersujud dengan mendahulukan kedua tangan daripada kedua lututnya, sesuai dengan hadis riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar  yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Nabi biasa sujud dengan cara mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.
             Lebih lanjut Imam Malik dan al-Auza’I berkata:

  أَدْرَكْنَا النَّاسَ يَضَعُونَ أَيْدِيَهُمْ قَبْلَ رُكَبِهِمْ : وَقَالَ ابْن أَبِي دَاوُد :
 وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ 
            Imam Malik dan al-Auza’I berkata:”…aku melihat orang-orang (ketika hendak sujud) meletakkan tangan-tangan mereka sebelum lutut-lutut mereka..”. Ibn Abi Dawud berkata bahwa pernyataan tersebut adalah merupakan pendapat ahli hadis.[14]
Kesimpulan:
1. Ada dua pendapat tentang cara turun untuk sujud, yaitu:
    Pertama, sujud dengan cara mendahulukan kedua lutut baru kedua tangannya, berdasarkan hadis riwayat Wail bin Hujr;
    Kedua, sujud dengan cara mendahulukan kedua tangan baru kedua lututnya, berdasarkan hadis riwayat Abu Hurairah;
2. Masing-masing pendapat meyakini bahwa hadis yang dipedomaninya shahih, sedangkan hadis yang bertentangan dengannya diyakini tidak shahih.
3. Karena masing-masing pendapat meyakini bahwa hadis yang dipedomaninya berkualitas shahih,maka masing-masing pendapat harus dihormati, tidak boleh menyalahkan pihak lain yang tidak sama dengannya. 

Wallahu A’lam bi al-Shawab !




[1] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad Fi Huda Khayr al-‘Ibad, Vol.I, (Tt: Dar al-Fikr, tt), 56.
[2] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam, 75. Baca juga Muhammad Isma’il al-Kahlani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam, Vol.I (Tt: Dar al-Fikr, tt), 186.
[3] Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, Vol.I, 56. Baca juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 139.
[4] Muhammad Nasiruddin al-Albani, Tamam al-Minnah Fi al-Ta’liq ‘Ala Fiqh al-Sunnah (Riyad: Dar al-Raayah, 1417 H), 193.
[5] Ibid., 194. Baca lagi al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram, 75 dan al-Kahlani, Subul al-Salam, Vol.I, 186.
[6] Muhammad Nasiruddin al-Albani, Sifat Salat al-Nabi Saw Min al-Takbir Ila al-Taaslim Kaannaka Taraha (al-Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1991), 140.
[7] Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I, 139.
[8] Al-Albani, Tamam al-Minnah, 193-194.
[9] Muhaamd Nasiruddin al-Albani, Irwa al-Ghalil Fi Takhrij Ahadits Manar al-Sabil, Vol. II,  (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), 78-78.
[10] Al-Kahlani al-San’ani, Subul al-Salam, Vol.I, 187.
[11] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Vol. I, 56-57.
[12] Al-Albaani, Tamam al-Minnah, 195.
[13] Al-Tahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, Vol.I, 150. Baca juga al-Albani, Tamam al-Minnah, 195.
[14] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Vol.II, 291. Baca juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol I, 139.