Jumat, 01 April 2016

PENYAKIT HASUD DAN TERAPINYA

PENYAKIT HASUD DAN TERAPINYA


Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Allah Swt berfirman:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain...” (QS. Al-Nisa, 32)

            Ada kisah menarik terjadi pada masa Rasulullah Saw. Anas bin Malik ra meriwayatkan: “Suatu hari kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Saw,  maka Rasulullaah Saw menyatakan: “sekarang telah datang di tengah-tengah kita seorang laki-laki calon penghuni surga”. Saat itu yang yang datang adalah seorang laki-laki dari kalangan Anshar bernama “Saad bin Malik”, seorang yang hidupannya sangat sederhana. Peristiwa ini berulang-ulang hingga tiga kali (tiga hari). Salah seorang pemuda (sahabat Nabi) bernama Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash sangat penasaran, dan mempertanyakan apa sebenarnya kelebihan orang itu hingga Rasulullah Saw menyatakannya sebagai calon penghuni surga.
Pemuda tersebut kemudian membuntuti orang Anshar itu dan meminta izin untuk dapat menginap di rumahnya, dengan alasan ada masalah dengan orang tuanya. Saat menginap di rumahnya, sang pemuda terus mengamati amalan-amalan yang dilakukan oleh orang itu. Ternyata, selama tiga hari tiga malam, tidak ditemukan amalan istimewa yang dilakukannya, alias biasa-biasa saja amalannya. Karena itu, sang pemuda merasa kecewa, kemudian pamit pulang. Sebelum pulang, sang pemuda menyampaikan terus terang maksudnya kenapa ingin menginap hingga tiga malam di rumah orang Anshar itu.  Kepada orang itu, pemuda mengatakan: “Wahai Tuan, sebenarnya saya tidak ada masalah dengan orang tua saya. Adapun keinginan saya untuk menginap di rumah tuan hingga tiga malam ini karena saya sangat penasaran mengenai pernyataan Nabi Saw bahwasanya tuan adalah calon penghuni surga. Amalan istimewa apa yang tuan lakukan sehingga Rasulullah Saw menyatakan tuan sebagai calon penghuni surga”. Orang Anshar itu mengatakan: “wahai anak muda, apa yang kau amati tentang diri saya selama tiga hari tiga malam  itu benar. Saya tidak mempunyai amalan istimewa apa pun”. Ketika pemuda itu hendak melangkahkan kaki untuk pulang, orang Anshar itu memanggilnya dan mengatakan: “Wahai anak muda, saya ini orangnya seperti yang kau lihat, biasa-biasa saja”. Orang Anshar itu kemudian mengatakan:

غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ
Hanya saja saya ini benar-benar berusaha menjaga diri agar tidak sampai menipu orang, dan menjaga hati jangan sampai dengki, rasa iri hati(hasud) kepada orang yang mendapatkan nikmat dari Allah”.
            Mendengar keterangan orang Anshar itu, sang pemuda justru sangat kagum dan mengatakan: Wahai tuan, amalan atau sikap tuan yang seperti itulah (tidak menipu dan tidak hasud) yang menyebabkan Rasulullah menyatakan kalau anda pantas menjadi calon penghuni surga. Dan sikap yang seperti itulah yang pada umumnya kami lemah, tidak sanggup melakukannya.  (HR.Ahmad No.12697, hadis shahih).
            Kisah tersebut nenjelaskan bahwa menjaga diri dari penipuan dan menjaga hati agar tidak hasud atau dengki adalah sikap terpuji yang menyebabkan pelakunya menjadi calon penghuni surga (ahl al-jannah).
 Makna Hasud
Hasud berasal dari bahasa arab  hasada-yahsudu-hasadan (حَسَدَ يَحْسُدُ حًسَداً), artinya iri hati atau dengki.  Hasad menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dapat diartikan dengki . Sedangkan dengki  ialah menaruh perasaan benci yang amat sangat ketika melihat kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain dan berusaha menghilangkan kenikmatan itu sendiri .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, X/111) telah melakukan pengkajian mendalam mengenai makna hasad dan beliau menyimpulkan:
وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ
Definisi hasad yang benar adalah merasa benci atau tidak suka karena melihat kebaikan atau keberuntungan (nikmat) yang ada pada orang lain.
Hasad dalam pengertian seperti ini (tidak senang melihat orang lain mendapatkan kenikmatan/kesenangan),  menurut Ibn Taymiyah termasuk penyakit hati(Amradh al-Qalb Wa Syifa-uha, I/17). Hasad seperti ini harus dihilangkan, karena termasuk sifat yang tercela. Adapun hasad dalam pengertian senang melihat orang lain mendapatkan nikmat, dan ia juga ingin mendapatkannya seperti itu, maka yang demikian ini dibolehkan. Hasad yang seperti ini disebut ghibthah.
Ibn Hajar al-Asqalani (Fath al-Bari, I/161) mengatakan bahwa hasad itu adalah berangan-angan agar nikmat yang dimiliki orang lain itu hilang, sedangkan ghibthah adalah berangan-angan agar dirinya memiliki nikmat seperti nikmat yang dimiliki orang lain.
Dengan demikian, ada dua macam hasad. Pertama, hasad yang tercela yaitu tidak suka melihat orang lain mendapatkan nikmat, seperti hasadnya Qabil kepada habil. Kedua, hasad dalam pengertian berangan-angan ingin memiliki nikmat seperti orang lain karena kebaikannya, seperti ingin seperti orang kaya yang dermawan, atau ingin seperti orang berilmu yang dapat mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya kepada orang lain sehingga banyak membawa manfaat bagi orang lain. Hasad dalam pengertian yang kedua ini disebut ghibthah.

Tanda-Tanda Hasud:
         
1.    Hatinya panas dan marah saat melihat orang lain mendapat keberuntungan;
2.    Merasa sesak dadanya apabila orang lain atau saingannya dipuji orang;
3.    Berusaha mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain yang menjadi saingannya;
4.    Merasa puas kalau saingannya dicela orang;
5.    Merasa puas kalau saingannya tiada, meninggal dunia.


Bahaya Hasud

1.  Hati risau dan tidak tenang;
2.  Menghancurkan persatuan, kesatuan dan persaudaraan, karena biasanya orang yang hasud akan mengadu domba dan suka memfitnah;
3.  Mengancam akidah dan keimanan. Orang yang hasud biasanya suka menbenci kepada orang lain. Padahal  Rasulullah mengingatkan: Seseorang di antara kalian tidak dipandang beriman hingga seseorang itu sanggup mencintai saudaranya seperti cintanya pada diri sendiri (HR. Bukhari dan Muslim);
4.  Menghapus amal kebaikannya. Nabi Saw bersabda:  “ Jauhilah olehmu sifat hasud, karena sesungguhnya hasud itu dapat menghilangkan segala kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu yang kering.”(HR. Abu Dawud).

Terapi Hasud

1.    Menanamkan sikap ridha dan qana’ah dengan rizki yang datang dari Allah. Nabi Saw bersabda:
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ
“Ridhalah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling kaya  (HR. al-Tirmidzi, hadis hasan);
2.    Husnudzdzan, berpikir positif. Membangun prasangka positif bahwa orang yang sukses itu adalah saudara atau teman sendiri, sehingga perlu didukung, tidak perlu dicurigai. Nabi Saw mengingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
 “Jauhilah olehmu prasangka(buruk), karena prasangka buruk itu adalah perkataan yang paling dusta”.(HR.al-Bukhari dan Muslim);
3.    Meyakini sepenuh hati bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Maha Adil, dan Maha Bijaksana, sehingga pembagian rizkiNya itu sudah sesuai dengan pengetahuan dan kebijaksanaanNya.  Allah Swt berfirman:
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
 “Dan Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Nisa, 26);
4.    Tidak bergantung kepada orang lain (makhluk), tetapi hanya mengandalkan dan bergantung kepada Allah dengan suka berdoa, mohon kepada Allah agar mendapatkan anugerah dari-Nya. Allah mengingatkan:
وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
 “Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. an Nisa’: 32)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar