Minggu, 21 Mei 2017

Qadha Puasa Bagi Orang Yang Telah Meninggal

QADHA PUASA
BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL

Oleh:

Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I
  

Para ulama sepakat bahwa seseorang yang meninggal pada bulan suci Ramadhan apabila dia tidak memiliki hutang puasa maka tidak ada kewajiban apapun baginya dan bagi keluarga yang ditinggalkan untuk menggantinya. Demikian pula mereka bersepakat bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena udzur tertentu seperti sakit atau dalam perjalanan, kemudian pada saat itu juga dia meninggal dunia, sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk mengqadhanya, maka tidak ada kewajiban apapun bagi wali atau ahli waris orang tersebut untuk mengganti puasanya atau membayarkan fidyah untuknya. Sebab orang tadi tidak memiliki kesempatan untuk mengganti hutang puasa yang ditinggalkan sebelum meninggal dunia (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, III/84 dan al-Adzim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, VII/26).
Sedangkan apabila dia memiliki hutang puasa Ramadhan, baik yang disebabkan karena udzur syar’i (seperti sakit dan safar) maupun bukan, kemudian dia memiliki waktu untuk mengqadha puasa tersebut, tetapi dia tidak memanfaatkan waktu itu, dan ternyata dia meninggal sebelum sempat membayar hutang puasanya, maka dalam kondisi ini para ulama berbeda pendapat, yakni sebagai berikut:
Pendapat Pertama, pihak keluarga atau ahli waris wajib menggantikannya (untuk mengqadhanya), karena memenuhi kewajiban membayar hutang adalah sesuatu yang mutlak, baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT.  Adapun cara mengqadha puasanya adalah dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Hambali. Di antara hujjah yang dijadikan dalil adalah hadis Nabi SAW:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.
Dari Ibn Umar ra, Nabi Saw bersabda: “Siapa meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa satu bulan, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya.” (HR Tirmidzi No.718, Ibn Majah No.1757, dan Ibn Khuzaimah No.2056).
Pendapat Kedua, pihak keluarga atau ahli waris wajib menggantikannya (untuk mengqadhanya) dengan cara berpuasa. Tidak boleh digantikan dengan fidyah. Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan qadha’ puasa tersebut, selain harus dilakukan oleh keluarganya atau ahli warisnya, juga boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin ahli waris atau keluarganya. Ini adalah pendapat madzhab Dhahiri dan sebagian madzhab Syafi’I.  Pendapat ini berdalil dengan sabda Nabi Saw:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
 “Siapa meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah).
Pendapat Ketiga, pihak keluarga dan ahli waris tidak ada kewajiban untuk menggantikannya, baik itu mengqadha’ puasa ataupun membayar fidyah, kecuali jika orang yang meninggal tersebut berwasiat, maka harus ditunaikan. Namun bentuk penunaian wasiatnya adalah dengan membayar fidyah, bukan dengan mengadha’ puasa. Ini adalah pendapat madzhab Maliki (Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, I/240).  
Pendapat keempat, pihak keluarga atau ahli waris mengqadhanya dengan cara berpuasa bila hutang puasanya itu puasa nadzar, tetapi apabila hutangnya itu puasa Ramadhan maka cukup dengan membayar fidyah. Di antara hadis yang dijadikan dalil adalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ « أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ أَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكِ عَنْهَا ». قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ « فَصُومِى عَنْ أُمِّكِ ».
Dari Ibn Abbas ra, ia berkata: “Seorang wanita datang menghadap Nabi SAW lalu berkata, ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dengan meninggalkan tanggungan puasa nadzar. Apakah aku harus berpuasa atas namanya?’ Beliau menjawab: “Bagaimana jika ibumu punya hutang, apakah kamu harus membayarnya, ‘Ya benar’. Nabi Saw bersabda: “karena itu berpuasalah kamu untuk ibumu” (HR.Muslim No.2752)
Sebab munculnya Perbedaan Pendapat
Sebab perbedaan pendapat yang terjadi adalah karena ada beberapa hadis yang seakan-akan bertentangan maknanya, sehingga para ulama memiliki penafsiran yang berbeda dalam memahami hal tersebut. Yang pertama adalah hadis riwayat ‘Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa, maka wali orang tersebut harus mengadha’ puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang kedua adalah hadis riwayat Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Orang yang meninggal dunia dan memiliki hutang puasa satu bulan, maka walinya wajib memberi makan satu orang miskin per hari yang ditiggalkan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan yang ketiga adalah hadis riwayat Ibn Abbas: “Seorang wanita datang menghadap Nabi SAW lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dengan meninggalkan tanggungan puasa nadzar. Apakah aku harus berpuasa atas namanya?” Beliau menjawab: “Bagaimana jika ibumu punya hutang, apakah kamu harus membayarnya, ‘Ya benar’. Nabi Saw bersabda: “karena itu berpuasalah kamu untuk ibumu” (HR.Muslim No.2752).
Bagi ulama yang berpendapat menqadhanya dengan cara berpuasa, mereka berdalil kepada  hadis pertama (riwayat Aisyah), sedangkan terhadap hadis kedua (riwayat Ibn Umar) dinilai hadis mauquf, yaitu berasal dari perkataan Ibnu Umar sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun yang berpendapat tidak boleh mengadha dengan berpuasa tetapi cukup dengan membayar fidyah, mereka berpendapat bahwa hadis ‘Aisyah di atas berkenaan dengan masalah puasa nadzar. Atau makna “Hendaknya walinya berpuasa untuknya” diartikan sebagai membayar fidyah sebagai ganti dari puasa. Dan yang berpendapat mengqadha dengan berpuasa hanya untuk puasa nadzar berdalil kepada  hadis riwayat Ibn Abbas, sedangkan puasa wajib selain nadzar bisa diqadha dengan fidyah berdasar kepada keumuman ayat “bagi mereka yang tidak kuat berpuasa maka wajib membayar fidyah kepada orang miskin” (QS. Al-Baqarah, 184)  (Al-Mughni, III/152,  Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, VI/371, Bidayat al-Mujtahid, I/240).
Dari beberapa pendapat ulama tersebut dapat diakomodasi dan dicari jalan tengahnya, yaitu bahwasanya boleh bagi ahli waris mengqadhanya dengan berpuasa untuk orang yang meninggal dan berhutang puasa, tapi hukumnya tidak wajib. Sehingga jika ahli waris menggantinya dengan memberi makan orang miskin (fidyah) maka hal tersebut diperbolehkan. Imam al-Nawawi memilih atau merajihkan pendapat ini: “Aku katakan bahwasanya pendapat yang paling benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membolehkan seorang wali untuk berpuasa qadha bagi orang yang telah meninggal (selain menggantinya dengan fidyah). Baik itu puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa wajib yang lain. Dalilnya adalah hadis-hadis shahih yang baru saja kami sebutkan, dan tidak ada dalil yang bertentangan dengannya. Sehingga pendapat inilah yang terpilih sebagai pendapat madzhab Al-Syafi’i. Sebab beliau telah berkata, “Jika hadis itu shahih maka itu adalah madzhabku, sehingga tinggalkanlah pendapatku yang bertentangan dengannya.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab, VI/370).
 Wallahu a’lam bish shawwab