Kamis, 10 Oktober 2013

DAGING KORBAN UNTUK NON MUSLIM

DAGING KORBAN UNTUK NON MUSLIM

Oleh

 Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

            Hukum memberikan daging korban kepada non muslim, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama[1]. Sebagian ulama Syafi’iyah mengharamkannya[2]. Sedangkan ulama Malikiyah memakruhkannya[3]. Adapun ulama Hanafiyah dan Hanabilah[4], membolehkannya asal bukan daging korban yang wajib.
Al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab[5] mengutip pendapat Ibn al-Mundzir sebagai berikut:
أجمعت الامة على جواز اطعام فقراء المسلمين من الاضحية واختلفوا في اطعام فقراء أهل الذمة فرخص فيه الحسن البصري وأبو حنيفة وأبو ثور  وقال مالك غيرهم أحب الينا وكره مالك أيضا إعطاء النصراني جلد الاضحية أو شيئا من لحمها وكرهه الليث قال فان طبخ لحمها فلا بأس بأكل الذمي مع المسلمين منه  
“Ulama sepakat daging korban boleh diberikan kepada fakir miskin Islam, namun mereka berbeda pendapat mengenai memberi makan daging korban kepada fakir miskin ahli dzimmah (non muslim). Imam Hasan al-Basri memberi keringanan (membolehkan) mereka memakannya. Demikian juga Abu Hanifah dan Abu Tsur juga membolehkannya. Sementara Imam Malik lebih suka ia memberi makan daging korban kepada fakir-miskin yang muslim dan menganggapnya makruh memberikan daging korban kepada kaum nasrani (non muslim), baik kulit maupun dagingnya.  Adapun Al-Layts menganggapnya makruh, namun ia berpendapat jika daging korban tersebut dimasak boleh diberikan kepada ahl dzimmah(non musim) berserta fakir miskin Islam.


Lebih lanjut al-Nawawi[6] mengatakan:
أنه يجوز إطعامهم من ضحية التطوع دون الواجبة
“Boleh saja memberikan makan daging korban kepada non muslim, asal korban sunnah bukan korban yang wajib” (misalnya korban nazar).

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz[7] mengatakan: “Kita boleh saja memberikan hasil korban berupa daging kepada orang kafir (non muslim) yang memiliki ikatan perjanjian dengan kaum muslimin. Boleh memberikan hasil korban tersebut karena kekerabatannya, ia sebagai tetangga, atau ingin melembutkan hatinya. Yang namanya ibadah korban adalah sembelihan yang disajikan untuk Allah sebagai bentuk pendekatan diri dan ibadah kepada-Nya. Adapun daging korban, lebih afdhol dimakan oleh shahibul korban sepertiganya, lalu sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga dan sahabatnya, kemudian sepertiganya lagi sebagai sedekah untuk orang miskin. Jika lebih atau kurang dari sepertiga tadi atau hanya cukup untuk sebagian mereka saja, maka tidaklah masalah. Masalah ini ada kelapangan. Namun daging hasil korban tidak boleh diserahkan pada kafir harbi (non muslim yang memerangi kaum muslimin). Karena kafir harus ditekan dan dilemahkan, tidak boleh simpati dan malah menguatkan mereka dengan diberi sedekah. Demikian berlaku dalam sedekah sunnah.

Allah Ta’ala berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS al-Mumtahanah [60]: 8). “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”(QS. Al Mumtahanah[60]: 9).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa syariat Islam tidak melarang umatnya untuk bermuamalah (bergaul) dengan baik kepada umat lain, bahkan syariat Islam memberikan bimbingan agar berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir selama mereka tidak memusuhi dan mengusir umat Islam dari tanah airnya.
Dalam ayat lain disebutkan:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
”Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang di tawan.” (QS al-Insan [76]: 8).
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni [8] menjelaskan bahwa daging kurban adalah makanan yang boleh dimakan sehingga boleh diberikan sebagai makanan bagi orang kafir dzimmi (non muslim) sebagaimana makanan-makanan lainnya, dan merupakan sedekah sunah yang dianjurkan. Karenanya, boleh diberikan kepada orang kafir dzimmi dan para tawanan sebagaimana sedekah sunah lainnya.
Tentang  kebolehan berbuat baik dengan orang non muslim selain kafir harbi adalah berdasarkan praktek Nabi Saw  yang pernah menyuruh Asma’ binti Abi Bakr ra untuk tetap berbuat baik kepada ibunya yang musyrik saat hadanah (perdamaian).” Disebutkan dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Asma binti Abi Bakr, ia berkata:

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ، وَهِيَ رَاغِبَةٌ: أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّك
”Aku pernah didatangi ibuku yang masih musyrik pada masa Rasulullah saw lalu aku meminta fatwa dari Rasulullah saw. Aku berkata,’Sesungguhnya ibuku datang, dia begitu ingin(menemuiku), apakah aku sambungkan silaturahim dengan ibuku?’ beliau bersabda,’Ya, sambungkanlah ibumu”.
Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas ulama tidak melarang atau tidak mengharamkan daging korban diberikan kepada non muslim. Oleh karena itu maka  tidak mengapa memberikan sebagian dari daging kurban kepada tetangga yang non-muslim sebagai hadiah atau sedekah, terutama  jika kurang mampu.
 Wallahu a’lam bishshawab !



[1] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, VIII/425.
[2] Al-Syarbini, al-Iqna’, II/593.
[3] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, II/282.
[4] Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, I/1114.
[5] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, VIII/425.
[6] Ibid. Baca juga Al-Syarbini, al-Iqna’, II/593.
[7] Abdullah bin Baz, Fatawa Islam, I/134.
[8] Ibn Qudamah, al-Mughni, IX/ 450.