Kamis, 12 Maret 2020

KELELAWAR, KATAK, DAN CORONA


KELELAWAR, KATAK, DAN CORONA



Oleh:


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


 لَا تَقْتُلُوا الضَّفَادِعَ فَإِنَّ نَقِيقَهَا تَسْبِيحٌ وَلَا تَقْتُلُوا الْخُفَّاشَ فَإِنَّهُ لَمَّا خَرِبَ بَيْتُ الْمَقْدِسِ قَالَ:    يَا رَبِّ سَلِّطْنِي عَلَى الْبَحْرِ حَتَّى أُغْرِقَهُمْ
“Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbih. Dan janganlah kalian membunuh kelelawar, karena sesungguhnya ketika Baitul Maqdis dibakar, kelelawar itu berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, kuasakan aku atas lautan sehingga aku bisa menenggelamkan mereka”(HR. al-Bayhaqi).


Kelelawar dan Katak

Status Hadis
            Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dalam Sunan al-Bayhaqi al-Kubra No. 19166, dan bersumber dari sahabat Nabi, Abdullah Bin Amr Bin al-Ash. Menurut al-Bayhaqi hadis tersebut sanadnya sahih (Imam al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, X/318). Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa sungguhpun sanad hadis tersebut sahih, Abdullah Bin Amr mengambil riwayat dari “israiliyyat” (al-Asqalani, Talkhish al-Habir, IV/154; al-Syaukani, Nayl al-Awthar, VIII/200). Israiliyyat adalah berita yang dinukil dari kalangan ahli Kitab, baik yang beragama Yahudi ataupun Nasrani (Al-Jarami, Mu’jam Ulum al-Quran, I/45).  Tentang sumber berita israiliyyat ini, Nabi Saw bersabda: Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, namun ucapkan: “Kami beriman dengan kitab yang diturunkan kepada kami (Alquran) dan kitab yang diturunkan kepada kalian.” (HR. al-Bukhari No. 4485). Imam al-Nawawi menegaskan bahwa hadis tentang larangan membunuh katak dan kelelawar tersebut sahih dan bersumber (mauquf) dari Abdullah Bin  Amr Bin al-Ash (al-Nawawi, al-Majmu’, IX/19).
Kandungan hadis
            Hadis riwayat al-Bayhaqi tersebut menjelaskan tentang larangan membunuh katak dan kelelawar. Kedua hewan tersebut dianggap memiliki keistimewaan. Karena katak, suaranya adalah tasbih, dan kelelawar pernah berdoa kepada Allah untuk dapat menenggelamkan orang-orang yang membakar tempat suci Baitul Maqdis. Berangkat dari hadis tersebut, ulama menkaji lebih jauh tentang bagaimana hukum memakannya, dan bagaimana dampaknya bagi kesehatan manusia yang mengonsumsinya.
Hukum memakan kelelawar
Ulama berbeda pendapat tentang hukum memakan kelelawar, baik kelelawar yang disebut dengan istilah khuffasy atau watwat. Sebagian besar ulama mengharamkan kelelawar untuk dikonsumsi. Ulama yang mengharamkannya adalah kalangan madzhab Syafii (al-Syafi’iyah) dan madzhab Hanbali (al-Hanabilah). Kalangan madzhab Hanafi (al-Hanafiyah) ada dua pendapat, antara yang membolehkan dan tidak membolehkannya. Sementara kalangan madzhab Maliki (al-Malikiyah) cenderung pada pendapat makruh, yakni antara tidak boleh dan tidak haram (Lajnah al-Fatwa, Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XVII/793).  Al-Bayhaqi mengatakan bahwa larangan membunuh suatu hewan menunjukkan pula keharaman mengonsumsinya. Logikanya, jika hewan tersebut halal maka diperintahkan untuk menyembelihnya, dan jika ada larangan membunuhnya maka dilarang juga menyembelih dan mengonsumsinya (al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra No.19166, Vol. IX/318).
Di antara ulama Syafiiyah yang dengan tegas mengharamkan kelelawar adalah Imam al-Nawawi. Dalam kitab al-Majmu’, al-Nawawi mengatakan: “wa al-khuffasy haram qath’an”, kelelawar itu hukumnya haram secara meyakinkan (al-Nawawi, al-Majmu’, IX/22). Sedangkan di kalangan madzhab Hanbali yang mengharamkan adalah Ibn Qudamah: "Dan diharamkan memakan al-khuthaf, al-khussyaf, dan al-khuffash(الْخُطَّافُ وَالْخُشَّافُ وَالْخُفَّاشُ), yaitu kelelawar. Hewan-hewan ini diharamkan karena menjijikkan"(Ibn Qudamah, al-Syarh al-Kabir, XI/71 dan al-Mughni, XI/66).  Adapun ulama mazhab Maliki, Ahmad bin Muhammad al-Shawi, menyatakan: “wa al-makruh: al-watwat”, termasuk jenis makanan yang makruh dimakan adalah al-watwat, yaitu kelelawar" (al-Shawi, Hasyiyat al-Shawi Ala al-Shaghir, IV/150), dan  Ibn Abidin, ulama kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa hukum memakan kelelawar itu ikhtilaf, (wa fi al-kuffasy ikhtilaf) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkannya. (Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar, XXVI/188).
Hukum memakan katak
            Ulama berbeda pendapat mengenai hukum memakan katak. Sebagian ulama ada yang melarangnya, dan sebagian lagi ada yang membolehkannya. Ulama yang membolehkan adalah Imam Malik bin Anas dan para pengikutnya. Mereka beralasan kepada dalil umum surat al-Maidah ayat 96:  Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, ….(QS. Al-Maidah, ayat 96); dan juga hadis Nabi: “Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda tentang laut: "Airnya menyucikan dan halal bangkainya" (HR. Abu Dawud No.83, al-Tirmidzi No. 69, al-Nasai No. 59, dll). Hadis ini sahih (al-Albani, Irwa al-Ghalil, I/42). Menurut mereka, katak termasuk hewan yang dagingnya boleh dikonsumsi karena termasuk dalam kategori hewan yang hidup di laut.
            Sedangkan ulama yang melarangnya di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya. Mereka melarang makan katak berdasarkan nash hadis Rasulullah yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Usman: “Suatu ketika ada seorang tabib yang berada di dekat Rasulullah menyebutkan tentang obat-obatan, di antaranya menyebutkan bahwa katak digunakan untuk obat. Lalu Rasul melarang membunuh katak (فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الضُّفْدَعِ).” (HR Ahmad: 15757).  Hadis ini menjadi dalil diharamkannya memakan katak. Hadis ini status kesahihannya diperdebatkan. Di dalamnya terdapat perawi bernama Said bin Khalid. Al-Nasai melemahkannya,  sedangkan Ibn Hibban mensiqqahkan atau menguatkannya, dan al-Daruqutni juga menyatakan dapat dijadikan hujjah (al-Lajnah al-Daimah, Fatawa Islamiyah, III/542). Menurut al-Albani, hadis tersebut sahih (al-Albani, Sahih al-Jami al-Shaghir, II/1170).
            Wahbah al-Zuhayli menerangkan bahwa berdasarkan hadis tentang larangan membunuh katak tersebut secara garis besar terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Ulama yang cenderung membolehkan adalah ulama Malikiyah. Alasannya, tidak ditemukan dalil nas yang melarangnya. Melarang sesuatu dengan alasan jijik harus ada nas yang menegaskan tentang larangannya. Sedangkan ulama yang melarang atau mengharamkannya adalah ulama Hanafiyah, ulama Syafiiyah, dan ulama Hanabilah. Mereka ini, selain berdasarkan kepada hadis tentang larangan membunuh katak juga beralasan karena hewan tersebut menjijikkan. Mereka membangun kaidah: “jika suatu hewan halal dimakan, maka tentu juga tidak dilarang membunuhnya (Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, IV/332).
            Al-Mundziri mengatakan: “alasan yang menjadikan syariat melarang pembunuhan seekor hewan biasanya berdasarkan salah satu dari dua faktor. Bisa jadi karena makhluk hidup itu dihormati seperti manusia atau memang karena murni mengarah karena hewan tersebut haram dimakan. Dengan demikian, apabila katak tidak termasuk kategori hewan dihormati, apabila Rasul melarang membunuhnya berarti hal itu mengarah pada keharaman memakan hewan tersebut (Ali Al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, XII/352).
Virus Corona diduga akibat memakan kelelawar dan katak  
            Pada awal tulisan ini disebutkan sebuah hadis: “Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbih. Dan janganlah kalian membunuh kelelawar, karena sesungguhnya ketika Baitul Maqdis dibakar, kelelawar itu berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, kuasakan aku atas lautan sehingga aku bisa menenggelamkan mereka” (HR. al-Bayhaqi).
            Hadis tersebut menjelaskan adanya larangan membunuh katak dan kelelawar. Larangan membunuh ini kemudian difahami juga sebagai larangan untuk memakan kedua hewan tersebut, karena jika memakannya berarti juga  membunuhnya. Adanya larangan membunuh dan juga memakan terhadap kelelawar dan katak tersebut tentu ada maksud di balik itu. Sebagian ulama memandang bahwa kedua hewan tersebut menjijikkan dan tidak layak dikonsumsi. Bisa jadi larangan mengonsumsi kedua hewan tersebut karena membahayakan bagi kesehatan manusia yang mengonsumsinya.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya al-Fath al-Bari  mengatakan: (وَذَكَرَ الْأَطِبَّاءُ أَنَّ الضِّفْدَعَ نَوْعَانِ بَرِّيٌّ وَبَحْرِيٌّ فَالْبَرِّيُّ يَقْتُلُ آكِلَهُ وَالْبَحْرِيُّ يَضُرُّهُ),  artinya: “Para pakar kesehatan mengatakan bahwa sesungguhnya katak ada dua jenis, daratan dan lautan. Yang daratan bisa membunuh, sedangkan yang spesies air bisa membahayakan kesehatan (Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, IX/619).

Virus Corona

Sejak akhir Desember 2019 lalu, tersiar berita munculnya virus corona. Virus ini sangat mematikan, dalam waktu kurang dari tiga bulan telah membunuh ribuan orang(https://www.kompas.com/). Virus ini telah menyebar mulai dari China, Korea, Jepang, dan lebih dari 50 negara. Sementara para pejabat kesehatan dan peneliti berjuang untuk menentukan asal-usul virus, para ilmuwan dari Chinese Academy of Sciences mengatakan bahwa genom virus Corona  96 persen adalah identik dengan hewan kelelawar (https://dunia.tempo.co/).
Para ilmuwan China mengklaim bahwa virus corona yang dimulai dari Wuhan, China disebarkan oleh kelelawar. Hal ini disebabkan karena virus ini hanya ditemukan pada kelelawar buah. Analisis terbaru para ilmuwan China menunjukkan virus ini ditularkan dari kelelawar ke ular kemudian ke manusia. Sup kelelawar dilaporkan sebagai hidangan yang tak biasa namun populer di Wuhan, lokasi epidemi virus corona (https://www.cnnindonesia.com/).
Apakah virus corona itu akibat dari kelakukan manusia yang menyantap kuliner ekstrem, itu bisa saja terjadi, karena santapan berupa hewan-hewan yang tidak lazim seperti ular, biawak, dan juga termasuk seperti kelelawar dan katak dijual di sana bahkan dikonsumsi setiap hari. Berdasarkan berita yang beredar, virus ini bersumber dari hewan liar yang diperjualbelikan di sana. Sebagian orang berpendapat bahwa virus ini bersumber dari orang-orang di Wuhan yang gemar mengonsumsi sup kelelawar dan katak (https://sharianews.com/).
            Dengan demikian, jelaslah bahwa mengonsumsi hewan yang dilarang agama, bisa memberikan dampak yang buruk bagi umat manusia. Karenanya kita harus selalu berhati-hati. Wabah virus corona bisa menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak sembarangan mengonsumsi hewan-hewan tertentu seperti kelelawar dan katak. Wabah virus corona yang tengah menghebohkan masyarakat dunia saat ini, bisa diduga dampak dari masyarakat di sana yang suka memperjualbelikan dan mengonsumsi daging hewan yang dilarang dalam Islam. Wallahu A’lam!