Minggu, 14 Maret 2021

RUQYAH MASA JAHILIYAH

 

RUQYAH MASA JAHILIYAH

Oleh

Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Sebelum kedatangan Islam, ruqyah sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab. Ruqyah merupakan warisan bangsa Arab dalam rangka mendapatkan berkah dan permohonan kepada Allah. Ruqyah berasal dari agama-agama samawi, kemudian diselewengkan oleh orang-orang sesat lalu dimasukkan ke dalam sihir dan pengobatan. Mereka mencampur-adukkan dengan ucapan-ucapan yang bisa jadi mereka sendiri tidak memahami artinya. Dalam praktiknya juga ditambah dengan suatu benda seperti bebatuan, atau potongan-potongan tulang dan rambut hewan. Akhirnya bercampur-aduklah  perkara ruqyah  di kalangan masyarakat jahiliah. Setelah Islam datang, ruqyah digunakan untuk terapi dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan bacaan-bacaan doa yang ma’tsur  melalui sarana doa.

Pada masa jahiliah, ruqyah diartikan sebagai mantra, jampi-jampi yakni kalimat-kalimat yang dianggap berpotensi mendatangkan daya gaib atau susunan kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Mantra dibaca oleh orang yang mempercayainya guna meminta bantuan kekuatan yang melebihi kekuatan natural, guna meraih manfaat atau menolak bahaya. Dalam pengertian ini, ruqyah dianggap bisa menyembuhkan karena kekuatan ruqyah itu sendiri atau bantuan dari jin dan sebagainya. Karena pemahaman yang demikian ini maka Nabi saw pernah melarang ruqyah. Beliau pernah bersabda bahwa sesungguhnya ruqyah, tamimah dan tiwalah itu adalah syirik (HR. Abu Dawud). Al-Tama'im jama’ dari al-tamimah yaitu suatu jimat perlindungan yang dikalungkan di leher anak untuk penangkal ‘ayn. Jika yang dikalungkan itu dari al-Qur’an, di kalangan ulama ada dua pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.  Pendapat yang lebih kuat dan aman adalah yang melarangnya. Sedangkan Al-Tiwalah adalah aji-aji pengasihan (jawa: pelet) yang dibuat dan dimaksudkan agar sang suami mencintai isterinya atau agar isteri mencintai suaminya.

Sehubungan dengan pernyataan Nabi Saw bahwa ruqyah itu mengandung syirik, ‘Abdullah bin Mas‘ud menjelaskan kepada isterinya yang pernah sembuh matanya karena diterapi ruqyah oleh orang Yahudi. Ibn Mas‘ud berkata:

إِنَّمَا ذَاكَ عَمَلُ الشَّيْطَانِ كَانَ يَنْخُسُهَا بِيَدِهِ فَإِذَا رَقَاهَا كَفَّ عَنْهَا

Sesungguhnya cara seperti itu adalah perbuatan setan yang menyolok matanya dengan tangannya sehingga ketika diterapi ruqyah dapat menahan rasa sakitnya” (HR. Ahmad). 

Nabi Saw memang pernah melarang ruqyah, tetapi tidak berlaku pada semua jenis ruqyah. Ruqyah yang dilarang Nabi Saw hanyalah ruqyah yang di dalamnya terdapat unsur syirik seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang jahiliah dan orang Yahudi. Selama ruqyah tidak dimasuki unsur syirik maka dibolehkan. Seorang sahabat Nabi Saw bernama ‘Awf bin Malik al-Asyjai berkata: “Kami dahulu pada masa jahiliah pernah melakukan ruqyah kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Saw: “bagaimana pendapatmu terhadap ruqyah yang kami lakukan?”. Nabi Saw kemudian minta ditunjukkan caranya melakukan  ruqyah, lalu Nabi Saw menyatakan: “tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak terdapat unsur syirik di dalamnya (HR. Muslim).

Di kalangan kaum Yahudi, dalam melakukan ruqyah ada yang bekerjasama dengan jin atau setan selain ada juga yang menggunakan Kitab Allah. Seorang Yahudi yang dikenal suka bekerjasama dengan jin atau setan adalah Labid bin Al-'A’sham yang pernah menyihir Nabi Saw.(HR. al-Bukhari). Sedangkan praktik ruqyah dengan Kitab Allah pernah dilakukan oleh wanita Yahudi yang melakukan ruqyah  kepada ‘Aisyah ra pada saat ia sakit. Diceritakan bahwa suatu ketika 'Abu Bakr datang ke rumah ‘Aisyah ra yang sedang menderita sakit. Saat itu ada seorang wanita Yahudi yang akan mengobati ‘Aisyah dengan cara  ruqyah. Maka 'Abu Bakr memerintahkan wanita Yahudi itu untuk melakukan ruqyah dengan Kitab Allah yaitu dengan Taurat dan Injil.

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa ruqyah, selain dilakukan oleh orang-orang Arab jahiliah, juga dilakukan oleh orang-orang Arab Yahudi. Imam Muslim meriwayatkan dari 'Ibn ‘Abbas ra bahwa pernah ada seorang ahli ruqyah bernama Dimad dari kabilah Bani  'Azad Shanu’ah pergi ke Mekkah. Ketika Dimad mendengar dari orang-orang jahiliah Mekkah yang mengatakan bahwa Muhammad telah gila, ia ingin sekali melakukan ruqyah kepada beliau. Akhirnya Dimad dapat bertemu dengan Nabi Muhammad Saw dan menawarkan diri kepada beliau untuk dapat melakukan ruqyah. Dimad berusaha meyakinkan Nabi Saw bahwa dirinya bisa melakukan ruqyah  dan Allah akan menyembuhkan siapa saja yang telah diberikan ruqyah olehnya. Mendengar tawaran dari Dimad itu, Nabi Saw menjawabnya dengan kalimat sebagai berikut:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ

 “Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan-Nya.  Barangsiapa yang diberi petunjuk maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya” (HR. Muslim).

Mendengar jawaban Nabi Saw seperti itu Dimad penasaran kemudian minta kepada Nabi saw untuk mengulanginya lagi, maka Rasulullah saw pun mengulanginya hingga tiga kali. Setelah itu Dimad berkomentar dengan penuh kekaguman, katanya: “aku sering mendengar perkataan-perkataan tukang ramal, tukang sihir dan para penyair, namun sungguh aku tidak pernah mendengar seperti apa yang engkau (Nabi Saw) ucapkan tadi. Sungguh ucapan-ucapanmu itu mencapai kedalaman lautan”. Setelah itu Dimad berbaiat kepada Rasulullah Saw untuk memeluk agama Islam dan kaumnya pun kemudian diajaknya memeluk Islam.

Di kalangan sahabat Nabi Saw, sebelum masuk Islam, banyak yang mempunyai keahlian melakukan ruqyah. Tetapi mereka mengalami kebimbangan ketika Nabi Saw melarang ruqyah. Di antara mereka itu adalah keluarga ‘Amr bin Hazm. Suatu ketika mereka menemui Rasulullah Saw untuk menanyakan perihal larangan ruqyah. Mereka lalu memperlihatkan kepada Nabi Saw bagaimana cara melakukan ruqyah dari sengatan kalajengking atau gigitan ular berbisa. Setelah memperhatikan cara-cara mereka melakukan ruqyah, Nabi Saw kemudian mengatakan: “saya kira tidak ada masalah dengan ruqyah yang kalian lakukan. Barangsiapa ada di antara kalian yang bisa menolong saudaranya, maka lakukanlah”(HR. Muslim).

Setelah Nabi memberikan lampu hijau tentang bolehnya melakukan ruqyah, beberapa sahabat pun melakukan ruqyah, baik terhadap diri sendiri ataupun kepada orang lain. Pernah suatu ketika sejumlah rombongan sahabat Nabi Saw melakukan perjalanan, dan ingin singgah dan bertamu di sebuah kampung, tetapi tidak diizinkan. Saat itu kepala kampungnya menderita sakit karena sengatan ular atau kalajengking. Untuk memenuhi permintaan mereka, salah seorang sahabat Nabi Saw mendatangi kepala kampung kemudian melakukan ruqyah untuk kesembuhannya dengan cara meniup dan sedikit meludah sambil membacakan surat al-Fatihah.  Dengan izin Allah, sakit yang diderita kepala kampung itu hilang dan sembuh total (Ibn Asyur, al-Tahrir Wa al-Tanwir; Ali Al-Mubarak, Ruqyah Syar’iyah; Ali al-Syaikh,  al-Tamhid Li Syarh Kitab al-Tauhid;  Jawwad Ali, al-Mufashshal Fi Tarikh al-Arab Qabl al-Islam;  al-Dzahabi, Tarikh al-Islam; Ibn al-Atsir, Asad al-Ghabah).

(Sumber: Buku Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, Terapi Qur’ani, hal. 28-33).