Rabu, 18 Mei 2011

MASALAH MEMBACA USHALLI

MASALAH MEMBACA USHALLI

Membaca ushalli, dalam istilah fiqh disebut dengan talaffudh bi al-niyyah atau al-nuthqu qubail al-takbir, yaitu mengucapkan niat sesaat sebelum mengucapkan Allahu Akbar pada takbirat al-Ihram.

Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai hukumnya. Ada yang mengatakan sunnah, artinya dianjurkan. Ada pula yang mengatakan bid’ah, artinya dilarang. Masing-masing ulama yang berpendapat tersebut mempunyai alasan.

Alasan ulama yang mengatakan sunnah membaca ushalli

Menurut sebagian ulama, membaca ushalli sebelum takbiratul ihram adalah sunnah. Hal ini telah ditegaskan oleh beberapa ulama ahli fiqh, di antaranya:

1.Imam Abd al-Rahman al-Jaziri , ia mengatakan:

يُسَنُّ أَنْ يُتَلَفَّظُ بِلِسَانِهِ بِالنِّيَّةِ كَأَنْ يَقُوْلَ بِلِسَانِهِ: أُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ مَثَلاً ِلأَنَّ ذَلِكَ تَنْبِيْهًا لِلْقَلْبِ
Artinya:
“Disunnahkan melafalkan niat dengan lisannya, seperti ia mengucapkan: saya berniat shalat dhuhur, umpamanya. Karena dengan cara (mengucapkan niat melalui lesan) itu akan dapat membantu menyadarkan hati

2.Imam Muhammad al-Syarbini al-Khathib (w. 977 H), ia mengatakan:

وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالْمَنْوِيِّ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
وَلأَ نَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الْوَسْوَاسِ
Artinya:
“Disunnahkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir supaya lidah dapat menolong niat yang ada dalam hati dan menjauhkan dari waswas”.

3.Syekh Nawawi al-Bantani (W.1314 H) juga mengatakan bahwa membaca ushalli sebelum takbiratul ihram itu sunnah hukumnya.

4.Syekh Zainuddin al-Malibari, mengatakan bahwa membaca ushalli sebelum takbir itu sunnah hukumnya, hal ini dimaksudkan agar dengan melafalkan (mengucapkan) niat itu dapat membantu hati dalam berkonsentrasi (memusatkan perhatian) kepada Allah yang disembah.

5.Syekh al-Banjari, mengatakan bahwa melafalkan niat dengan lisan itu sunnah, hal ini dimaksudkan untuk dapat membantu niat yang ada dalaam hati.

Berdasarkan ulasan-ulasan ulama tersebut di atas dapat difahami bahwa alasan disunnahkannya membaca ushalli sebelum takbiratul ihram itu ada dua ‘illat, yaitu:
Pertama, supaya dapat menolong menyegerakan niat ke dalam hati. Karena membaca ushalli sebelum takbir -yang diharapkan dapat menolong menyegerakan niat ke dalam hati- itu merupakan perbuatan yang baik.

Allah berfirman:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (الحج ٧٧
Artinya:
“Berbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapatkan kebahagiaan” (QS.al-Hajj, 77).

Kedua, untuk menjauhkan was-was (keraguan, sehingga cepat meyakini niat itu telah benar-benar masuk ke dalam hati.

Alasan ulama yang memandang bid’ah membaca ushalli

Sebagian ulama memandang bahwa membaca ushalli itu bid’ah. Tidak ada dasarnya dari Rasulullah Saw. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya Ighatsat al-lahfan mengatakan bahwa niat itu artinya menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya adalah di dalam hati, tak ada hubungannya dengan lisan. Hal ini (membaca ushalli) tidak ada petunjuk baik berupa perkataan atau perbuatan dari Nabi Saw, juga tidak dari para sahabat.

Shalih Ibn al-Ghanim al-Sadlan, dalam penyelidikannya terhadap hadits: “Innama al-a’mal bi al-niyyat”, menyatakan bahwa niat itu tempatnya di dalam hati. Melakukan niat tidak disunnahkan melafalkan dengan lisan, karena tidak ada ajaran atau contoh dari Rasulullah Saw. Dari kalangan sahabat Nabi Saw juga tidak ada satu pun yang melafalkan niat “ushalli”, baik secara sirr (pelan, tak terdengar) atau pun dengan jahar (suara keras, terdengar). Keterangan dari hadits pun tidak ada, baik yang shahih maupun yang dla’if, bahkan dari kalangan empat Imam madzhab, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali juga tida ada yang menerangkan sunnahnya melafalkan niat dengan lisan.

Lebih tegas Ibn al-Qayyim berkata: “Rasulullah Saw itu apabila berdiri hendak shalat, ia mengucapkan: Allahu Akbar. Ia tidak membaca apa pun sebelumnya, ia juga tidak melafalkan niatnya.

Ulama yang memandang bid’ah terhadap pembacaan ushalli sebelum takbir itu didasarkan beberapa alasan:

Pertama, tidak boleh mengatakan suatu perkara itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, kalau tidak ada keterangan dari agama (al-Qur’an dan al-Hadits). Karena perkara yang wajib atau sunnah itu apabila dikerjakan akan dapat pahala, sedangkan yang haram apabila dikerjakan akan dapat dosa; dari hasil penelitian terhadap hadits-hadits Nabi Saw, tidak ditemukan adanya perintah atau contoh melafalkan niat sesaat sebelum takbiratul ihram;

Kedua, ada ungkapan dari Imam al-Syafi’i:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa menganggap baik suatu (ibadat), berarti ia telah membikin syari’at agama”;

Ketiga, kata Imam al-Ruyani:
وَمَنْ شَرَعَ فَقَدْ كَفَرَ

“Barangsiapa membikin syari’at agama, maka kufurlah ia.
Khulashah :

Baik ulama yang mengatakan sunnah membaca ushalli sebelum takbiratul ihram maupun ulama yang membid’ahkannya, masing-masing mempunyai dalil atau alasan. Satu sama lain tidak mempunyai otoritas untuk menyalahkan fihak lain. Karena yang Maha Tahu tentang kebenaran mutlak hanyalah Allah Swt. dan RasulNya.

Jika ditelaah lebih lanjut, antara kedua faham yang nampak bertentangan itu, terdapat beberapa persamaan, yaitu:
1.Kedua-duanya mengatakan wajibnya berniat setiap hendak melakukan shalat;
2.Kedua-duanya sepakat bahwa inti (hakikat) niat itu adalah di dalam hati;
3.Kedua-duanya membenarkan bahwa niat shalat itu dihubungkan dengan awal
takbiratul ihram .

Wallahu al’lam bi al-shawab !



DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1986), 214.

Muhammad al-Syarbini al-Khathib, al-Iqna’ Fi Halli al-Alfadz Abi Syuja,Vol.I (Beirut: Dar al-Fikr, 1995 ), 129.

Syekh al-Nawawi al-Bantani, Nihayat al-Zain (Mesir: Mushthafa al-Halabi,tt), 56; sebagaimana dikutip oleh Badruzzaman, Ahmad Dimyati Badruzzaman, Tanya Jawab 75 Masalah Agama (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), 207.

Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah,tt), 16.

Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabil al-Muhtadin, Vol.I (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutrub al-‘Arabiyyah, tt), 193.

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sinnah, Vol. I (Bairut: Dar al-Fikr, 1983), 113.

Shalih Ibn al-Ghanim al-Sadlan, Hadits Innama al-A’mal Bi al-Niyyat: Dirasah wa Takhrij wa Dlabth wa Ta’liq ( Riyad: Dar al-Wathan, 1993),76.

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad Fi Huda Khair al-‘Ibad , Vol.I (tt:Dar al-Fikr,tt), 51.

Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Ighatsat al-Lahfan Min Masha-id al-Syaithan (Kairo: Dar al’Ad al-Jadid, 2007), 157.

A.Hassan, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Vol.I (Bandung: CV.Diponegoro, 2002), 93.

Achmad Zuhdi DH, Meneladani Tata-Cara Shalat Nabi Saw (Surabaya: Karya Pembina Swajaya, 2005), 15.


Dinukil dari Buku Achmad Zuhdi Dh, Fiqh Moderat: Menyikapi Khilafiyah Masalah Fiqh (Sidoarjo: Muhammadiyah University Press, 2007),87-91

.

Minggu, 15 Mei 2011

HUKUM MENYALATI ORANG KAFIR

HUKUM MENYALATI ORANG KAFIR
DAN ORANG YANG TIDAK SHALAT

Oleh: Achmad Zuhdi Dh (0817581229)

Menyalati Orang Kafir

Ulama sepakat tentang haramnya menyalati orang kafir dan orang munafik. Hal ini berdasarkan firman Allah Surat al-Taubah, ayat 84:

وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُواوَهُمْ َفاسِقُون

Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (QS. al-Taubah, ayat 84)

Umar ibnul Khaththab r.a. berkata, "Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal, Rasulullah diminta datang untuk menyalati jenazahnya. Ketika Rasulullah berdiri untuk shalat, aku melompat kepada beliau dan berkata, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau shalat untuk anak si Ubay itu, padahal pada hari ini dan hari ini dia mengatakan begini dan begitu?' Lalu aku sebutkan kepada beliau semua perkaranya itu. Rasulullah tersenyum dan bersabda: “Hai Umar, biarkanlah aku”. Setelah berulang-ulang aku mengatakan, maka beliau bersabda, 'Sesungguhnya aku boleh memilih, maka aku telah memilih. Sekiranya aku tahu, kalau aku mohonkan ampunan baginya lebih dari tujuh kali, niscaya dia akan diampuni, tentu aku akan menambahnya.'" Umar berkata, "Kemudian Rasulullah menyalati jenazah Abdullah bin Ubay, lalu salam. Tetapi, tidak beberapa lama sesudah itu, turunlah ayat 84 surah at-Taubah (al-Bara'ah), 'walaa tushalli 'alaa ahadin minhum maata abadan walaa taqum 'alaa qabrihi innahum kafaruu billaahi warasuulihi wamaatuu wahum faasiquun' :'janganlah kamu sekali-kali menyalati (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.' Umar berkata, "Maka, aku merasa heran sesudah turunnya ayat itu, mengapa aku begitu berani kepada Rasulullah pada hari itu. Allah lebih mengetahui." (HR. Al-Bukhari)

Dalam hadis riwayat al-Bukhari yang lain dikisahkan bahwa Sa'id bin al-Musayyab dari ayahnya berkata, "Ketika Abu Thalib (paman Nabi Saw) hampir meninggal dunia, Rasulullah berkunjung kepadanya. Di situ beliau berjumpa dengan Abu Jahal bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Rasulullah berkata kepada Abu Thalib, 'Wahai pamanku, ucapkanlah, 'Laa ilaaha illallaah.' Suatu kalimat yang dengannya aku bersaksi (dalam satu riwayat: berargumentasi 5/208) untukmu di sisi Allah.' Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, 'Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci terhadap agama Abdul Muthalib?' Rasulullah senantiasa menawarkan kalimat itu kepada Abu Thalib, namun kedua orang itu mengulangi kata-katanya itu. Sehingga, Abu Thalib mengucapkan kalimat yang terakhir bahwa ia tetap mengikuti agama Abdul Muthalib dan enggan untuk mengucapkan laa ilaaha illallaah. Lalu Rasulullah bersabda, 'Demi Allah, aku akan memohonkan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang.' Maka, Allah Ta'ala menurunkan ayat 113 surah at-Taubah:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

'Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.' Allah menurunkan ayat itu mengenai Abu Thalib, seraya berfirman kepada Rasul-Nya:

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberikan petunjuk (hidayah/taufik untuk menjadikan hati mau menerima ajaran) kepada orang yang engkau cintai. Tetapi, Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki Nya'."(QS.al-Qashash, 56).

Imam al-Nawawi menyatakan dalam al-Majmu’ (V/144) bahwa menyalati orang kafir serta beristighfar dan mendoakannya adalah haram hukumnya berdasarkan al-Qur’an dan ijma.

Menyalaati Orang Yang Meninggalkan Shalat (Tarkush Shalah)

Apakah orang yang tarkush-shalah (meninggalkan shalat), dapat dihukumi sebagai orang kafir, sehingga jika meninggal, tidak boleh dishalati? Mengingat ada sebuah hadis riwayat Muslim dari Jabir ra yang menyatakan bahwa:

بين الرجل وبين الكفر ترك الصلاة

...“yang membuat perbedaan antara seseorang dengan orang kafir itu adalah meninggalkan shalat”. (Al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, I/136)

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang tidak shalat, jika kelak meninggal, tidak boleh dishalati , karena ia sama dengan orang kafir.

Tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat dengan merinci dan membedakan dua macam orang yang meninggalkan shalat.

Yang pertama, jika orang yang meninggalkan shalat itu karena meyakini bahwa shalat itu bukan kewajibannya seperti yang diyakini oleh orang-orang non muslim, maka orang seperti itu dihukumi kafir dan kelak jika meninggaal dunia, jenazahnya tidak boleh dishalati.

Yang kedua, jika orang yang tidak shalat atau meninggalkan shalat hanya karena malas tetapi sebenarnya masih mengakui kewajibannya sebagai muslim maka orang ini kelak jika meninggal dunia, jenazahnya masih boleh dishalati, hanya saja yang menyalatinya tidak perlu dari kalangan orang yang alim.

Al-Albani dalam bukunya Ahkam al-Jana-iz wa bid’uha (I/83-84) menyatakan bahwa para pelaku dosa besar, seperti orang yang meninggalkan shalat dan zakat dengan masih mengakui akan kewajibannya, termasuk pezina dan peminum khamar, orang-orang ini apabila meninggal tetap dishalati. Hanya saja bagi ulama hendaknya tidak membiasakan untuk menyalatinya. Hal ini berdasarkan pada hadis berikut ini:

عن أبن قتادة قال: " كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إِذَا دُعِىَ لِجِنَازَةٍ سَأَلَ عَنْهَا، فَإِنْ أُثْنِىَ عَلَيْهَا خَيْرٌ، قَامَ فَصَلَّى عَلَيْهَا، وَإِنْ أُثْنِىَ عَلَيْهَا غَيْرُ ذَلِكَ، قَالَ لأَهْلِهَا: "شَأْنُكُمْ بِهَا. وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهَا (أخرجه أحمد والحاكم)

Dari Abu Qatadah ra, berkata: “Rasulullah Saw apabila diminta untuk menyalati jenazah, beliau menanyakan perihal (perilaku) sang mayit. Apabila dipuji dengan baik, beliau menerima dan menyalatinya. Namun apabila disebut-sebut buruk perangainya, beliau mengatakan kepada keluarganya: “itu urusanmu”. Beliau tidak men-shalatinya (HR.Ahmad dan al-Hakim).

al-Albani menshahihkan hadis ini (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, III/208).

Wallahu a’lam bishshawab !

HUKUM MEMELIHARA JENGGOT



HUKUM MEMELIHARA JENGGOT

Oleh: Achmad Zuhdi Dh (081 758 1229)



Hukum memelihara jenggot, diperselisihkan oleh ulama. Sebagian ulama ada yang mewajibkannya. Sementara ulama yang lain tidak mewajibkannya.

Bagi ulama yang mengatakan wajib memelihara jenggot, mereka berdasarkan kepada hadis-hadis berikut ini:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى ».

Ibnu Umar ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Berbedalah kalian dengan kaum musyrikin, tipiskanlah kumis dan peliharalah jenggot (HR.Muslim, I/153)

Dalam riwayat al-Bukhari diterangkan bahwa Ibn Umar berkata bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, yaitu biarkanlah jenggot dan tipiskanlah kumis. Lebih lanjut diterangakan:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ ، قَبَضَ عَلى لِحْيَتِهِ ، فَمَا فَضَلَ ، أَخَذَهُ

Ibnu Umar itu apabila berhaji atau Umrah, ia memegangi jenggotnya, maka apa yang ia rasa lebih (panjang) ia ambil (dipotongnya) (HR. Al-Bukhari, V/2209)

Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa maksud hadis Ibn Umar tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya kebiasaan orang-orang musyrik adalah memendekkan jenggot dan ada yang mencukurnya sampai habis. (al-Fath al-Bari, X/349)

Menurut kelompok ulama yang pertama ini, bahwa hadis tersebut mengandung isyarat yang kuat bahwa memendekkan jenggot atau mencukurnya, karena ada unsur tasyabbuh (menyerupai orang musyrik), maka hukumnya haram atau tidak diperbolehkan. Karena itu seharusnya kaum muslimin tetap memeliharanya, tidak mencukurnya.( Mahmud Ahmad Rasyid, Ensiklopedi Fatwa Syekh Al-Albani, 300)

Menurut Ushul Fiqh, asal perintah menunjukkan wajib, kecuali ada dalil lain atau qarinah yang mengalihkan, hingga perintah wajib itu berubah menjadi tidak wajib, dalam hal ini bisa menjadi sunnah atau bahkan mubah. Berdasarkan kaidah ini, bahwa perintah secara dhahir tentang memelihara jenggot itu hukumnya wajib, atau dengan kata lain mencukur atau mengguntingnya adalah haram. Demikian yang dipegangi oleh kelompok ulama pertama.

Sedangkan menurut kelompok ulama yang kedua, setelah memperhatikan hadis tersebut secara cermat, telah ditemukan dua hal yang bisa dijadikan qarinah atau isyarat untuk mengubah hukum wajib menjadi sekedar sunnah atau mubah, yaitu:

1.Stressing (penekanan) perintah dalam hadis tersebut adalah dalam rangka agar berbeda dengan kaum musyrikin. Kalimat (خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ) adalah merupakan ‘illat al-hukmi, sedangkan illat al-hukmi itu dapat dijadikan sebagai taqyid (pengikat), yang nantinya dapat menimbulkan “mafhum mukhalafah”. Hal ini berarti bahwa jika tidak ada maksud untuk membedakan antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin, maka perintah memelihara jenggot tidak menjadi wajib.

Jadi, yang perlu diperhatikan dalam hadis ini adalah perintah untuk tampil beda dengan orang-orang musyrik.

Di zaman Nabi Saw dulu, kaum musyrikin kalau berpakaian sama dengan kaum muslimin, tidak ada perbedaan. Karena itu Nabi Saw memerintahkan kaum muslimin untuk berpenampilan beda dengan kaum musyrikin. Saat itu yang bisa membedakan adalah membiarkan jenggot dan menipiskan kumis.

Atas dasar itu, maka sekarang, jika kita bisa berpenampilan beda dengan kaum musyrikin dengan suatu cara apapun, maka tidak ada halangan untuk mencukur jenggot. Bahkan jenggot menjadi tidak berguna jika tidak menjadi pembeda. Apalagi sekarang ini, orang-orang India (Hindu) banyak yang memperpanjang jenggotnya, demikian juga orang Eropa (Kristen) juga banyak yang memanjangkan jenggotnya.

2.Ibn Umar sendiri sebagai perawi hadis tersebut, yang faham betul maksud hadis tersebut, ternyata juga memotong jenggotnya ketika dirasa melebihi kewajaran. Dalam hadis tersebut tidak dijelaskan seberapa banyak rambut (jenggot) yang dipotong.

Karena itu bisa jadi pemotongan jenggot tersebut sekedar untuk merapikan.Wallau a’lam !

Berdasarkan dua alasan tersebut, maka hukum memelihara jenggot, menurut ulama yang kedua ini, tidak lah wajib, tetapi mubah atau bisa menjadi sunnah.

Wallahu a’lam bi ashshawab !