HUKUM MENYALATI ORANG KAFIR
DAN ORANG YANG TIDAK SHALAT
Oleh: Achmad Zuhdi Dh (0817581229)
Menyalati Orang Kafir
Ulama sepakat tentang haramnya menyalati orang kafir dan orang munafik. Hal ini berdasarkan firman Allah Surat al-Taubah, ayat 84:
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُواوَهُمْ َفاسِقُون
Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (QS. al-Taubah, ayat 84)
Umar ibnul Khaththab r.a. berkata, "Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal, Rasulullah diminta datang untuk menyalati jenazahnya. Ketika Rasulullah berdiri untuk shalat, aku melompat kepada beliau dan berkata, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau shalat untuk anak si Ubay itu, padahal pada hari ini dan hari ini dia mengatakan begini dan begitu?' Lalu aku sebutkan kepada beliau semua perkaranya itu. Rasulullah tersenyum dan bersabda: “Hai Umar, biarkanlah aku”. Setelah berulang-ulang aku mengatakan, maka beliau bersabda, 'Sesungguhnya aku boleh memilih, maka aku telah memilih. Sekiranya aku tahu, kalau aku mohonkan ampunan baginya lebih dari tujuh kali, niscaya dia akan diampuni, tentu aku akan menambahnya.'" Umar berkata, "Kemudian Rasulullah menyalati jenazah Abdullah bin Ubay, lalu salam. Tetapi, tidak beberapa lama sesudah itu, turunlah ayat 84 surah at-Taubah (al-Bara'ah), 'walaa tushalli 'alaa ahadin minhum maata abadan walaa taqum 'alaa qabrihi innahum kafaruu billaahi warasuulihi wamaatuu wahum faasiquun' :'janganlah kamu sekali-kali menyalati (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.' Umar berkata, "Maka, aku merasa heran sesudah turunnya ayat itu, mengapa aku begitu berani kepada Rasulullah pada hari itu. Allah lebih mengetahui." (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadis riwayat al-Bukhari yang lain dikisahkan bahwa Sa'id bin al-Musayyab dari ayahnya berkata, "Ketika Abu Thalib (paman Nabi Saw) hampir meninggal dunia, Rasulullah berkunjung kepadanya. Di situ beliau berjumpa dengan Abu Jahal bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Rasulullah berkata kepada Abu Thalib, 'Wahai pamanku, ucapkanlah, 'Laa ilaaha illallaah.' Suatu kalimat yang dengannya aku bersaksi (dalam satu riwayat: berargumentasi 5/208) untukmu di sisi Allah.' Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, 'Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci terhadap agama Abdul Muthalib?' Rasulullah senantiasa menawarkan kalimat itu kepada Abu Thalib, namun kedua orang itu mengulangi kata-katanya itu. Sehingga, Abu Thalib mengucapkan kalimat yang terakhir bahwa ia tetap mengikuti agama Abdul Muthalib dan enggan untuk mengucapkan laa ilaaha illallaah. Lalu Rasulullah bersabda, 'Demi Allah, aku akan memohonkan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang.' Maka, Allah Ta'ala menurunkan ayat 113 surah at-Taubah:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
'Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.' Allah menurunkan ayat itu mengenai Abu Thalib, seraya berfirman kepada Rasul-Nya:
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberikan petunjuk (hidayah/taufik untuk menjadikan hati mau menerima ajaran) kepada orang yang engkau cintai. Tetapi, Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki Nya'."(QS.al-Qashash, 56).
Imam al-Nawawi menyatakan dalam al-Majmu’ (V/144) bahwa menyalati orang kafir serta beristighfar dan mendoakannya adalah haram hukumnya berdasarkan al-Qur’an dan ijma.
Menyalaati Orang Yang Meninggalkan Shalat (Tarkush Shalah)
Apakah orang yang tarkush-shalah (meninggalkan shalat), dapat dihukumi sebagai orang kafir, sehingga jika meninggal, tidak boleh dishalati? Mengingat ada sebuah hadis riwayat Muslim dari Jabir ra yang menyatakan bahwa:
بين الرجل وبين الكفر ترك الصلاة
...“yang membuat perbedaan antara seseorang dengan orang kafir itu adalah meninggalkan shalat”. (Al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, I/136)
Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang tidak shalat, jika kelak meninggal, tidak boleh dishalati , karena ia sama dengan orang kafir.
Tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat dengan merinci dan membedakan dua macam orang yang meninggalkan shalat.
Yang pertama, jika orang yang meninggalkan shalat itu karena meyakini bahwa shalat itu bukan kewajibannya seperti yang diyakini oleh orang-orang non muslim, maka orang seperti itu dihukumi kafir dan kelak jika meninggaal dunia, jenazahnya tidak boleh dishalati.
Yang kedua, jika orang yang tidak shalat atau meninggalkan shalat hanya karena malas tetapi sebenarnya masih mengakui kewajibannya sebagai muslim maka orang ini kelak jika meninggal dunia, jenazahnya masih boleh dishalati, hanya saja yang menyalatinya tidak perlu dari kalangan orang yang alim.
Al-Albani dalam bukunya Ahkam al-Jana-iz wa bid’uha (I/83-84) menyatakan bahwa para pelaku dosa besar, seperti orang yang meninggalkan shalat dan zakat dengan masih mengakui akan kewajibannya, termasuk pezina dan peminum khamar, orang-orang ini apabila meninggal tetap dishalati. Hanya saja bagi ulama hendaknya tidak membiasakan untuk menyalatinya. Hal ini berdasarkan pada hadis berikut ini:
عن أبن قتادة قال: " كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إِذَا دُعِىَ لِجِنَازَةٍ سَأَلَ عَنْهَا، فَإِنْ أُثْنِىَ عَلَيْهَا خَيْرٌ، قَامَ فَصَلَّى عَلَيْهَا، وَإِنْ أُثْنِىَ عَلَيْهَا غَيْرُ ذَلِكَ، قَالَ لأَهْلِهَا: "شَأْنُكُمْ بِهَا. وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهَا (أخرجه أحمد والحاكم)
Dari Abu Qatadah ra, berkata: “Rasulullah Saw apabila diminta untuk menyalati jenazah, beliau menanyakan perihal (perilaku) sang mayit. Apabila dipuji dengan baik, beliau menerima dan menyalatinya. Namun apabila disebut-sebut buruk perangainya, beliau mengatakan kepada keluarganya: “itu urusanmu”. Beliau tidak men-shalatinya (HR.Ahmad dan al-Hakim).
al-Albani menshahihkan hadis ini (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, III/208).
al-Albani menshahihkan hadis ini (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, III/208).
Wallahu a’lam bishshawab !
Terima kasih atas ilmu yang bermanfaat, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin
BalasHapusSaya jadi bingung rasa solidaritas seorang ketua RW yang berada di wilayah atau warga mayoritas kafir , kadang bertolak belakang hati nurani dengan adanya firman Allah dan hadist tersebut tapi Allah Maha Mengetahui
BalasHapusSemoga selalu mendapat ampunan Allah
BalasHapusYa intinya kita harus taat kepada apa yang difirmankan Allah didalam Al-Quran
BalasHapus