Selasa, 04 September 2012

Umrah Berulang-ulang


Hukum Umrah Berulang-ulang

Oleh:
Achmad Zuhdi Dh
0817581229


Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa melakukan umrah berulang-ulang sepanjang memungkinkan, baik di musim haji atau di bulan Ramadlan. Alasan yang dijadikan dasar oleh ulama yang membolehkan umrah berulang-ulang ini adalah karena bagi orang-orang yang jarak tempat tinggalnya amat jauh dari tanah suci (Makkah al-Mukarramah) dan biayanya terbatas, mereka mungkin hanya bisa sekali dapat melakukan haji dan umrah seumur hidupnya. Sedangkan waktu senggang menunggu pelaksanaan ibadah haji masih lama, sehingga sayang kalau tidak dimanfaatkan untuk melakukan umrah-umrah sunnah.

Abd al-Rahman al-Jaziri[1], dalam kitabnya al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengemukakan:
وَيُنْدَبُ اْلإِ كْثَارُ مِنَ الْعُمْرَةِ وَتَتَأَكَّدُ فِىْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِاتِّفَاقِ ثَلاَ ثَةٍ وَخَالَفَ لْمَالِكِيَّةُ
Artinya:
 “Dianjurkan memperbanyak atau mengulang-ulang ibadah umrah, terutama di bulan Ramadlan sesuai dengan kesepakatan tiga imam madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), kecuali Imam Maliki yang tidak sependapat”. Sesuai hadits riwayat  Ibn Abbas ra bahwasanya umrah di bulan Ramadlan itu pahalanya sama dengan ibadah haji”[2].

Nafi berkata:
إِعْتَمَرَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَعْوَامًا فِى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عُمْرَتَيْنِ فِىْ كُلِّ عَامٍ
Artinya:
“Abdullah bin Umar telah bertahun-tahun melakukan umrah pada masa Ibn al-Zubair dua kali setiap tahunnya”.[3]
           
Jabir ra meriwayatkan bahwa suatu ketika ‘Aisyah ra meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk melakukan umrah setelah hajinya, karena pada saat umrah sebelumnya ia batal karena kedatangan haid sebelum melakukan thawaf. Walaupun ia ditanggung dapat dua pahala juga karena telah melakukan haji dan umrah sekaligus   sesuai saran Nabi Saw, tetapi ia belum puas sebelum melakukan ibadah umrah tersendiri. Karena itu setelah ia suci dan selesai thawaf haji, ia berkata kepada Rasulullah Saw:

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنْطَلِقُوْنَ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ وَأَنْطَلِقُ بِالْحَجِّ؟ فَأَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِىْ بَكْرٍ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا إِلَى التَّنْعِيْمِ فَاعْتَمَرَتْ بَعْدَ الْحَجِّ فِىْ ذِى الْحِجَّةِ (رواه البخارى)
Artinya:
 “Wahai Rasulullah Saw, apakah mereka pergi menunaikan ibadah haji dan umrah sedangkan aku hanya dapat ibadah haji saja? Rasulullah Saw kemudian memerintahkan Abd al-Rahman bin Abu Bakar untuk keluar menemani Aisyah pergi ke Tan’im, kemudian Aisyah pun melakukan ibadah umrah setelah haji di musim haji itu”( HR. Al-Bukhari)[4]

            Berdasarkan hadits riwayat Aisyah tersebut sebagian ulama memahaminya bahwa sesungguhnya ibadah umrah itu boleh dilakukan dua kali dalam satu tahun bahkan dua kali dalam satu bulan.[5]  Hal ini memperkuat pendapat bolehnya melakukan umrah berulang-ulang pada musim haji atau pada bulan suci Ramadlan.

            Adapun ulama yang tidak membolehkan umrah berulang-ulang dalam satu tahun adalah Imam Maliki. Dalam bukunya Fiqh al-Sunnah[6], Sabiq menulis:

كَرِهَ مَالِكٌ تِكْرَارَهَا فِىْ الْعَامِ أَكْثَرَ مِنْ مَرَّةٍ
Artinya:
“Imam Malik memandang makruh mengulang-ulang umrah dalam satu tahun lebih dari satu kali”.[7]
           
Ibn Taimiyah termasuk ulama yang memandang makruh. Ia mengatakan bahwa ulama salaf telah sepakat tentang makruhnya mengulang-ulang umrah dan memperbanyaknya. Pendapat ini dipertegas oleh Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (ulama kontemporer dari Saudi Arabia) bahwa keluarnya seseorang dari Makkah ke Tan’im atau miqat lain untuk melakukan umrah kedua, ketiga pada bulan Ramadlan atau yang lainnya, adalah termasuk perbuatan bid’ah yang tidak dikenal pada masa Nabi Saw. Sebab pada masa Nabi Saw hanya dikenal satu masalah yaitu masalah “khusus” Aisyah ra ketika ihram haji tamattu’ lalu haid. Ketika Nabi Saw menemuinya, didapatkannya ia sedang menangis dan Nabi Saw menanyakan sebabnya ia menangis, lalu Aisyah memberitahukannya kepada Nabi Saw bahwa ia sedang haid. Maka Nabi Saw menenteramkan hatinya bahwa haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepada anak-anak perempuan Bani Adam. Kemudian Nabi Saw memerintahkannya untuk ihram haji. Maka Aisyah ihram haji dan menjadi haji qiran[8]. Tetapi ketika Aisyah selesai melaksanakan haji, dia mendesak Nabi Saw agar mengizinkannya umrah sendiri, maka Rasulullah Saw pun mengizinkannya dan memerintahkan saudaranya (Abd al-Rahman bin Abu Bakar) untuk menyertainya ke Tan’im. Maka Abd al-Rahman bin Abu Bakar keluar bersama Aisyah ke Tan’im dan dari sana Aisyah melakukan Umrah[9].

Al-Utasimin menambahkan bahwa seandainya peristiwa yang terjadi pada Aisyah itu termasuk sesuatu yang disyariatkan pada semua orang, niscaya Nabi Saw akan mengerahkan para sahabat bahkan menganjurkan Abd al-Rahman bin Abu Bakar yang keluar bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah, karena akan mendapatkan pahala. Dan telah maklum bahwa Rasulullah Saw pernah bermukim di Makkah pada tahun pembebasan kota Makkah selama sembilan belas (19) hari tetapi beliau tidak melaksanakan umrah, padahal bila mau beliau dengan mudah dapat melakukannya. Ini menunjukkan bahwa umrah berulang-ulang itu tidak disyariatkan, karena di samping hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin pun tidak pernah melakukannya[10].

Wallahu a'lam !

Dinukil dari Buku "Fiqh Moderat",karya Achmad Zuhdi Dh




[1] Ibid., 687.
[2] HR. Ahmad dan Ibn Majah. Baca Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 633.
[3] Ibid.
 [4] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Bi Hasyiah al-Sindi, Vol.I, 306.
[5] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad Fi Huda Khair al-‘Ibad, Vol.I (tt: Dar al-Fikr,tt), 201.
[6] Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 633.
[7]Baca juga al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib, Vol.I, 687.
[8] Haji Qiran adalah berihram (niat) untuk melakukan umrah dan haji sekaligus dari miqat, atau berihram untuk umrah kemudian memasukkan niat (ihram) untuk haji sebelum memulai thawaf. Baca Nashir bin Musfir al-Zahrani, Ibhaj al-Hajj (Riyad: Maktabah al-‘Abikan, 1423 H), 36.
[9] Peristiwa ini banyak dimuat dalam hadits-hadits shahih. Baca Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Bi Hasyiah al-Sindi, Vol.I, 318-319. Baca juga Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 634-635.
[10] Abd al-Aziz bin Baz et.al., al-Bida’ Wa al-Muhdatsat Wa Ma la Ashla lahu (Riyad: Dar Ibn Khuzaimah, 1999), 391-392. Baca juga Muhammad bin Shalih al-‘Utasimin, Fiqh al-‘Ibadat (Riyad: Dar al-Wathan, 1416 H), 294-295.