Sabtu, 06 Januari 2018

ISYARATKAN JARI TELUNJUK SAAT DUDUK DI ANTARA DUA SUJUD

ISYARATKAN JARI TELUNJUK
SAAT DUDUK DI ANTARA DUA SUJUD

Oleh:



Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Teks Hadis:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ يَدْعُو وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى إِصْبَعِهِ الْوُسْطَى وَيُلْقِمُ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ (رواه مسلم)
Abdullah bin al-Zubair  ra. bertutur,  “Tatkala Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam duduk berdoa, beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan tangan kirinya di atas paha kirinya, serta mengacungkan jari telunjuknya dan menggandengkan antara jempol dengan jari tengahnya, dan mencengkeramkan telapak tangan kirinya ke lututnya”. (HR. Muslim No.1336)
Status Hadis:
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya al-Jami’ al-shahih atau yang popular dengan sebutan kitab Shahih Muslim. Menurut Imam al-Nawawi, ulama ahli hadis telah sepakat bahwa hadis-hadis yang termaktub dalam kitab al-Jami al-Shahih, baik karya Imam al-Bukhari maupun Imam Muslim telah disepakati keshaihannya(Sharh al-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, I/14).
Pemahaman Terhadap Teks Hadis
Hadis tersebut menjelaskan tentang mengangkat jari telunjuk saat duduk dalam shalat. Namun, tidak dijelaskan duduk dalam shalat yang mana, apakah saat duduk tasyahud awal, duduk tasyahud akhir, duduk antara dua sujud, atau duduk istirahat? Berikut ini dibahas tentang perbedaan ulama dalam memahami teks hadis tersebut.
Pemahaman pertama, pada teks hadis tersebut terdapat kalimat yang sifatnya umum atau mutlak, yakni: “Tatkala Rasulullah Saw duduk berdoa” (إِذَا قَعَدَ يَدْعُو), yang menunjukkan duduk secara umum saat duduk dan berdoa dalam shalat, karena itu bisa juga termasuk di dalamnya duduk di antara dua sujud yang juga ada doanya. Dalam hadis lain yang juga diriwayatkan Muslim disebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ، وَرَفَعَ إِصْبَعَهُ الْيُمْنَى الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ، فَدَعَا بِهَا وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ بَاسِطَهَا عَلَيْهَا (رواه مسلم)
Bahwasanya Nabi saw apabila duduk dalam shalat, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya, kemudian beliau mengangkat jari kanannya  stelah ibu jari (jari telunjuk) dan berdoa padanya, sedangkan tangannya yang kiri di atas lututnya terhampar di  atasnya. (HR. Muslim No.1337)
            Hadis ini mendukung pendapat bahwa berisyarat dengan jari telunjuk itu juga disyariatkan saat duduk, termasuk duduk di antara dua sujud. Pendapat ini  dikemukakan oleh Imam Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Zad al-Ma’ad, I/130. Untuk memperkuat pendapatnya, Ibn al-Qayyim mengutip hadis riwayat Ahmad (No. 18858) berikut ini:
Dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Wail bin Hujr berkata: “Saya melihat Nabi Saw bertakbir, maka beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir, yakni memulai shalat, dan beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir, lalu  beliau ruku’ dan mengangkat tangannya lagi ketika beliau mengucap: “Sami’allahu liman hamidah” lalu beliau sujud dan meletakkan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk iftirasy (membaringkan telapak kaki kirinya untuk diduduki), …
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ ذِرَاعَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَشَارَ بِسَبَّابَتِهِ وَوَضَعَ الْإِبْهَامَ عَلَى الْوُسْطَى وَقَبَضَ سَائِرَ أَصَابِعِهِ ثُمَّ سَجَدَ فَكَانَتْ يَدَاهُ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ
…kemudian beliau meletakkan kedua tangannya, yang kiri di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya kemudian beliau berisyarat dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah kemudian beliau menggenggam seluruh jari-jarinya kemudian beliau sujud di mana kedua tangan beliau sejajar dengan kedua telinga beliau”(HR. Ahmad No. 18858).
 Berdasarkan hadis riwayat Ahmad tersebut, dapat difahami bahwa saat duduk di antara dua sujud juga disyariatkan mengacungkan jari telunjuk saat berdoa, baru sujud lagi.
Pemahaman kedua, hadis riwayat Muslim (No.1337) yang menjelaskan bahwa saat duduk dalam shalat (إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ), Nabi mengisyaratkan dengan jari telunjuknya yang kanan, sifatnya masih umum/mutlak, belum jelas duduk yang mana di antara empat macam duduk dalam shalat. Demikian juga pada hadis riwayat Muslim (No.1336),  yang menjelaskan bahwa Nabi duduk dalam shalat dan berdoa(إِذَا قَعَدَ يَدْعُو), juga masih umum/mutlak, apakah duduk tasyahud ataukah duduk di antara dua sujud.
Oleh kelompok ulama yang kedua ini, keumuman/kemutlakan kata duduk dalam shalat (إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ dan إِذَا قَعَدَ يَدْعُو) tersebut dibatasi (ditaqyid) dengan duduk tasyahud. Pemahaman ini didukung oleh hadis berikut ini:
 
قاَلَ أَبُوْ حُمَيْدٍ, أَناَأَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ فاَفْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرٰى وَ أَقْبَلَ بِصَدْرِ الْيُمْنٰى عَلٰى قِبْلَتِهِ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنٰى عَلٰى رُكْبَتِهِ الْيُمْنٰى وَ كَفَّهُ الْيُسْرٰى عَلٰى رُكْبَتِهِ الْيُسْرٰى وَ أَشَارً بِأَصْبُعِهِ يَعْنِى السَّبَابَةَ (رواه الترمذى) وَ قَالَ أَبُو عِيْسٰى, هٰذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
 Abu Humaid berkata: saya lebih mengetahui tentang shalatnya Rasulallah saw. bahwasanya Rasulallah saw duduk untuk bertasyahhud, beliau menduduki kaki kirirnya dan menghadapkan ujung jari kaki kanannya ke arah kiblat, meletakkan telapak tangan kanannya di atas lutut kanannya, telapak tangan kirinya di atas lutut kirinya serta mengacungka jarinya yakni jari telunjuk. (HR. at-Tirmidzi) Menurut Abu ‘Isa, hadis ini adalah hadis Hasan Shahih.
            Juga didukung oleh hadis riwayat al-Nasa-i yang dinilai sahih oleh al-Albany dalam Silsilah al-Ahdits ash-Shahihah (V/313) berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي الثِّنْتَيْنِ أَوْ فِي الْأَرْبَعِ يَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ أَشَارَ بِأُصْبُعِهِ“.
Abdullah bin Zubair radhiyallahu’anhuma  menceritakan,  “Rasulullah shallallahu ’alaihiwasallam manakala duduk di raka’at kedua, atau di raka’at keempat, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya lalu mengacungkan jarinya”.(HR. al-Nasa-i No.745).
            Menurut al-Syaukani, hadis tersebut menunjukkan tentang dianjurkannnya meletakkan kedua tangan di atas kedua lututnya saat duduk tasyahud (Nail al-Authar, II/317). Al-Baghawi juga mengatakan bahwa yang dipilih oleh sebagian ahli ilmu adalah menggenggang jari-jari tangan kanan kecuali jari telunjuk saat duduk tasyahud (Syarh al-Sunnah, III/176).
Berdasarkan muatan dari hadis-hadis di atas jika dilihat dari segi hukum dan sebabnya itu ternyata sama, maka menurut kaidah ushul fiqh:
يَحْمِلُ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
“makna yang muthlaq dibawa kepada makna yang muqayyad”.
(Ibn Qudamah, Raudhat al-Nadhir Wa Jannat al-Manadhir, III/448)

 Dengan demikian, duduk yang dimaksudkan dalam hadis itu adalah duduk untuk tasyahhud. Karena itu, berisyarat dengan telunjuk tidak disyariatkan pada duduk di antara dua sujud, melainkan hanya untuk  duduk tasyahhud, baik tasyahud awal maupun tasyahud akhir.
Tentang dukungan hadis riwayat Ahmad No. 18858 (yang bisa difahami mengisyaratkan jari telunjuk saat duduk antara dua sujud), dapat dijelaskan bahwa hadits tersebut bermasalah dari sisi keabsahannya. Para pakar hadits menjelaskan bahwa tambahan kalimat “kemudian beliau sujud” setelah kalimat “mengacungkan jarinya” hanya ada dalam riwayat Sufyan al-Tsaury. Dan ini menyelisihi riwayat para perawi lainnya yang tsiqah (terpercaya) dan jumlah mereka lebih banyak, di mana mereka tidak menyebutkan tambahan kalimat “kemudian beliau sujud” setelah kalimat “mengacungkan telunjuknya”. Bahkan banyak hadits yang menjelaskan bahwa acungan jari tersebut dilakukan setelah sujud kedua. Di antara para perawi tersebut: Za’idah bin Qudamah, Bisyr bin al-Mufaddhal, Sufyan bin ‘Uyainah, Syu’bah, Abu al-Ahwash, Khalid, Zuhair bin Mu’awiyah, Musa bin Abi Katsir dan Abu ‘Awanah(al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, V/246).
Dalam ilmu Musthalah Hadits, jenis riwayat bermasalah seperti dicontohkan di atas, diistilahkan dengan hadits Syadz, yakni riwayat yang dibawakan perawi tsiqah, namun riwayat tersebut menyelisihi riwayat yang disampaikan para perawi lain yang lebih kuat. Dan hadits jenis ini dikategorikan dha’if (lemah).
            Muhammad Nashiruddin al-Abani mengatakan bahwa mengisyaratkan jari telunjuk saat duduk antara dua sujud itu tidak ada dalilnya sama sekali(لا اصل لها), kecuali riwayat Abd al-Razzaq dari hadis Wail bin Hujr. Hadis tersebut syadz (aneh) karena menyalahi dari periwayatan lainnya. (al-Silsilah al-Shahihah, V/247).
            Ahmad bin Abd al-Razzaq al-Duways dalam Fatawa al-Lajnah al-Daimah Lil Buhuts al-Ilmiyah Wa al-Ifta, XXI/367, mengemukakan bahwasanya hadis-hadis yang membahas tentang mengisyaratkan jari telunjuk pada saat duduk dalam shalat itu yang dimaksudkan adalah khusus pada saat duduk tasyahud, baik saat duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir/kedua.

            Wallahu A’lam!