Selasa, 03 Mei 2022

MULIANYA SANG PEMAAF

 

MULIANYA SANG PEMAAF

 

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba yang suka memberi maaf (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati karena Allah kecuali Allah akan meninggikan (derajat)nya                              (di dunia dan akhirat)" (HR. Muslim No. 6757).

Status Hadis

              Hadis tersebut dinilai sahih oleh Imam Muslim dalam al-Shahih No. 6757. Selain Imam Muslim, ada beberapa ulama hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya Imam Malik dalam al-Muwaththa No. 3663, Imam Ahmad dalam al-Musnad No. 9008, Imam al-Darimi dalam al-Musnad No. 1718, Imam al-Mundziri dalam al-Targhib Wa al-Tarhib No. 4390, dan Ibn al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul No. 4660. Muhammad Nashiruddin al-Albani juga menilai hadis tersebut shahih (al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II/322).

 

Kandungan Hadis

              Hadis tersebut menerangkan tentang tiga sikap atau prilaku yang sangat disukai dan dipuji Allah, yaitu dermawan, pemaaf, dan tawaduk. Mengenai kedermawanan, Nabi saw. menegaskan bahwa gemar sadaqah itu tidak akan mengurangi harta (tidak akan menjadikan pelakunya menjadi miskin). Sedangkan sikap pemaaf, Nabi saw. memberitahukan bahwa Allah akan membalas dengan kemuliaan kepada orang yang mau memaafkan saudaranya yang bersalah kepadanya. Adapun tentang tawaduk, Nabi saw. menjanjikan bahwa orang yang suka bersikap tawaduk (rendah hati) maka Allah akan meninggikan derajatnya.

              Mengingat keterbatasan, dari tiga sikap yang disukai oleh Allah tersebut, hanya sikap pemaaf yang dibahas dalam artikel ini. Sikap suka memaafkan merupakan sifat yang terpuji dan merupakan bagian dari akhlak mulia yang telah diperintahkan. Allah swt. berfirman: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS. al-A’raf, VII: 199). Juga firman-Nya: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, maka mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka” (QS. Ali Imraan, III: 159), dan firman-Nya: “…dan hendaklah mereka memaafkan serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Nur, XXIV: 22).

Orang-orang yang suka memaafkan dalam al-Qur’an disebut al-‘afina (العافين). Asal katanya adalah al-‘Afwu (العفو). Al-Kafawi dalam kitabnya al-Kulliyat, menjelaskan bahwa al-‘Afwu artinya tidak menyakiti (orang yang telah berbuat jahat kepadanya) walaupun mampu untuk membalasnya. Setiap orang yang berhak mendapat balasan yang setimpal atas perilakunya, lalu orang yang disakitinya tidak menuntut balas, kemudian dirinya ikhlas padahal ia mampu membalasnya, dan ia membiarkannya, maka itulah yang dinamakan al-‘Afwu, memaafkan (al-Kafawi, al-Kulliyat, I/53,598).

Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang paling pemaaf dan berlapang dada. Dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Jabir ra. bahwasanya Nabi Muhammad saw. bersabda: “Ada seseorang yang datang kepadaku dan ketika itu aku sedang tertidur, lalu dirinya menghunuskan pedang, aku pun terbangun, dan dia berdiri tepat di atas kepalaku namun aku tidak merasakannya dengan pedang terhunus yang berada di tangannya. Kemudian dia berkata padaku, “Siapakah sekarang yang akan membelamu? Aku menjawab: “Allah”. Kemudian dia mengulangi kembali: “Siapakah yang akan menolongmu? Aku menjawab kembali: “Allah”. Nabi saw. mengatakan: “Seketika itu orang tadi menyarungkan pedangnya, lalu dirinya duduk dan Rasulallah saw. tidak membalasnya” (HR. al-Bukhari No. 2910 dan Muslim No. 843). Dalam redaksi lain disebutkan: “Kemudian Rasulallah saw. tidak menyakiti orang tersebut” (HR. al-Bukhari No. 4135).

              Ibnu Abbas ra. berkata: “Uyainah bin Hishan bin Hudzaifah pernah datang menemui Umar bin Khatab, kemudian dia berkata: “Inilah wahai Ibnu Khatab, demi Allah kamu tidak pernah memberi pemberian pada kami, tidak pula menghukumi kami secara adil”. Mendengar hal itu, Umar langsung naik pitam, marah sampai dirinya berkeinginan buruk padanya. Lalu al-Hur bin Qais mengingatkan: “Wahai Amirul mukminin, (ingatlah) sesungguhnya Allah Ta’ala berkata pada Nabi-Nya, Muhammad saw.: 

  خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS. al-A’raf, VII: 199). Sikap seperti ini adalah sikapnya orang jahiliyah”. Sang rawi mengatakan: “Demi Allah tidak sampai sempurna ayat tersebut dibacakan pada Umar melainkan dirinya langsung meredam emosinya. Dan beliau adalah orang yang paling memuliakan terhadap firman Allah” (HR. al-Bukhari No. 4642; Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, III/532).

Sifat pemaaf juga merupakan akhlaknya para ulama dan orang-orang shalih. Di zaman Abbasiyah, Khalifah al-Mu’tashim pernah menjebloskan Imam Ahmad ke dalam penjara dan memukulnya dengan cemeti (cambuk) sampai pingsan, serta darah mengalir di sekujur tubuhnya. Namun, Imam Ahmad berkata: “Aku jadikan kehormatanku halal untuk Abu Ishaq, yakni al-Mu’tashim, dan aku telah maafkannya”. Imam Malik juga pernah dimasukan ke dalam penjara dan dipukul dengan cambuk sampai tangannya patah, namun beliau memaafkan orang yang menyiksanya. Bila dikumpulkan kisah-kisah mereka, sangatlah banyak para ulama yang menunjukan sifat pemaafnya saat menghadapi siksaan penguasa pada masanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Aku tidak senang bila membela diriku semata dari seseorang dengan sebab karena kedustaan yang ditimpakan padaku, atau kedzaliman serta permusuhan terhadapku. Sesungguhnya aku telah menghalalkan setiap muslim (yang pernah menyakitiku). Saya mencintai kebaikan bagi setiap muslim, dan mengharapkan setiap mukmin melakukan kebaikan seperti yang aku cintai bagi diriku. Adapun orang-orang yang mendustakan dan berbuat dhalim atasku maka mereka semua telah aku maafkan” (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/55).

Rasulullah saw. memberikan wasiat kepada Jabir bin Sulaim:

 وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ

“Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya” (HR. Abu Dawud No. 4084 dan al-Tirmidzi No. 2722). Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadis ini shahih (al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, II/399).

Tidak mudah memang, saat ada orang mendzalimi kita, lantas kita tidak membalasnya. Namun, hadis tersebut mengajari kita, ketika dipermalukan dan dihina, kita tidak perlu membalas dengan menghina dan mencela orang tersebut walaupun kita tahu kekurangan yang ada pada dirinya dan bisa menjatuhkannya. Biarlah akibat jelek dari mencela dan menjatuhkan itu, akan ditanggungnya di akhirat, demikian pesan Nabi saw.

Ibnu ‘Abbas ra. mengatakan: “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, dan membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, serta memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini”. Ibnu Katsir mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yang menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa” (Ibn Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, VI/ 529-530).

Jika kita sanggup memaafkan orang lain, Allah menjanjikan dengan firman-Nya: “Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Al-Syura: 40).

Dikisahkan, pada suatu hari, Rasulullah saw. sedang berkumpul dengan para sahabatnya. Di tengah perbincangan dengan para sahabat, tiba-tiba Rasulullah saw. tertawa ringan sampai terlihat gigi depannya. Umar r.a. yang berada di situ, bertanya: "Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. menjawab: "Aku di beritahu Malaikat, bahwa pada hari kiamat nanti, ada dua orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala di hadapan Allah swt".

Salah seorang mengadu kepada Allah sambil berkata: ‘Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu ia pernah berbuat dzalim kepadaku'. Allah swt. berfirman: "Bagaimana mungkin Aku mengambil kebaikan saudaramu ini, karena tidak ada kebaikan di dalam dirinya sedikitpun?" Orang itu berkata: "Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya".

Sampai di sini, mata Rasulullah saw. berkaca-kaca. Beliau tidak mampu menahan tetesan airmatanya. Beliau menangis. Lalu berkata: "Hari itu adalah hari yang begitu mencekam, di mana setiap manusia ingin agar ada orang lain yang memikul dosa-dosa nya". Rasulullah saw. melanjutkan kisahnya.

Lalu Allah berkata kepada orang yang mengadu tadi: "Sekarang angkat kepalamu". Orang itu mengangkat kepalanya, lalu ia berkata: "Ya Rabb, aku melihat di depanku ada istana-istana yang terbuat dari emas, dengan puri dan singgasananya yang terbuat dari emas dan perak bertatahkan intan berlian. Istana-istana itu untuk Nabi yang mana, ya Rabb? Untuk orang shiddiq yang mana, ya Rabb? Untuk Syuhada yang mana, ya Rabb?" Allah swt. berfirman: "Istana itu akan diberikan kepada orang yang sanggup membayar harganya".

Orang itu berkata: "Siapakah yang mampu membayar harganya, ya Rabb?". Allah berfirman: "Engkau pun mampu membayar harganya". Orang itu terheran-heran, sambil berkata: "Dengan cara apa aku membayarnya, ya Rabb?" Allah berfirman: "Caranya, engkau maafkan saudaramu yang duduk di sebelahmu, yang kau adukan kezalimannya kepada-Ku". Orang itu berkata: "Ya Rabb, kini aku memaafkannya". Allah berfirman: "Kalau begitu, gandeng tangan saudaramu itu, dan ajak ia masuk surga bersamamu".

Setelah menceritakan kisah itu, Rasulullah saw. berkata: "Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian saling berdamai dan memaafkan. Sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin". Hadis ini statusnya diperselisihkan. Sebagian ulama melemahkannya, sedangkan al-Hakim menilai sanadnya shahih (HR. al-Hakim, al-Mustadrak No. 8718, Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, II/348, dan al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, VII/19). Wallahu A’lam!

 

             Artikel ini pernah dimuat di majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Mei 2022