Kamis, 13 Juli 2023

BILA IDUL ADHA BEDA DENGAN MEKKAH

 BILA IDUL ADHA BEDA DENGAN MEKKAH

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 Permasalahan:

              Sudah berulang kali terjadi perbedaan penentuan hari Idul Adha antara Indonesia dengan Mekkah (Saudi Arabia). Peristiwa ini juga terjadi di beberapa negara lain. Akibatnya timbul persoalan, bagaimana dengan umat Islam yang tinggal di luar Saudi Arabia seperti di Indoensia, apakah harus mengikuti ketetapan yang berlaku di Mekkah? Bagaimana dengan puasa sunnah Arafah-nya, apakah harus bertepatan dengan para jamaah haji yang sedang wuquf di Arafah? Atas beberapa persoalan tersebut mohon pengasuh Konsultasi Agama berkenan membahasnya sejelas-jelasnya. Terima kasih atas perkenannya dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran (Totok, Surabaya).

Pembahasan:

              Ada dua persoalan yang muncul ketika terjadi perbedaan penentuan hari Idul Adha antara Saudi Arabia dan Indonesia. Pertama, haruskah Indonesia mengikuti Arab Saudi dalam berhari raya Idul Adha atau bolehkah berbeda dalam menentukan hari rayanya? Kedua, saat berpuasa sunnah Arafah, haruskah bertepatan dengan para jamaah haji sedang melaksanakan wuquf di Arafah, atau bolehkah berbeda waktu puasanya, asal dilaksanakan pada tanggal 9 Dzul Hijjah sesuai kalender yang berlaku di negeri sendiri?

 

Persoalan pertama, tentang penentuan hari Idul Adha

Kemungkinan terjadinya perbedaan penentuan hari Idul Adha antara Indonesia dan Saudi Arabia tidak perlu diributkan. Sebaiknya disikapi biasa-biasa saja. Karena antara Indonesia dan Arab Saudi (Mekkah) memang berbeda mathla’ (مَطْلَع), yakni berbeda tempat dan waktu terbitnya matahari. Ulama dalam bahasan fikih terutama dalam masalah shaum (puasa) ada istilah ikhtilaf al-mathali’ (اِخْتِلاَفُ الْمَطَالِع), berbeda tempat atau waktu terbit matahari.

Syariat telah menjadikan tanda-tanda alam, seperti: hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai batas waktu penetapan ibadah. Sebagai contoh, misalnya waktu shalat, puasa, haji, masa iddah dan lainnya. Allah swt. berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji” (al Baqarah (2) :189).

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah telah menjadikan bulan sabit (hilal) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari” (Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, I/522).

Hanya saja, kemudian timbul pertanyaan, bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempat negerinya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Sekurang-kurangnya ada dua pendapat mengenai hal ini:

Pendapat pertama, jika hilal telah terlihat di suatu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim di negeri-negeri lain untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa’ad, pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah mengatakan: “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk suatu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa (وَإِذَا رَأَى الْهِلَالَ أَهْلُ بَلَدٍ لَزِمَ جَمِيْعُ الْبِلَادِ الَّصَوْمَ). Ini adalah pendapat Al-Laits dan sebagian sababat Al-Syafi’i” (Ibn Qudamah, al-Mughni, III/10).

Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah saw.

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (HR. Al-Bukhaari No. 1909 dan Muslim No. 2567, dari Abu Hurairah ra.).

              Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah saw:

 صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban” (HR. Abu Dawud No. 2326, al-Tirmidzi No. 697, Ibn Majah No. 1660). Al-Albani: sahih (Mukhtashar Irwa al-Ghalil, I/174). 

              Pendapat kedua, setiap negeri boleh melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyyah. Dalil mereka adalah hadis Kuraib yang diutus oleh Ummul Fadhl binti Al-Haris untuk menemui Mu’awiyah ra. Dia (Kuraib) berkata:

Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum'at. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib. Ibnu Abbas menjelaskan:

لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ

“Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal”. Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”. Jawab Ibnu Abbas:

لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepada kami” (HR. Muslim No. 2580, Abu Dawud No. 2334, dan al-Tirmidzi No. 693).

Berdasarkan hadis Kuraib tersebut dapat difahami bahwa penentuan hilal di suatu tempat (negara) boleh berbeda dengan penentuan hilal di negeri lain. Penentuan hilal di Indonesia bisa saja berbeda dengan penentuan hilal di Saudi Arabia. Hilal berlaku di negerinya masing-masing. Inilah yang benar menurut Syekh al-‘Utsaimin (وَالصَّوَابُ أَنّهُ يَخْتَلِفُ باِخْتِلاَفِ الْمَطَالِعِ) (al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa Warasail, XX/47).

Kalau hilal di suatu negara harus dipaksakan untuk berlaku di negeri-negara lain di dunia ini, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya hal ini bisa diterapkan di masa silam yang teknologi komunikasinya belum canggih seperti saat ini. Tentu berita wukuf di Arafah sulit sampai ke negeri lain karena terkendalanya komunikasi. Syariat dulu dan syariat saat ini berlaku sama. Dengan alasan ini bisa difahami bahwa penentuan hilal lokal (suatu negeri) lebih memudahkan kaum muslimin dalam menentukan momen penting ibadah mereka, baik saat memulai puasa Ramadhan, puasa Arafah, maupun berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

 

Persoalan Kedua, tentang pelaksanaan puasa sunnah Arafah.

Apakah Puasa Arafah harus dilaksanakan bersamaan dengan jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah? Dalam hadis Riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ

“Puasa hari Arafah aku berharap kepada Allah agar menjadi penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” (HR. Muslim No. 197).

Ulama berbeda pendapat mengenai makna kalimat (صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ), “Puasa hari Arafah…”. Pendapat pertama mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan dengan wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah. Pendapat ini berdasarkan hadis sbb:

عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهُوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ، فَشَرِبَ مِنْهُ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

“Dari Maimunah ra. ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi saw. berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124).

              Hadis ini bisa difahami bahwa puasa Arafah itu tidak dilakukan oleh orang yang sedang wukuf di Arafah, tetapi oleh orang yang tidak berwukuf di Arafah.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada masing-masing wilayah (negara), meskipun tidak bersamaan dengan para jamaah haji wukuf di Arafah (أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِي الصِّيَامِ هُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ شَهْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَلَوْ لَمْ يُوَافِقِ الْيَوْم الَّذِي يَجْتَمِعُ النَّاسُ فِيْهِ بِعَرَفَةَ) (Arsip Multaqa Ahl al-Hadis-3, 7 September 2008).

 

Muhammadiyah cenderung pada pendapat yang kedua ini (Suara Mjuhammadiyah, 20 Maret 2020). Beberapa argument yang dibangun antara lain sebagai berikut:

Pertama, Rasulullah saw. telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 Dzulhijah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji.  Dari Hunaidah Ibn Khalid, dari istrinya, dari salah seorang istri Nabi saw., ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ

Adalah Rasulullah saw. melakukan puasa pada sembilan hari bulan Dzulhijah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, dan hari Senin dan Kamis pertama setiap bulan (HR. Abu Dawud No. 2439). Al-Albani: hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Wa Daif, I/2).

Hadis ini menunjukkan bahwasanya Nabi saw. terbiasa puasa Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah, saat sedang tidak berhaji. Nabi saw. hanya berhaji sekali selama hidupnya.

              Kedua, jika memang yang dimaksud adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong sekitar 6 jam? Saat mereka mulai wukuf, di Sorong sudah pukul 18.00?

              Ketiga, jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu masa ternyata jamaah haji tidak bisa wukuf di padang Arafah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada jamaah yang wukuf di padang Arafah?

              Itulah beberapa alasan yang menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud dengan hari Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijah sesuai dengan kalender masing-masing di negerinya. Wallahu A’lam!

Artikel ini telah dimuat dalam Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada edisi Juli 2023

CINTA SEJATI MENURUT NABI

 CINTA SEJATI MENURUT NABI

 

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M. Fil I

 

 

Permasalahan

Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai. Jika seseorang mencintai keluarganya, gurunya, bahkan mencintai Nabi saw., apakah kelak benar-benar bisa bersama mereka? Cinta seperti apa yang bisa mempertemukan dengan mereka yang dicintai? Mohon pengasuh membahasnya dengan sejelas-jelasnya. Terima kasih. Jazakumullah khairan (Bella, Sidoarjo).

 Pembahasan

              Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

Rasulullah saw. bersabda: “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai”.

(HR. al-Bukhari No. 6168 dan Muslim No. 6888).

              Imam al-Nawawi dalam kitab Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa kalimat (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ), Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai” menunjukkan keutamaan tentang cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul saw., cinta kepada orang-orang salih, dan cinta kepada orang-orang yang ahli berbuat kebaikan, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Di antara tanda-tanda keutamaan cinta kepada Allah swt. dan Rasulullah saw. adalah melaksanakan perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya, dan bertindak atau berakhlak sesuai dengan tuntunan syariah. Dalam hal ini tidak disyaratkan amalnya harus sama dengan yang dicintai. Karena itu antara orang yang mencintai dan orang yang dicintai akan bersama-sama masuk ke dalam surga meskipun tempat di surganya bisa berbeda sesuai dengan kadar amal yang dilakukannya (al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, VIII/483).

          Ibn Bathal dalam kitab Syarh Sahih al-Bukhari menerangkan bahwa kalimat (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ) menunjukkan seseorang yang mencintai orang lain karena Allah, ia akan dikumpulkan oleh Allah di surga bersama orang yang dicintainya meskipun amalnya tidak sebanding dengannya. Mencintai seseorang karena Allah itu pada dasarnya karena cinta terhadap ketaatannya kepada Allah. Cinta adalah amalan hati, dan keyakinannya itu akan memberikan pahala seperti pahalanya orang-orang salih yang dicintainya. Niat adalah yang paling pokok, dan amalan itu tergantung niatnya. Allah-lah yang akan memberikan anugerah kepada siapa yang dikehendaki (Ibn Bathal, Syarh Sahih al-Bukhari, IX/333).

              Dalam hadis lain yang semakna dengan hadis tersebut (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ), telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa Anas ra. mengatakan, ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw. tentang hari kiamat. Orang itu mengatakan:

مَتَى السَّاعَةُ

“Kapankah hari kiamat itu?”.

Rasulullah saw. balik bertanya:

وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi hari itu?”.

Orang itu menjawab: “Tidak ada, hanya saja sesungguhnya saya mencintai Allah dan Rasul-Nya. Beliau bersabda:

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

 “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai”.

Saat itu Anas ra. mengatakan: “Kami (para Sahabat Nabi saw.) tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasulullah saw.: “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai”. Anas ra. mengatakan: “Saya mencintai Nabi saw., Abu Bakr ra. dan Umar ra. Saya berharap kelak bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka, meskipun saya tidak mampu melakukan amalan seperti amalan-amalan yang mereka lakukan (HR. al-Bukhari No. 3688).

              Selain itu, juga ada hadis yang kandungan maknanya sama dengan hadis tersebut (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ), yaitu hadis riwayat al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath No. 6450, dari Ali ra., Nabi saw. bersabda:

وَلَا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ

“Dan seseorang tidak mencintai suatu kaum kecuali akan dikumpulkan bersama mereka”. (HR. al-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath No. 6450). Al-Albani menilai hadis ini sahih lighairihi (al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib No. 3037).

              Hadis-hadis tersebut menegaskan bahwasanya pada hari kiamat nanti, seseorang akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya saat hidup di dunia. Ibnu Hajar mengatakan: “Maksudnya, dia akan dikumpulkan bersama mereka (orang yang dia dicintai) itu, sehingga dia menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang dicintai itu. Dengan pemahaman ini maka tertolaklah pemahaman sebagian orang yang mengatakan bahwa tempat mereka itu, yakni antara orang yang dicintai dan orang yang mencintai akan berbeda. Jika ini benar, maka bagaimana dikatakan akan bersama? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan: Kebersamaan itu bisa terwujud dengan adanya titik temu pada satu hal tertentu dan tidak mesti harus sama dalam semua hal. Jika mereka semua telah di masukkan ke dalam surga, maka berarti telah bersama-sama, meskipun derajat mereka di surga berbeda (al-Asqalani, Fath al-Bari, XVII/363).

              Nah, cinta seperti apa yang dimaksud oleh Nabi saw. hingga orang yang mencintai itu akan dikumpulkan atau dibersamakan dengan orang-orang yang dicintainya? Paling tidak ada tiga cinta yang menyebabkannya:

 

Pertama, Cinta Karena Allah.

Cinta karena Allah yang ditujukan kepada seseorang atau suatu golongan adalah cinta yang didasari karena perintah dan petunjuk dari Allah, juga cinta karena orang-orang itu dimuliakan oleh Allah, dan cinta karena orang-orang itu dekat dan patuh kepada Allah. Jadi, mencintai orang karena Allah bisa berarti mencintai orang karena kesalihan dan ketaatannya kepada Allah sehingga orang itu dicintai oleh Allah. Cinta seperti inilah yang bisa menyebabkan orang-orang yang mencintainya akan dimasukkan ke dalam surga-Nya bersama-sama orang yang dicintai.

Dalam hadis riwayat al-Bukhari No.660 dan Muslim No.2427 disebutkan bahwasanya besok pada hari kiamat ada tujuh golongan yang akan dilindungi oleh Allah pada saat tidak ada lagi perlindungan selain dari Allah. Salah satu dari tujuh golongan itu adalah segolongan orang yang saling mencintai karena Allah:

وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

“Dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya”.

Mencintai seseorang atau golongan karena Allah adalah cinta yang tidak dapat dinodai oleh unsur-unsur keduniaan seperti ketampanan, harta, kedudukan, fasilitas, suku, bangsa dan yang lainnya. Mencintai seseorang karena Allah adalah mencintainya karena ketaatannya dalam melaksanakan perintah Allah dan kegigihannya dalam meninggalkan larangan-Nya.

Al-Qasthalani mengatakan, “Disebut dengan dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, di mana ia berpisah dan berkumpul karena-Nya, yaitu apabila keduanya saling mencintai karena Allah, bukan karena duniawi. Dan cinta karena Allah ini tidak putus karena duniawi, baik dia berkumpul secara hakiki atau tidak, sampai kematian memisahkan keduanya” (al-Qasthalani, Irsyad al-Sari, III/25).

 

Kedua, Cinta dengan Mematuhi.

Sebagai konsekuensi dari mencintai seseorang adalah berusaha meneladani dan mengikuti perbuatan orang yang dicintai. Misalnya, orang yang mencintai Nabi, maka ia harus berusaha untuk bisa meneladani perbuatan beliau. Bila cintanya dapat mendorongnya untuk meneladani Nabi saw, maka sikap dan perbuatan itu akan dapat mengantarkannya masuk surga bersama Nabi saw.

Imam Hasan al-Basri memperingatkan: "Janganlah kalian tergiur atau terlena dengan ungkapan “seseorang akan dikumpulkan di akhirat bersama orang-orang yang dia cintai”. Harus difahami bahwa orang yang benar-benar mencintai seseorang pasti akan mengikuti jejaknya. Seseorang tidak akan dikumpulkan bersama mereka yang dicintai kecuali bila ia berusaha mengikuti perbuatannya, petunjuknya, dan prinsip kehidupannya, dalam kehidupan sehari-hari. Bila tidak mengikutinya, maka tidak akan dikumpulkan bersama mereka yang dicintainya. Ingat, orang Yahudi dan Nasrani pun mencintai Nabi-Nabi mereka, tetapi mereka tidak akan dikumpulkan bersama nabi-nabi mereka di akhirat kelak. (فإن اليهود و النصارى يحبون أنبياءهم وليسوا معهم).

Hal ini disebabkan mereka menyelisihi para Nabinya, tidak mengikuti jejak mereka, malah berperilaku di luar yang diajarkan Nabinya. Karena itu orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan dikumpulkan bersama para Nabinya di surga, malahan akan dicampakkan ke dalam neraka (Ibn Rajab, Majmu’ Rasail Ibn Rajab, III/378-379; al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, II/160).

Allah swt. berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran:31)

Al-Sa’di mengatakan bahwa orang yang tidak mengikuti jejak Rasulullah saw. maka ia dianggap tidak mencintai Allah. Karena sesungguhnya mencintai Allah itu mewajibkan untuk mengikuti Rasulullah saw. Jika tidak demikian maka ia dipandang dusta, karena ia mengatakan cinta tetapi tidak mematuhinya (Abd al-Rahman al-Sa’di, Tafsir al-Sa’di, I/128).

 

Ketiga, Cinta dengan Rela Berkorban

              Seseorang yang benar-benar cinta, sebagai buktinya ia akan berusaha melakukan apapun demi yang dicinta. Ia siap melakukan apa saja yang diminta oleh yang dicinta, demi menyenangkan dan membahagiakannya. Dalam hal ini, Meski sebenarnya ia keberatan, ia rela berkorban demi yang dicintainya.

              Saat Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelih sang putera, yakni Ismail yang sangat disayanginya, sebagai ayah tentu sangat keberatan pada mulanya, tetapi demi cintanya kepada Allah, maka beliau palingkan semua itu dan akhirnya dengan hati yang bulat rela mengorbankan rasa sayangnya kepada sang putera demi mendapatkan cinta dari Allah Yang Maha Penyayang. Inilah yang namanya prioritas. Nabi Ibrahim rela berkurban dan lebih memprioritaskan cinta kepada Allah di atas cintanya kepada yang lain. Allah memperingatkan:

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” (QS. Al-Taubah, 24).

              Fakhrur Razi dalam tafsirnya menjelaskan:

وَهذِهِ الآيَةُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّه إِذاَ وَقَعَ التَّعَارُضُ بَيْنَ مَصْلَحَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ مَصَالِحِ الدِّيْنِ وَبَيْنَ جَمِيْعِ مُهِمَّاتِ الدُّنْيَا، وَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِ تَرْجِيْحُ الدِّيْنِ عَلَى الدُّنْيَا

 Ayat ini (al-Taubah, 24) menunjukkan bahwasanya apabila terjadi pertentangan dalam satu masalah antara kepentingan agama dengan kepentingan dunia, maka kepentingan agama harus diutamakan atau diprioritaskan” (al-Fakhr al-Razi, Mafatih al-Ghaib, I/2194).

              Ibn al-Qayyim mengatakan: Tanda cinta sejati adalah berusaha memadukan atau menyatukan keinginan antara yang mencintai dengan yang dicintai. Bila tidak bisa memadukan atau menyelisihinya, maka hal itu tidak lagi disebut cinta sejati (Ibn al-Qayyim, Raudlat al-Muhibbin, I/265). Dengan demikian, mencintai Allah dan Rasul berarti berusaha melakukan apa saja yang diinginkan oleh keduanya.

 Ketika seseorang mencintai hartanya, maka ia berusaha agar hartanya jangan sampai hilang. Namun, Ketika Allah memerintahkan agar hartanya dikeluarkan untuk kepentingan fi sabilillah, ia harus rela mengeluarkannya demi cintanya kepada Allah. Ketika ia sedang asyik-asyik tidur, tiba-tiba terdengar suara adzan shubuh, maka demi cintanya kepada Allah, ia rela mengorbankan asiknya tidur demi memenuhi panggilan Allah swt untuk shalat subuh. Itulah yang namanya cinta sejati. Ada prioritas. Siap berkorban demi yang dicintai. Wallahu A’lam!

 Artikel ini telah dimuat dalam Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Edisi Juni 2023

 

Rabu, 12 Juli 2023

UJIAN YANG MENGASYIKKAN DI HAJI 2023


UJIAN YANG MENGASYIKKAN DI HAJI 2023

Oleh: Achmad Zuhdi Dh


Musim haji tahun 1444 H/2023 M, saya kembali mendapat amanah untuk mendampingi calon jamaah haji Jabal Nur milik PDM Sidoarjo Jawa Timur. Dari sekian kali pengalaman mendampingi calon jamaah haji (CJH), haji tahun 2023 ini terasa sangat berbeda. Mengejutkan dan mengasyikkan. Banyak sekali cobaan yang menimpa. Dari yang ringan sampai yang berat bahkan sangat berat menghadapinya. Namun, banyak juga kejutan yang mengasyikkan.

1. Rencana keberangkatan.

Awalnya, Jamaah Jbl Nur akan diberangkatkan gelombang 2 sekitar tgl 19-22 Juni 2023. Lalu ada penawaran, bila tetap gelombang 2, Jbl Nur bisa terpecah jamaahnya, karena Sidoarjo termasuk jamaah penyanggah bagi daerah2 lain ( Jatim) yg jamaahnya tdk memenuhi kursi pesawat (450 org). Namun, bila siap dimajukan ke gelombang 1, mk Jbl Nur dijamin akan utuh jamaahnya dlm 1 kloter. Krn itu Jbl Nur pun ambil tawaran yg diajukan ke gel.1 yakni tgl 29 Mei 2023 agar jamaah bisa utuh satu kloter di kloter 16 Sub. Tentu saja para CJH agak tergopoh-gopoh mempersiapkannya

2. Saat di Asrama Haji Embarkasi Surabaya di Sukolilo (AHES), di tengah2 persiapan rapat karu-karom kloter 16 Sidoarjo, 30-5-23, tiba2 nama saya (sbg pemb. Jbl Nur) tdk terdaftar dlm manifes nama penumpang pada kloter tersebut. Malah masuk ke dlm daftar manifes nama2 di kloter 15 bersama 5 org lainnya. Sementara pagi itu jamaah kloter 15 sdh siap2 berangkat ke Airport Juanda.

Sungguh hal ini sangat mengejutkan dan bikin was was penuh penasaran. Akhirnya mau tidak mau harus sgr bersiap-siap untuk gabung dengan kloter 15 Madiun. Mau tdk mau harus terpisah dengan sebagian besar jamaah Jbl Nur. Sebagian besar jamaah di kloter 16 sementara saya dg 5 org teman di kloter 15 Madiun. Akhirnya pagi itu kami menuju Juanda dan siangnya terbang menuju Madinah bersama kloter 15 (Madiun). Sesampainya di Madinah, Alhamdulillah mendapatkan hotel yg bagus (*5) serta dekat dg masjid Nabawi (300m). Alhamdulillah. Allah telah menguji kesabaran dan Allah telah membalasnya. Alhamdulillah.

3. Tidak hanya sampai di situ, jumlah jamaah Jabal Nur (JN) yg berjumlah sekitar 140 orang yg dijanjikan akan utuh dalam 1 kloter ternyata malah harus terpecah pecah menjadi 6 kloter (15,16,17,23,24,34). Akibatnya cukup menyulitkan dalam koordinasi.

4. Untungnya, saat di Madinah, jamaah JN yg terpecah pecah tersebut, tidak terlalu berjauhan, paling jauh sekitar 1 km, sbg besar (di 5 kloter) akhirnya dpt dikumpulkan dlm satu kegiatan ziarah di maqam baqi, taman saqifah bani saidah, masjid al ghamamah, dan ziarah sekitar masjid Nabawi. Alhamdulillah. Allah masih berkenan menyatukan.

5. Saat di Makkah al Mukarromah, hotel kloter 15, 16, 17, 23, 24, 34, berdekatan sehingga agak mudah melakukan koordinasi. Di sinilah beberapa kali bisa dilakukan pendampingan dan pembinaan, terutama saat hendak program tarwiyah, menjelang haji (armuzna, arafah muzdalifah dan mina), dan saat menjelang kepulangan.

6. Yang paling berat dan genting adalah saat menghadapi penentuan pelaksanaan program tarwiyah (8 Dzul Hijjah). Jamaah JN relatif tenang karena tdk diberitahu ttg problem yg sdg terjadi. Dari 6 kloter tersebut, JN terwadahi dalam 4 maktab (maktab 31,32, 34, 37).

Pada mulanya kami minta kpd maktab 31 (kloter 15, 16, dan 17) untuk menfasilitasi progran tarwiyah. Namun, pihak maktab pasang harga tinggi, per orang kena 350 SR (Rp.1.400.000). Tentu kami menolak. Saat itu bbrp maktab lain rata2 sdh pasang harga kisaran @250 SR (Rp. 1 jt). 

Belum clear berurusan dg maktab 31, tiba2 ada berita dari jamaah (13 org) yg di kloter 34 tdk diperkenankan ikut gabung dengan maktab lain. Akhirnya kami harus mengizinkan mereka yg 13 org itu tetap gabung di maktabnya, yg penting bisa tarwiyah. Sementara kami yg dlm jumlah besar sekitar 125 jamaah masih blm pasti nasibnya, bisa tarwiyah atau tidak. Saat itu datang juga berita dari Jember 32 org ingin gabung tarwiyah dengan Jabal Nur, kemudian dari Blitar 17 org juga ingin gabung dengan Jabal Nur ikut tarwiyah. Akhirnya kami mencoba gabung ke maktab lain (maktab 32), di situ ada teman saya yg sdh sangat berpengalaman untuk bisa merayu Syekh maktab untuk kegiatan tarwiyah. Kesan awal sepertinya bisa dan dg harga sekitar 250 SR bahkan mungkin bisa kurang dari itu. Saat itu, Jumat, 23 Juni, 2 hari jelang hari tarwiyah, tiba2 malam itu datang berita bhw maktab 32 menyatakan tdk bisa menerima program tarwiyah dari maktab lain. Subhanallah....!!! Astaghfirullah...!!! Bagai petir di siang bolong. Betapa terguncangnya dan betapa stressnya saat itu, dan tdk tahu lagi harus bgm....? Waktu tinggal 1 hari menuju tarwiyah.

Akhirnya saya berusaha mendinginkan kepala, menata hati, membiarkan air mata mengalir membasahi pipi.........!  Lalu merenung, ujian apalagi yang akan dicobakan oleh Allah kepada kami untuk menguji iman kami? Saat itu kami kemudian pasrah/ tawakkal kepada Allah: "Niat untuk melaksanakan sunnah tarwiyah sudah bulat. Bila Allah meridhai, pasti ada jalan atau solusi untuk bisa melaksanakannya". Tiba2 di keheningan malam itu, sekitar pk. 12 malam, saya mendapatkan ilham untuk menulis WA kpd seorang Syekh dari maktab 31 bernama Ahmad Jambi.

"Syekh Ahmad Jambi, saya ada jamaah 175 org. Apa bisa dilayani untuk tarwiyah. Kami sdh siap dana 43.750 real (Rp. 175 juta). Mhn bantuannya. Mhn maaf, jamaah benar-benar sangat berharap bantuannya untuk bisa tarwiyah".

Saat itu, tdk lama kemudian, Syekh Ahmad Jambi menjawab siap mengkomunikasikan dengan tim maktab 31. Alhamdulillah ada respons.

Dalam batin saya, ini sepertinya pelan-pelan Allah akan bukakan akses untuk bisa tarwiyah. Doa terus kami panjatkan.

Sabtu dinihari sekitar jam 02.00 WAS, seorang staf maktab bernama Hudaibi menelpon:

"Pak Zuhdi, tarwiyah bisa dilaksanakan, ttp minta tolong per orang tambah 20 real (sehingga per orang kena 270 SR dg fasilitas kendaraan bus dan makan 4 kali). Bila siap, nanti setelah dhuhur saya ke hotel 511 untuk ambil uangnya".

Saya jawab: "Baik, siap. Insya Allah setelah dhuhur nanti uang kami siapkan"!

Alhamdulillaah. Allah telah membuka aksesnya. Akhirnya bukan hanya Jabal Nur Sidoarjo yg bisa berangkat tarwiyah, ttp Jabal Nur bisa mengajak jamaah dari Jember 32 orang, Blitar 17 orang, dan Madiun 2 orang. Alhamdulillah. Sesuai janji Allah: ان مع العسر يسرا (sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan), dan janji Nabi saw: 

ان النصر مع الصبر 

(sesungguhnya pertolongan akan diberikan kepada orang yang tetap dalam kesabaran).

Alhamdulillah Alhamdulillah Alhamdulillah

 الحمد لله الذى بنعمته تتم الصالحات وبفضله تتنزل الخيرات والبركات وبتوفيقه وبركته تتحقق المقاصد والغايات

(segala puji bagi Allah yg dg nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna, dg anugerah-Nya segala kebaikan dan keberkahan diturunkan, dan dg taufiq serta barakah-Nya segala tujuan dan sasaran telah tercapai).