Kamis, 13 Juli 2023

CINTA SEJATI MENURUT NABI

 CINTA SEJATI MENURUT NABI

 

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M. Fil I

 

 

Permasalahan

Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai. Jika seseorang mencintai keluarganya, gurunya, bahkan mencintai Nabi saw., apakah kelak benar-benar bisa bersama mereka? Cinta seperti apa yang bisa mempertemukan dengan mereka yang dicintai? Mohon pengasuh membahasnya dengan sejelas-jelasnya. Terima kasih. Jazakumullah khairan (Bella, Sidoarjo).

 Pembahasan

              Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

Rasulullah saw. bersabda: “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai”.

(HR. al-Bukhari No. 6168 dan Muslim No. 6888).

              Imam al-Nawawi dalam kitab Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa kalimat (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ), Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai” menunjukkan keutamaan tentang cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul saw., cinta kepada orang-orang salih, dan cinta kepada orang-orang yang ahli berbuat kebaikan, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Di antara tanda-tanda keutamaan cinta kepada Allah swt. dan Rasulullah saw. adalah melaksanakan perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya, dan bertindak atau berakhlak sesuai dengan tuntunan syariah. Dalam hal ini tidak disyaratkan amalnya harus sama dengan yang dicintai. Karena itu antara orang yang mencintai dan orang yang dicintai akan bersama-sama masuk ke dalam surga meskipun tempat di surganya bisa berbeda sesuai dengan kadar amal yang dilakukannya (al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, VIII/483).

          Ibn Bathal dalam kitab Syarh Sahih al-Bukhari menerangkan bahwa kalimat (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ) menunjukkan seseorang yang mencintai orang lain karena Allah, ia akan dikumpulkan oleh Allah di surga bersama orang yang dicintainya meskipun amalnya tidak sebanding dengannya. Mencintai seseorang karena Allah itu pada dasarnya karena cinta terhadap ketaatannya kepada Allah. Cinta adalah amalan hati, dan keyakinannya itu akan memberikan pahala seperti pahalanya orang-orang salih yang dicintainya. Niat adalah yang paling pokok, dan amalan itu tergantung niatnya. Allah-lah yang akan memberikan anugerah kepada siapa yang dikehendaki (Ibn Bathal, Syarh Sahih al-Bukhari, IX/333).

              Dalam hadis lain yang semakna dengan hadis tersebut (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ), telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa Anas ra. mengatakan, ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw. tentang hari kiamat. Orang itu mengatakan:

مَتَى السَّاعَةُ

“Kapankah hari kiamat itu?”.

Rasulullah saw. balik bertanya:

وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi hari itu?”.

Orang itu menjawab: “Tidak ada, hanya saja sesungguhnya saya mencintai Allah dan Rasul-Nya. Beliau bersabda:

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

 “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai”.

Saat itu Anas ra. mengatakan: “Kami (para Sahabat Nabi saw.) tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasulullah saw.: “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai”. Anas ra. mengatakan: “Saya mencintai Nabi saw., Abu Bakr ra. dan Umar ra. Saya berharap kelak bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka, meskipun saya tidak mampu melakukan amalan seperti amalan-amalan yang mereka lakukan (HR. al-Bukhari No. 3688).

              Selain itu, juga ada hadis yang kandungan maknanya sama dengan hadis tersebut (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ), yaitu hadis riwayat al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath No. 6450, dari Ali ra., Nabi saw. bersabda:

وَلَا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ

“Dan seseorang tidak mencintai suatu kaum kecuali akan dikumpulkan bersama mereka”. (HR. al-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath No. 6450). Al-Albani menilai hadis ini sahih lighairihi (al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib No. 3037).

              Hadis-hadis tersebut menegaskan bahwasanya pada hari kiamat nanti, seseorang akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya saat hidup di dunia. Ibnu Hajar mengatakan: “Maksudnya, dia akan dikumpulkan bersama mereka (orang yang dia dicintai) itu, sehingga dia menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang dicintai itu. Dengan pemahaman ini maka tertolaklah pemahaman sebagian orang yang mengatakan bahwa tempat mereka itu, yakni antara orang yang dicintai dan orang yang mencintai akan berbeda. Jika ini benar, maka bagaimana dikatakan akan bersama? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan: Kebersamaan itu bisa terwujud dengan adanya titik temu pada satu hal tertentu dan tidak mesti harus sama dalam semua hal. Jika mereka semua telah di masukkan ke dalam surga, maka berarti telah bersama-sama, meskipun derajat mereka di surga berbeda (al-Asqalani, Fath al-Bari, XVII/363).

              Nah, cinta seperti apa yang dimaksud oleh Nabi saw. hingga orang yang mencintai itu akan dikumpulkan atau dibersamakan dengan orang-orang yang dicintainya? Paling tidak ada tiga cinta yang menyebabkannya:

 

Pertama, Cinta Karena Allah.

Cinta karena Allah yang ditujukan kepada seseorang atau suatu golongan adalah cinta yang didasari karena perintah dan petunjuk dari Allah, juga cinta karena orang-orang itu dimuliakan oleh Allah, dan cinta karena orang-orang itu dekat dan patuh kepada Allah. Jadi, mencintai orang karena Allah bisa berarti mencintai orang karena kesalihan dan ketaatannya kepada Allah sehingga orang itu dicintai oleh Allah. Cinta seperti inilah yang bisa menyebabkan orang-orang yang mencintainya akan dimasukkan ke dalam surga-Nya bersama-sama orang yang dicintai.

Dalam hadis riwayat al-Bukhari No.660 dan Muslim No.2427 disebutkan bahwasanya besok pada hari kiamat ada tujuh golongan yang akan dilindungi oleh Allah pada saat tidak ada lagi perlindungan selain dari Allah. Salah satu dari tujuh golongan itu adalah segolongan orang yang saling mencintai karena Allah:

وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

“Dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya”.

Mencintai seseorang atau golongan karena Allah adalah cinta yang tidak dapat dinodai oleh unsur-unsur keduniaan seperti ketampanan, harta, kedudukan, fasilitas, suku, bangsa dan yang lainnya. Mencintai seseorang karena Allah adalah mencintainya karena ketaatannya dalam melaksanakan perintah Allah dan kegigihannya dalam meninggalkan larangan-Nya.

Al-Qasthalani mengatakan, “Disebut dengan dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, di mana ia berpisah dan berkumpul karena-Nya, yaitu apabila keduanya saling mencintai karena Allah, bukan karena duniawi. Dan cinta karena Allah ini tidak putus karena duniawi, baik dia berkumpul secara hakiki atau tidak, sampai kematian memisahkan keduanya” (al-Qasthalani, Irsyad al-Sari, III/25).

 

Kedua, Cinta dengan Mematuhi.

Sebagai konsekuensi dari mencintai seseorang adalah berusaha meneladani dan mengikuti perbuatan orang yang dicintai. Misalnya, orang yang mencintai Nabi, maka ia harus berusaha untuk bisa meneladani perbuatan beliau. Bila cintanya dapat mendorongnya untuk meneladani Nabi saw, maka sikap dan perbuatan itu akan dapat mengantarkannya masuk surga bersama Nabi saw.

Imam Hasan al-Basri memperingatkan: "Janganlah kalian tergiur atau terlena dengan ungkapan “seseorang akan dikumpulkan di akhirat bersama orang-orang yang dia cintai”. Harus difahami bahwa orang yang benar-benar mencintai seseorang pasti akan mengikuti jejaknya. Seseorang tidak akan dikumpulkan bersama mereka yang dicintai kecuali bila ia berusaha mengikuti perbuatannya, petunjuknya, dan prinsip kehidupannya, dalam kehidupan sehari-hari. Bila tidak mengikutinya, maka tidak akan dikumpulkan bersama mereka yang dicintainya. Ingat, orang Yahudi dan Nasrani pun mencintai Nabi-Nabi mereka, tetapi mereka tidak akan dikumpulkan bersama nabi-nabi mereka di akhirat kelak. (فإن اليهود و النصارى يحبون أنبياءهم وليسوا معهم).

Hal ini disebabkan mereka menyelisihi para Nabinya, tidak mengikuti jejak mereka, malah berperilaku di luar yang diajarkan Nabinya. Karena itu orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan dikumpulkan bersama para Nabinya di surga, malahan akan dicampakkan ke dalam neraka (Ibn Rajab, Majmu’ Rasail Ibn Rajab, III/378-379; al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, II/160).

Allah swt. berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran:31)

Al-Sa’di mengatakan bahwa orang yang tidak mengikuti jejak Rasulullah saw. maka ia dianggap tidak mencintai Allah. Karena sesungguhnya mencintai Allah itu mewajibkan untuk mengikuti Rasulullah saw. Jika tidak demikian maka ia dipandang dusta, karena ia mengatakan cinta tetapi tidak mematuhinya (Abd al-Rahman al-Sa’di, Tafsir al-Sa’di, I/128).

 

Ketiga, Cinta dengan Rela Berkorban

              Seseorang yang benar-benar cinta, sebagai buktinya ia akan berusaha melakukan apapun demi yang dicinta. Ia siap melakukan apa saja yang diminta oleh yang dicinta, demi menyenangkan dan membahagiakannya. Dalam hal ini, Meski sebenarnya ia keberatan, ia rela berkorban demi yang dicintainya.

              Saat Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelih sang putera, yakni Ismail yang sangat disayanginya, sebagai ayah tentu sangat keberatan pada mulanya, tetapi demi cintanya kepada Allah, maka beliau palingkan semua itu dan akhirnya dengan hati yang bulat rela mengorbankan rasa sayangnya kepada sang putera demi mendapatkan cinta dari Allah Yang Maha Penyayang. Inilah yang namanya prioritas. Nabi Ibrahim rela berkurban dan lebih memprioritaskan cinta kepada Allah di atas cintanya kepada yang lain. Allah memperingatkan:

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” (QS. Al-Taubah, 24).

              Fakhrur Razi dalam tafsirnya menjelaskan:

وَهذِهِ الآيَةُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّه إِذاَ وَقَعَ التَّعَارُضُ بَيْنَ مَصْلَحَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ مَصَالِحِ الدِّيْنِ وَبَيْنَ جَمِيْعِ مُهِمَّاتِ الدُّنْيَا، وَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِ تَرْجِيْحُ الدِّيْنِ عَلَى الدُّنْيَا

 Ayat ini (al-Taubah, 24) menunjukkan bahwasanya apabila terjadi pertentangan dalam satu masalah antara kepentingan agama dengan kepentingan dunia, maka kepentingan agama harus diutamakan atau diprioritaskan” (al-Fakhr al-Razi, Mafatih al-Ghaib, I/2194).

              Ibn al-Qayyim mengatakan: Tanda cinta sejati adalah berusaha memadukan atau menyatukan keinginan antara yang mencintai dengan yang dicintai. Bila tidak bisa memadukan atau menyelisihinya, maka hal itu tidak lagi disebut cinta sejati (Ibn al-Qayyim, Raudlat al-Muhibbin, I/265). Dengan demikian, mencintai Allah dan Rasul berarti berusaha melakukan apa saja yang diinginkan oleh keduanya.

 Ketika seseorang mencintai hartanya, maka ia berusaha agar hartanya jangan sampai hilang. Namun, Ketika Allah memerintahkan agar hartanya dikeluarkan untuk kepentingan fi sabilillah, ia harus rela mengeluarkannya demi cintanya kepada Allah. Ketika ia sedang asyik-asyik tidur, tiba-tiba terdengar suara adzan shubuh, maka demi cintanya kepada Allah, ia rela mengorbankan asiknya tidur demi memenuhi panggilan Allah swt untuk shalat subuh. Itulah yang namanya cinta sejati. Ada prioritas. Siap berkorban demi yang dicintai. Wallahu A’lam!

 Artikel ini telah dimuat dalam Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Edisi Juni 2023

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar