Kamis, 14 Juli 2022

SOMBONG PENGHALANG HIDAYAH

 

SOMBONG PENGHALANG HIDAYAH


Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ». قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ (رواه مسلم)

Dari Abdullah bin Mas’ud ra., Nabi saw. bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Seseorang bertanya: “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim no. 275).

Status Hadis

            Hadis tersebut dinilai sahih oleh Imam Muslim dan dimasukkan ke dalam kitab al-Sahih no. 275. Selain diriwayatkan Imam Muslim, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh sejumlah Imam hadis yang lain, di antaranya Imam Abu Dawud dalam al-Sunan no. 4094, Imam al-Tirmidzi dalam al-Sunan no. 1999, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 7366, Imam al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 556, Imam Ibn Hibban dalam al-Sahih no. 5466, Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 6479, Imam al-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar no. 5557, dan Imam al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 5782.  Al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (Sahih al-Adab al-Mufrad, I/219).

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menerangkan bahwa bila seseorang ada kesombongan dalam hatinya, walaupun rasa sombong itu hanya sedikit, maka ia tidak akan bisa masuk ke dalam surga. Yang dimaksud dengan kesombongan itu buka lantaran memakai pakaian yang bagus atau alas kaki yang bagus, tetapi kesombongan yang sejati adalah menolak atau tidak mau menerima kebenaran dan meremehkan atau merendahkan orang lain.

            Faisal bin Abd al-Aziz dalam kitabnya Tathriz Riyad al-Shalihin mengatakan bahwa hadis tersebut menunjukkan haramnya bersikap sombong. Adapun menggunakan sesuatu (pakaian, kendaraan, dan lain-lain) yang bagus dan indah, asal tidak disertai rasa membanggakan diri dan bermegah-megahan, tetapi semata-mata untuk menikmati dan mensyukuri anugerah Allah swt., maka yang demikian itu tidak termasuk sikap al-kibr (sombong) (Faisal bin Abd al-Aziz, Tathriz Riyad al-Shalihin, I/404).

            Kesombongan itu ada dua macam, yaitu sombong terhadap al-haq (kebenaran) dan sombong terhadap al-khalq (makhluk Allah). Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw. pada hadis di atas bahwa “sombong yang sebenarnya adalah menolak kebenaran dan suka meremehkan orang lain”. Menolak kebenaran adalah dengan menolak dan berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada apa-apanya dan melihat dirinya lebih baik dibandingkan dengan orang lain (al-Utsaimin, Syarh Riyad al-Shalihin, I/644).

Dua Macam Kesombongan

            Pertama, Sombong terhadap kebenaran (al-haq) adalah menolak kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dan tidak mau menerimanya. Sikap sombong inilah yang menyebabkan ia tidak bisa (terhalang) mendapatkan hidayah. Sesuai fitrahnya, seharusnya seorang hamba tunduk dan patuh kepada kebenaran. Karena itu maka orang-orang yang dinyatakan sombong yakni tidak mau patuh kepada risalah Allah dan Rasul-Nya, ia dinyatakan kafir dan terancam masuk ke dalam neraka. Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

“Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur(sombong)” (HR. al-Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

Karena itu, wajib bagi setiap mukmin untuk bertekad bulat dalam mendahulukan kebenaran (petunjuk Allah dan Rasul-Nya) di atas pendapat orang lain, siapapun orangnya. Selanjutnya memperhatikan hasil-hasil ijtihad ulama terdahulu yang merujuk kepada kedua Kitab tersebut. Apabila seorang mukmin sudah berusaha mencari kebenaran melalui cara-cara tersebut dan masih ada kesalahan yang mungkin karena keterbatasan dalam memahaminya, maka kesalahannya akan dimaafkan, karena dalam hatinya sudah bermaksud untuk menerima kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya. Sikap inilah yang kemudian disebut sebagai orang yang rendah hati (tawadhu) terhadap kebenaran.

Kedua, sombong terhadap sesama manusia adalah bersikap meremehkan dan merendahkan orang lain. Sikap seperti ini bisa muncul karena adanya I’jab al-mar’i binafsih (bangga terhadap dirinya sendiri) dan merasa lebih hebat dan lebih mulia daripada orang lain. Adanya sifat ujub ini akan membawa seseorang untuk merasa lebih hebat (sombong) daripada orang lain, kemudian meremehkan dan mengolok-olok mereka serta merendahkan mereka dengan ucapan dan perbuatannya. Rasulullah saw. memperingatkan:

بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ

“Cukuplah seseorang dikatakan berbuat kejelekan (kejahatan) dengan merendahkan saudaranya sesama muslim” (H.R muslim no. 6706)..

            Banyak prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dikategorikan kesombongan. Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mencontohkan beberapa sikap sombong, di antaranya membantah guru, memperpanjang pembicaraan, serta menunjukkan adab buruk kepadanya. Bentuk kesombongan lain adalah menganggap rendah orang yang telah memberikan masukan (pikiran) kepadanya hanya karena dia berasal dari kalangan yang lebih rendah. Ini banyak menimpa para penuntut ilmu. Bila ada seseorang yang mengabarkan sesuatu sedangkan pemberi kabar itu posisi keilmuannya lebih rendah darinya, dia menganggap rendah (tidak penting) berita itu dan tak mau menerimanya (al-Utsaimin, Kitab al-Ilmi, I/48).

          Lebih lanjut al-Utsaimin mengatakan bahwa ilmu (hidayah) akan menghindar dari orang yang sombong dan selalu merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Ibarat air, ia selalu menghindari tempat yang tinggi. Sebab, tempat yang tinggi akan menyingkirkan aliran air ke kanan atau kiri dan tidak akan ada yang tergenang di atasnya. Begitu pula halnya dengan ilmu (hidayah), ia tidak akan menetap bersama kesombongan dan keangkuhan, bahkan bisa jadi ilmu (hidayah) itu tercabut karena kesombongan tersebut. Karena sifat sombongnya, seseorang selalu menganggap apa yang diucapkannya benar, sedangkan orang lain salah. Orang sombong, menurut al-Utsaimin, biasanya gila pujian. Jika mengetahui banyak orang memujinya, ia girang bukan main dan bertambahlah keangkuhannya.

Selain karena merasa banyak ilmu, tak sedikit pula orang yang menjadi sombong lantaran banyak harta. Seorang yang alim atau memiliki pengetahuan agama yang baik, menurut al-Utsaimin, tidak selayaknya bersikap seperti orang kaya, di mana setiap kali bertambah ilmunya bertambah pula kesombongannya. Mestinya, setiap kali bertambah ilmu, bertambah pula tawadhunya (rendah hati). Contohlah akhlak Nabi Muhammad saw. Beliau senantiasa tawadhu pada kebenaran dan tawadhu pula kepada sesama. Jika suatu saat terjadi benturan antara tawadhu pada kebenaran dan tawadhu pada manusia, Al-Utsaimin menegaskan, tawadhu pada kebenaran harus lebih diutamakan. Misalnya, jika ada orang yang mencela kebenaran dan merasa bangga bermusuhan dengan orang yang mengamalkan kebenaran, maka dalam kondisi ini engkau tidak boleh bersikap tawadhu kepadanya. Debatlah orang itu, sekali pun ia menghina atau memakimu. Bagaimanapun, engkau harus menolong kebenaran (al-Utsaimin, Kitab al-Ilmi, I/173). 

Hukuman di Dunia bagi Pelaku Sombong

Dalam sebuah hadis sahih dikisahkan sebagai berikut:

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ (رواه مسلم)

“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah saw. dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut malah menjawab, “Aku tidak bisa”. Beliau bersabda: “Apakah kamu tidak bisa?” Dia menolaknya karena sombong. Setelah itu dia tidak bisa mengangkat tangannya (lagi) sampai ke mulut” (H.R. Muslim no. 3766).

Orang tersebut mendapat hukuman dari Allah karena menolak perintah Rasulullah saw. Dia dihukum karena kesombongannya. Hukumannya berupa tidak bisa mengangkat tangan kanannya ke mulutnya. Inilah di antara bentuk hukuman di dunia bagi orang yang sombong.

Jauh sebelumnya, Allah juga menunjukkan kekuasaan-Nya terhadap Qarun yang bersikap sombong, kemudian menghukumnya dengan menenggelamkannya ke dalam perut bumi. Alkisah, di zaman Nabi Musa as., telah hidup seorang bernama Qarun. Ia adalah sepupu Nabi Musa. Ayah Nabi Musa yang bernama Imran adalah kakak dari ayah Qarun yang bernama Yashar. Baik Nabi Musa maupun Qarun adalah keturunan Nabi Ya’kub. Pada mulanya, Qarun telah hidup dalam keadaan sangat miskin. Begitu miskinnya, sampai-sampai ia tidak sanggup menafkahi keluarganya.

Menyadari kondisi yang sangat memprihatinkan ini, Qarun meminta tolong kepada Nabi Musa untuk mendoakan agar Allah memberikannya harta yang berkecukupan. Saat itu Nabi Musa menyetujuinya tanpa ragu karena tahu betul bahwa Qarun saat itu adalah seorang yang salih dan pengikut ajaran Ibrahim yang taat. Doa Nabi Musa pun dikabulkan oleh Allah. Akhirnya, Qarun pun menjadi kaya raya. Ia kemudian memiliki ribuan gudang harta yang penuh berisikan emas dan perak. Dengan bangganya, ia memamerkan kekayaannya. Suatu saat, ia keluar dengan pakaian yang sangat mewah dengan didampingi oleh 600 orang pelayan yang terdiri atas 300 orang laki-laki dan 300 orang perempuan. Bukan hanya itu, ia juga dikawal oleh 4.000 orang pengawal dan diiringi 4.000 ekor binatang ternak yang sehat, plus 60 ekor unta untuk mengangkut kunci-kunci gudang kekayaannya (al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, III/346; Abu Ja’far al-Thabari, Tafsir al-Thabari, XIX/528; Abu al-Barakat al-Nasafi, Tafsir al-Nasafi, III/247). Fantastis!

Namun sayang, setelah keinginannya terwujud, Qarun mempergunakan harta kekayaannya dalam kesesatan, kezaliman, dan permusuhan, sehingga membuatnya menjadi orang yang sombong. Qarun menjadi mabuk dan terlena dengan kekayaannya. Janji Qarun untuk tetap khusyuk beribadah dan membantu sesama, tak terbukti. Dia mendurhakai Allah dan mengkhianati Musa as., kemudian memilih untuk menyembah Sobek, dewa berkepala buaya serta dewa-dewa lainnya.

Ketika Qarun diingatkan agar bersyukur kepada Allah atas harta kekayaannya yang melimpah, ia menolak dan berkata dengan penuh kesombongan. Ia mengatakan bahwa kekayaannnya itu adalah semata-mata karena kelihaiannya semata. Akhirnya Allah pun murka, selanjutnya menghukum Qarun dengan menenggalamkannya ke dalam perut bumi bersama rumah dan harta kekayaannya (QS. al-Qasas ayat 76 sd 81).

 Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada bulan Juli 2022