Sabtu, 26 Desember 2015

TAWADHU'

TAWADHU’

Oleh:


                                                            Achmad Zuhdi Dh


Tawadhu’ adalah salah satu akhlak yang sangat agung dan terpuji.  Allah Swt mengingatkan kepada kita dengan firmanNya:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang lebih mengetahui orang yang bertakwa (QS. Al-Najm, 32)

Pengertian Tawadhu’

Fudhail bin Iyad: tawadhu’ itu menganggap dirinya tidak (lebih) berharga daripada yang lain;
Al-Junaid: tawadhu’ itu merendahkan sayap kepada siapa pun dan bersikap lembut kepada mereka;
Abu Yazid:Tawadhu’ itu adalah tidak menunjukkan dirinya akan kedudukannya, dan meletakkan dirinya paling rendah daripada yang lain.
Jadi, tawadhu’ itu adalah menyadari bahwa dirinya tidak lebih berharga daripada yang lain, selalu berusaha menghargai dan menghormati orang lain (siapa pun) disertai sikap ramah dan santun, dan berusaha menyembunyikan kelebihan atau kedudukannya, serta meletakkan dirinya paling rendah dariapada yang lain.

Tawadhu’nya Nabi Saw:

Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi Saw biasa memberi makan unta, menyapu lantai rumah, memperbaiki sandal, menambal baju, memeras susu, makan bersama pelayan dan membantunya menggiling gandum bila pelayanannya lelah. Beliau tidak pernah merasa malu membawa barang-barang beliau sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa berjabat tangan dengan siapa pun, kaya maupun miskin dan lebih dulu memberi salam bila bertemu. Beliau tidak pernah menceala makanan apapun yang di hidangkan kepadanya, sekalipun hanya berupa kurma kering.  Beliau sangat sederhana dalam hal makanan, lemah lembut dalam berperilaku, baik dalam berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tanpa tertawa, sedih tapi tidak cemberut, rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tapi todak boros. Beliau berhati lembut dan kasih saying kepada setiap muslim. Tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan tidak pernah mengulurkan tangan dengan rakus.

Tawadhu’nya Umar ra

      Urwah b. Zubair menceritakan: Suatu ketika Umar ra membawa segalon air di pundaknya untuk diantarkan ke rumah wanita tua, karena muncul perasaan “GR” atau tinggi hati saat menerima delegasi. Hal ini dilakukan untuk melenyapkan rasa sombong yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. 
Umar sangat takut ketika di hatinya muncul perasaan hebat, merasa lebih dari yang lain. Beliau teringat dengan petingatan dari  Rasulullah Saw:
حَقٌّ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يَرْتَفِعَ شَيْءٌ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا وَضَعَه
Kebenaran atas Allah bahwasanya tiada sesuatu pun di dunia ini yang menyombongkan diri melainkan Allah akan merendahkannya (HR. Al-Bukhari No. 2872).

Tawadhu’nya Abu Dzar al-Ghiffari

      Suatu saat Abu Dzar bertengkar dengan Bilal, lalu Abu Dzar mengolok-olok Bilal dengan kejelekannya seperti kulitnya hitam, dsb. Rasul mengingatkan: “Di hati Abu Dzar masih ada sifat-sifat sombong gaya jahiliyah”. Abu Dzar menyesal kemudian menjatuhkan dirinya ke tanah dan tidak mengangkatnya sebelum kaki Bilal menginjakkan di kepalanya.

Tawadhu’nya Umar bin Abd Aziz

      Pada suatu malam Umar b Abd Aziz sedang menulis, lalu kedatangan tamu,. Waktu itu lampunya hampir mati lantaran minyaknya hampir habis. Tamunya menawarkan diri untuk mengambilkan minyak lampu itu, tetapi ditolaknya karena tidak mau menjadikan tamu seperti pelayan. Kemudian tamu tadi berkata: kalau begitu biarlah saya panggilkan  pelayan, tetapi Umar b. Abdul Azis menolak karena pelayannya baru saja istirahat. Akhirnya beliau sendiri yang mengambil minyak dan mengisinya ke dalam lampu itu. Dengan penuh keheranan sang tamu berkata: “Tuan melakukan pekerjaan ini sendiri, wahai Amirul Mukminin?”. Beliau mengatakan: “Aku melangkah dari sini sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagai Umar pula”.

Fadhiah Tawadhu’

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
Dan tiada seorang pun yang bersikap rendah hati karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya (HR. Muslim No. 6757)

Bahaya Sombong

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ  قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ   إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ(رواه مسلم)
Dari Ibn Mas’ud ra, Nabi Saw bersabda: “tidak akan masuk surga siapa saja yang di hatinya ada sedikit kesombongan. Seseorang bertanya, bagaimana orang yang menyukai baju dan sandal yang bagus? Allah itu indah dan suka pada keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.(HR. Muslim No.275).

Cara menghindari kesombongan

Abu Husen al-Warraq berkata:
وَاِذَا وَقَعَ فِى قُلُوْبِنَا اِحْتِقَارُ اَحَدٍ قُمْنَا بِخِدْمَتِهِ والْاِحْسَانِ اِلَيْهِ حَتَّى يَزُوْلَ
Apabila di hati kami ada perasaan meremehkan orang, maka kami berusaha menjadi pelayan baginya dan berbuat baik (ihsan) kepadanya hingga “perasaan” itu hilang.

Hakikat Ihsan

روى ابن أبي حاتم عن الشعبي قال : قال عيسى بن مريم عليه السلام :
« إِنَّماَ الْإِحْسَانُ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ، لَيْسَ الْإِحْسَانُ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَحْسَنَ إِلَيْكَ » .
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari al-Sya’bi, Isa as bersabda: “Hakikat ihsan itu adalah engkau sanggup berbuat baik kepada orang yang telah berbuat jahat /buruk kepadamu. Tidaklah dikatakan ihsan jika engkau berbuat baik kepada orang yang telah berabuat baik kepadamu (Al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, XXI/36)




Senin, 21 Desember 2015

DOA PADA SUJUD TERAKHIR

DOA PADA SAAT SUJUD TERAKHIR


Oleh 


Achmad Zuhdi Dh


Assalamu’alaikum Wr. Wb. !
Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah !

Setiap saya shalat, khususnya pada saat sujud terakhir, saya selalu berdo’a dalam hati hingga lama sekali. Yang saya tanyakan, apakah dibolehkan menambah doa pada saat melakukan sujud terakhir hingga agak lama di bandingkan dengan sujud-sujud yang lain? Bolehkah saya menambah doa selain doa sujud dengan doa-doa yang lain untuk kepentingan hidup di dunia ini, seperti ingin dapat jodoh? Mohon penjelasannya berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw! Terima Kasih. Jazakumullah khairan katsiran! (Abdullah, Sidoarjo)
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jawab:

Sesuai hadis shahih riwayat Muslim, bahwa di antara tempat dan waktu berdoa yang mustajab, mudah dikabulkan adalah pada saat sedang sujud. Nabi Saw bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah).

            Dalam hadis tersebut dapat difahami bahwa memperbanyak doa pada waktu sujud memang dianjurkan. Namun, tidak ada ketentuan dan anjuran untuk memperbanyak doa hanya pada saat sujud yang terakhir. Karena itu memperbanyak doa, sesuai hadis tersebut, dapat dilakukan pada saat kapan saja setiap melakukan sujud.

          Sebagian ulama tidak membenarkan jika hanya mengkhususkan pada sujud terakhir saja untuk memperbanyak doa, sehingga sujudnya lebih lama dibandingkan dengan sujud-sujud yang lain. Syekh al-Utsaimin (Fatawa Nur ‘Ala al-Darb, XIX/75) mengatakan: “Memperpanjang sujud terakhir ketika shalat bukanlah termasuk Sunnah. Yang sesuai Sunnah Nabi Saw adalah seseorang melakukan shalat antara ruku’, bangkit dari ruku’ (i’tidal), sujud dan duduk antara dua sujud itu hampir sama lamanya”.  Al-Bara’ bin ‘Azib meriwayatkan hadis sebagai berikut:

كَانَ رُكُوعُ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنَ السَّوَاءِ
Ruku’, sujud, bangkit dari ruku’ (i’tidal), dan duduk antara dua sujud yang dilakukan oleh Nabi Saw, semuanya hampir sama (lama dan thuma’ninahnya).”(HR. Bukhari no. 801 dan Muslim no. 471).

            Karena itu, jika ingin memperbanyak doa pada saat sujud, tidak perlu mengkhususkan pada sujud yang terakhir saja, tetapi dapat dilakukan pada saat sujud-sujud yang lain dalam shalatnya. Yang perlu diperhatikan bagi makmum ketika shalat berjamaah, jangan sampai makmum menyelesihi imam gara-gara memperlama dalam sujudnya. Hal ini bisa merusak shalat jamaahnya. Secara syar’i, jika imam sudah selesai dari sujud terkahir  maka selaku makmum hendaklah segera bangkit dari sujud untuk mengikuti imam ketika itu, tidak boleh menyelisihinya. Karena imam itu  diangkat untuk diikuti. Nabi Saw bersabda:

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ
Imam itu diangkat untuk diikuti, maka janganlah diselisihi.” (HR. Bukhari no. 722, dari Abu Hurairah).

            Yang menjadi perselisihan(beda pendapat) di kalangan ulama dalam hal memperbanyak doa pada saat sujud adalah tentang bacaan doanya. Apa yang dimaksud dengan memperbanyak doa itu? Haruskah doa yang dibaca pada saat sujud itu sesuai dengan doa-doa sujud yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw? Bolehkan membaca doa di luar itu, yakni doa sendiri sesuai dengan yang dikehendaki untuk kebutuhan hidup di dunia ini?

            Dalam hal ini ada ada tiga pendapat. Pertama, ulama Hanafiyah: doa yang dibaca itu harus sesuai dengan doa-doa sujud yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, khususnya bacaan tasbih; Kedua, ulama Hanabilah: doa yang dibaca itu boleh selain bacaan sujud yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, asal doa itu ma’tsur (berasal dari al-Qur’an atau al-Hadis yang shahih); Ketiga, ulama Malikiyah dan Syafi’iyah: doa yang dibaca itu boleh dengan doa-doa yang lain sesuai yang dikehendaki asal tidak doa untuk  suatu dosa dan pemutusan silaturrahim.
Syaikh Wahbah Al-Zuhaili mengatakan: “Ulama al-Hanafiyah berpendapat: orang shalat tidaklah ketika ruku dan sujudnya membaca selain tasbih, ini menjadi pendapat madzhab. Sedangkan, hadits tersebut bermakna pada shalat sunah. Sedangkan, ulama Malikiyah menganjurkan doa ketika sujud, baik doa yang terkait dengan urusan dunia atau agama atau akhirat, untuk dirinya atau orang lain, secara khusus atau umum tanpa batasan, bahkan dengan itu Allah Ta’ala telah memberikan kemudahan. Menurut ulama Hambaliyah, tidak apa-apa berdoa dengan doa-doa dan dzikir yang ma’tsur (berasal dari hadits).” Sedangkan ulama al-Syafi’iyah menguatkan kesunnahan berdoa (apa saja) ketika sujud.” (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/84)
Rasulullah Saw  memberikan contoh doa yang dibacanya ketika sujud, yakni sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرَّهُ
 “Ya Allah ampnilah dosa-dosaku semua, baik yang halus atau yang jelas, yang awal dan yang akhir, dan yang terang-terangan dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim No. 1112)
 Nah, jika membaca doa ini maka sangat bagus dan kita telah mengikuti sunnah Nabi Saw. Tetapi apakah dengan ini berarti membatasi doa-doa yang dibaca? Bolehkah membaca doa lain sesuai hajat kita?
Imam Al-Nawawi (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, III/471-472), mengatakan bahwa doa-doa dalam sujud tersebut adalah mutlak dan tidaklah dibatasi. Doa apa saja yang termasuk maksud doa adalah boleh. Sebab Rasulullah Saw melakukan berbagai doa yang berbeda dan berbagai tema. Ini menunjukkan bahwa hal itu tidak dilarang. Dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim), dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Saw bersabda tentang doa akhir tasyahhud:
ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَلْيَدْعُ بِه
“Kemudian hendaknya dia memilih doa yang disukai dan sesuai seleranya.” Dalam riwayat Imam Muslim, sebagaimana menjelasan bab yang lalu, dari Abu Hurairah: “kemudian dia berdoa untuk apa-apa yang nyata untuk dirinya.”
 Suatu saat Syekh Bin Baz (Fatawa Bin Baz, XI/64-65) ditanya tentang hukum membaca doa untuk urusan dunia pada saat sujud dalam shalat fardhu. Beliau menjawab: berdoa pada saat sujud dalam shalat-shalat fardhu maupun sunnah, baik untuk dirinya maupun orang lain yang dikehendaki termasuk perkara yang disunnahkan atau disyariatkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw: “Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah). Lebih lanjut Bin Baz mengatakan bahwa memperbanyak berdoa juga disyariatkan pada saat sujud dengan doa apa saja, baik urusan dunia ataupun urusan akhirat. Misalnya berdoa minta istri yang shalihah, anak yang baik, rizki yang halal, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan beberapa hadis yang hampir sama maknanya seperti sabda Nabi Saw: “Kemudian hendaknya dia memilih doa yang disukai dan sesuai seleranya.” Dalam riwayat Imam Muslim, sebagaimana menjelasan bab yang lalu, dari Abu Hurairah: “kemudian dia berdoa untuk apa-apa yang nyata untuk dirinya.” (Muttafaqun Alaih).
Kesimpulan:
1.      Memperbanyak doa pada saat sujud adalah dianjurkan dan sesuai dengan syariat;
2.      Memperbanyak doa pada saat sujud, tidak dianjurkan hanya pada saat sujud yang terakhir, tetapi boleh dilakukan pada setiap sujud dalam shalatnya, baik shalat fardhu maupun shalat Sunnah;
3.      Ulama berbeda pendapat tentang bacaan yang dibaca dalam memperbanyak doa di waktu sujud. Sebagian ulama, seperti Hanafiah, hanya membatasi pada doa-doa sujud yang dicontohkan Rasulullah Saw. Sementara ulama lain, seperti Hanabilah, membolehkan bacaan doa selain bacaan sujud, asal doanya ma’tsur dari al-Qur’an atau pun al-Hadis. Adapun ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, membolehkan bacaan doa apa saja yang dikehendaki, baik doa untuk kepentingan dunia maupun akhirat.
4.      Wallahu A’lam!