Sabtu, 03 November 2018

PENJARAHAN SAAT BENCANA TIBA


PENJARAHAN SAAT BENCANA TIBA

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Nabi Saw bersabda:
            وَلاَ يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“…Orang mulia yang terpandang tidak akan merampas hak orang lain ketika sedang merampas ia dalam keimanan yang prima”.                                                                         (HR. al-Nasai dari Abu Hurairah ra)
Status Hadis
            Menurut Muhammad Nashiruddin al-Albani hadis tersebut shahih (Shahih Wa Dha’if Sunan al-Nasa-i, X/442). Hadis tersebut terdapat dalam kitab Sunan al-Nasai karya Imam al-Nasa-i (Sunan al-Nasa-i, VIII/64 hadis no. 4870), kitab al-Tamhid karya Ibn Abd al-Barr (al-Tamhid, IV/236), dan kitab al-Lu’lu’ Wa al-Marjan karya M.Fuad Abd al-Baqi (al-Lu’lu’ Wa al-Marjan, I/12 hadis no. 36).
            Hadis tersebut juga diakui keshahihannya oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam masing-masing kitabnya, Shahih al-Bukhari hadis No. 5578 dan kitab Shahih Muslim hadis No. 211.
Kandungan Hadis
            Hadis tersebut menjelaskan bahwa tindakan penjarahan tidak mungkin dilakukan oleh seorang mukmin. Orang yang benar-benar mukmin tidak akan melakukan penjarahan, karena ia sadar bahwa penjarahan itu terlarang. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), penjarahan sama dengan perampasan. Menjarah berarti merebut dan merampas milik orang (terutama dalam suasana perang atau dalam kekacauan). Penjarahan adalah bagian dari pencurian.
            Teks hadis tersebut merupakan penggalan bagian akhir dari hadis yang agak panjang. Selengkapnya sebagai berikut (artinya): Dari Abu Hurairah ra., ia berkata; Nabi Saw bersabda: "Seorang pezina tidak akan berzina bila saat hendak berzina ia dalam keimanan yang prima. Seseorang tidak akan meminum khamar bila saat hendak minum-minuman ia dalam keimanan yang prima. Seorang pencuri tidak akan mencuri bila saat hendak mencuri ia dalam keimanan yang prima. Dan orang mulia yang terpandang tidak akan merampas hak orang lain bila saat hendak merampas ia dalam keimanan yang prima.” (HR. al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, dan lain-lain).
            Hadis tersebut bisa juga dipahami bahwa melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain seperti mencuri dan menjarah hukumnya haram. Ketentuan ini merupakan hukum asal dari penjarahan. Adapun jika penjarahan itu dilakukan pada saat dalam keadaan darurat, seperti saat-saat terjadi bencana yang mengakibatkan sulit mencari bahan-bahan makanan, maka berikut ini penjelasan para ulama.
Abdul Qadir Audah dalam kitabnya “al-Tasyri’ al-Jina-i Fi al-Islam” mengemukakan kaidah “al-hudud tudra’u bi al-syubhat” (الحدود تُدرأ بالشبهات),  artinya: “Hukuman had bisa digugurkan karena alasan syubhat” (Audah, al-Tasyri’ al-Jina-i Fi al-Isla, I/226).
Hukuman had adalah hukuman bagi pelaku kriminal yang sudah ditentukan dalam islam, seperti potong tangan bagi pencuri. Sedangkan syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya.
Mengenai tindakan penjarahan yang dilakukan oleh sebagian orang pada saat terjadi bencana kelaparan, Ali bin Yusuf al-Syairazi mengatakan:
وإن سرق الطعام عام المجاعة نظرت فإن كان الطعام موجودا قطع لانه غير محتاج إلى سرقته وإن كان معدوما لم يقطع لما روى عن عمر رضى الله عنه أنه قال لا قطع فى عام المجاعة أو السنة ولان له أن يأخذه فلم يقطع فيه
Jika ada orang yang mencuri ketika kelaparan, maka harus dilihat (diperhatikan kadaannya). Jika makanan masih ada, maka dia dipotong tangannya, karena dia tidak butuh untuk mencuri makanan itu. Namun jika dia tidak memiliki makanan, tidak dipotong tangannya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Umar ra. bahwa beliau mengatakan, ‘Tidak ada potong tangan ketika musim kelaparan’, dan dia juga punya hak untuk mengambil makanan, sehingga tidak dipotong tangannya (al-Syairazi, al-Muhadzab Fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i, II/282).
Ibn al-Mulqin Sirajuddin Abu Hafs, dalam kitabnya al-Badr al-Munir mengutip pendapat Umar bin al-Khattab ra: لَا قَطْعَ في عَامِ الْمَجَاعَةِ,  “Tidak ada hukum potong tangan saat musim kelaparan” (Ibn al-Mulqin, al-Badr al-Munir, VIII/679).
Ibn al-Qayyim mengatakan: “Jika terjadi kelaparan yang mencekam sehingga masyarakat mengalami kondisi terpaksa dan darurat, dan pencuri tidak ada yang melakukan aksinya selain karena alasan darurat untuk menutupi kebutuhan makannya, maka wajib bagi pemilik harta untuk memberikan harta itu kepadanya, baik dengan cara membeli atau gratis, ada khilaf ulama dalam masalah ini”. Lebih lanjut Ibn al-Qayyim mengatakan:
والصحيح وجوب بذله مجانا لوجوب المواساة وإحياء النفوس مع القدرة على ذلك والإيثار بالفضل مع ضرورة المحتاج، وهذه شبهة قوية تدرأ القطع عن المحتاج… لا سيما وهو مأذون له في مغالبة صاحب المال على أخذ ما يسد رمقه
Pendapat yang benar adalah wajib bagi pemilik makanan untuk menyerahkan makanan itu secara gratis. Mengingat adanya kewajiban kesamaan sepenanggungan dan menjaga jiwa selama masih mampu dilakukan, dan mendahulukan orang lain dengan makanan di luar kebutuhan pokoknya ketika orang yang membutuhkan dalam kondisi darurat. Dan ini termasuk syubhat yang sangat kuat, yang menggugurkan hukuman potong tangan bagi orang yang membutuhkan… terlebih dia diizinkan untuk memaksa pemilik makanan agar dibolehkan mengambil makanan yang cukup untuk mengatasi kelaparannya(Ibn al-Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in, III/10-11).
   Kebolehan menjarah bagi orang yang sedang dalam situasi terpaksa (darurat) ini sejalan dengan KUHP Pasal 48 berbunyi, "Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana". Daya paksa sebagaimana dimaksud pasal 48 KUHP terdiri atas keadaan memaksa (overmacht) dan keadaan darurat (noodtoestand).  Keadaan memaksa (overmacht) adalah dasar pemaaf yang berarti seorang pelaku dapat dimaafkan meski perbuatannya melawan hukum. Namun, pelaku tersebut juga harus memenuhi syarat tertentu. "Kalau keadaan memaksa, perbuatannya tetap melawan hukum, tapi ada faktor pemaaf pada diri pelaku. Misalnya karena pelaku orang gila, anak di bawah umur, atau orang dalam keadaan memaksa yang mutlak". Sederhananya, pelaku penjarahan bisa dimaafkan perbuatannya bila orang tersebut adalah orang gila, masih di bawah umur, serta orang yang tidak dapat menentukan kehendaknya secara bebas mengenai perbuatan apa yang dapat dilakukannya.
Sementara keadaan darurat (noodtoestand) adalah dasar pembenar, yaitu membenarkan atau membolehkan perbuatan pelaku sehingga tidak perlu mendapatkan sangsi hukum. "Dalam kasus penjarahan saat terjadi bencana kelaparan, sepanjang dilakukan untuk mempertahankan hidup, perbuatannya menjadi perbuatan yang tidak (lagi dipandang) melawan hukum karena ia harus mempertahankan hidupnya. Ada pilihan situasi antara harus mencuri demi bertahan hidup atau diam saja tidak mencuri dengan resiko mati (kelaparan)". Dalam hal ini, tidaklah dikatakan bahwa perbuatan tersebut halal, perbuatan itu hanya dibolehkan karena terpaksa atau darurat. Karena itu para pelaku pada saat tersebut dapat dimaafkan (fait d’execuse).

Penjelasan ulama terkait kebolehan tindakan penjarahan pada saat kondisi hajat dan kondisi darurat di atas hanya berlaku untuk pencurian atau penjarahan dalam bentuk makanan atau semua hal yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup. Adapun kebutuhan lain yang tidak berkaitan dengan pertahanan hidup, seperti televisi atau perabotan, dan kebutuhan skunder lainnya hukumnya seperti hukum asal, yaitu dilarang untuk diambil. Intinya, penjarahan bisa diizinkan apabila karena terpaksa demi untuk bertahan hidup.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar