Kamis, 25 Desember 2025

Hasil Sitaan Korupsi untuk Kepentingan Umat, Bolehkah?

 Hasil Sitaan Korupsi untuk Kepentingan Umat, Bolehkah?

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
 

 

Permasalahan

            Belakangan ini muncul pertanyaan di tengah masyarakat tentang uang sitaan kasus korupsi yang jumlahnya fantastis dengan nilai mencapai triliunan rupiah. Banyak yang berpikir, kenapa tidak digunakan saja untuk kepentingan umat seperti membangun rumah sakit atau membantu fakir miskin? Islam memang tegas melarang harta haram, termasuk hasil korupsi. Namun jika harta itu sudah disita negara, apakah boleh dimanfaatkan untuk kebaikan, atau tetap haram meski untuk tujuan mulia? Mohon Pengasuh berkenan membahas yang sejelas-jelasnya dengan dukungan dalil-dalil al-Qur’ah dan al-Hadis (Upik, Surabaya).

Pembahasan

1.    Korupsi dalam Timbangan Syariah

Korupsi termasuk ghulūl, yakni penggelapan harta publik. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan dengan tegas:

وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa berkhianat (menggelapkan harta publik), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Āli Imrān [3]: 161). Ayat ini menunjukkan betapa beratnya dosa korupsi. Nabi juga bersabda:

"هَدَايَا العُمَّالِ غُلُولٌ"

“Hadiah kepada pejabat adalah bentuk penggelapan (ghulul)” (HR. Ahmad 23601 dan Al-Bayhaqi 3267). Al-Albani: Hadis ini sahih (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Saghir, I/1177).

            Artinya, setiap bentuk penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi, termasuk menerima “hadiah” dari rakyat, tergolong korupsi dalam makna moral Islam. Karena itu, harta hasil korupsi termasuk harta haram (al-māl al-arām), tidak sah dimiliki, tidak boleh dinikmati, dan wajib dikembalikan kepada yang berhak. Allah berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS. al-Baqarah [2]: 188).

2.    Prinsip Mengembalikan kepada yang Berhak

Dalam hukum Islam, bila seseorang memperoleh harta dengan cara batil, kewajiban pertamanya adalah mengembalikan harta itu kepada pemilik asalnya. Kalau itu milik rakyat, maka dikembalikan ke baitul māl (kas negara) yang mewakili kepentingan publik.

            Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Imam al-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ menjelaskan:

إِذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ، فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ، وَجَبَ صَرْفُهُ إِلَيْهِ أَوْ إِلَى وَكِيلِهِ،فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا، وَجَبَ دَفْعُهُ إِلَى وَارِثِهِ،وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يُعْرَفُهُ، وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يُصْرَفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ،كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ، وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ

“Apabila seseorang memiliki harta haram dan ia ingin bertaubat serta membersihkan diri darinya, maka jika harta itu memiliki pemilik yang jelas, wajib diserahkan kepada pemiliknya atau kepada wakilnya. Jika pemiliknya telah meninggal dunia, maka wajib diserahkan kepada ahli warisnya. Namun, jika harta itu milik seseorang yang tidak diketahui siapa dia, dan sudah tidak mungkin lagi dapat diketahui, maka hendaknya harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan umum kaum Muslimin, seperti pembangunan jembatan, rumah-rumah penginapan (ribāṭ), masjid, jalan menuju Makkah, dan sejenisnya, yaitu hal-hal yang memberi manfaat bagi kaum Muslimin secara luas (al-Ghazali, Iyā Ulūm al-Dīn, II/ 91 dan al-Nawawi, al-Majmu’, IX/332).

Ibn Taymiyyah juga sependapat:…”Demikian pula orang yang memiliki harta tetapi tidak mengetahui siapa pemiliknya, seperti orang yang bertaubat dari perbuatan merampas (ghāṣib), orang yang bertaubat dari pengkhianatan (khāin), orang yang bertaubat dari riba (murābī), dan orang-orang sejenis mereka yang memiliki harta yang tidak sah menjadi miliknya dan tidak diketahui siapa pemilik sebenarnya, maka ia harus menyalurkannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin…” (Ibn Taymiyah, Majmū al-Fatāwā, XXVIII/568).

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa menurut Ibn Taymiyyah, harta haram yang tidak diketahui pemiliknya -baik hasil ghulul, khianat, maupun riba- tidak boleh dimiliki, melainkan disalurkan untuk kepentingan umum umat Islam.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali dalam I
yā Ulūm al-Dīn, yang menekankan etika taubat dengan pemurnian harta.

3.    Setelah Disita Negara: Milik Siapa?

Ketika negara menyita hasil korupsi, harta itu berubah status: dari milik pelaku menjadi milik publik. Dalam sistem Islam klasik, ia masuk ke baitul māl, lembaga keuangan negara yang bertugas mengelola harta umat.

Imam al-Māwardī dalam al-Akām al-Sulṭāniyyah (al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, 222) menegaskan bahwa segala bentuk denda, sitaan, dan pengembalian harta hasil kejahatan publik menjadi bagian dari baitul māl. Tujuannya agar harta itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan sosial dan pembangunan.

Karena itu, dalam konteks Indonesia, harta sitaan korupsi yang dikelola oleh negara (misalnya KPK atau Kejaksaan) boleh dialokasikan untuk kemaslahatan umum, tentu dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel. Dasarnya adalah kaidah fikih terkenal:

التَّصَرُّفُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan mereka” (al-Barakati, Qawaid al-Fiqh, I/15).

4. Hati-hati: Jangan Disucikan Jadi Amal Saleh

Perlu dibedakan antara mengembalikan harta haram untuk keadilan sosial dan bersedekah dari harta haram untuk “mencuci dosa”. Islam melarang seseorang menjadikan harta haram sebagai amal saleh. Rasulullah bersabda:

 لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” (HR. Muslim 557).

Maka, jika pelaku korupsi sendiri yang menyalurkan hartanya ke masjid atau panti asuhan dengan niat “menebus dosa,” amal itu tidak diterima. Harta itu tetap haram baginya. Ibnu Hajar mengatakan:

دَلَّ قَوْلُهُ لَا تُقْبَلُ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ أَنَّ الْغَال لَا تَبْرَأُ ذِمَّهُ إِلَّا بِرَدِّ الْغُلُوْلِ إِلَى أَصْحَابِهِ بِأَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ إِذَا جَهِلَهُمْ مَثَلاً والسَّبَبُ فِيْهِ أَنَّهُ مِنْ حَقِّ الْغَانِمِيْنَ فَلَوْ جُهِلَتْ أَعْيَانُهُمْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْهِ بِالصَّدَقَةِ عَلَى غَيْرِهِمْ.

Sabda Nabi : “sedekah tidak diterima karena hasil korupsi” menunjukkan bahwa orang yang korupsi tidak bisa lepas dari tanggung jawab kecuali dengan mengembalikan harta korupsi itu kepada pemiliknya, bukan dengan mensedekahkannya ketika tidak mengetahui siapa pemiliknya. Sebabnya adalah bahwa harta itu masih milik al-Ghanimin (pasukan perang yang mendapat ghanimah, pemilik asli), sekalipun pemilik asli tidak diketahui, tidak boleh bagi koruptor untuk manyalurkan uang itu dengan mensedekahkannya kepada orang lain” (al-Asqalani, Fath al-Bari, III/ 278-279).

Berbeda jika negara menyita hasil korupsi dan menyalurkannya kepada masyarakat atas nama keadilan, bukan atas nama pelaku. Dalam kasus ini, harta itu tidak lagi “sedekah dari yang haram,” tapi pemulihan hak publik.

5. Landasan Kaidah Fikih

Beberapa kaidah penting dapat dijadikan pijakan hukum dalam persoalan ini:

  1. الضَّرَرُ يُزَالُ
    “Kemudaratan harus dihilangkan” (Ibn Manshur al-Khulaifi, al-Minhaj Fi Ilm al-Qawaid al-Fiqhiyah, I/4).
    Korupsi menimbulkan kerusakan sosial; maka pengelolaan hasil sitaan untuk publik adalah bentuk penghilangan mudarat.
  2. التَّصَرُّفُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
    “Kebijakan terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan mereka” (al-Barakati, Qawaid al-Fiqh, I/15).
    Negara harus menyalurkan harta sitaan dengan tujuan maslahat, bukan kepentingan politik.
  3. مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاؤُهُ
    “Apa yang haram diambil, haram pula diberikan” (Al-Suyuti, al-Asybah Wa al-Nadhair, I/261).
    Pelaku korupsi tidak boleh menikmati harta itu lagi.

6. Contoh Kebijakan Masa Sahabat

Khalifah Umar pernah menegaskan, “Siapa pun yang kami angkat menjadi pejabat, lalu memiliki tambahan harta setelah menjabat, maka tambahan itu termasuk ghulûl (harta haram) dan wajib disita negara” (Abu Yusuf, Kitâb al-Kharâj, 107). Ia tidak segan menyita harta Khalid bin al-Walid ra. yang diketahui sebagai hadiah saat menjabat pejabat negara. Umar menilai hadiah itu sebagai ghulûl dan memerintahkan agar diserahkan ke Baitul Mal (kas negara) (Ibn Sa‘d, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, IV/322).

Peristiwa serupa terjadi pada Abu Hurairah ra. Setelah menjabat gubernur Bahrain, ia membawa pulang 12 ribu dirham. Umar menegurnya, “Sebelum menjabat engkau tidak punya harta sebanyak ini, mengapa sekarang ada 12 ribu dirham?” Seluruh uang itu kemudian disita dan dimasukkan ke Baitul Mal (Ibn Sa‘d, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, IV/90). Umar juga memeriksa kekayaan Sa‘ad bin Abi Waqqash ra. Sebagian hartanya disita karena dianggap tidak wajar, lalu dimasukkan ke Baitul Mal (al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, 222).

 7. Dalam Konteks Indonesia

Dalam hukum positif Indonesia, hasil korupsi menjadi aset negara setelah disita secara sah. Bila kemudian negara menyalurkannya untuk kemaslahatan rakyat, misalnya membangun fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, atau bantuan sosial, hal ini selaras dengan prinsip syariah selama (1) Tidak dimanfaatkan untuk pencitraan politik; (2) Tidak dijadikan legitimasi bagi pelaku korupsi; dan (3) Dikelola secara transparan dan akuntabel.

Dengan begitu, harta hasil kejahatan tidak mubazir, tetapi kembali menjadi manfaat bagi masyarakat luas. Dalam istilah fikih, ini bagian dari ta’dīl al-maāsy, menegakkan keadilan ekonomi dalam kehidupan sosial.

8. Keadilan Sosial, Bukan Penghapus Dosa

Perlu ditegaskan bahwa penggunaan hasil sitaan korupsi adalah untuk kemaslahatan umat, bukan untuk menghapus dosa korupsi. Dosa tetap harus ditebus dengan taubat dan hukuman yang setimpal.

Namun, agar harta hasil kejahatan tidak menjadi sumber mudarat baru, Islam memberi jalan tengah: gunakan untuk kemaslahatan umat. Hal ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali dan Ibn Taymiyah bahwa “Harta haram tidak bisa disucikan kecuali dengan mengembalikannya kepada pemiliknya, atau menyalurkannya untuk kemaslahatan umum”.

Jadi, bukan berarti uang hasil korupsi menjadi “halal” karena digunakan untuk umat, tapi karena statusnya sudah berubah menjadi harta publik hasil penyitaan yang sah secara hukum dan syariat.

9. Penutup

Korupsi merupakan kejahatan besar yang merusak moral, menindas rakyat, dan mengkhianati amanah. Dalam pandangan Islam, korupsi termasuk ghulul yang dosanya sangat berat.

Setelah hasil korupsi disita oleh negara, harta tersebut tidak boleh dibiarkan sia-sia. Ia harus dikembalikan kepada masyarakat agar menjadi sumber kemaslahatan, bukan alat untuk berbuat dosa. Dengan demikian harta sitaan hasil korupsi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umat.

Pemanfaatan hasil sitaan korupsi harus dilakukan bukan atas nama pelaku dan bukan sebagai amal penebus dosa, melainkan atas dasar keadilan dan kesejahteraan umat. Dengan demikian, penggunaannya bertujuan untuk memulihkan kebaikan bersama, bukan untuk menyucikan kejahatan. Wallahu A’lam!

Top of Form

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Desember 2025)

Bottom of Form

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar