Hasil Sitaan Korupsi untuk Kepentingan Umat, Bolehkah?
Oleh
Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan
Belakangan ini muncul pertanyaan di tengah masyarakat
tentang uang sitaan kasus korupsi yang jumlahnya fantastis dengan nilai
mencapai triliunan rupiah. Banyak yang berpikir, kenapa tidak digunakan saja
untuk kepentingan umat seperti membangun rumah sakit atau membantu fakir
miskin? Islam memang tegas melarang harta haram, termasuk hasil korupsi. Namun
jika harta itu sudah disita negara, apakah boleh dimanfaatkan untuk kebaikan,
atau tetap haram meski untuk tujuan mulia? Mohon Pengasuh berkenan membahas
yang sejelas-jelasnya dengan dukungan dalil-dalil al-Qur’ah dan al-Hadis (Upik,
Surabaya).
Pembahasan
1.
Korupsi
dalam Timbangan Syariah
Korupsi termasuk ghulūl,
yakni penggelapan harta publik. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan dengan
tegas:
وَمَن
يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa berkhianat
(menggelapkan harta publik), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa
yang dikhianatkannya itu.” (QS. Āli ‘Imrān [3]:
161). Ayat ini menunjukkan betapa beratnya dosa korupsi. Nabi ﷺ
juga bersabda:
"هَدَايَا العُمَّالِ غُلُولٌ"
“Hadiah kepada pejabat adalah
bentuk penggelapan (ghulul)” (HR. Ahmad 23601 dan Al-Bayhaqi 3267). Al-Albani:
Hadis ini sahih (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Saghir, I/1177).
Artinya, setiap bentuk penyalahgunaan jabatan untuk
keuntungan pribadi, termasuk menerima “hadiah” dari rakyat, tergolong korupsi
dalam makna moral Islam. Karena itu, harta hasil korupsi termasuk harta
haram (al-māl al-ḥarām), tidak
sah dimiliki, tidak boleh dinikmati, dan wajib dikembalikan kepada yang berhak.
Allah berfirman:
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah kamu memakan
harta di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS. al-Baqarah [2]: 188).
2.
Prinsip Mengembalikan kepada yang Berhak
Dalam hukum Islam, bila
seseorang memperoleh harta dengan cara batil, kewajiban pertamanya adalah mengembalikan
harta itu kepada pemilik asalnya. Kalau itu milik rakyat, maka dikembalikan ke baitul
māl (kas
negara) yang mewakili kepentingan publik.
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Imam al-Nawawi dalam
kitabnya al-Majmu’ menjelaskan:
إِذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ
التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ، فَإِنْ كَانَ
لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ، وَجَبَ صَرْفُهُ إِلَيْهِ أَوْ إِلَى وَكِيلِهِ،فَإِنْ
كَانَ مَيِّتًا، وَجَبَ دَفْعُهُ إِلَى وَارِثِهِ،وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا
يُعْرَفُهُ، وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يُصْرَفَهُ فِي
مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ،كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ
وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ، وَنَحْوِ ذَلِكَ
مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ
“Apabila seseorang memiliki harta haram dan
ia ingin bertaubat serta membersihkan diri darinya, maka jika harta itu
memiliki pemilik yang jelas, wajib diserahkan kepada pemiliknya atau kepada
wakilnya. Jika pemiliknya telah meninggal dunia, maka wajib diserahkan kepada
ahli warisnya. Namun, jika harta itu milik seseorang yang tidak diketahui siapa
dia, dan sudah tidak mungkin lagi dapat diketahui, maka hendaknya harta
tersebut digunakan untuk kemaslahatan umum kaum Muslimin, seperti
pembangunan jembatan, rumah-rumah penginapan (ribāṭ),
masjid, jalan menuju Makkah, dan sejenisnya, yaitu hal-hal yang
memberi manfaat bagi kaum Muslimin secara luas (al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, II/
91 dan al-Nawawi, al-Majmu’, IX/332).
Ibn Taymiyyah juga sependapat:…”Demikian
pula orang yang memiliki harta tetapi tidak mengetahui siapa pemiliknya,
seperti orang yang bertaubat dari perbuatan merampas (ghāṣib),
orang yang bertaubat dari pengkhianatan (khā’in), orang yang bertaubat dari
riba (murābī), dan
orang-orang sejenis mereka yang memiliki harta yang tidak sah menjadi
miliknya dan tidak diketahui siapa pemilik sebenarnya, maka ia harus
menyalurkannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin…” (Ibn Taymiyah, Majmū‘ al-Fatāwā, XXVIII/568).
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa
menurut Ibn Taymiyyah, harta haram yang tidak diketahui pemiliknya -baik
hasil ghulul, khianat, maupun riba- tidak boleh dimiliki, melainkan disalurkan
untuk kepentingan umum umat Islam.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, yang
menekankan etika taubat dengan pemurnian harta.
3.
Setelah
Disita Negara: Milik Siapa?
Ketika negara menyita hasil
korupsi, harta itu berubah status: dari milik pelaku menjadi milik
publik. Dalam sistem Islam klasik, ia masuk ke baitul māl,
lembaga keuangan negara yang bertugas mengelola harta umat.
Imam al-Māwardī dalam
al-Aḥkām
al-Sulṭāniyyah (al-Mâwardî,
al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, 222) menegaskan bahwa segala bentuk denda,
sitaan, dan pengembalian harta hasil kejahatan publik menjadi bagian dari baitul
māl.
Tujuannya agar harta itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan
sosial dan pembangunan.
Karena itu, dalam konteks
Indonesia, harta sitaan korupsi yang dikelola oleh negara (misalnya KPK atau
Kejaksaan) boleh dialokasikan untuk kemaslahatan umum, tentu dengan tata
kelola yang transparan dan akuntabel. Dasarnya adalah kaidah fikih terkenal:
التَّصَرُّفُ عَلَى الرَّعِيَّةِ
مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan
terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan mereka”
(al-Barakati, Qawaid al-Fiqh, I/15).
4. Hati-hati: Jangan Disucikan Jadi Amal
Saleh
Perlu dibedakan antara mengembalikan
harta haram untuk keadilan sosial dan bersedekah dari harta haram untuk
“mencuci dosa”. Islam melarang seseorang menjadikan harta haram sebagai
amal saleh. Rasulullah ﷺ bersabda:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ
بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Shalat tidak akan diterima
tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” (HR.
Muslim 557).
Maka, jika pelaku korupsi
sendiri yang menyalurkan hartanya ke masjid atau panti asuhan dengan niat
“menebus dosa,” amal itu tidak diterima. Harta itu tetap haram baginya. Ibnu
Hajar mengatakan:
دَلَّ قَوْلُهُ لَا تُقْبَلُ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
أَنَّ الْغَال لَا تَبْرَأُ ذِمَّهُ إِلَّا بِرَدِّ الْغُلُوْلِ إِلَى أَصْحَابِهِ
بِأَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ إِذَا جَهِلَهُمْ مَثَلاً والسَّبَبُ فِيْهِ أَنَّهُ مِنْ
حَقِّ الْغَانِمِيْنَ فَلَوْ جُهِلَتْ أَعْيَانُهُمْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ
يَتَصَرَّفَ فِيْهِ بِالصَّدَقَةِ عَلَى غَيْرِهِمْ.
Sabda Nabi ﷺ:
“sedekah tidak diterima karena hasil korupsi” menunjukkan bahwa orang
yang korupsi tidak bisa lepas dari tanggung jawab kecuali dengan mengembalikan
harta korupsi itu kepada pemiliknya, bukan dengan mensedekahkannya ketika tidak
mengetahui siapa pemiliknya. Sebabnya adalah bahwa harta itu masih milik al-Ghanimin (pasukan
perang yang mendapat ghanimah, pemilik asli), sekalipun
pemilik asli tidak diketahui, tidak boleh bagi koruptor untuk manyalurkan uang
itu dengan mensedekahkannya kepada orang lain” (al-Asqalani, Fath al-Bari,
III/ 278-279).
Berbeda jika negara menyita
hasil korupsi dan menyalurkannya kepada masyarakat atas nama keadilan, bukan
atas nama pelaku. Dalam kasus ini, harta itu tidak lagi “sedekah dari yang
haram,” tapi pemulihan hak publik.
5. Landasan Kaidah Fikih
Beberapa kaidah penting dapat dijadikan pijakan hukum dalam
persoalan ini:
- الضَّرَرُ يُزَالُ
“Kemudaratan harus dihilangkan” (Ibn Manshur al-Khulaifi, al-Minhaj Fi Ilm al-Qawaid al-Fiqhiyah, I/4).
→ Korupsi menimbulkan kerusakan sosial; maka pengelolaan hasil sitaan untuk publik adalah bentuk penghilangan mudarat. - التَّصَرُّفُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ
بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan mereka” (al-Barakati, Qawaid al-Fiqh, I/15).
→ Negara harus menyalurkan harta sitaan dengan tujuan maslahat, bukan kepentingan politik. - مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاؤُهُ
“Apa yang haram diambil, haram pula diberikan” (Al-Suyuti, al-Asybah Wa al-Nadhair, I/261).
→ Pelaku korupsi tidak boleh menikmati harta itu lagi.
6. Contoh Kebijakan Masa
Sahabat
Khalifah Umar pernah
menegaskan, “Siapa pun yang kami angkat menjadi pejabat, lalu memiliki tambahan
harta setelah menjabat, maka tambahan itu termasuk ghulûl (harta haram)
dan wajib disita negara” (Abu Yusuf, Kitâb al-Kharâj, 107). Ia tidak
segan menyita harta Khalid bin al-Walid ra. yang diketahui sebagai hadiah saat
menjabat pejabat negara. Umar menilai hadiah itu sebagai ghulûl dan
memerintahkan agar diserahkan ke Baitul Mal (kas negara) (Ibn Sa‘d, Ath-Thabaqât
al-Kubrâ, IV/322).
Peristiwa serupa terjadi pada
Abu Hurairah ra. Setelah menjabat gubernur Bahrain, ia membawa pulang 12 ribu
dirham. Umar menegurnya, “Sebelum menjabat engkau tidak punya harta sebanyak
ini, mengapa sekarang ada 12 ribu dirham?” Seluruh uang itu kemudian disita dan
dimasukkan ke Baitul Mal (Ibn Sa‘d, Ath-Thabaqât al-Kubrâ,
IV/90). Umar juga memeriksa kekayaan Sa‘ad bin Abi Waqqash ra. Sebagian
hartanya disita karena dianggap tidak wajar, lalu dimasukkan ke Baitul Mal
(al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, 222).
7. Dalam Konteks Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia,
hasil korupsi menjadi aset negara setelah disita secara sah. Bila kemudian
negara menyalurkannya untuk kemaslahatan rakyat, misalnya membangun fasilitas
pendidikan, layanan kesehatan, atau bantuan sosial, hal ini selaras dengan
prinsip syariah selama (1) Tidak dimanfaatkan untuk pencitraan politik; (2)
Tidak dijadikan legitimasi bagi pelaku korupsi; dan (3) Dikelola secara
transparan dan akuntabel.
Dengan begitu, harta hasil
kejahatan tidak mubazir, tetapi kembali menjadi manfaat bagi masyarakat luas.
Dalam istilah fikih, ini bagian dari ta’dīl
al-ma‘āsy, menegakkan
keadilan ekonomi dalam kehidupan sosial.
8. Keadilan Sosial, Bukan
Penghapus Dosa
Perlu ditegaskan bahwa
penggunaan hasil sitaan korupsi adalah untuk kemaslahatan umat, bukan untuk
menghapus dosa korupsi. Dosa tetap harus ditebus dengan taubat dan hukuman
yang setimpal.
Namun, agar harta hasil
kejahatan tidak menjadi sumber mudarat baru, Islam memberi jalan tengah: gunakan
untuk kemaslahatan umat. Hal ini
sejalan dengan pandangan al-Ghazali dan Ibn Taymiyah bahwa “Harta haram tidak
bisa disucikan kecuali dengan mengembalikannya kepada pemiliknya, atau
menyalurkannya untuk kemaslahatan umum”.
Jadi, bukan berarti uang hasil
korupsi menjadi “halal” karena digunakan untuk umat, tapi karena statusnya
sudah berubah menjadi harta publik hasil penyitaan yang sah secara hukum dan
syariat.
9. Penutup
Korupsi merupakan kejahatan
besar yang merusak moral, menindas rakyat, dan mengkhianati amanah. Dalam
pandangan Islam, korupsi termasuk ghulul yang dosanya sangat berat.
Setelah hasil korupsi disita
oleh negara, harta tersebut tidak boleh dibiarkan sia-sia. Ia harus
dikembalikan kepada masyarakat agar menjadi sumber kemaslahatan, bukan alat
untuk berbuat dosa. Dengan demikian harta sitaan hasil korupsi bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
Pemanfaatan hasil sitaan
korupsi harus dilakukan bukan atas nama pelaku dan bukan sebagai amal
penebus dosa, melainkan atas dasar keadilan dan kesejahteraan umat.
Dengan demikian, penggunaannya bertujuan untuk memulihkan kebaikan bersama,
bukan untuk menyucikan kejahatan. Wallahu A’lam!
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Desember 2025)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar