BERHAJI DENGAN VISA NON-HAJI
Oleh
Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan:
Assalamu’alaikum wr. wb.!
Beberapa tahun terakhir ini saya
mendengar ada sejumlah orang yang berangkat haji dengan tidak memakai visa
haji, tetapi pakai visa non haji. Di antara mereka ada yang menggunakan
visa kerja dan sebagian yang lain memakai visa ziarah. Akibatnya ada di antaraa
mereka yang tertangkap kemudian ditahan oleh pemerintah Saudi. Yang kami
tanyakan, bagaimana menurut tarjih Muhammadiyah mengenai hukum haji mereka,
apakah sah? Atas jawabannya kami sampaikan terima kasih (M. Solih, Ngawi).
Pembahasan:
Wa’alaikumussalam wr. wb.!
Menurut ajaran Islam, haji adalah ibadah yang sangat
penting karena merupakan salah satu rukun dari lima rukun Islam. Sebagai salah
satu kewajiban dalam rukun Islam, ibadah haji membutuhkan persiapan-persiapan
yang sangat matang sehingga seseorang baru dipandang mampu melaksanakannya
dengan baik. Dalam al-Qur’an Surah Ali Imran (3), ayat 97 disebutkan:
…وَلِلّٰهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ
كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“…
(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa
yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak
memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam” (QS. Ali Imran, 197).
Dalam pandangan Majelis Tarjih
Muhammadiyah, ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban haji itu mempersyaratkan
persiapan yang matang, atau dalam ayat tersebut diungkapkan dengan kata istiṭā‘ah (mampu). Persiapan ini tidak hanya menyangkut
aspek spiritual dan penguasaan manasik haji, tetapi juga aspek fisik (kesehatan),
logistik (bekal) dan administratif yang sangat kompleks. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan haji perlu melibatkan Pemerintah agar dapat dilaksanakan dengan
baik dan tertib. Dalam konteks ini, orang yang tidak bisa mendapatkan visa haji
resmi, maka ia dianggap tidak memenuhi kesiapan kemampuan (al-Istiṭā‘ah) dari sisi
administrative (al-Idāriyyah).
Selain tidak memenuhi syarat kemampuan
kesiapan dari sisi administratif, berhaji dengan visa non-haji (haji ilegal)
dalam kenyataannya dapat berpotensi melahirkan sejumlah mudarat (bahaya) dan
mafsadah (kerusakan) yang tidak sedikit, baik mudarat dan mafsadat terhadap
diri sendiri, dan terhadap orang lain, maupun mudarat dan mafsadah terhadap
pemerintah.
Mafsadah pertama, berhaji
tanpa visa haji resmi berpotensi mendatangkan bahaya dan kerugian, baik untuk
diri sendiri maupun orang lain. Kerugian yang bisa menimpa terhadap diri
sendiri berupa ancaman hukuman yang tidak ringan. Dalam laman resmi Kementerian
Agama Republik Indonesia (kemenag.go.id) disebutkan bahwa bilamana ada jamaah
yang tertangkap menggunakan visa ziarah (visa non haji), maka yang bersangkutan
akan ditahan, dideportasi dan berpotensi kena denda sebesar 10 ribu Riyal yang
setara dengan Rp. 42 juta. Keterangan besaran denda ini pun dikonfirmasi oleh Wizārah ad-Dākhilah
al-Mamlakah al- ‘Arabiyyah as-Su‘ūdiyyah pada laman resmi mereka (moi.gov.sa). Haji dengan visa
non-haji juga dipandang telah melanggar keimigrasian yang berpotensi
mendapatkan sanksi berupa larangan berhaji selama 10 tahun berturut-turut.
Adapun bahaya yang ditimbulkan
kepada orang lain adalah menyebabkan penyelenggaraan haji tidak berjalan
maksimal, yang nantinya akan berdampak pada banyak aspek, di antaranya
terjadinya kepadatan lokasi atau over kapasitas yang menyebabkan
ketidak-nyamanan bagi jamaah. Dalam Islam, suatu perbuatan yang menimbulkan
bahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain adalah hal yang tidak
dibolehkan. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ: "لَا
ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ )رواه ابن ماجه(
Dari
‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit (diriwayatakan), Rasulullah saw
menetapkan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang membahayakan (diri sendiri) dan
tidak boleh pula membahayakan (pihak lain) [HR Ibnu Majah]. Al-Albani: Sahih (Ghayat
al-Maram, I/158).
Atas dasar ini, beribadah haji dengan menggunakan visa
non-haji adalah perbuatan yang terlarang karena menimbulkan banyak
mafsadah dan karena itu harus dicegah. Dalam kaidah fikih disebutkan:
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ
مُقَدَّمٌ
عَلى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindari
kemafsadahan-kemafsadahan lebih didahulukan daripada meraih berbagai
kemaslahatan (Abdul
Mukmin al-Hanbali, Taysir al-Wusul, I/310).
Mafsadah kedua, adalah
timbulnya ketidakadilan bahkan sampai pada taraf mengambil atau merampas hak
orang lain. Dalam praktiknya, berhaji tanpa visa haji resmi secara otomatis
mengambil jatah orang lain. Di tahun 2023 saja, terdapat kasus 100.000 jamaah
Indonesia yang berhaji dengan menggunakan visa ziarah. Over kapasitas ini pada
akhirnya membuat tempat atau area ibadah menjadi semakin sempit, baik di area
tawaf, sai, lempar jamrah, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah maupun di Mina.
Padahal, berdasarkan laporan Direktorat Jenderal, Penyelenggaraan Haji dan
Umrah, space jamaah di Muzdalifah diperkirakan hanya sekitar 0,29 m2, lebih
sempit dari tahun lalu, sekitar 0,45m2. Dengan banyaknya jamaah haji dengan
visa non-haji, maka banyak tempat haji menjadi semakin padat dan sesak. Lebih
lanjut pada kondisi tertentu dapat membuat jamaah lain terganggu, pingsan
bahkan berakibat pada kematian.
Adanya dampak buruk ini menunjukkan
bahwa berhaji dengan visa non-haji pada hakikatnya merupakan tindakan mengambil
atau merampas hak orang lain. Oleh karena itu bisa dikategorikan sebagai
tindakan pidana dalam sudut pandang syariat (jarīmah dīniyyah). Padahal, Allah telah mempersyaratkan
setiap melakukan kebaikan harus ditempuh melalui proses yang baik, utamanya
ibadah yang bersifat khusus termasuk di dalamnya ibadah haji. Dalam surah
al-Baqarah (2) ayat 188 disebutkan:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ
اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Janganlah
kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat
memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui (QS.
Al-Baqarah, 188).
Dalam hadis sahih Riwayat Muslim,
Nabi saw bersabda:
مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ
امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ
عَلَيْهِ الْجَنَّةَ(رواه مسلم)
Barangsiapa
mengambil hak orang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan ia masuk
neraka, dan haram masuk surga (HR. Muslim 370).
Mafsadah ketiga, berhaji dengan visa non-haji merupakan
tindakan penipuan atau pengelabuan, karena ia harus melakukan pemalsuan dokumen
dan memanipulasi informasi. Dengan demikian, berhaji dengan menggunakan visa
selain visa haji resmi dapat dipandang sebagai bentuk penipuan atau pengelabuan
terhadap pemerintah dan pihak-pihak terkait yang berwenang. Rasulullah pernah
mengancam orang yang melakukan penipuan (al-gasysyu) dengan tidak diakui
sebagai bagian dari umatnya. Hadis Nabi saw. menyebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ
مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا )رواه
مسلم(
Dari
Abu Hurairah (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang
mengangkat senjata (memerangi) kami, maka ia tidak termasuk dari kami dan siapa
yang menipu kami, ia pun tidak termasuk dari kami (HR Muslim 294).
Pada hadis yang lain juga disebutkan
bahwa umat Islam seharusnya mentaati dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan dan disepakati. Dalam hadis disebutkan, dari sahabat Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى
شُرُوطِهِمْ
(رواه ابوداود)
Umat
Islam harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati )HR. Abu
Dawud 3596(. Al-Albani: Hasan Sahih.
Dengan demikian, dapat difahami bahwa
dalam proses pelaksanaan ibadah haji, jamaah yang berhaji dengan visa non haji mengandung
banyak hal yang bisa digolongkan sebagai bentuk kefasikan yang dilarang dalam
pelaksanaan ibadah haji. Dalam potongan ayat 197 surah al-Baqarah (2)
disebutkan:
…
فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا
فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ …
…Siapa
yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat
maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji… (QS. Al-Baqarah, 197).
Demikian pula dalam hadis yang lain
juga disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ
حَجَّ
فَلَمْ
يَرْفُثْ،
وَلَمْ يَفْسُقْ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ )رواه
الترمذي(
Dari
Abu Hurairah (diriwayatkan) berkata, Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang
berhaji dan tidak melakukan perkara keji (rafaṡ) dan
tidak melakukan kefasikan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu (HR at-Tirmidzi 811). Al-Albani: Sahih.
Berdasarkan pembahasan di atas,
Majelis Tarjih Muhammadiyah mengambil kesimpulan sebagai berikut, yaitu:
Pertama, melaksanakan ibadah haji wajib hukumnya
menggunakan visa haji resmi, tidak boleh menggunakan visa non-haji, karena
mendapatkan visa haji resmi merupakan bagian dari istiṭā‘ah idāriyyah (kemampuan administratif) yang
dipersyaratkan.
Kedua, melaksanakan ibadah haji dengan visa
non-haji (misalnya dengan visa ziarah) adalah perbuatan terlarang (tidak diperbolehkan)
karena menyebabkan banyak mudarat dan mafsadah, di antaranya merugikan diri
sendiri dan orang lain, serta merupakan tindakan ketidakadilan karena mengambil
hak orang lain dan termasuk tindakan penipuan (Fatwa MTT-PPM, 12 Juni 2024).
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim Edisi Agustus 2025)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar