Kamis, 07 Agustus 2025

BERHAJI DENGAN VISA NON-HAJI

                                                BERHAJI DENGAN VISA NON-HAJI

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan:

            Assalamu’alaikum wr. wb.!

            Beberapa tahun terakhir ini saya mendengar ada sejumlah orang yang berangkat haji dengan tidak memakai visa haji, tetapi pakai visa non haji. Di antara mereka ada yang menggunakan visa kerja dan sebagian yang lain memakai visa ziarah. Akibatnya ada di antaraa mereka yang tertangkap kemudian ditahan oleh pemerintah Saudi. Yang kami tanyakan, bagaimana menurut tarjih Muhammadiyah mengenai hukum haji mereka, apakah sah? Atas jawabannya kami sampaikan terima kasih (M. Solih, Ngawi).

             

Pembahasan:

            Wa’alaikumussalam wr. wb.!

            Menurut ajaran Islam, haji adalah ibadah yang sangat penting karena merupakan salah satu rukun dari lima rukun Islam. Sebagai salah satu kewajiban dalam rukun Islam, ibadah haji membutuhkan persiapan-persiapan yang sangat matang sehingga seseorang baru dipandang mampu melaksanakannya dengan baik. Dalam al-Qur’an Surah Ali Imran (3), ayat 97 disebutkan:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“… (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam” (QS. Ali Imran, 197).

Dalam pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah, ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban haji itu mempersyaratkan persiapan yang matang, atau dalam ayat tersebut diungkapkan dengan kata istiṭā‘ah (mampu). Persiapan ini tidak hanya menyangkut aspek spiritual dan penguasaan manasik haji, tetapi juga aspek fisik (kesehatan), logistik (bekal) dan administratif yang sangat kompleks. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan haji perlu melibatkan Pemerintah agar dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib. Dalam konteks ini, orang yang tidak bisa mendapatkan visa haji resmi, maka ia dianggap tidak memenuhi kesiapan kemampuan (al-Istiṭā‘ah) dari sisi administrative (al-Idāriyyah). 

            Selain tidak memenuhi syarat kemampuan kesiapan dari sisi administratif, berhaji dengan visa non-haji (haji ilegal) dalam kenyataannya dapat berpotensi melahirkan sejumlah mudarat (bahaya) dan mafsadah (kerusakan) yang tidak sedikit, baik mudarat dan mafsadat terhadap diri sendiri, dan terhadap orang lain, maupun mudarat dan mafsadah terhadap pemerintah.

            Mafsadah pertama, berhaji tanpa visa haji resmi berpotensi mendatangkan bahaya dan kerugian, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Kerugian yang bisa menimpa terhadap diri sendiri berupa ancaman hukuman yang tidak ringan. Dalam laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (kemenag.go.id) disebutkan bahwa bilamana ada jamaah yang tertangkap menggunakan visa ziarah (visa non haji), maka yang bersangkutan akan ditahan, dideportasi dan berpotensi kena denda sebesar 10 ribu Riyal yang setara dengan Rp. 42 juta. Keterangan besaran denda ini pun dikonfirmasi oleh Wizārah ad-Dākhilah al-Mamlakah al- ‘Arabiyyah as-Su‘ūdiyyah pada laman resmi mereka (moi.gov.sa). Haji dengan visa non-haji juga dipandang telah melanggar keimigrasian yang berpotensi mendapatkan sanksi berupa larangan berhaji selama 10 tahun berturut-turut.

            Adapun bahaya yang ditimbulkan kepada orang lain adalah menyebabkan penyelenggaraan haji tidak berjalan maksimal, yang nantinya akan berdampak pada banyak aspek, di antaranya terjadinya kepadatan lokasi atau over kapasitas yang menyebabkan ketidak-nyamanan bagi jamaah. Dalam Islam, suatu perbuatan yang menimbulkan bahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain adalah hal yang tidak dibolehkan. Dalam sebuah hadis disebutkan:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ: "لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ )رواه ابن ماجه(

Dari ‘Ubādah bin a-Ṣāmit (diriwayatakan), Rasulullah saw menetapkan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh pula membahayakan (pihak lain) [HR Ibnu Majah]. Al-Albani: Sahih (Ghayat al-Maram, I/158).

            Atas dasar ini, beribadah haji dengan menggunakan visa non-haji adalah perbuatan yang terlarang karena menimbulkan banyak mafsadah dan karena itu harus dicegah. Dalam kaidah fikih disebutkan:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menghindari kemafsadahan-kemafsadahan lebih didahulukan daripada meraih berbagai kemaslahatan (Abdul Mukmin al-Hanbali, Taysir al-Wusul, I/310).

            Mafsadah kedua, adalah timbulnya ketidakadilan bahkan sampai pada taraf mengambil atau merampas hak orang lain. Dalam praktiknya, berhaji tanpa visa haji resmi secara otomatis mengambil jatah orang lain. Di tahun 2023 saja, terdapat kasus 100.000 jamaah Indonesia yang berhaji dengan menggunakan visa ziarah. Over kapasitas ini pada akhirnya membuat tempat atau area ibadah menjadi semakin sempit, baik di area tawaf, sai, lempar jamrah, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah maupun di Mina. Padahal, berdasarkan laporan Direktorat Jenderal, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, space jamaah di Muzdalifah diperkirakan hanya sekitar 0,29 m2, lebih sempit dari tahun lalu, sekitar 0,45m2. Dengan banyaknya jamaah haji dengan visa non-haji, maka banyak tempat haji menjadi semakin padat dan sesak. Lebih lanjut pada kondisi tertentu dapat membuat jamaah lain terganggu, pingsan bahkan berakibat pada kematian.

            Adanya dampak buruk ini menunjukkan bahwa berhaji dengan visa non-haji pada hakikatnya merupakan tindakan mengambil atau merampas hak orang lain. Oleh karena itu bisa dikategorikan sebagai tindakan pidana dalam sudut pandang syariat (jarīmah dīniyyah). Padahal, Allah telah mempersyaratkan setiap melakukan kebaikan harus ditempuh melalui proses yang baik, utamanya ibadah yang bersifat khusus termasuk di dalamnya ibadah haji. Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 188 disebutkan:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, 188).

            Dalam hadis sahih Riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ(رواه مسلم)

Barangsiapa mengambil hak orang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan ia masuk neraka, dan haram masuk surga (HR. Muslim 370).

            Mafsadah ketiga, berhaji dengan visa non-haji merupakan tindakan penipuan atau pengelabuan, karena ia harus melakukan pemalsuan dokumen dan memanipulasi informasi. Dengan demikian, berhaji dengan menggunakan visa selain visa haji resmi dapat dipandang sebagai bentuk penipuan atau pengelabuan terhadap pemerintah dan pihak-pihak terkait yang berwenang. Rasulullah pernah mengancam orang yang melakukan penipuan (al-gasysyu) dengan tidak diakui sebagai bagian dari umatnya. Hadis Nabi saw. menyebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا )رواه مسلم(

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang mengangkat senjata (memerangi) kami, maka ia tidak termasuk dari kami dan siapa yang menipu kami, ia pun tidak termasuk dari kami (HR Muslim 294).

            Pada hadis yang lain juga disebutkan bahwa umat Islam seharusnya mentaati dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan disepakati. Dalam hadis disebutkan, dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ (رواه ابوداود)

Umat Islam harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati )HR. Abu Dawud 3596(. Al-Albani: Hasan Sahih.

Dengan demikian, dapat difahami bahwa dalam proses pelaksanaan ibadah haji, jamaah yang berhaji dengan visa non haji mengandung banyak hal yang bisa digolongkan sebagai bentuk kefasikan yang dilarang dalam pelaksanaan ibadah haji. Dalam potongan ayat 197 surah al-Baqarah (2) disebutkan: 

فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ

…Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafa, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji… (QS. Al-Baqarah, 197).

            Demikian pula dalam hadis yang lain juga disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ )رواه الترمذي(

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) berkata, Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang berhaji dan tidak melakukan perkara keji (rafa) dan tidak melakukan kefasikan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu (HR at-Tirmidzi 811). Al-Albani: Sahih.

            Berdasarkan pembahasan di atas, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengambil kesimpulan sebagai berikut, yaitu:

Pertama, melaksanakan ibadah haji wajib hukumnya menggunakan visa haji resmi, tidak boleh menggunakan visa non-haji, karena mendapatkan visa haji resmi merupakan bagian dari istiṭā‘ah idāriyyah (kemampuan administratif) yang dipersyaratkan.

Kedua, melaksanakan ibadah haji dengan visa non-haji (misalnya dengan visa ziarah) adalah perbuatan terlarang (tidak diperbolehkan) karena menyebabkan banyak mudarat dan mafsadah, di antaranya merugikan diri sendiri dan orang lain, serta merupakan tindakan ketidakadilan karena mengambil hak orang lain dan termasuk tindakan penipuan (Fatwa MTT-PPM, 12 Juni 2024).

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim Edisi Agustus 2025)

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar