Rabu, 14 September 2016

ORANG MISKIN YANG SABAR DAN ORANG KAYA YANG SYUKUR

MANA YANG LEBIH MULIA
ORANG MISKIN YANG SABAR ATAU ORANG KAYA YANG SYUKUR

Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Pertanyaan:
            Assalamu’alaikum wr wb!
            Ust. Achmad Zuhdi yang dirahmati Allah!
Mohon penjelasan mengenai sebuah amal. Mana yang lebih mulia, orang miskin yang bersabar atau orang kaya yang bersyukur? Terima kasih sebelumnya. (Abdullah, Sidoarjo)

Jawab:
            Jika kita ditanya mana di antara dua keadaan yang dipilih, jadi orang miskin yang sabar atau orang kaya yang syukur, barangkali banyak di antara kita yang memilih jadi orang kaya yang syukur. Karena yang terbayang di benak kita jika menjadi orang kaya pastinya hidup nyaman, bisa berbagi uang, dan kehidupan kita menjadi terpandang serta disukai banyak orang. Sedangkan jika menjadi orang miskin, yang terbayang di benak kita adalah kehidupan yang menderita, serba kekurangan, dan kurang diperhatikan orang.
            Sekarang yang menjadi permasalahan adalah mana yang lebih utama, menjadi miskin yang sabar atau kaya yang syukur? Dalam hal ini ada tiga pendapat yang masyhur, yakni sebagai berikut:
Pertama: Orang miskin yang bersabar lebih utama. 
 Pendapat ini dipilih oleh mayoritas Shufiyyah (ahli tasawwuf) dan banyak ahli fiqh. Termasuk dalam kelompok ini adalah al-Junaid. Di antara alasan yang digunakan adalah, bahwa cobaan kemiskinan lebih berat untuk dirasakan dibandingkan cobaan kekayaan. Imam al-Ghazali(Ihya ‘Ulum al-Din, III/264) berpendapat bahwa secara umum kefakiran itu lebih utama dibandingkan dengan kekayaan. Pada bagian lain al-Ghazali (Ihya ‘Ulum al-Din, IV/140) mengatakan:
فَرُبَّ فَقِيْرٍ صَابِرٍ أَفْضَلُ مِنْ غَنِيٍّ شَاكِرٍ كَمَا سَبَقَ وَرُبَّ غَنِيٍّ شَاكِرٍ أَفْضَلُ مِنْ فَقِيْرٍ صَابِرٍ وَذَلِكَ هُوَ الْغَنِيُّ الَّذِيْ يَرَىْ نَفْسَهُ مِثْلَ الْفَقِيْرِ إِذْ لاَ يُمْسِكُ لِنَفْسِهِ مِنَ الْمَالِ إِلاَّ قَدْرَ الضَّرُوْرَةِ وَالْبَاقِيْ يُصْرِفُهُ إِلَى الخْيَرْاَتِ
 “Berapa banyak orang faqir yang bersabar dan lebih utama dibandingkan dengan orang kaya yang bersyukur. Begitu pula sebaliknya, berapa banyak orang kaya yang bersyukur yang lebih utama dibandingkan dengan orang faqir yang sabar. Mereka itu adalah orang kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang faqir. Ia tidak memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat, dan selebihnya ia gunakan untuk hal-hal kebaikan.”  
Dari Abū Hurairah, Nabi bersabda:
يَدْخُل فُقَرَاءُ الْمسْلمِينَ الْجنّةَ قَبْلَ أغْنِيَائِهِم بِنِصْفِ يَوْمٍ، وَهُوَ خَمْسُمِائَة عَامٍ
“Orang-orang faqir di kalangan kaum muslimin kelak akan mendahului orang-orang kaya mereka dalam hal masuk surga selama setengah hari (di akhirat), yaitu lima ratus tahun.” (HR. al-Tirmidzi). Al-Albani: hadis ini shahih (Shahih al-Tarhib Wa al-Tarhib, III/132).
Hadis tersebut difahami oleh kelompok pertama sebagai dalil bahwa orang faqir yang sabar itu lebih utama daripada  orang kaya yang bersyukur.  
Kedua: Orang kaya yang bersyukur lebih utama. 
Pendapat ini dipilih oleh sejumlah ulama. Di antara tokoh yang memilih pendapat ini adalah Ibn Qutaibah, Abu al-Abbas, Ibn Atha, Abu Ali al-Daqqaq (guru Abu al-Qasim al-Qusyairi) dan banyak ulama madzhab Syafii. Di antara alasan yang digunakan kelompok ini adalah bahwa kekayaan merupakan sifat Allah sedangkan kefakiran merupakan sifat makhluk, sementara sifat Allah tentu lebih baik dibandingkan sifat makhluk. Di antara hadis yang menjadi dalil bagi mereka yang berpendapat bahwa orang kaya yang syukur lebih utama daripada orang miskin yang sabar adalah hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar yang  menyebutkan bahwa sebagian Sahabat mengadu kepada Nabi:
يَا رَسُولَ اللّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ. يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي. وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ. وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Ya Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa pahala-pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami puasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk bersedekah, (sementara kami tidak memiliki harta untuk disedekahkan) HR. Muslim No. 2376).
Imam al-Nawawi (Syarh Nawawi ‘Ala Muslim, II/372) berkata: “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mereka bahwa orang kaya yang bersyukur itu lebih utama dibandingkan dengan orang miskin yang bersabar. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan Salaf dan Khalaf dari berbagai kalangan”.
Ketiga, keduanya sama-sama mulia.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai keutamaan suatu hal dari yang lainnya, di antaranya beliau ditanyakan mengenai manakah yang lebih utama antara orang kaya yang pandai bersyukur atau orang miskin yang selalu bersabar. Lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat memuaskan, “Yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling bertakwa kepada Allah Swt. Jika orang kaya dan orang miskin tadi sama dalam ketakwaannya, maka berarti mereka sama derajatnya, sama-sama mulianya.”(Majmu’ al-Fatawa, XI/21).
Ibnul Qoyyim ra (Madarijus Salikin, 2/442) mengatakan:

أَنَّ التَّفْضِيْلَ لاَ يَرْجِعُ إِلَى ذَاتِ الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَإِنَّماَ يَرْجِعُ إِلَى الْأَعْمَالِ وَالْأَحْوَالِ وَالْحَقَائِقِ …..فَإِنَّ التَّفْضِيْلَ : عِنْدَ اللهِ تَعاَلَى بِالتَّقْوَى وَحَقَائِقِ الْإِيْمَانِ لاَ بِفَقْرٍ وَلاَ غِنَى  
“Bahwasanya keutamaan di antara orang kaya dan orang miskin itu tidak kembali pada miskin atau pun kayanya, tetapi semua itu kembali kepada amalan, keadaan, dan hakikatnya. … Keutamaan di antara keduanya(orang kaya dan orang miskin)  di sisi Allah dilihat dari ketakwaan, hakikat iman, bukan dilihat dari miskin atau kayanya”.

Karena Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13)
Dalam ayat tersebut, Allah tidak mengatakan bahwa yang paling mulia adalah yang paling kaya di antara kalian atau yang paling miskin di antara kalian. Lebih lanjut Ibn al-Qayyim (Uddat al-Shabirin, I/126) mengatakan bahwa yang menentukan kemuliaan itu karena takwanya. Karena itu, jika keduanya (yang miskin dan yang kaya) itu sama tingkat ketakwaannya kepada Allah, maka keduanya sama-sama mulia dan sama derajatnya di sisi Allah. (Baca juga Ibn Taymiyah, Risalah Fi al-Shufiyah Wa al-Fuqara, I/7).

Dalam sejarah kenabian, kita mengenal dua sosok Nabi yang kondisinya sangat kontras (berkebalikan). Yang pertama Nabi Ayyub, sebagai sosok Nabi yang dikenal sangat penyabar, di tengah ujian sangat berat yang beliau alami. Sebelumnya, Ayub adalah orang salih yang sangat kaya, hartanya melimpah dan memiliki banyak anak. Allah mengujinya, dengan membalik keadaannya. Hebatnya, datangnya semua ujian itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Semua anaknya diambil berikut hartanya. Sanak kerabatnya menjauhinya, hingga beliau harus keliling dari satu sampah ke sampah untuk mendapatkan sesuap makanan. Sampai akhirnya beliau sakit parah, tidak ada bagian kulit seluas titik jarum yang sepi dari penyakit. Semua orang menjauhinya, selain satu istrinya yang setia mendampinginya, karena imannya kepada Allah. Semoga Allah meridhai istri Ayub. Cobaan yang dialami Nabi Ayyub ini terjadi sekitar selama 18 tahun. (Tafsir Ibn Katsir, 7/74). Beliau tetap sabar dalam menghadapi kemiskinan dan penderitaannya.
Yang kedua, Nabi Sulaiman sebagai sosok yang dikenal sangat pandai bersyukur, di tengah melimpahnya fasilitas dunia yang beliau miliki. Beliau menjadi raja yang kekuasaannya meliputi alam manusia, jin, dan binatang. Itulah doa beliau yang Allah kabulkan, sehingga beliau menjadi penguasa paling hebat di antara manusia. Doa beliau telah diabadikan dalam QS. Shad, 35: “Wahai Rabku, berikanlah aku kerajaan yang tidak layak untuk dimiliki oleh seorangpun sesudahku. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pemberi”. Beliau juga berdoa meminta kepada Allah agar dijadikan sebagai hambaNya yang pandai bersyukur (QS.al-Naml, 19).
Dari dua sosok Nabi tersebut, yakni Nabi Ayyub yang tetap sabar saat diuji dengan kemiskinan dan penderitaan, dan Nabi Sulaiman yang tetap bersyukur saat dikaruniai kejayaan dalam berbagai hal, Allah ingin memberikan pelajaran kepada manusia bagaimana seharusnya bersikap, baik di kala miskin maupun kaya. Dan, Allah tidak membedakan di antara keduanya dalam kemuliaannya, karena keduanya sama-sama tinggi ketakwaannya.  Wallahu A’lam !

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar