Rabu, 29 Desember 2021

HINDARI POPULARITAS

 

HINDARI KETENARAN

 

Oleh

Dr. H. Achmad Zuhdi Dh


عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ رضي الله عنه قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: "إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الخَفِىَّ (رَوَاه مُسْلِمٌ)

Dari Sa’ad bin Abi Waqqas ra. ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, yang kaya, dan yang merahasiakan diri” (HR. Muslim No. 7621).

Status Hadis

              Hadis tersebut dinilai sahih oleh Imam Muslim dalam al-Jami al-Sahih hadis No. 7621. Selain Imam Muslim, beberapa ulama ahli hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut adalah Imam Ahmad dalam al-Musnad hadis No. 1441, Imam al-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar hadis No. 6050, Imam al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman hadis No.9885, Imam Abu Ya’la dalam al-Musnad hadis No. 737, Imam al-Mundziri dalam al-Targhib Wa al-Tarhib hadis No. 4137, dan Imam Ibn al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul hadis No. 7465. Muhammad Nashir al-Din al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, III/26).

 

Kandungan Hadis

Hadis tersebut menjelaskan tentang tiga sikap seorang hamba yang dicintai oleh Allah swt., yaitu al-taqi, al-ghani, dan al-khafi.  Pertama al-taqi, yaitu seorang hamba yang bertakwa. Takwa artinya taat dan patuh menjalankan perintah Allah swt. dan berusaha menjauhkan diri sejauh mungkin dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Kedua al-ghani, yaitu seorang hamba yang kaya. Kaya di sini maksudnya adalah kaya hati, merasa cukup dengan pemberian Allah, ridha dengan apapun yang telah ditetapkan oleh Allah. Ketiga al-khafi, yaitu seorang hamba yang suka menyembunyikan diri, tidak ingin amal baiknya diketahui orang lain (al-Munawi, al-Taysir Bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir, I/544).

 

Keutamaan Menyembunyikan Diri

              Sikap al-khafi adalah suka menyembunyikan diri. Sikap ini dilakukan dengan maksud agar amal ibadah yang dilakukannya terhindar dari riya’ (ingin dilihat orang), dan terhindar dari sum’ah (ingin tenar atau populer, dan ingin mendapatkan simpati atau pujian orang lain).

Al-Khafi adalah salah satu sikap terpuji yang dimiliki oleh orang-orang shalih. Mereka berusaha untuk selalu menjaga hati agar bisa ikhlas setiap beramal. Mereka beusaha lari dari pujian dan sanjungan manusia. Mereka tidak menyukai popularitas di kalangan manusia. Mereka hanya menginginkan Allah sebagai saksi terhadap amal shalihnya. Mereka hanya berharap ridha dan pahala dari Allah semata.

Dalam hadis shahih Riwayat Muslim No. 6656, Usair bin Jabir menceritakan tentang seorang Tabiin yang sangat shalih bernama Uwais bin Amir al-Qarni: “Ketika Umar bin Khaththab didatangi oleh rombongan orang-orang Yaman, ia (Umar) selalu bertanya kepada mereka: “Apakah Uwais bin Amir ada dalam rombongan kalian?”. Hingga pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab bertemu dengan Uwais seraya bertanya: “Apakah kamu Uwais bin Amir?” Uwais menjawab: 'Ya. Benar, saya adalah Uwais. Khalifah Umar bertanya lagi; Kamu berasal dari Murad dan kemudian dari Qaran? ' Uwais menjawab: 'Ya benar. Selanjutnya Khalifah Umar bertanya lagi: Apakah kamu pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham pada dirimu? ' Uwais menjawab; 'Ya, benar.' Khalifah Umar bertanya lagi; 'Apakah ibumu masih ada? ' Uwais menjawab; 'Ya, ibu saya masih ada.' Khalifah Umar bin Khaththab berkata; 'Hai Uwais, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman yang berasal dari Murad kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar uang dirham. Ibunya masih hidup dan ia selalu berbakti kepadanya. Kalau ia bersumpah atas nama Allah maka akan dikabulkan sumpahnya itu, maka jika kamu dapat memohon agar dia memohonkan ampunan untuk kalian, lakukanlah! Oleh karena itu hai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku, kata Umar. Lalu Uwais pun memohonkan ampunan untuk Umar bin Khaththab. Setelah itu, Khalifah Umar bertanya kepada Uwais: “Hendak pergi kemana kamu hai Uwais?” Uwais bin Amir menjawab; 'Saya hendak pergi ke Kufah ya Amirul mukminin. Khalifah Umar berkata lagi: Apakah aku perlu membuatkan surat khusus kepada pejabat Kufah? 'Uwais bin Amir menjawab: “Saya Iebih senang berada bersama rakyat jelata, saya lebih senang menjadi manusia yang tidak diperhitungkan….” (HR. Muslim No. 6.656)

 

Sikap tidak ingin dipuji, tidak ingin populer, tidak ingin disanjung-sanjung adalah sikap yang disarankan oleh Nabi saw. kepada sahabatnya.  Beliau memperingatkan:

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

“Jauhilah sifat suka dipuji, karena sesungguhnya dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih” (HR. Ibn Majah No. 3743). Al-Albani menilai hadis tersebut hasan (al-Silsilah al-Shahihah, III/278).

Ketika seseorang menjadi tenar, dipuji dan disanjung banyak orang, maka ketenaran itu bisa menjadi ular berbisa. Bisa membinasakan dunia dan akhiratnya.  Semakin tenar akan semakin sulit menjaga hatinya. Segala gerak-geriknya kemudian ingin diperhatikan orang, ingin selalu tampil baik, biar terjaga popularitasnya, dan lain-lain untuk tujuan-tujuan duniawi. Akhirnya orientasi hidupnya hanya untuk mengejar dunia. Mengejar ketenaran. Berapa banyak orang yang hanya mengejar tenar, namun tidak lama kemudian ia bernasib sial, merana, dan menderita.

              Beberapa ulama ahli hikmah telah menasihatkan. Di antaranya Ibn al-Mubarak (w.181 H/797 M) pernah berkata: “Jadilah orang yang menyukai status khumul (محبا للخمول), suka tersembunyi dan tidak dikenal, dan membenci popularitas (كراهية الشهرة). Namun, jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan. Karena dengan cara itu, kamu telah menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu” (Ibn al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, IV/137).

Imam al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) mengatakan: “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, yakni hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak” (Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy, Ta’thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, I/232). Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/ 855 M) mengatakan: “Beruntung sekali orang yang dijadikan oleh Allah tidak tenar, …Aku lebih senang jika berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa” (Ta’thirul Anfas, I/278). Ibrahim bin Adham (w.777 M) mengatakan, “Tidaklah bertakwa kepada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang” (Ta’thirul Anfas, I/286).

Al-Fudhail bin ‘Iyad (w. 187 H/ berkata: "Jika engkau mampu untuk tidak terkenal maka lakukanlah, tidak ada ruginya engkau tidak dikenal, tidak ada ruginya engkau tidak mendapatkan pujian, dan tidak ada ruginya engkau dicela oleh manusia jika engkau terpuji di sisi Allah Azza wa Jalla"(Al-Baihaqi, al-Zuhd al-Kabir, I/100).

 

Amalan Yang Boleh Ditampakkan

Al-Hasan Al-Bashri (w.728 M) mengatakan: “Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah. Allah telah memuji amalan yang dilakukan hamba-Nya, baik dengan cara sembunyi-sembunyi maupun dengan cara terang-terangan, sebagaimana dalam firman-Nya (QS. Al-Baqarah, 271): “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu” (Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, III/317).

Imam Al-Izz bin ‘Abdus Salam (w. 639 H/1241 M) telah menjelaskan bahwa ketaatan kepada Allah itu ada tiga macam. Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqamat, ucapan takbir ketika shalat, membaca al-Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya seperti membaca al-Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam shalat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijaharkan. Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia khawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya kalau dia tampakkan amalannya akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan.  

Lebih lanjut al-Izz menerangkan bahwa untuk orang yang tidak berposisi sebagai uswah (teladan), maka orang ini lebih baik menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan amalannya. Adapun bagi orang yang berposisi sebagai uswah, maka menampakkan amalan –seperti amalan sedekahnya- lebih baik karena hal itu akan memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa mendorong orang-orang kaya untuk bersedekah pada fakir miskin dengan mencontoh atau mengikuti jejaknya dalam beramal shalih (al-Iz   Ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, I/165).

Sungguhpun menampakkan amal pada kondisi tertentu diperbolehkan, namun menjaga hati dari riya’ dan sum’ah tetaplah tidak mudah. Perlu perjuangan yang sungguh-sungguh. Karena itu, sikap yang lebih aman adalah berusaha menghindar dari pandangan orang. Menghindar dari pujian dan sanjungan serta menghindar dari ketenaran dan popularitas.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah MATAN (Majalah Muhammadiyah Jawa Timur) pada Desember 2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar