Kamis, 16 November 2017

MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK

MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK
SAAT DUDUK TASYAHHUD

Oleh:



Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Teks Hadis  

Dari Wail Bin Hujr radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: "Aku akan melihat bagaimana shalat Rasulullah saw, maka aku telah melihatnya dan memperhatikan gerakannya. Ia berkata: Kemudian ia duduk (tasyahud) dengan iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri yang dihamparkan dan telapak kaki kanannya ditegakkan, pen.), selanjutnya:
وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا (رواه أحمد وأبو داود والنسائي).
Dan Rasulullah meletakkan telapak tangannya yang kiri di atas paha dan lututnya yang kiri, dan meletakkan siku kanan di atas paha kanannya, kemudian dia menggenggam dua jarinya dan membentuk lingkaran. Lalu dia mengangkat jari telunjuknya, dan aku melihat dia menggerakkannya, sambil membaca doa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Nasai).

Status Hadis

Hadis tersebut dinilai shahih oleh al-Albani.[1] Selain al-Albani, yang cenderung menshahihkan hadis ini adalah Ibn Khuzaymah,[2] Imam al-Nawawi,[3] Muhammad Mushthafa al-A’dzami,[4] dan Husayn Salim Asad.[5] Sedangkan Syu’ayb al-Arnout mengatakan bahwa hadis tersebut sanadnya kuat,[6] tetapi pada kitab lain Al-Arnout mengatakan bahwa hadis tersebut syadz (ganjil, aneh), yakni perawi Zaidah ibn Qudamah meriwayatkan sendirian dengan tambahan: “dan aku melihat dia menggerakkannya, sambil membaca doa”.[7]

Pendapat ulama terhadap Makna Hadis

Menurut Syaikh Al-Albani, hadis tersebut dapat dipahami empat hal, yakni: pertama, tempat siku(kanan) adalah di paha(kanan); kedua, menggenggam dua jari dan membentuk lingkaran antara jari tengah dan jempol; ketiga, mengangkat jari telunjuk dan menggerakkannya; keempat, terus-menerus menggerakkannya sampai akhir do’a.[8]  
Pendapat  Syaikh Al Albani yang menganggap  terus-menerus menggerakkan jari telunjuknya pada saat tasyahud tersebut tidak sejalan dengan pemahaman Imam Al Baihaqi. Dalam kitabnya Sunan al-Kubra, al-Bayhaqi menulis:
فَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالْتَحْرِيكِ الإِشَارَةَ بِهَا لاَ تَكْرِيرَ تَحْرِيكِهَا ، فَيَكُونُ مُوَافِقًا لِرِوَايَةِ ابْنِ الزُّبَيْرِ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.[9]
“Mungkin yang dimaksud dengan menggerakkan itu adalah memberikan isyarat menunjuk, bukan menggerak-gerakkan secara berulang-ulang, sehingga hadits ini sesuai dengan riwayat dari Ibnu Zubair.[10]
Pendapat al-Baihaqi tersebut didukung oleh Imam al-Nawawi, baik mengenai status keshahihannya maupun pemahaman bahwa yang dimaksud dengan menggerakkan jari telunjuk itu adalah berisyarat dengan jari telunjuk, tidak mengerak-gerakkannya.[11] Lebih lanjut  Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan:
واما الحديث المروى عن ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم ” تحريك الاصبع في الصلاة مذعرة للشيطان ” فليس بصحيح قال البيهقى تفرد به الواقدي وهو ضعيف
“Adapun hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Menggerakan jari dalam shalat adalah hal yang ditakuti syetan,’ tidaklah shahih. Berkata Al Baihaqi: Al Waqidi meriwayatkannya sendiri, dan dia dha’if”.[12]
Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu berpendapat:
السنة للمصلي حال التشهد أن يقبض أصابعه كلها أعني أصابع اليمنى ويشير بالسبابة ويحركها عند الدعاء تحريكا خفيفا إشارة للتوحيد وإن شاء قبض الخنصر والبنصر وحلق الإبهام مع الوسطى وأشار بالسبابة كلتا الصفتين صحتا عن النبي صلى الله عليه وسلم
“Yang sesuai dengan sunnah bagi orang yang shalat ketika tasyahhud adalah menggenggam semua jari kanannya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan menggerakkannya ketika berdoa dengan gerakan yang ringan sebagai isyarat kepada tauhid, dan kalau dia mau maka bisa menggenggamkan jari kecil dan jari manis kemudian membuat lingkaran antara jempol dengan jari tengah, dan memberi isyarat dengan jari telunjuk, kedua cara ini telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[13]
Pendapat Syekh Bin Baz tersebut senada dengan pendapat  Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad, yakni sebagai berikut:
لا أعلم شيئاً يدل على أن الإنسان يحركها باستمرار، وإنما يحركها ويدعو بها، أي: عندما يأتي الدعاء: اللهم.. اللهم.. يحركها.
“Saya tidak tahu dalil yang menunjukkan bahwa seseorang menggerakkan jari telunjuk secara terus menerus, akan tetapi menggerakannya dan berdoa dengannya, yaitu: ketika melewati doa (Allahumma…Allahumma) sambil menggerakkannya”.[14]
Waktu memulai mengangkat jari telunjuk    

 Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وقد سئل ابن عباس عن الرجل يدعو يشير بإصبعه؟ فقال: هو الاخلاص. وقال أنس بن مالك: ذلك التضرع، وقال مجاهد: مقمعة للشيطان. ورأى الشافعية أن يشير بالاصبع مرة واحدة عند قوله (إلا الله) من الشهادة، وعند الحنفية يرفع سبابته عند النفي ويضعها عند الاثبات، وعند المالكية، يحركها يمينا وشمالا إلى أن يفرغ من الصلاة، ومذهب الحنابلة يشير بإصبعه كلما ذكر اسم الجلالة، إشارة إلى التوحيد، لا يحركها.
“Ibnu Abbas ditanya tentang seorang yang memberikan isyarat dengan telunjuknya. Beliau menjawab: ‘Itu menunjukkan ikhlas.’ Anas bin Malik berkata: ‘Itu menunjukkan ketundukan.’ Mujahid berkata: ‘Untuk memadamkan syetan.’ Sedangkan golongan Syafi’iyah memberikan isyarat dengan jari hanya sekali yakni pada ucapan Illallah (kecuali Allah) dari kalimat syahadat. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, mengangkat jari telunjuk ketika ucapan pengingkaran (laa ilaha/tiada Tuhan) lalu meletakkan lagi ketika ucapan penetapan (Illallah/ kecuali Allah). Sedangkan menurut Malikiyah menggerak-gerakan ke kanan dan ke kiri hingga shalat selesai. Sedangkan madzhab Hanabilah (Hambali) memberikan isyarat dengan jari telunjuk ketika disebut lafzul jalalah (nama Allah) sebagai symbol tauhid, tanpa menggerak-gerakkannya”.[15]
Adapun isyarat dengan jari dan mengangkatnya serta mengarahkannya ke arah qiblat, maka pendapat yang kuat ini dilakukan dari awal tasyahhud karena dhahir hadist-hadist menunjukkan demikian. Di antara hadis yang menunjukkan disyari’atkannya isyarat dari awal tasyahhud adalah hadist Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma:
… وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim)

Nafi’ berkata:
كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ وَأَتْبَعَهَا بَصَرَهُ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَهِىَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ ». يَعْنِى السَّبَّابَةَ[16]
“Abdullah bin ‘Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi setan dari pada (pukulan)besi, yaitu jari telunjuk.'” (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Al-Albani).
 Berdasarkan hadis tersebut, Al-Mubarakfuri berpendapat:
ظَاهِرُ الْأَحَادِيثِ يَدُلُّ عَلَى الْإِشَارَةِ مِنْ اِبْتِدَاءِ الْجُلُوسِ [17]
“Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat (jari telunjuk pada saat duduk tasyahud) itu dilakukan semenjak awal duduk”.

Kesimpulan:
1.    Sejumlah ulama menilai status hadis tentang menggerakkan jari telunjuk tersebut adalah shahih, sementara yang lain mempermasalahkan kesahihannya karena ada periwayatan yang syadz dari Zaidah Ibn Qudamah;
2.    Ulama berbeda pendapat tentang makna menggerakkan jari telunjuk saat tasyahud. Sebagian ulama memahami menggerakkan jari telunjuk dalam arti mengisyaratkan tanpa menggerak-gerakkan, sebagian yg lain memahami dengan menggerak-gerakkan dari awal sampai akhir, dan yang lain berpendapat menggerakkan saat berdoa atau menyebut nama Allah;
3.    Waktu mengangkat jari telunjuk saat tasyahud, ulama juga berbeda pendapat. Sebagaian ulama(Syafiiyah) memulai saat membaca illallah sampai akhir, sebagaian yang lain(Hanafiyah) berpendapat mulai membaca laa....dan berakhir dengan illallah, dan sebagaian ulama berpendapat bahwa mengangkat jari telunjuk tersebut dimulai semenjak awal duduk tasyahud (al-Mubarakfuri).

Wallahu A’lam!



[1]Muhammad Nashiruddin al-Albani, Mukhtashar Irwa al-Ghalil, Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985), 74.
[2] Ibn Khuzaymah, Shahih Ibn Khuzaymah, Tahqiq al-A’dzami, Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1970), 354.
[3] Imam al-Nawawi, al-Majmu’, Vol. III/ 454.
[4] Ibn Khuzaymah, Shahih Ibn Khuzaymah, Tahqiq al-A’dzami, Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1970), 354.
[5] Abu Muhammad al-Darimi, Sunan al-Darimi, Vol. I (Bayrut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), 362.
[6] Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, tahqiq Syu’ayb al-Arnout, Vol. V (Bayrut: Muassasah al-Risalah, 1993), 17.
[7] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Syu’ayb al-Arnot, Vol. IV (al-Qahirah, Muassasah Qurthubah, t.th), 418.
[8]Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany, Tamam Al Minnah, Vol. (T.tp: al-Maktabah al-Islamiyah, 1409 H), 221. Selengkapnya, teks Arabnya adalah sebagai berikut:
أولا: مكان المرفق على الفخذ. ثانيا: قبض إصبعيه والتحليق بالوسطى والإبهام. ثالثا: رفع السبابة وتحريكها .رابعا:  الاستمرار بالتحريك إلى آخر الدعاء
[9] Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, Vol. II (Makkah al-Mukarramah, Maktabah Dar al-Baz, 1994), 132.
[10] Dalam riwayat Muslim dari Ibn Zubair diterangkan bahwa Nabi Saw ketika duduk tasyahud meletakkan tanagan kiri di atas lutut kirinya dan meletakkan tangan kanan di atas paha kanannya dan mengisyaratkan jari telunjuknya. (وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ).
[11] Imam al-Nawawi, al-Majmu’, Vol. III/ 454.
[12]Imam An Nawawi, Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 454-455. Darul Fikr.
[13]  Abdul Aziz bin Baz, Maj’mu Fatawa Bin Baz, XI/185.
[14] Abdul Muhsin al-‘Abbad, Syarah Sunan Abi Dawud, I/2.
[15]Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 171. Lihat juga Imam An Nawawi, Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 455.
[16] Muhammad bin Abdullah al-Tibrizi, Misykat al-Mashabih, Ed. Al Albani,  Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1885), 200.
[17] Al-Mubarakfuri, Syarh Jami’ al-Tirmidzi, Vol. II (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar