Hisab
Sebagai Media Penentu Awal Bulan Qamariyah
(Awal
Ramadhan)[1]
Oleh
Achmad Zuhdi Dh
Secara
tradisional umat Islam menggunakan rukyat untuk menentukan masuknya bulan qamariah, khususnya bulan-bulan
ibadah seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Hal itu meneruskan tradisi Nabi
saw bersama para Sahabatnya di Madinah pada zaman mereka. Akan tetapi setelah ilmu
astronomi berkembang dalam Islam, untuk kepraktisan sebagian umat Islam mulai
menggunakan perhitungan astronomi (hisab) untuk menentukan bulan kamariah dan
tidak lagi menggunakan rukyat. Ulama Islam pertama yang membolehkan penggunaan
hisab astronomi untuk penetapan awal bulan kamariah adalah Mu’arrif Ibn ‘Abdillah Ibn as-Syikhkhir (w. 95 H/714 M), seorang
ulama Tabiin Besar, kemudian Imam asy-Syafi‘i (w. 204 H/820 M), dan Ibn Suraij (w. 306 H/918 M), seorang ulama Syafi’iah abad ke-3 H.
Dasar-dasar Syar’i Penggunaan Hisab
Di kalangan umat Islam modern, penggunaan hisab untuk penetapan awal
bulan qamariah itu adalah sah
secara syar’i. Dalilnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 5:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
بِحُسْبَانٍ
Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut
perhitungan (QS. ar-Rahman, 55:5)
2.
Al-Qur’an Surat Yunus ayat ,5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ
مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar
dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu) (QS. Yunus, 10: 5).
3. Hadis
riwayat al-Bukhari dan Muslim:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ
فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا
لَه
(رواه البخاري
ومسلم)
Artinya: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan
apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan
terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukhari dan Muslim].
4. Hadis
tentang keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabda Nabi saw,
إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي
مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi;
kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan
kadang-kadang tiga puluh hari (HR al-Bukhari dan Muslim).
Cara memahaminya (wajhul-isitdlal-nya)
adalah bahwa pada surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5, Allah swt
menegaskan bahwa benda-benda langit berupa matahari dan Bulan beredar dalam
orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena
itu peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara
tepat. Penegasan kedua ayat ini tidak sekedar pernyataan informatif belaka,
karena dapat dihitung dan diprediksinya peredaran benda-benda langit itu,
khususnya matahari dan bulan, bisa diketahui manusia sekalipun tanpa informasi
samawi. Penegasan itu justru merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan
untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda-benda langit itu
yang akan membawa banyak kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Sang
Pencipta, dan untuk kegunaan praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk
dapat menyusun suatu sistem pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan
tegas dinyatakan oleh ayat 5
surat Yunus (... agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu).
Pada zamannya, Nabi saw dan para
Sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru qamariah, melainkan menggunakan
rukyat seperti terlihat dalam hadis pada angka 3 di atas dan beberapa hadis
lain yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah Nabi saw agar
melakukan rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai ‘illat (kausa
hukum). ‘Illatnya dapat difahami dalam hadis pada angka 4 di atas, yaitu
keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi[2]. Keadaan ummi artinya adalah belum menguasai
baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan
penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki oleh
al-Quran dalam surat ar-Rahman dan Yunus di atas. Cara yang mungkin dan dapat
dilakukan pada masa itu adalah dengan melihat hilal bulan secara langsung: bila
hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan
harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan
bulan baru dimulai lusa.
Sesuai dengan kaidah fiqkih
(al-qawa-‘id
al-fiqhiyyah) yang berbunyi,
الحكم
يدور مع علته وسببه وجودا وعدما
Artinya: Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak
adanya ‘illat dan sebabnya[3]
maka ketika ‘illat sudah
tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan ummi
itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab
astronomi sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi.
Dalam hal ini kita kembali kepada semangat umum dari al-Quran, yaitu melakukan
perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan baru kamariah.
Telah jelas bahwa misi al-Quran adalah untuk mencerdaskan umat manusia,
dan misi ini adalah sebagian tugas pokok yang diemban oleh Nabi Muhammad saw
dalam dakwahnya. Ini ditegaskan dalam firman Allah,
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ
لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ
Artinya:
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang berasal dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan kebijaksanaan. Dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Q.
al-Jumu‘ah (62): 2].
Dalam rangka mewujudkan misi ini, Nabi saw
menggiatkan upaya belajar baca tulis seperti terlihat dalam kebijakannya
membebaskan tawanan Perang Badar dengan tebusan mengajar kaum Muslimin baca
tulis, dan beliau memerintahkan umatnya agar giat belajar ilmu pengetahuan
seperti tercermin dalam sabdanya,
طلب
العلم فريضة على كل مسلم (رواه ابن ماجه وغيره عن أنس)
Artinya: Menuntut itu ilmu wajib atas setiap muslim (HR. Ibn Majah
dan lain-lain dari Anas ra). Al-Albani
menilai hadis ini sahih.[4]
Dalam
kerangka misi ini, sementara umat masih dalam keadaan ummi, maka metode
penetapan awal bulan dilakukan dengan rukyat buat sementara waktu. Namun
setelah umatnya dapat dibebaskan dari keadaan ummi itu, maka kembali kepada
semangat umum al-Quran agar menggunakan hisab untuk mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan waktu.
Atas dasar itu, beberapa ulama
kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah
dengan menggunakan hisab. Berikut
ini pandangan beberapa ulama tentang pentingnya hisab:
Muhammad
Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935),
pembaharu Islam terkenal dan murid Muhammad Abduh, adalah pendukung kuat yang
menyerukan penggunaan hisab. Menurutnya hisab lebih memberikan
kepastian. “Tujuan Pembuat Syariah … … … bukan untuk menjadikan rukyat hilal
itu sendiri sebagai ibadah. Pengaitan penetapan awal bulan dengan rukyat hilal
atau menggenapkan bilangannya 30 hari apabila hilal tidak terlihat, ‘illatnya
adalah karena keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi.” .......Sikap
membedakan antara salat di mana boleh digunakan hisab dan puasa di mana tidak
boleh digunakan hisab adalah sikap yang tidak memiliki landasan syar’i. [5]
Az-Zarqa
Az-Zarqa (w. 1420/1999), seorang ulama
terkemuka abad ke-20, menjelaskan bahwa sebab para fuqaha terdahulu menentang
penggunaan hisab adalah karena (1) hisab pada zaman itu masih spekulatif, dan
(2) karena hisab masih tercampur dan berbau penujuman (astrologi). Adapun
pada zaman sekarang hisab telah mencapai perkembangan spektakuler dan memiliki
akurasi yang tinggi serta telah terbebas dari cemaran penujuman.[6]
Yusuf al-Qaradhawi
Yusuf al-Qaradhawi menyatakan, “Apabila
terdapat sarana lain yang lebih mampu mewujudkan tujuan hadis dan lebih
terhindar dari kemungkinan keliru, kesalahan dan kebohongan mengenai masuknya
bulan baru, … … … yakni setelah di kalangan mereka terdapat sarjana-sarjana dan
ahli-ahli astronomi, … … … maka mengapa kita masih tetap jumud dalam soal
sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya.” Ini adalah seruan kuat untuk
menggunakan hisab. Al-Qardhawi juga mengutip Syeikh Ahmad Syakir yang
menegaskan, “Kita wajib menggunakan hisab dalam segala keadaan, kecuali di
tempat yang di situ tidak ada orang yang mengetahui ilmu hisab.”[7]
Wallahu a’lam bishshawab !
[1] Dikutip dari
makalah Syamsul Anwar dengan judul “Mengapa
Menggunakan Hisab, Tidak Menggunakan Rukyat” dengan berbagai penambahan dan
pengurangan.
[2] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, II
(Bairut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 2005), 152.
[3] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu’
Fatawa wa maqalat bin Baz, VI/432.
[4]
Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, I (al-Riyad:
Maktabah al-Ma'arif, tt ), 17.
[5] Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa
wa maqalat bin Baz, VI/432.
[6] Al-Zarqa, “Tentang Penentuan Hilal
dengan Hisab pada Zaman Sekarang” dalam Muhammad Rasyid Ridha et.al, Hisab
Bulan Qamariyah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal ramadhan, Syawal dan
Zul Hijjah, terj. Syamsul Anwar (Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2009),
40-47.
[7] Yusuf Qardhawi, “Rukyat Hilal untuk
Menentukan Bulan”, dalam Muhammad Rasyid Ridha et.al, Hisab Bulan Qamariyah:
Tinjauan Syar’i tentang Penrtapan Awal ramadhan, Syawal dan Zul Hijjah,
61-75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar