HUKUM BADAL HAJI
Oleh:
DR.Achmad Zuhdi DH
Yang dimaksud dengan badal haji adalah kegiatan menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh.
Semua ulama sepakat bahwa haji adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu[1], sekali dalam seumur hidupnya[2]. Namun, ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya melaksanakan badal haji.
Mayoritas ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fiqihnya al-hajj ‘an al-ghair. Di antara ulama empat madzhab yang memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan. Ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya.[3]
Alasan ulama yang tidak memperbolehkan badal haji adalah bahwasanya haji itu hanya diwajibkan kepada orang Islam yang mampu, baik fisik maupun keuangan. Jadi, kalau ada orang yang sakit atau lemah secara fisik maka ia dianggap orang yang tidak mampu, karena itu ia tidak berkewajiban haji. Demikian juga orang yang telah wafat, ia dianggap sudah tidak berkewajiban untuk haji. Karena itu orang yang lemah secara fisik hingga tidak kuat untuk berhaji apalagi orang yang sudah wafat, maka kepada orang tersebut tidak perlu dilakukan badal haji. Orang ini dipandang telah gugur kewajiban hajinya[4].
Adapun alasan ulama yang memperbolehkan badal haji adalah berdasarkan kepada beberapa hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِى الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَحُجِّى عَنْهُ ».
1. Hadist riwayat Ibnu Abbas dari al-Fadl: "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?". Jawab Rasulullah: "Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!" (H.R. Bukhari, Muslim dll.).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ ، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ . حُجِّى عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ ، فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ »
2. Hadist riwayat Ibnu Abbas ra: " Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Nabi s.a.w., ia bertanya: "Wahai Nabi Saw, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R. Bukhari & Nasa'i).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ :مَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
3. Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata "Labbaik 'an Syubrumah" (Labbaik/aku memenuhi pangilanMu ya Allah, untuk Syubrumah), lalu Rasulullah bertanya "Siapa Syubrumah?". "Dia saudaraku, wahai Rasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah pernah haji?" Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya. "Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah", lanjut Rasulullah. (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain). Syekh al-Albani menilai hadis ini shahih[5].
Berdasarkan beberapa hadis tersebut, mayoritas ulama membenarkan adanya syariat badal haji, dengan syarat orang yang melaksanakan badal haji sudah terlebih dahulu melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.
Argumentasi ulama yang tidak memperbolehkan badal haji:
1. Ibadah haji itu, sungguhpun terdiri dari dua macam yaitu ibadah fisik dan ibadah harta, namun unsur fisiknya lebih dominan. Karena itu ibadah haji tidak boleh diwakilkan atau digantikan oleh orang lain[6].
2. Berdasarkan al-Qur’an surat al-Najm,39:Allah berfirman: وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
(bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya). Ayat tersebut menunjukkan bahwa seseorang hanya akan dapat pahala jika ia sendiri yang melakukannya. Karena itu amal ibadah yang dilakukan untuk atau atas nama orang lain, seperti badal haji, tidak akan ada manfaatnya. Jadi sia-sia saja.
3. Mengenai beberapa hadis yang menjelaskan adanya perintah Nabi Saw kepada sejumlah sahabat untuk melakukan haji atas nama orang tua dan saudaranya itu, oleh kelompok ulama ini, dinilai tidak shahih secara matan meski shahih secara sanad. Karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an surat al-Najm ayat 39 tersebut.
Pendapat ini didukung oleh ulama Malikiyah. Di Indonesia, ulama yang mendukung pendapat ini adalah sejumlah ulama Persatuan Islam (Persis) Bangil.[7]
Argumentasi ulama yang memperbolehkan badal haji:
1. Harus difahami bahwa Nabi Saw memiliki otoritas untuk menetapkan hukum sendiri selain berdasarkan al-Qur’an. Karena itu tidak semua hadits yang “terkesan” bertentangan dengan al-Qur’an lalu dinyatakan tidak shahih. Seperti hadis tentang bolehnya menghajikan orang lain (orangtua atau saudara) yang dianggap bertentangan dengan surat al-Najm ayat 39 yang menerangkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali atas usahanya sendiri. Dalam kajian Ushul Fiqh dikenal adanya “takhshis”, yaitu pembatasan atau pengecualian terhadap ketentuan yang bersifat umum. Takhshis ini bisa berupa al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, dan bisa juga al-Qur’an dengan al-Hadis. Sebagai contoh QS. Al-Maidah,3 (tentang: diharamkan atas kamu bangkai, hewan yang mati tanpa disembelih). Oleh Nabi Saw kemudian di “takhshis”, dibatasi dengan mengecualikan bangkai ikan dan belalang (HR.Ahmad, Ibn Majah dan al-Baihaqi. Al-Albani menilainya shahih). Kalau orang tidak memahami sunnah atau hadis, maka akan mengatakan bahwa semua bangkai adalah haram berdasarkan ayat al-Qur’an tersebut. Tetapi, karena memahami adanya sunnah atau hadis yang berfungsi menjelaskaan al-Qur’an dan juga mengecualikan keterangan yang bersifat umum, maka bisa difahami bahwa semua bangkai haram kecuali yang dikhususkan oleh Nabi saw, yaitu bangkai ikan dan belalang.
Demikian juga tentang ayat yang menerangkan bahwa seseorang tidak akan dapat pahala kecuali dari usaha amalnya sendiri (QS. Al-Najm, 39). Oleh Nabi Saw, ayat yang bersifat umum tersebut dikecualikan dengan amalan badal haji, menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fiik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ini berarti bahwa badal haji itu dibenarkan menurut syariat.
2. Jika ada hadis yang menerangkan bahwa amal manusia itu akan terputus bilamana telah maninggal kecuali tiga hal (amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mau mendoakannya) HR. Muslim. Maka yang terputus adalah usahanya sendiri, sementara usaha atau amalan orang lain masih bisa bermanfaat baginya seperti doa dan lain sebagainya. Adapun al-Qur’an surat al-Najm,39 yang menerangkan bahwa manusia tidak akan dapat pahala selain dari amal usahanya sendiri, maka anak yang menggantikannya untuk badal hajinya adalah merupakan usaha orang tuanya. M. Nashiruddin Al-Albani mengatakan bahwa:كان الولد من سعى الوالد , anak itu adalah merupakan usaha orang tuanya[8]. Karena itu badal haji yang dilakukan anaknya bisa dianggap sebagai bagian dari usahanya sendiri.
3. Sebagian besar ulama madzhab mendukung pendapat tentang bolehnya melaksanakan badal haji, seperti ulama Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Sementara ulama kontemporer yang mendukung bolehnya melakukan badal haji antara lain: Syekh M. Nashiruddin al-Albani, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin dan para ulama Saudi yang lain.[9]
بَابُ الْحَجِّ وَالنُّذُوْرِ عَنِ الْمَيِّتِ وَالرَّجُلِ يَحُجُّ عَنِ الْمَرْأَةِ
a. Bab al-hajj wa al-nudzur ‘an al-mayyit wa al-rajul ‘an al-mar’ah (bab tentang haji dan nadzar dari orang yang mati dan haji orang laki-laki untuk perempuan)
باب الْحَجِّ عَمَّنْ لاَ يَسْتَطِيعُ الثُّبُوتَ عَلَى الرَّاحِلَة
b. Bab al-hajj ‘amman laa yasthi’u al-tsubuut ‘alaa al-rahilah (bab tentang haji untuk orang yang tidak mampu duduk di atas kendaraan)
باب الْحَجِّ عَنِ الْعَاجِزِ لِزَمَانَةٍ وَهَِرَمٍ وَنَحْوِهِمَا أَوْ لِلْمَوْت
a. Bab al-hajj ‘an al-‘Ajiz lizamanatin waharamin wa nahwiha au lil maut (bab tentang haji untuk orang yang lemah dikarenakan sakit yang tak ada harapan sembuh atau karena ketuaan, dsb atau karena kematian).
Judul-judul bab yang ditulis dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim tersebut menunjukkan bahwa Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang dikenal sebagai syekh ahli hadis yang paling disegani di kalangan para pemerhati hadis lebih cenderung pada pendapat bahwa badal haji itu disyariatkan.
Wallahu A’lam !
(mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah); QS. Ali Imran, 97.
[2] HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasa-i, al-Hakim dan lain-lain. Al-Albani menilai hadis tersebut sahih.
[3] Abd al-Rahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Dar al-Fikr, 1986), 706-710. Baca juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, III/426.
[4] Ibid., 706.
[6] Al-Jazairi, al-Fiqh, I, 706.
[9] Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah Oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, terj.H.AS. Zamakhsyari (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2002), 61-69.
[10] Imam al-Bukhari, Matn al-Bukhari Bi hasyiah al-Sindi, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr,tt), 318.
[11] Imam Muslim, Shahih muslim, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), 614.
postingan yanga sangat bagus... numpang ambl ilmunya pak....
BalasHapustrimakasih atas pencerahannya mengenai Badal Haji pak Zuhdi,
BalasHapusTravel Haji Umroh Primasaidah
Dengan adanya pendapat yang menganjurkan untuk haji badal, banyak menimbulkan efek2 negatif diantaranya banyak tumbuh mafia haji badal melalui travel2 perjalanan haji yang mungkin mengabaikan syariat2 yang semestinya. Banyak diantara mereka yang mengambil keuntungan yang bersifat materi. Wallahu a'lam.
BalasHapussetuju nih...bukan cuma travel saja yang memanfaatkan badal haji & umroh ini ustadz abal-abal juga banyak yang mencari keuntungan materi dengan memanfaatkan ketidaktahuan para jamaahnya...lagipula kan sudah jelas bahwa haji itu diwajibkan hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan secara fisik dan materi...
HapusUraiannya sangat bagus, berbagai pendapat tentang boleh dan tidak boleh melakukan badal haji bagi orang lain, namun saya ingin bertanya, ustadz Zuhdi menganut faham yang mana?
BalasHapusHanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan. Ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya.[3]
BalasHapusInilah fahaman yang benar .
Kerana inilah praktik ahli Madinah .
Terima kasih. Sangat bermanfaat.
BalasHapusSesuai dengan tema,barangkali ada yang butuh bantuan badal haji .. silahkan hubungi kami langsung dari saudi arabia.
BalasHapushttp://badalhaji-umrah.blogspot.com/
atau di
http://www.kaskus.co.id/thread/5224fe43faca176536000000/jasa-badal-haji-langsung-dari-saudi-arabia--setiap-tahun
Afwan.. Jazakallahu khairan kasira
Terima kasih. Sangat bermanfaat semoga bermanfaat H. Abdurahman mekah
BalasHapusJasa pelaksaan badal haji dan badal umroh
BalasHapusHubungi:
H.aries
Mekkah al mukarromah
+966509556997
Di dalam 3 riwayat shahih yg digunakan sebagai dasar bolehnya badal haji, ketiganya ada hubungan antara pelaku badal dan yang diwakilinya: (1) seorang perempuan menghajikan ayahnya yang sudah tua; (2) seorang perempuan menghajikan ibunya yang bernadzar tetapi sudah meninggal; (3) seorang laki2 menghajikan Syubrumah saudaranya.
BalasHapusDi jaman sekarang badal haji dilakukan oleh orang yang tidak punya hubungan apa2 bahkan belum mengenal orang yang diwakilinya. Bahkan lebih jauh lagi, badal haji sudah menjadi ladang bisnis, sesuatu yang sama sekali tidak ada contohnya dari Rasulullah dan para sahabatnya.
Apakah para pelaku dan pengiklan badal haji sudah siap menjawab pertanyaan Allah kelak?
tapi pasti masih banyak yang ngeyel, sumber rujukan no.1 itu ya al quran. jangan yang lain
BalasHapusalhamdulillah pencerahannya...
BalasHapus