UNSUR-UNSUR
ANIMISME-DINAMISME, HINDU-BUDHA DAN ISLAM
DALAM UPACARA SELAMATAN
(Sebagai hasil akulturasi budaya setelah kedatangan Islam di Jawa)
(Oleh: Achmad Zuhdi Dh)
Abstraksi:
Upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, yang sudah mendarah daging hingga kini, merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Aktifitas selamatan yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, sebuah fenomena kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu. Dari sinilah manusia pada awalnya, setelah merasa tak berdaya, lalu meminta perlindungan kepada yang maha kuat, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada benda-benda tertentu. Aktifitas yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itulah kemudian disebut dengan “selamatan”. Seiring dengan masuknya kepercayaan Hindu dan Budha pada orang Jawa, maka kepercayaannya pun bertambah lagi, menjadi percaya kepada adanya dewa-dewi. Hal ini akan nampak jelas pada bacaan doa dalam upacara selamatan yang diselenggarakan. Setelah kedatangan Islam di tanah Jawa, Islam juga ikut mempengaruhi upacara selamatan. Jika pada masa sebelumnya disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian nama-nama dewa-dewi, maka setelah kedatrangan Isalam nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya cukup mewarnainya, dalam doa-doa selamatan.
Asal-Usul Selamatan[1] dan Perkembangannya
Menurut para ahli antropologi, penduduk yang dianggap pertama sekali mendiami
Sebagaimana pada tempat-tempat yang lain, suku Jawa pada zaman purba kehidupannya amat bergantung kepada lingkungan hidup, kemudian menimbulkan kepercayaan adanya kekuatan alam dan arwah orang yang meninggal dibarengi dengan timbulnya seni lukis yang berlatang belakang magis, khususnya di dinding-dinding gua.[4]
Budiono Herusatoto dalam bukunya “Sombolisme Dalam Budaya Jawa”, mengatakan bahwa suku bangsa Jawa pada zaman purba mempunyai pandangan hidup Animisme, suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri. Di samping Animisme, pada mereka juga punya pandangan hidup Dinamisme, yaitu kepercayaan akan adanya tenaga magis pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda, juga dalam sebuah kata yang diucapkan atau ditulis pada tanda yang dipasang[5]. Lebih jauh H.Th.Fischer mengatakan bahwa Animisme itu biasanya menjadi religi, sebab orang akan merasa terikat kepada roh itu dan kemudian berpaling menghamba kepadanya. Sedangkan Dinamisme biasanya menjadi magi, sebab orang mengira bahwa dengan tindakan-tindakan tertentu tenaga-tenaga itu dapat dimiliki, dapat dipergunakan untuk keuntungan diri sendiri atau kerugian orang lain[6].
Menurut I.Djumhur, antara Animisme dan Dinamisme tak dapat dipisah-pisahkan; tidak ada bangsa primitip yang hanya mempunyai anggapan Dinamistis dengan mengenyampingkan Animistis. Kedua gejala berpikir tersebut dapat di jumpai pada suatu bangsa yang sama[7]. Di Jawa misalnya, ada kepercayaan bahwa apabila orang itu punya ilmu tinggi, maka ia akan mengalami kesulitan apabila akan mati, karena dia menyimpan tenaga magis. Gejala ini merupakan gejala Dinamistis. Selanjutnya ada juga kepercayaan bahwa apabila orang itu mati harus ditutup semua lubang yang ada pada mayat, agar nyawa yang yang ada pada tubuh itu terlindung dari pengaruh-pengaruh buruk. Gejala ini adalah berkaitan dengan Animisme. Animisme dan Dinamisme inilah yang merupakan asal-usul kepercayaan yang dimiliki orang Jawa. Adanya kepercayaan terhadap kedua isme ini maka orang-orang Jawa pada zaman purba itu tunduk kepada gejala-gejala alamiah dan benda-benda alam. Ketundukan ini lahir dalam bentuk menyembah dan mempertuhankannya. Maka disembahlah berbagai macam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Disembahlah manusia yang dianggap lebih kuat daripadanya. Disembahlah benda-benda alam yang lain seperti matahari, bulan, binatang, gunung, air, api dan lain-lain. Semuanya itu dianggap sebagai Tuhan. Untuk mengungkapkan perasaan dan ketundukannya kepada sesembahannya itu maka dibuatlah gambar dan tata-cara tertentu[8]. Sebagai contoh untuk mencegah kekuatan yang bisa menimbulkan penyakit, banjir, gempa bumi atau
Kemudian kira-kira pada tahun 400 M, datanglah orang-orang India ke Pulau Jawa untuk berdagang yang membawa pula agama Hindu dan Budha dan kemudian berkembanglah kedua agama itu di Pulau Jawa. Selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu atau Budha. Tetapi dalam masyarakat Jawa, agama Hindu dan Budha bisa hidup berdampingan secara damai, meski negara mungkin berstatus sebagai negara Hindu atau Budha. Bahkan pernah terjadi pula di Jawa pada masa itu agama Hindu bercampur dengan agama Budha, dengan nama agama Siwa-Budha. Kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha di Pulau Jawa pada saat itu misalnya:
Kerajaan Sanjaya di Jawa Tengah (abad VIII M) yang berstatus agama Hindu, kerajaan Syailendra di Jawa Tengah (abad VIII M) yang berstatus agama Budha, Kerajaan Dinasti Empu Sindok di Jawa Timur (dari Sindok sendiri sampai Erlangga, 929-1024 M) yang berstatus agama Hindu-Siwa, tetapi juga memberi kesempatan pada agama Budha untuk berkembang, Kerajaan Kediri dan Singosari di Jawa Timur (1042-1292 M), yang berstatus agama Hindu-Wisnu, tetapi juga memberi kesempatan pada alam pikiran agama primitip untuk berkembang kembali, raja adalah pusat daya magis dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1253-1528 M) yang berstatus agama Hindu-Siwa tetapi juga memberi kesempatan sinkretisme agama-agama yang ada pada masa itu mencapai puncaknya[10].
Dari gambaran tersebut jelas kiranya bahwa kebudayaan
Bagi orang-orang Jawa yang tergolong priyayi[12], pinjam istilah Geertz, yakni para keluarga istana dan pejabat pemerintahan, sudah barang tentu sangat terpengaruh oleh ajaran agama Hindu dan Budha. Sebab merekalah yang menegakkan kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu dan Budha itu. Namun demikian pada mereka juga masih terdapat kepercayaan-kepercayaan yang berasal dari Animisme dan Dinamisme. Sedangkan golongan petani (rakyat kecil/ wong cilik) tidak seberapa terpengaruh oleh mistik Hindu-Budha sebagaimana terpengaruhnya pada kalangan priyayi. Hal ini dimungkinkan karena golongan wong cilik itu teralalu sibuk mencari sesuap nasi, sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk mendalami buku-buku Hindu dan Budha yang mistis itu. Oleh karena itu pula kepercayaan mereka tetap Animisme-Dinamisme dengan dilengkapi mistik Hindu-Budha yang kurang begitu dominan pada mereka[13].
Masa Jawa-Hindu (masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha) itu mempunyai kenangan yang dalam pada masyarakat Jawa. Karena di samping waktunya begitu lama, masa itu juga dianggap telah melahirkan kerajaan-kerajaan Jawa yang besar, melahirkan candi-candi besar, melahirkan pujangga-pujangga dan kitab-kitab yang besar pengaruhnya.
Di antara pengaruh yang jelas dari kebudayaan Hindu-Budha terhadap orang Jawa dapat dilihat pada tindakan relijius orang Jawa. Penghormatan orang Jawa terhadap kekuatan benda dan roh-roh, kini beralih pada dewa-dewa yang menguasai benda-benda dan roh-roh itu. Kalau pada Animisme-Dinamisme percaya pada kekuatan bulan, maka oleh Hindu kemudian kepercayaan itu ditambahai dengan adanya dewa yang menjaga dan menguasai bulan itu, yakni dewa Candra. Begitu pula pada matahari yang dipercayai secara Animstis dan Dinamistis akhirnya juga dilengkapi dengan kepercayaan adanya dewa yang menjaga dan menguasainya, yakni dewa Surya. Ini adalah hasil assimilasi dan akulturasi faham Animisme-Dinamisme dengan faham Hindu-Budha. Hasil assimilasi yang lain adalah munculnya kepercayaan terhadap dewi Sri, tokoh simbolik kaum petani Jawa yang melindungi tanaman padinya dari gangguan
Kemudian pada abad XIII M, Islam sudah masuk ke
Dari
Dalam bukunya yang berjudul “The Spread of Islam In Indonesia”, Mukti Ali mengemukakan sebagai berikut:
“Alasan lain yang menyebabkan suksesnya Islam di Indonesia, yang dilupakan oleh Brouwer ialah bahwa Islam telah disiarkan di kepulauan
Sejalan dengan kemajuan Majapahit dan kiprahnya di dunia internasional, maka semakin sering pelaut dan pedagang-pedagang Jawa berhubungan dengan orang-orang Islam yang ada di Malaka, karena Malaka adalah pusat penyiaran Islam untuk Asia Tenggara[17]. Dari sebab semakin ramainya pedagang Majapahit, semakin banyak orang Jawa yang bersentuhan dengan agama Islam dan terpengaruh oleh Islam. Dari hari ke hari orang yang berhubungan dengan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa, semakin banyak orang Islamnya. Baik itu orang-orang Jawa sendiri ataupun pedagang
Setelah ajaran Islam masuk ke dalam hati orang jawa yang sebelumnya sudah diwarnai oleh Animisme-Dinamisme dan Hindu-Budha, pada akhirnya muncullah dua golongan kepercayaan dalam masyarakat Jawa, yaitu golongan putihan (kelompok santri) dan golongan abangan (Islam kejawen).
Golongan putihan (kelompok santri) adalah golongan orang yang taat beragama Islam, namun mereka agaknya tidak bisa menghilangkan begitu saja pengaruh-pengaruh kepercayaan pra Islam. Ciri golongan ini adalah ketaatannya untuk melakukan salat
Golongan abangan (Islam kejawen) adalah orang Jawa yang meskipun ia penganut Islam, tidak begitu saleh dan alim, tidak begitu sungguh-sungguh menjalankan agama, bahkan merasa tidak perlu sembahyang Jumat, berpuasa dan lain-lain[20]. Golongan ini terbagi menjadi dua, yaitu Golongan wong cilik dan Golongan priyayi.
Golongan wong Cilik adalah golongan yang dasar kepercayaannya Animisme-Dinamisme. Kalau dulu kepercayaannya hanya dilengkapi dengan unsur Hindu-Budha, maka kini mendapat unsur baru yaitu Islam. Bahkan Islam di sini, di samping menjadi unsur tambahan juga menjadi bungkus. Golongan ini mempunyai acara inti berupa selamatan atau sesaji. Mereka yang tinggal bersama-sama dalam satu lingkungan daerah merupakan suatu ikatan dari orang-orang yang mempunyai kepercayaan yang sama. Konsepsi mu’jizat dan karamah pada golongan tasawwuf nampaknya menarik golongan ini untuk menempelkan lencana Islam pada diri mereka.
Golongan Priyayi adalah golongan keluarga Istana dan pejabat pemerintahan. Mereka ini masih tetap kuat pengaruh mistik Hindu-Budhanya. Perubahannya adalah kalau dulu hanya didasari oleh unsur-unsur Animisme-Dinamisme, kini mendapatkan tambahan unsur baru, yaitu Islam. Tetapi Islam hanyalah diperlukan untuk melengakapi kata-kata yang diperlukan pada ajaran mistik. Sebab esensi mistik priyayi ini memang amat sulit untuk dikompromikan dengan ajaran tasawwuf yang masih murni menurut konsepsi Islam. Dalam mistik priyayi ini, tiada beda antara yang mutlak dengan manusia. Sedangkan dalam Islam, Tuhan jelas berbeda dengan manusia. Dalam mistik priyayi, terjadinya persatuan dengan yang mutlak, tergantung dari kesanggupan usaha manusia. Sedangkan kasyf (terbukanya tirai antara manusia dengan Tuhan) pada golongan tasawwuf, adalah merupakan anugerah dari Tuhan. Manusia hanya dapat memohon dan mempersiapkan diri. Golongan ini (mistik priyayi) mempunyai ciri memperluas kehidupan batin atau rasa. Dalam hal-hal tertentu mereka sering melakukan semedi atau menyepi. Oleh sebab itu dari golongan ini lalu banyak muncul tokoh aliran kebatinan, atau mistik Jawa atau kejawen[21].
Begitulah dengan masuknya Islam ke hati orang Jawa, nampaknya menambah wawasan dalam keyakinan mereka. Tetapi dengan menerima Islam itu tidaklah dengan sendirinya berarti mereka melenyapkan kepercayaan-kepercayaan lama pra Islam. Mereka menafsirkan dan memahami al-Quran secara “eclectic”, sebagai karet yang bisa diulur-ulur. Mereka mengucapkan syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan kepercayaan kepada Bethara Guru, Bethara Wisnu, Dewi Sri dan lain-lain masih tetap kuat. Di sini muncul kecenderungan kepada sinkretisme.[22] Dengan demikian setelah datangnya Islam, pada orang jawa terdapat berbagai keperacayaan yang bercampur menjadi satu: Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha dan Islam. Hal ini nampak jelas pada aktifitas upaca selamatan yang dilakukan oleh orang Islam Jawa. Kalau sebelumnya upacara selamatan hanya mengakomodasi kepercayaan Animisme-Dinamisme dan Hindu Budha, maka pada saat mereka sudah menerima Islam, upacara selamatan dilengkapi dengan unsur-unsur Islam di dalamnya. Sehubungan dengan ini Hildred Geertz menggambarkan tentang selamatan bagi orang Jawa sebagai berikut:
Upacara pokok bagi orang Jawa adalah slametan, dengan mengundang sejumlah pria tetangga terdekat dengan doa dalam bahasa Arab oleh seorang dua orang yang pandai dalam hal itu serta dengan cermat terinci semua dewa Hindu-Budha, Allah, Muhammad dan Fatimah arwah baureksa desa dan sederetan roh tidak bernama, semua diminta perlindungannya, restunya atau kesediaannya untuk tidak mengganggu. Pembacaan doa-doa itu merupakan unsur-unsur terpokok dalam kepercayaan kaum tani dan disertai dengan perbuatan upacara tertentu lainnya misalnya dengan membakar kemenyan dan memberikan sesaji.[23]
Praktik upacara selamatan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hildred Geertz tersebut pada umumnya dianut oleh kaum Islam Abangan, sedangkan bagi kaum Islam Putihan (santri) praktik selamatan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa dan roh-roh. Karena itu bagi kaum santri, selamatan adalah upacara do’a bersama dengan seorang pemimpin atau modin yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama sekedarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang maha Kuasa.
Unsur-unsur Animisme-Dinamisme dalam Selamatan
Bila diamati secara jeli, maka unsur Animisme-Dinamisme adalah merupakan unsur yang paling menonjol pada pelaksanaan selamatan, terutama selamatan yang dilaksanakan oleh orang Islam kejawen. Dalam pola umum selamatan yang mereka lakukan, yang terdiri dari peserta selamatan, do’a dan hidangan atau sajian, di dalamnya nampak unsur-unsur Animisme-Dinamisme yang cukup menonjol.
Pada upacara selamatan, yang menjadi pesertanya bukan sekedar dari orang-orang yang masih hidup, tetapi turut juga diundang orang-orang yang sudah mati yang disebut dengan roh-roh leluhur (baca definisi selamatan menurut Clifford Geertz)[24]. Yang dimaksud dengan roh-roh leluhur adalah nenek moyang mereka atau para pendahulu mereka yang sudah mati dan pernah berjasa pada mereka. Mereka itu misalnya orang-orang yang telah berjasa dalam mendirikan suatu desa atau cakal bakal desa, yang biasanya kemudian disebut sebagai danyang desa. Selain itu juga orang-orang yang pernah mendirikan suatu kerajaan dan berjasa dalam memakmurkannya. Juga wali sanga yang dianggap berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa bahkan Nabi Muhammad sebagai penyebar Islam di seluruh dunia. Di samping itu juga roh-roh leluhur yang menjadi penghuni alam sekitar, misalnya roh penghuni rumah, roh penghuni jembatan, roh penghuni perempatan, roh penghuni sumur, roh penghuni kuburan dan roh-roh yang baik maupun yang jahat semuanya diundang guna dimintai pertolongannya agar berkenan merestui dan tidak mengganggu.
Dilihat dari peserta selamatan yang diundang, yang melibatkan roh-roh leluhur, roh-roh penghuni suatu tempat serta roh-roh jahat dan baik, maka semua ini adalah unsur Animisme. Meski di dalamnya tersebut tokoh-tokoh Islam, tetapi yang menjadi tujuan pokok dalam selamatan ini adalah persembahan kepada roh-roh mereka.
Tentang sebutan berbagai macam roh sebagai tersebut di atas, yang juga melibatkan tokoh-tokoh Islam seperti Allah, Nabi Muhammad, Fatimah dan tokoh-tokoh yang lain seperti yang baureksa desa biasanya nampak dalam komposisi do’a yang diucapkan pada upacara selamatan (baca definisi selamatan menurut Hildred Geertz)[25].
Guna suksesnya upacara selamatan, terutama dalam upaya menghadirkan para arwah, selain disebutkan dalam do’a, yang lebih penting adalah penyediaan sajian-sajian. Sebagai contoh dalam selamatan tingkepan; biasanya penyelenggaraannya harus diadakan pada hari Rabu atau Sabtu dan pada tanggal-tanggal ganjil[26]. Perasaan salah bahkan bisa membawa celaka bila tidak melaksanakannya pada hari-hari yang ditentukan tersebut adalah bagian dari Dinamisme. Unsur lain nampak pada sajian-sajian yang disediakan, misalnya setakir nasi untuk setiap tamu terdiri dari nasi putih di atas dan nasi kuning di bawah. Takir dibuat dari daun pisang yang direkatkan dengan jarum baja atau emas, agar anak yang akan lahir nanti bisa kuat dan tajam pikirannya. Kemudian tiga jenis bubur: putih, merah dan campuran antara keduanya, yang disebut bubur sengkala, dianggap sangat mujarab untuk mencegah masuknya makhluk halus jenis apa pun. Semuanya ini adalah unsur Dinamisme.
Mengenai unsur Animisme nampak pada ketakutan terhadap roh-roh halus yang sewaktu-waktu menganggu, sehingga perlu dicegah dengan sajian bubur sengkala. Kemudian sikap hormat yang tinggi terhadap roh-roh leluhur yang kemudian diiundang untuk dimintai restunya pada suatu hajat, baik dari danyang desa, wali sanga, ataupun Nabi Muhammad dan Fatimah. Untuk menghadirkan mereka (para arwah) dibuatlah sajian-sajian tertentu dalam rangka selamatan tingkeban. Untuk danyang desa dibuatkan sebuah nasi tumpeng besar, untuk wali sanga disediakan sembilan nasi putih yang dibentuk dengan genggaman tangan, dan untuk Nabi Muhammad dan Fatimah dibuatkan sajian nasi yang dicampur dengan kelapa parutan dan ayam isian. Perasaan takut dan harap terhadap berbagai macam roh tersebut adalah unsur Animisme.
Unsur-unsur Hindu-Budha dalam upacara selamatan
Sebagaimana dipaparkan di muka bahwa unsur yang menonjol dalam upacara selamatan adalah unsur Animisme-Dinamisme. Hal ini terjadi karena upacara selamatan itu sendiri adalah berasal dari Animisme-Dinamisme. Karena kuatnya unsur Animisme-Dinamisme pada orang Jawa, setiap agama atau kepercayaan yang masuk ke Jawa selalu mengalami seleksi yang tajam. Hal ini berlaku juga pada agama Hindu-Budha.
Di antara unsur yang jelas dari Hindu-Budha pada pelaksanaan selamatan dapat dilihat pada tindakan relijius orang Jawa, khususnya dalam penghormatan dan pemujaan terhadap yang kuasa. Dalam Hinduisme, pemujaan terahadap dewa-dewi adalah merupakan upacara yang terpenting. Jumlah dewa-dewi yang dipuja itu kra-kira 30 juta banyaknya[27]. Setelah Hindu-Budha masuk ke Jawa, kemudian mempengaruhi alam pikiran orang Jawa. Kalau pada mulanya (Animisme-Dinamisme) pemujaan dan penghormatan ditujukan kepada kekuatan benda-benda dan roh-roh, maka dengan masuknya unsur Hindu-Budha pemujaan itu dialihkan kepada dewa-dewi yang menguasai benda-benda dan lingkungan alam ini. Kalau sebelumnya menyebut penjaga desa dengan danyang desa atau roh penjaga desa, misalnya, maka setelah masuk unsur Hindu-Budha sebutan itu menjadi dewa penjaga desa.
Tentang sebutan dewa-dewi ini nampak pada ungkapan do’a yang dipersembahkan pada setiap upacara selamatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Hildred Geertz bahwa dalam selamatan orang Jawa terdapat do’a dalam bahasa Arab serta dengan cermat terinci semua dewa Hindu-Budha, .... dan seterusnya[28].
Selanjutnya unsur Hindu-Budha nampak pada sajian yang dihidangkan dalam suatu selamatan. Dalam selamatan tingkepan misalnya, di
Unsur Hindu-Budha yang lain misalnya sebutan Dewi Nawangwulan, yang selalu diminta bantuannya untuk mempercantik gadis-gadis yang hendak menikah. Hal ini biasanya dilakukan pada upacara selamatan midodareni. Kemudian Dewi Sri, yang selalu diminta bantuannya untuk menyuburkan tanaman padi oleh para petani. Hal ini dilakukan sehubungan dengan acara selamatan pada saat menjelang panen padi. Dan Dewa Kala atau Bethara Kala, dewa yang dimohon oleh orang Jawa agar tidak membawa malapetaka pada manusia. Hal ini biasanya dilakukan orang Jawa pada saat mengadakan selamatan ruwatan.
Khusus pada upacara selamatan kematian, unsur Hindu-Budha nampak pada penentuan hari diadakannya selamatan. Orang Jawa yang sudah dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Budha, mereka punya anggapan bahwa setelah orang meninggal, rohnya berkeliaran di sekitar rumah atau tempat tinggalnya sampai tiga hari. Setelah tiga hari (jasmaninya mulai membusuk, maka atma (semangat), kama (keinginan), prana (nafsu), manas (akal), manasa (kecerdasan) dan jiwa yang merupakan unsur-unsur yang terdapat pada tubuh manusia mulai meninggalkan jasmaninya. Setelah itu menuju Kamaloka pada hari ketujuh. Di Kamaloka berhenti hingga hari yang keempat puluh dari kematiannya. Selanjutnya roh itu berusaha memurnikan diri dan mempersiapkan diri untuk masuk ke surga pertama pada hari keseratusnya. Setelah berhasil masuk ke surga pertama, roh menjadi lebih murni. Setelah waktu berjalan hingga seribu harinya, roh itu berhasil masuk ke surga kedua, dan seterusnya berulang-ulang hingga mencapai surga ketujuh dan mencapai moksa[30].
Adanya kepercayaan terhadap perjalanan roh yang begitu panjang dan melampaui dari satu stasiun ke stasiun yang lain, rupanya cukup mempengaruhi keyakinan orang Jawa, sehingga pada moment-moment yang penting tersebut selalu diadakan selamatan dengan maksud agar perjalanan roh itu dapat berlangsuang dengan selamat dan tidak mengalami hambatan apa pun.
Unsur-unsur Islam dalam upacara selamatan
Upacara selamatan yang berasal dari kepercayaan
Pada upacara selamatan kematian misalnya, maka unsur Islam dapat dilihat dengan jelas dari segi bacaan-bacaan dhikr atau do’a yang dibacakan dalam selamatan. Hampir semua do’a yang dibacakan dalam selamatan itu selalu diawali dengan
“Allahumma inna nas-aluka salamatan fi al-ddin, wa ‘afiyatan fi al-jasad, wa ziyadatan fi al-‘ilm, wa barakatan fi al-rizq, wa tawbatan qabla al-mawt, wa rahmatan ‘inda al-mawt, wa maghfiratan ba’da al-mawt, wannajata min al-nar wa al-‘afwa ‘inda al-hisab. Allahumma hawwin ‘alayna sakarati al-mawt, rabbana la tuzigh qulubana ba’da idh hadaytana wa hablana min ladunka rahmatan innaka anta al-wahhab. Rabbana atina fi al-dun-ya hasanah wa fi al-akhirati hasanah waqina ‘adhab al-nnar”[31].
Selain do’a tersebut, ada bacaan yang khas yang disebut dengan tahlil. Bedanya, kalau do’a tadi hanya dibacakan oleh seorang modin dan yang lain cukup mengamini, maka pada bacaan tahlil ini dibaca bersama-sama oleh semua peserta selamatan dengan dipimpin oleh seorang yang ahli di bidang itu. Dilihat dari do’a dan bacaan tahlil yang dibacakan pada selamatan kematian yang banyak menggunakan bahasa Arab tersebut, jelaslah bahwa semua ini adalah unsur Islam. Tentang adanya tahlil ini, hingga kini cukup kuat pengaruhnya pada kalangan Islam santri. Begitu kuatnya pengaruh tahlil ini, sehingga upacara selamatan kematian ini lebih populer dengan sebutan tahlilan.
Unsur Islam yang lain nampak pada sajian-sajian yang dipersembahkan. Misalnya hidangan Rasulan, yaitu nasi wudu, ingkung ayam (ayam yang putih mulus), becek kambing (gule), apem, rujak wuni, wedang dan penganan. Hidangan ini dimaksudkan untuk ngaturi dhahar Kanjeng Nabi, memberikan makanan kepada Nabi Muhammad Saw. Hidangan semacam ini biasanya dibuat pada acara selamatan kematian. Kemudian bubur sura, yang terdiri dari botor, kacang gede, klungsu, kacang ijo, mrica putih dan isi delima, pasangannya kambing kenyah, dupa menyan madu[32]. Hidangan ini dimaksudkan untuk menghormati cucu Nabi Muhammad, Hasan-Husen. Hidangan ini biasanya dibuat sehubungan dengan selamatan 10 sura. Kemudian sembilan bola nasi putih yang dibentuk dengan genggaman tangan yang juga disebut sega golong. Hidangan yang biasa dibuat pada acara selamatan tingkepan ini dimaksudkan untuk memuliakan wali sanga, sembilan tokoh penyebar Islam di Jawa.
Selain itu unsur Islam juga nampak pada nama penganan-penganan yang dibuat pada acara selamatan. Penganan-penganan yang dimaksud antara lain apem, kolek dan ketan. Apem berasal dari kata Arab ‘afwun, artinya mohon ampun/ma’af. Kolek dari kata Khaliq, artinya Tuhan Pencipta. Ketan dari kata khata-an, artinya kesalahan atau dosa. Jika ketiga kata itu yakni apem, kolek dan ketan dirangkai menjadi satu, maka artinya adalah mohon ampun kepada Tuhan dari segala kesalahan atau dosa.
Disamping itu, unsur Islam juga nampak pada acara-acara selamatan yang dikaitkan dengan hari-hari besar Islam seperti Muludan (memperingati hari lahirnya Nabi Saw), Suranan (memperingati 10 Muharram), Megengan (sehari sebelum datangnya bulan Puasa)[33]. Dilihat dari penentuan waktu yang ditetapkan dengan hari-hari yang istimewa dalam Islam, jelas ini adalah unsur-unsur Islam.
Penutup
Demikian unsur-unsur Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha dan Islam dalam upacara selamatan yang dilakukan oleh orang Jawa setelah mengalami perkembangannya, di mana pola selamatan yang dilakukan mengalami perkembangan seiring dengan masuknya agama-agama baru pada orang Jawa. Sebagai bangsa yang beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang Jawa cukup antusias melaksanakan suatu aktifitas yang berhubungan dengan keagamaan/kepercayaan. Upacara selamatan yang ternyata merupakan budaya Jawa yang sarat dengan unsur-unsur agama dan kepercayaan, nampaknya cukup memberikan motivasi tersendiri bagi orang Jawa untuk menyelenggarakannya, hingga sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Banna, Hasan. Allah Fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, terj. Mukhtar Yahya. Solo:
Ramadhani, 1981.
Djumhur,
Fischer, H.Th. Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia, terj. Anas
Makruf.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, terj.
Aswab Mahasin.
Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. terj.Grafiti Pers .Jakarta: Grafiti Pers, 1985.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.
Hanindita, 1984.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa.
MZ,H Fatchurrahman.
M, Sufa’at. Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan. Yogjakarta:
Kembang, 1985.
Mulyono, Sri. Sombolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Sebuah Tinjauan
Filosofis.
Rasyidi, HM. Empat Kuliah Agama Pada Perguruan Tinggi.
Bintang, 1977.
Rosihan Anwar, Demi Da’wah.
Soejono, R.P. Ed. Sejarah Nasional
1984.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan
Yayasan Kanisius, 1973.
Sihombing, ODP.
Tjakraningrat, Kanjeng Pangeran Harja. Kitab Primbon Betal Jemur Adammakna
Yogjakarta: Soemodidjojo Mahadewa, 1980
Tanojo, R. Primbon Djawa Pandita Sabda Nata.Solo: Toko Buku Pelajar,tt.
[1] Selamatan adalah upacara pokok bagi orang Jawa dan merupakan unsur terpenting dalam hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa, yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya, dengan melibatkan handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan sebagainya yang semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja untuk diminta perlindungannya, restunya dan kesediaannya untuk tidak mengganggu. Baca Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), 13. Baca juga Hildred Geertz, Keluarga Jawa, terj.Grafiti Pers (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), 14.
[2] Sufa’at M, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan (Yogjakarta: Kota Kembang, 1985), 33.
[3] Ibid., 34.
[4] R.P. Soejono, Ed., Sejarah Nasional
[5] Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Jogjakarta: PT. Hanindita, 1984), 43.
[6] H.Th. Fischer, Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia, terj. Anas Makruf (Jakarta: Pustaka Sardjana, 1953), 149.
[7] I.Djumhur, Pengantar ke Antropologi Budaya (Bandung: Dirgantara. 1977), 100.
[8] Hasan al-Banna, Allah Fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, terj. Mukhtar Yahya (Solo: Ramadhani, 1981), 19.
[9] HM.Rasyidi, Empat Kuliah Agama Pada Perguruan Tinggi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 11.
[10] Sufaat M, Beberapa Pembahasan, 34.
[11] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebidayaan
[12] Baca Geertz, Abangan Santri dan Priyayi, 308.
[13] Baca Sufaat M, Beberapa Pembahasan, 36.
[14] Sri Mulyono, Sombolisme dan Mistikisme dalam Wayang, sebuah Tinjauan Filosofis (Jakarta: Gunung Agung, 1979), 36.
[15] Sufaat M, Beberapa Pembahasan, 37.
[16] Ibid., 39.
[17] Ibid., 41.
[18] Ibid., 42.
[19] Ibid., 43.
[20] Rosihan Anwar, Demi Da’wah (Bandung: Al-Ma’arif, 1976), 5.
[21] Sufaat M, Beberapa Pembahasan, 44.
[22] Rosihan Anwar, Demi Da’wah, 9.
[23] Hildred Geertz, Keluarga Jawa, 14.
[24] Baca Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi, 13.
[25] Baca Hildred Geertz, Keluarga Jawa, 14.
[26] Menurut Kitab Primbon, hari untuk upacara tingkepan itu hendaknya dijatuhkan pada hari Rebo atau Sabtu dan pada tanggal-tanggal ganjil sebelum tanggal lima belas, yaitu tanggal 1,3,5,7,9,11, atau 13 menurut kalender Jawa. Baca Kanjeng Pangeran Harja Tjakraningrat, Kitab Primbon Betal Jemur Adammakna (Yogjakarta: Soemodidjojo Mahadewa, 1980), 38.
[27] ODP
[28] Hildred Geertz, Keluarga Jawa, 14.
[29] Clifford Geertz, Abangan, 50-51.
[30] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 338.
[31] H Fatchurrahman MZ,
[32] R. Tanojo, Primbon Djawa Pandita Sabda Nata (Solo: Toko Buku Pelajar,tt), 58.
[33] Clifford Geertz, Abangan, 105.
Alhamdulillah! Trims atas komentarnya. semoga menambah wawasan. Untuk melengkapi "mangga" dibaca juga artikel pada posting berikut ini
BalasHapushttp://zuhdidh.blogspot.com/2011/09/tahlilan.html
Trims, semoga bermanfaat.
saya membaca ustad zuhdin ini hanya menerangkan sejarah tahlilan , tidak sama sekali mengajak, tapi keliatannya justru meninggalkan . tetapi si pulsa murah ini kelihatan ambisius. harusnya di pahami dan diikuti kajian yg lain
HapusAlhamdulillah ada yang komentar sangat bagus, saya setuju dengan pulsa murah...
BalasHapusAlhamdulillah saya dapat pelajaran yang sangat luar biasa temen sang pencerah mudah2an bisa ketemu lagi karyamu sangat berguna bagiku....
BalasHapusDiriwayatkan dari Aisyah bahwa seseorang bertanya kepada Nabi SAW: "Ibu aku meninggal mendadak. Aku yakin andai ia bisa bicara maka ia akan bersedekah. Apakah beliau dapat pahala jika aku bersedekah atas nama beliau?" Nabi menjawab: "Ya" (Muttafaq Alaih).
BalasHapusDiriwayatkan dari Abu Darda' Ra bahwa Rasullullah SAW beersabda: "Doa seorang muslim untuk saudaranya saat ia tidak bersamanya adalah mustajab. Di dekat dirinya ada malaikat, setiap ia berdoa kebaikan terhadap saudaranya, maka malaikat berkata: "Kamu juga mendapat doa yang sepadan." (HR. Muslim, dalam Riyadl ash-Shalihin 1495).
bagi saudaraku yang senang mengamalkan TAHLILAN mari terus diamalkan banyak kebaikan didalamnya dari dzikir, sholawat kepada Nabi Muhammad SWA sampai dengan sedekah.
bagi saudaraku yang tidak senang dengan Tahlilan jangan mencela. karena sama2x mempunyai dasar.
apakah kedalaman ilmu kita (antum dan ana) setinggi ilmu para ulama
Semoga Allah menjaga kita untuk tetap bersilaturahim, aaminn
untuk ustadz Achmad Zuhdi apakah panjenengan sudah bertanya langsung dengan ulama-ulama yg mempunyai ilmu dan kedalaman pemahamannya.
BalasHapusjangan bertanya pada masyarakat awam.
Setau saya beliau ini sudah membaca kitab-kitab besar karya ulama terdahulu, misalnya Imam Syafi'i dengan kitab Al-Umm, Ibnu Qoyyim dengan Zaadul Ma'ad, dan masih banyak lagi kitab-kitab lainnya. Saya pernah mendengar beliau berkata: berbeda pendapat itu biasa, Imam Syafi'i dalam beberapa hal beda pendapat dengan gurunya, muridnya Ahmad bin Hanbal dalam beberapa hal, juga beda pendapat dengan Imam Syafi'i. Jadi kata beliau orang boleh beda pendapat asal punya dalil atau argumentasi masing-masing. Wallahu a'lam!
Hapus