Kamis, 07 Agustus 2025

BERHAJI DENGAN VISA NON-HAJI

                                                BERHAJI DENGAN VISA NON-HAJI

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan:

            Assalamu’alaikum wr. wb.!

            Beberapa tahun terakhir ini saya mendengar ada sejumlah orang yang berangkat haji dengan tidak memakai visa haji, tetapi pakai visa non haji. Di antara mereka ada yang menggunakan visa kerja dan sebagian yang lain memakai visa ziarah. Akibatnya ada di antaraa mereka yang tertangkap kemudian ditahan oleh pemerintah Saudi. Yang kami tanyakan, bagaimana menurut tarjih Muhammadiyah mengenai hukum haji mereka, apakah sah? Atas jawabannya kami sampaikan terima kasih (M. Solih, Ngawi).

             

Pembahasan:

            Wa’alaikumussalam wr. wb.!

            Menurut ajaran Islam, haji adalah ibadah yang sangat penting karena merupakan salah satu rukun dari lima rukun Islam. Sebagai salah satu kewajiban dalam rukun Islam, ibadah haji membutuhkan persiapan-persiapan yang sangat matang sehingga seseorang baru dipandang mampu melaksanakannya dengan baik. Dalam al-Qur’an Surah Ali Imran (3), ayat 97 disebutkan:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“… (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam” (QS. Ali Imran, 197).

Dalam pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah, ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban haji itu mempersyaratkan persiapan yang matang, atau dalam ayat tersebut diungkapkan dengan kata istiṭā‘ah (mampu). Persiapan ini tidak hanya menyangkut aspek spiritual dan penguasaan manasik haji, tetapi juga aspek fisik (kesehatan), logistik (bekal) dan administratif yang sangat kompleks. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan haji perlu melibatkan Pemerintah agar dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib. Dalam konteks ini, orang yang tidak bisa mendapatkan visa haji resmi, maka ia dianggap tidak memenuhi kesiapan kemampuan (al-Istiṭā‘ah) dari sisi administrative (al-Idāriyyah). 

            Selain tidak memenuhi syarat kemampuan kesiapan dari sisi administratif, berhaji dengan visa non-haji (haji ilegal) dalam kenyataannya dapat berpotensi melahirkan sejumlah mudarat (bahaya) dan mafsadah (kerusakan) yang tidak sedikit, baik mudarat dan mafsadat terhadap diri sendiri, dan terhadap orang lain, maupun mudarat dan mafsadah terhadap pemerintah.

            Mafsadah pertama, berhaji tanpa visa haji resmi berpotensi mendatangkan bahaya dan kerugian, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Kerugian yang bisa menimpa terhadap diri sendiri berupa ancaman hukuman yang tidak ringan. Dalam laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (kemenag.go.id) disebutkan bahwa bilamana ada jamaah yang tertangkap menggunakan visa ziarah (visa non haji), maka yang bersangkutan akan ditahan, dideportasi dan berpotensi kena denda sebesar 10 ribu Riyal yang setara dengan Rp. 42 juta. Keterangan besaran denda ini pun dikonfirmasi oleh Wizārah ad-Dākhilah al-Mamlakah al- ‘Arabiyyah as-Su‘ūdiyyah pada laman resmi mereka (moi.gov.sa). Haji dengan visa non-haji juga dipandang telah melanggar keimigrasian yang berpotensi mendapatkan sanksi berupa larangan berhaji selama 10 tahun berturut-turut.

            Adapun bahaya yang ditimbulkan kepada orang lain adalah menyebabkan penyelenggaraan haji tidak berjalan maksimal, yang nantinya akan berdampak pada banyak aspek, di antaranya terjadinya kepadatan lokasi atau over kapasitas yang menyebabkan ketidak-nyamanan bagi jamaah. Dalam Islam, suatu perbuatan yang menimbulkan bahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain adalah hal yang tidak dibolehkan. Dalam sebuah hadis disebutkan:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ: "لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ )رواه ابن ماجه(

Dari ‘Ubādah bin a-Ṣāmit (diriwayatakan), Rasulullah saw menetapkan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh pula membahayakan (pihak lain) [HR Ibnu Majah]. Al-Albani: Sahih (Ghayat al-Maram, I/158).

            Atas dasar ini, beribadah haji dengan menggunakan visa non-haji adalah perbuatan yang terlarang karena menimbulkan banyak mafsadah dan karena itu harus dicegah. Dalam kaidah fikih disebutkan:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menghindari kemafsadahan-kemafsadahan lebih didahulukan daripada meraih berbagai kemaslahatan (Abdul Mukmin al-Hanbali, Taysir al-Wusul, I/310).

            Mafsadah kedua, adalah timbulnya ketidakadilan bahkan sampai pada taraf mengambil atau merampas hak orang lain. Dalam praktiknya, berhaji tanpa visa haji resmi secara otomatis mengambil jatah orang lain. Di tahun 2023 saja, terdapat kasus 100.000 jamaah Indonesia yang berhaji dengan menggunakan visa ziarah. Over kapasitas ini pada akhirnya membuat tempat atau area ibadah menjadi semakin sempit, baik di area tawaf, sai, lempar jamrah, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah maupun di Mina. Padahal, berdasarkan laporan Direktorat Jenderal, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, space jamaah di Muzdalifah diperkirakan hanya sekitar 0,29 m2, lebih sempit dari tahun lalu, sekitar 0,45m2. Dengan banyaknya jamaah haji dengan visa non-haji, maka banyak tempat haji menjadi semakin padat dan sesak. Lebih lanjut pada kondisi tertentu dapat membuat jamaah lain terganggu, pingsan bahkan berakibat pada kematian.

            Adanya dampak buruk ini menunjukkan bahwa berhaji dengan visa non-haji pada hakikatnya merupakan tindakan mengambil atau merampas hak orang lain. Oleh karena itu bisa dikategorikan sebagai tindakan pidana dalam sudut pandang syariat (jarīmah dīniyyah). Padahal, Allah telah mempersyaratkan setiap melakukan kebaikan harus ditempuh melalui proses yang baik, utamanya ibadah yang bersifat khusus termasuk di dalamnya ibadah haji. Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 188 disebutkan:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, 188).

            Dalam hadis sahih Riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ(رواه مسلم)

Barangsiapa mengambil hak orang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan ia masuk neraka, dan haram masuk surga (HR. Muslim 370).

            Mafsadah ketiga, berhaji dengan visa non-haji merupakan tindakan penipuan atau pengelabuan, karena ia harus melakukan pemalsuan dokumen dan memanipulasi informasi. Dengan demikian, berhaji dengan menggunakan visa selain visa haji resmi dapat dipandang sebagai bentuk penipuan atau pengelabuan terhadap pemerintah dan pihak-pihak terkait yang berwenang. Rasulullah pernah mengancam orang yang melakukan penipuan (al-gasysyu) dengan tidak diakui sebagai bagian dari umatnya. Hadis Nabi saw. menyebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا )رواه مسلم(

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang mengangkat senjata (memerangi) kami, maka ia tidak termasuk dari kami dan siapa yang menipu kami, ia pun tidak termasuk dari kami (HR Muslim 294).

            Pada hadis yang lain juga disebutkan bahwa umat Islam seharusnya mentaati dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan disepakati. Dalam hadis disebutkan, dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ (رواه ابوداود)

Umat Islam harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati )HR. Abu Dawud 3596(. Al-Albani: Hasan Sahih.

Dengan demikian, dapat difahami bahwa dalam proses pelaksanaan ibadah haji, jamaah yang berhaji dengan visa non haji mengandung banyak hal yang bisa digolongkan sebagai bentuk kefasikan yang dilarang dalam pelaksanaan ibadah haji. Dalam potongan ayat 197 surah al-Baqarah (2) disebutkan: 

فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ

…Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafa, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji… (QS. Al-Baqarah, 197).

            Demikian pula dalam hadis yang lain juga disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ )رواه الترمذي(

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) berkata, Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang berhaji dan tidak melakukan perkara keji (rafa) dan tidak melakukan kefasikan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu (HR at-Tirmidzi 811). Al-Albani: Sahih.

            Berdasarkan pembahasan di atas, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengambil kesimpulan sebagai berikut, yaitu:

Pertama, melaksanakan ibadah haji wajib hukumnya menggunakan visa haji resmi, tidak boleh menggunakan visa non-haji, karena mendapatkan visa haji resmi merupakan bagian dari istiṭā‘ah idāriyyah (kemampuan administratif) yang dipersyaratkan.

Kedua, melaksanakan ibadah haji dengan visa non-haji (misalnya dengan visa ziarah) adalah perbuatan terlarang (tidak diperbolehkan) karena menyebabkan banyak mudarat dan mafsadah, di antaranya merugikan diri sendiri dan orang lain, serta merupakan tindakan ketidakadilan karena mengambil hak orang lain dan termasuk tindakan penipuan (Fatwa MTT-PPM, 12 Juni 2024).

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim Edisi Agustus 2025)

 

 

 

 

 

 

 

MURUR DAN TANAZUL PROGRAM HAJI MUTAKHIR

                                        MURUR DAN TANAZUL

 

                                                                    Oleh

 
Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan

            Assalamu’alaikum wr.wb.!

            Prosesi haji tahun ini direncanakan ada sekema baru, terutama bagi Jemaah Haji Indonesia yang berangkat tahun 2025, yaitu program murur dan tanazul. Melalui rubrik Konsultasi Agama Majalah MATAN ini saya mohon kepada Pengasuh kiranya berkenan memberikan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan murur dan tanazul, dan bagaimana hukumnya menurut Tarjih Muhammadiyah? Atas perkenannya kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Umi Istiqamah, Sidoarjo).

Pembahasan

            Wa’alaikumussalam wr.wb.!

            Sebelum membahas tentang apa yang dimaksud dengan murur dan tanazul program haji mutakhir oleh Pemerintah (Kemenag RI), mari kita ingat kembali tentang apa saja yang dilakukan oleh jemaah haji pada saat melakukan prosesi ibadah haji.

Prosesi Haji

            Secara garis besar dapat diterangkan bahwa prosesi manasik haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah untuk ihram haji dari hotel masing-masing di Makkah. Saat hendak memulai ihram haji, jemaah haji terutama kaum pria diharuskan memakai kain dua lembar yang disebut dengan kain ihram, tidak boleh memakai yang lain. Sementara kaum wanita boleh berpakaian apa saja yang dapat menutup auratnya, diutamakan yang berwarna putih. Pada hari itu, yang disebut hari Tarwiyah, para jemaah haji disunahkan berangkat menuju Mina.

Namun, dengan pertimbangan menghindari kepadatan dan kesulitan yang dihadapi jemaah, Pemerintah Indonesia memberangkatkan jemaah haji langsung menuju ke Arafah. Bagi jemaah yang mengikuti kegiatan Tarwiyah di Mina, mereka tinggal di sana hingga Subuh. Setelah matahari terbit baru berangkat menuju ke Arafah.

            Selanjutnya, tanggal 9 Zulhijah Wukuf di Arafah, dimulai saat waktu Zuhur tiba dan berakhir hingga Magrib. Kegiatan wukuf dimulai dengan Khutbah Arafah, kemudian azan zuhur, ikamah, salat zuhur dua rakaat, ikamah lagi, lalu salat asar dua rakaat dilakukan dengan jamak-qasar takdim.

            Tanggal 9 malam 10 Zulhijah, setelah Magrib, jemaah haji diberangkatkan menuju Muzdalifah. Kegiatan yang dilakukan di Muzdalifah adalah mabit (bermalam) hingga Subuh. Di Muzdalifah melakukan salat magrib dan isyak dilakukan dengan jamak qasar takhir, kemudian istirahat semalam hingga Subuh. Setelah salat Subuh, para jemaah diberangkatkan menuju ke Mina.

            Tanggal 10 Zulhijah pagi, di Mina, jemaah melempar jamrah aqabah (yang ketiga) saja. Setelah itu, jemaah bisa mencukur rambutnya. Dengan telah selesainya lempar jamrah aqabah dan mencukur rambutnya, maka jemaah sudah bisa tahalul awal. Saat itu jemaah sudah boleh menanggalkan larangan ihram termasuk pakaian ihramnya dan berganti dengan pakaian biasa, tetapi belum boleh berkumpul suami-isteri (jimak).

            Tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah di Mina, setiap harinya Jemaah melempar jamrah ula (pertama), wusta (Tengah/kedua), dan aqabah (terakhir/ketiga), dan bermalam di Mina. Masing-masing jamrah dilempar 7 kali. Selain itu bisa juga melaksanakan penyembelihan hewan hadyu.

            Sebagai pilihan, tanggal 12 Zulhijah boleh meninggalkan Mina untuk kembali ke Makkah (nafar awal), atau tanggal 13 Zulhijah baru meninggalkan Mina untuk kembali ke Makkah (nafar sani). Sesampai di Makkah, bisa melaksanakan tawaf ifadah dan sai. Selanjutnya tahalul sani. Dengan tahalul sani, maka selesailah seluruh rangkaian ibadah haji.

Program Murur

            Yang dimaksud dengan program murur adalah sebuah inovasi dalam manajemen pergerakan jemaah haji pada saat puncak ibadah, khususnya setelah wukuf di Arafah. Saat itu jemaah haji diberangkatkan dari Arafah setelah ibadah maghrib lalu menuju Muzdalifah tanpa turun dan langsung menuju Mina. Murur artinya lewat.

            Sesuai syariat, setelah wukuf di Arafah lalu mabit (bermalam) di Muzdalifah sampai waktu Subuh. Hal ini sesuai dengan amalan Nabi saw: Dari Jabir, ia berkata, … sampai di Muzdalifah beliau melakukan salat Magrib dan Isya dengan satu kali azan dan dua ikamah dan beliau tidak melakukan salat antara keduanya, kemudian Rasulullah saw tidur hingga terbit fajar, lalu beliau salat Subuh ketika waktu subuh tiba dengan azan dan ikamah” (HR. Muslim 3009).

            Dalam program murur, jemaah haji tidak melakukan mabit di Muzdalifah hingga Subuh, tetapi sekedar lewat saja, selanjutnya dibawa ke Mina. Peralihan kegiatan mabit menjadi murur ini diberlakukan bagi jemaah yang mengalami uzur, dan ini dibenarkan oleh syariat berdasarkan hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: نَزَلْنَا الْمُزْدَلِفَةَ، فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَةُ أَنْ تَدْفَعَ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ، وَكَانَتِ امْرَأَةً بَطِيئَةً، فَأَذِنَ لَهَا، فَدَفَعَتْ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ،وَأَقَمْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا نَحْنُ، ثُمَّ دَفَعْنَا بِدَفْعِهِ، فَلَأَنْ أَكُونَ اسْتَأْذَنْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا اسْتَأْذَنَتْ سَوْدَةُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ مَفْرُوحٍ بِهِ )رواه البخاري(

Dari Aisyah ra., ia berkata: “kami sampai di Muzdalifah, kemudian Saudah (isteri Nabi) meminta izin Nabi saw. untuk berangkat mendahului rombongan. Saudah sendiri merupakan perempuan yang lambat (karena gemuk). Lalu Nabi mengizinkannya, sehingga ia berangkat mendahului rombongan, adapun kami tetap di sana (bermalam di Muzdalifah) sampai subuh, baru kemudian kami menyusul. Sungguh, meminta izin bagiku ke Rasulullah saw sebagaimana meminta izinnya Saudah adalah sesuatu yang paling aku cintai daripada hal yang menyenangkan (HR. al-Bukhari 1681).

            Menurut Majelis Tarjih, hadis tersebut mengandung dua makna. Pertama, menunjukkan bahwa, pada prinsipnya mabit harus dilaksanakan di Muzdalifah hingga subuh sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. Namun, apabila ada kesulitan yang menjadi alasan (uzur) yang dibenarkan oleh syariat, seperti yang dialami oleh Saudah, maka kegiatan bermalam (mabit) boleh diganti dengan cukup melewati (murūr) lalu turun atau tetap di atas kendaraan, selanjutnya menuju Mina.

            Makna kedua, menjadi dasar kebolehan skema murūr yang direncanakan oleh Pemerintah sebagai pengganti mabit di Muzdalifah bagi kelompok risiko terkena penyakit (riski), lansia, difabel dan para pendamping. Dalam skema yang dirilis oleh Pemerintah disebutkan, murūr akan berlangsung pada tanggal 9 malam 10 Zulhijah dari pukul 19.00-22.00 waktu Arab Saudi. Jemaah akan bergerak dari Arafah, melewati Muzdalifah, tidak turun dan langsung menuju Mina. Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan:

إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلى الْبَدَلِ

Apabila hukum asal (pokok) sulit untuk direalisasikan, maka bisa beralih kepada hukum pengganti (al-Saidan, al-Ifadah al-Syar’iyah Fi Ba’d al-Masail al-Tibbiyah, I/4). 

            Kaidah ini menjadi dasar peralihan dari mabit ke murūr. Dalam konteks haji, mabit berada dalam kedudukan al-al, dan murūr dalam kedudukan al-badl. Jadi, jika mabit sebagai asal hukum sukar untuk dilaksanakan karena ada alasan syarī maka penunaiannya bisa dengan melaksanakan murūr sebagai pengganti dari hukum pokok.

            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagi yang mengalami kesulitan (uzur) baik karena kondisi fisik, maupun keadaan, boleh baginya untuk mengganti mabit di Muzdalifah dengan murūr. Selanjutnya, bagi jemaah haji yang memenuhi kriteria kebolehan murūr bisa melakukan murūr kapan saja, awal, tengah atau akhir malam dan tidak terkena dam. 

Program Tanazul

Secara sederhana, yang dimaksud dengan program tanazul adalah jemaah yang tinggal di hotel dekat area jamarat atau tempat lontar jamrah akan kembali ke hotel dan tidak menempati tenda di Mina. Dengan demikian, program tanazul berarti tidak lagi mutlak seorang jemaah haji harus menginap di tenda yang sudah tersedia di Mina, tetapi bisa menginap di hotel, karena jarak menuju ke kemah lebih jauh daripada pergi ke hotel mereka.  

            Dalam konteks ini, menurut Majelis Tarjih, prinsip kemudahan dengan asas memelihara agama (hif ad-dīn) dan memelihara jiwa (hif an-nafs) sejatinya menjadi dasar kebolehan skema tanāzul bagi pihak yang dikhawatirkan akan mengalami kesulitan bahkan membahayakan jika ikut berdiam di Mina. Prinsip kemudahan ini memang ditetapkan Allah pada setiap pelaksanaan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah sebagai berikut:

1.      Ayat ke-78 surah al-Hajj (22): وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ

… dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…

2.      Hadis riwayat al-Bukhari dari Aisyah r.a.:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ، فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا )رواه البخاري(

Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan) bahwa ia berkata, Rasulullah saw tidak pernah memilih salah satu antara dua hal, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama yang mudah itu bukanlah dosa. Jika itu adalah dosa, maka sungguh beliau adalah manusia yang paling menjauhinya. Nabi saw pun tidak pernah membenci karena pertimbangan diri sendiri, kecuali berkaitan dengan kehormatan Allah, sehingga beliau membenci sesuatu karena Allah swt (HR. al-Bukhari 3560).

3. Dalil-dalil tersebut juga sejalan dengan kaidah fikih: “Kesulitan menghendaki adanya kemudahan” (الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ).

            Sebagai kesimpulan, tanāzul diperbolehkan bagi jemaah yang memiliki uzur syari, baik terkait kondisi fisik, seperti risiko sakit, lansia, dan difabel, maupun uzur yang terkait dengan keadaan tempat dan kondisi pelaksanaan. Kebolehan tanāzul ini didasari atas prinsip taisīr yang menghendaki adanya kemudahan.

            Tanāzul yang dimaksud di sini adalah pulang-balik dari Mina ke hotel di sela-sela melaksanakan ibadah di Mina. Jadi ketika jemaah bertanāzul, bukan berarti sama sekali tidak di Mina dan tidak mengerjakan ibadah selama di Mina. Bagi jemaah yang tanāzul dan ketika waktu melempar jamrah ia berada di tenda Mina dan mewakilkan pada jemaah lain, ia tidak dikenai dam.

            Adapun jemaah haji yang sama sekali berhalangan ke Mina dan tidak melaksanakan ibadah yang disyariatkan di Mina, ia dikenai dam, karena telah meninggalkan salah satu kewajiban haji (Fatwa MTT-PPM, 12 Juni 2024). Wallahu A’lam!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN edisi Juli 2025)            



Minggu, 08 Juni 2025

NAJISKAH KOTORAN HEWAN YANG HALAL

 NAJISKAH KOTORAN HEWAN YANG HALAL

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan:

            Assalamu’alaikum wr.wb.!

            Saya pernah mendengar ceramah seorang Ustaz mengenai hukum kotoran dari hewan yang halal dimakan, katanya hukumnya najis. Sementara dari Ustaz yang lain mengatakan hukumnya tidak najis. Untuk mendapatkan kejelasan mengenai hukumnya ini, mohon Pengasuh Konsultasi Agama MATAN berkenan memberikan ulasan sejelas-jelasnya disertai dengan dalil-dalilnya. Atas perkenannya, kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Nasrul Manar nasrulmanar@gmail.com).

Pembahasan:

            Wa’alaikumussalam wr.wb.!

            Najis secara umum berarti kotor atau tidak suci. Secara syar’i najis berarti kotor khusus yang dapat menghalangi sahnya salat dan mewajibkan seseorang membersihkan atau menyucikannya. Zakariya al-Ansari (w. 926 H/1520 M) dalam kitabnya Fath al-Wahhab, menulis:

النَّجَاسَةُ لُغَةً: مَا يُسْتَقْذَرُ، وَشَرْعًا بِالْحَدِّ: مُسْتَقْذَرٌ يَمْنَعُ الصَّلَاةَ حَيْثُ لَا مُرَخِّصَ

Najis secara bahasa adalah sesuatu yang dipandang kotor (jijik). Sedangkan secara syar’i (istilah), najis adalah sesuatu yang kotor (menjijikkan), yang menyebabkan salat tidak sah selama tidak ada sebab yang meringankan (Zakariya al-Ansari, Fath al-Wahhab, I/37).

 

            Membahas permasalahan mengenai kotoran hewan yang halal dimakan, di antara ulama terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama (mazhab Syafii dan Hanafi) menghukumi najis, sementara ulama yang lain (mazhab Maliki dan Hanbali serta Sebagian mazhab Syafii) menghukumi suci (Ibn Bathal, Syarh Sahih al-Bukhari, I/346; Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I/28). Berikut ini pembahasannya!

            Ulama yang Menghukumi Najis.

Menurut jumhur ulama kalangan mazhab Syafii dan Hanafi, mereka berpendapat bahwa semua benda yang keluar dari tubuh hewan lewat kemaluannya, baik depan atau belakang hukumnya najis. Tidak peduli apakah berasal dari hewan yang halal dimakan, ataukah dari hewan yang tidak halal. Beberapa dalil yang dipedomani oleh ulama yang menghukumi najis pada kotoran semua hewan ini di antaranya adalah:

1. HR. al-Bukhari No. 156:

عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الأَسْوَدِ ، عَنْ أَبِيهِ ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللهِ يَقُولُ أَتَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ.

 Dari Abdurrahman bin Al-Aswad, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Abdullah (yaitu Abdullah bin Mas ‘ud) berkata: "Rasulullah pergi ke tempat buang hajat, lalu beliau memerintahkanku untuk membawakan tiga batu. Maka aku menemukan dua batu, dan aku mencari batu ketiga tetapi tidak menemukannya. Lalu aku mengambil sepotong kotoran hewan (yang kering) dan membawanya kepada beliau. Beliau mengambil dua batu itu dan melemparkan kotoran tersebut seraya bersabda: 'Ini adalah riks (najis/kotor)' (HR. al-Bukhari No. 156).

            Hadis tersebut difahami oleh ulama Hanafiyah dan Syafiiyah bahwa yang dimaksud dengan kalimat “… kotoran: 'Ini adalah riks (najis/kotor)'” adalah kotoran yang berasal dari semua hewan dan dihukumi najis. Dalam hal ini termasuk hewan kambing, unta dan lain-lainnya (Anwar Syah al-Kasymiri, al-Urf al-Syadzi Syarh Sunan al-Tirmidzi, III/275).

2. HR. al-Daruqutni No. 458, Nabi saw. bersabda:

ياَ عَمَّارُ إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ: مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ

(Nabi saw. bersabda): Wahai ‘Ammār, sesungguhnya pakaian itu dicuci karena lima hal: dari kotoran (tinja), air kencing, muntah, darah, dan mani (HR. al-Daruqutni No. 458).

Menurut al-Daruqutni, hadis ini lemah sekali. Kata al-Albani, selain diriwayatkan oleh al-Daruqutni, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Abu Nu’aym. Hadis ini batil dan tidak jelas asal-usulnya (al-Albani, Silsilat al-Ahadis al-Da’ifah Wa al-Maudu’ah, X/414).

3. HR. al-Bukhari No. 1361 dan Muslim No. 704, dari Ibn Abbas ra.:

مَرَّ النَّبِيُّ – ﷺ – عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الْآخَرُ كَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ عَنِ الْبَوْلِ أَوْ مِنَ الْبَوْلِ.  – وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى – كَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ

“Nabi pernah melewati dua kuburan yang keduanya diazab dan keduanya tidaklah diazab karena dosa besar, lalu beliau beresabda: “Salah satunya disiksa karena suka gossip (fitnah), dan satunya lagi karena tidak menjaga kebersihan dari kencing” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain: “karena tidak menutupi dari kencingnya” (HR. al-Bukhari No. 1361 dan Muslim No. 704).

Al-Khattabi berkata: “Hadis ini menunjukkan bahwa semua air kencing adalah najis dan harus dijauhi, baik dari hewan yang boleh dimakan dagingnya maupun yang tidak boleh, karena lafal yang digunakan dalam hadis tersebut menunjukkan secara mutlak, yang mencakup umum dan menyeluruh. Selain itu di dalamnya terdapat penetapan adanya azab kubur” (al-Khattabi, Ma’alim al-Sunnah, I/19).

4. Meskipun ada hadis bahwa Rasulullah saw. pernah salat di dalam kandang kambing, menurut ulama yang menghukumi najis pada kotoran dari semua hewan, mereka memahaminya bukan berarti Nabi salat di atas tumpukan najis, akan tetapi beliau salat dengan menggunakan alas, sehingga tetap tidak terkena najis. Demikian juga ketika Rasulullah saw. membolehkan seorang sahabat meminum air kencing unta sebagai pengobatan, dalam pandangan mereka hal itu terjadi karena darurat saja.

            Ulama yang Menghukumi Tidak Najis.

            Dalam pandangan ulama Malikiyah dan Hanabilah, tidak semua kotoran hewan itu najis. Kotoran yang berasal dari hewan yang tidak halal, maka hukumnya najis, sedangkan kotoran yang berasal dari hewan yang halal dimakan hukumnya tidak najis. Berikut ini dalil-dali yang dijadikan pedoman:

1.    HR. al-Bukhari No. 233.

Dari Anas, ketika segerombolan orang datang dari ‘Ukel atau dari ‘Uraynah, disebutkan dalam hadis:

فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِلِقَاحٍ ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا

“Nabi saw. menyuruh mereka untuk meminum kencing dan susu dari unta perah” (HR. Bukhari no. 233).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa Nabi mengizinkan sahabatnya untuk meminum air kencing dan susu unta. Bila susu unta dihukumi suci sehingga boleh diminum, maka air kencing unta yang juga boleh diminun, berarti hukumnya juga sama-sama suci. Kita ketahui bahwa unta adalah di antara hewan yang halal dimakan. Atas dasar ini kelompok ulama dari kalangan mazhab Maliki dan Hanbali menyatakan sucinya kotoran termasuk kencing dari hewan yang halal dimakan.

2.    HR. Abu Daud no. 184 dan Ahmad 4: 288.

Nabi saw. pernah ditanya mengenai hukum salat di kandang kambing, maka beliau bersabda:

صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ

Salatlah kalian di kandang kambing, karena di sana bisa mendatangkan keberkahan” (HR. Abu Daud no. 184 dan Ahmad 4: 288). Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut sahih.

Imam Syafi’i menerangkan bahwasanya kambing itu tidak memiliki sifat membangkang dan tidak suka lari, bahkan ia lemah, memiliki sifat tenang, tidak mengganggu orang yang salat dan tidak memutus salatnya. Ia adalah hewan yang penuh berkah, maka salatlah di kandang-kandangnya. Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya salat di tempat duduk unta, dan bolehnya salat di kandang kambing" (al-Azim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud, I/118-119).

            Bila seseorang dibolehkan salat di kandang kambing, padahal di kandang tersebut tak lepas dari kotoran, dan kambing adalah salah satu hewan yang halal dimakan, maka atas dasar ini para ulama khususnya kalangan Malikiyah dan Hanabilah men-generalisir bahwa kotoran hewan yang halal dimakan itu suci, tidak najis.

3.    HR. al-Bukhari No. 428 dan Muslim No. 1201

كَانَ يُحِبُّ أَنْ يُصَلِّيَ حَيْثُ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ وَيُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ

“Rasulullah senang salat di mana pun saat waktu salat telah tiba. Dan Rasulullah pernah melaksanakan salat di kandang kambing.” (HR. al-Bukhari No. 428 dan Muslim No. 1201)

Berdasarkan hadits tersebut, para ulama, khususnya di kalangan mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagaian Syafii, yang berpendapat bahwa kotoran hewan yang halal dimakan adalah suci, mereka menjelaskan bahwa melaksanakan salat di kandang kambing tentunya akan terkena kotoran kambing, maka menghukumi kotoran kambing sebagai hal yang najis justru akan menganggap salat Rasulullah tidak sah karena terkena najis. Begitu juga disamakan dengan hewan kambing, yaitu hewan-hewan lain yang halal dimakan.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XL/92).

4.     Kaedah yang mesti dipahami, “Hukum asal segala sesuatu adalah suci”, sebagaimana kata Imam Al- Syaukani:

أَنَّ الأَصْلَ فِي كُلِّ شَيْءٍ أَنَّهُ طَاهِرٌ

“Bahwasanya hukum asal segala sesuatu adalah suci” (al-Syaukani, Al-Durari al- Mudhiyyah, I/20).

Lebih lanjut Imam Al-Syaukani menjelaskan:

لِأَنَّ القَوْلَ بِنَجَاسَتِهِ يَسْتَلْزِمُ تَعَبُّدَ العِبَادِ بِحُكْمٍ مِنَ الأَحْكَامِ، وَالأَصْلُ عَدَمُ ذَلِكَ، وَالبَرَاءَةُ قَاضِيَةٌ بِأَنَّهُ لَا تَكْلِيفَ بِالمُحْتَمَلِ حَتَّى يَثْبُتَ ثُبُوتًا يُنْقِلُ عَنْ ذَلِكَ.

 “Karena sesungguhnya jika dikatakan bahwa sesuatu itu najis, maka hal ini berarti membebani hamba dengan suatu hukum. Oleh karenanya, hukum asalnya, seseorang hamba terbebas dari beban dan seorang hamba tidak dibebani kewajiban dengan sesuatu yang masih kemungkinan (muhtamal) najis atau tidaknya sampai ada dalil yang menyatakan dengan jelas bahwa itu najis” (al-Syaukani, Al-Durari al- Mudhiyyah, I/20).

 Kesimpulan

            Ulama berbeda pendapat mengenai hukum kotoran hewan yang halal dimakan. Sebagian ulama, terutama dari kalangan mazhab Hanafi dan Syafii berpendapat bahwa kotoran dari semua hewan, baik yang halal dimakan maupun tidak, hukumnya najis. Penilaian najis mencakup semua kotoran karena berasal dari tempat keluarnya najis (dubur-kubul).

Sementara ulama lain, khususnya kalangan mazhab Maliki dan Hambali, serta sebagian mazhab Syafii berpendapat bahwa kotoran dari hewan yang halal dimakan hukumnya suci. Sesuai kaidah bahwa asal sesuatu itu suci kecuali ada dalil yang menajiskannya. Dalam hal ini (kotoran hewan yang halal) tidak ditemukan dalil tegas yang menajiskannya. Wallahu A’lam!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur Edisi Juni 2025)

Rabu, 21 Mei 2025

URUTAN ZIKIR SESUDAH SALAT

 URUTAN ZIKIR SESUDAH SALAT

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 Permasalahan:

             Di kalangan warga Muhammadiyah, zikir sesudah salat dilakukan dengan cara sirr (pelan, tidak dikeraskan), karena itu ada sebagian warga non Muhammadiyah menganggap warga Muhammadiyah tidak melakukan zikir sesudah salat. Melalui rubrik Konsultasi Agama ini, mohon kepada Pengasuh berkenan membahas mengenai apa saja bacaan zikir sesudah salat yang diajarkan Rasulullah saw., dan haruskah berurutan dalam bacaan zikirnya? Demikian, atas jawabannya kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah ahsanal jaza’ (Mar’atus Sholeha, Lamongan).

Pembahasan:

            Mengenai zikir sesudah salat memang sudah sering dibahas. Dalam Buku Fatwa-Fatwa Tarjih (Tanya Jawab Agama, I/81-83) juga dibahas mengenai bacaan-bacaan zikir sesudah salat. Yang menjadi pertanyaan, adakah tuntunan Rasulullah saw. mengenai urut-urutan dalam berzikir tersebut?  

            Berdasarkan beberapa hadis sahih, zikir sesudah salat lima waktu dapat diterangkan sebagai berikut:

            Bila sebagai imam, maka setelah selesai salam, imam masih menghadap kiblat, membaca istighfar tiga kali dilanjutkan dengan membaca Allahumma antassalam wa minkassalam, tabarakta ya dzal jalali wal ikram (HR. Muslim 1363). Setelah itu imam menghadap makmum (al-Bukhari 6230 dan Muslim 989) kemudian melanjutkan zikirnya. Adapun sebagai makmum, tetap pada posisi duduknya atau bebas duduk yang nyaman. Tidak harus mengikuti zikirnya imam. Dalam hal ini bisa baca atau zikir sendiri-sendiri secara sirr. Berikut ini lafal zikirnya:

 أَسْتَغْفِرُ اللهَ (ثلاث مرّات)

اَللَّهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَاالْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ (رواه مسلم)

Aku mohon ampun kepada Allah 3 x

Ya Allah, Engkaulah Yang Sejahtera dan dariMu kesejahteraan itu (datang). Engkau Pemberi berkah wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan (HR. Muslim 1362).

 

       Selanjutnya bisa membaca kalimat tauhid sebagai berikut:

 

لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ  لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَي كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 

اَللّهُمَّ  لاَ مَانِعَ لِمَاأَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ (رواه البخاري و مسلم)

Tidak ada Tuhan kecuali Allah Yang Esa, tiada sekutu bagiNya, milikNya kekuasaan dan segala pujian, dan Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tiada seorang pun yang mampu menghalangi terhadap pemberianMu, dan tiada pula yang dapat memberi sesuatu yang Engkau tidak mau atasnya pemberian, dan tidak berguna kekayaan itu bagi pemiliknya di sisiMu (HR. Al-Bukhari 844 dan Muslim 1086).

       Setelah itu bisa membaca beberapa ayat atau surat dalam al-Qur’an. Misalnya ayat al-Kursi (QS. Al-Baqarah ayat 255) berikut ini:

اَعُوْذُ باللهِ مِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ

اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَّ لاَ نَوْمٌ  لَّهُ مَا فِي السَّموَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ مَنْ ذَاالَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ  يَعْلَمُ مَا بَيْنَ  أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ  وَلاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَالْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ   (البقرة  255)

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya). Ia tidak mengantuk dan tidak tidur. Hanya milikNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa seizinNya?  Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Allah tak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS.al-Baqarah, 255).

        Dari Abu Umamah, Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa membaca ayat al-Kursi (al-Baqarah, 255) setelah selesai salat wajib maka tidak akan ada yang bisa menghalanginya masuk surga kecuali maut” (HR. Al-Nasai 9928). Hadis ini disahihkan oleh al-Albani (al-Silsilah al-Sahihah, II/661).

       Setelah itu bisa membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ  اللهُ الصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ (الاخلاص , 1-4)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ  مِنْ شرِّ مَا خَلَقَ  وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ  وَمِنْ شَرِّ النَّفّثتِ فِى الْعُقَدِ  وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ  (الفلق, 1-5)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ   قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلهِ النَّاسِ مِنْ شَرِّ الْوَسْوَا سِ الْخَنَّاس اَلَّذِىْ يُوَسْوِسُ فِىْ صُدُوْرِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ  (الناس,1-6)

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah bahwa Allah itu Esa. Allah itu tempat bergantung (semua makhluk). Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada satu pun yang menyamaiNya” (QS. Al-Ikhlas, 1-4).

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah! Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhlukNya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang-orang yang dengki apabila ia telah dengki” (QS. Al-Falaq, 1-5).

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah! Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia, Sesembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada (hati) manusia, dari golongan jin dan manusia” (QS. Al-Nas, 1-6).

       Bersadarkan hadis riwayat Abu Dawud 1525, Al-Tirmidzi 2903, Al-Nasa-i 1336 dan Ibn Hibban 2004, dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwasanya Rasulullah saw. menyuruh kita agar setelah selesai salat membaca “Al-Mu’awwidzaat”, yakni Surat Al-Ikhlash, Surat Al-Falaq dan Surat al-Nas. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Sahihnya dan Al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata bahwa hadis ini sahih menurut syarat Muslim (al-Mustadrak 929).

       Setelah itu boleh membaca:

اَللّهُمَّ أَعِنِّىْ عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ (رواه ابو داود)

“Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa dapat mengingatMu, dan bersyukur kepadaMu serta (semakin) bagus dalam beribadah kepadaMu” (HR. Abu Dawud 1524).

       Dalam hadis riwayat Ahmad 22126, Abu Dawud 1524, Al-Nasa-i 9937, Ibn Khuzaimah 751, Ibn Hibban 2020, dan Al-Hakim 1010 dari Mu’adz bin Jabal,  bahwasanya Rasulullah saw. pada suatu hari memegang tangannya lalu bersabda: “Wahai Mu’adz! Saya sungguh sayang padamu!”  Mu’adz menjawab: “Demi ibu-bapakku yang menjadi tebusan tuan, wahai Rasulullah, saya juga amat sayang kepada tuan!”. Kemudian Nabi saw. bersabda: Wahai Mu’adz! Aku wasiatkan kepadamu, agar setiap selesai salat, jangan sekali-kali meninggalkan bacaan: Allaahumma a’innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatika”. Hadis ini dinilai sahih oleh al-Albani (Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II/119).

       Setelah itu bisa membaca tasbih (سُبْحَانَ اللهِ) 33 x, tahmid (اَلْحَمْدُ ِللهِ) 33 x, dan takbir (اَللهُ اَكْبَرُ) 33 x. Rasulullah saw. bersabda: “Maukah kalian saya ajarkan sesuatu untuk menyusul orang-orang yang mendahului kalian dan mendahului orang-orang yang di belakang, hingga tak seorang pun yang akan lebih mulia dari kalian, kecuali orang-orang yang berbuat sebagaimana yang kalian perbuat? Mereka menjawab: “Mau ya Rasulullah!”. Nabi saw. bersabda: “Hendaklah setelah selesai salat kalian membaca tasbih (subhaanallah), takbir (Allaahu Akbar), dan tahmid (al-hamdu lillah), masing-masing sebanyak 33 (tiga puluh tiga) kali (HR. Al-Bukhari 843 dan Muslim 1375).

       Setelah itu membaca kalimat tauhid lagi dengan redaksi sebagai berikut:

لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ  لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَي كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لاَ إِلهَ إِلاَّاللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ (رواه البخارى و مسلم)

 “Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, milikNya segala kekuasaan dan pujian. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izinNya. Tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan tidaklah kami beribadah kecuali kepadaNya, hanya milikNya kenikmatan, keutamaan dan sanjungan yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah dengan ikhlas beribadah kepadaNya walaupun orang-orang kafir membenci” (HR. Al-Bukhari 844 dan Muslim 1371).

       Khusus setelah salat subuh dan salat maghrib, ada tambahan bacaan kalimat tauhid yang dibaca sepuluh kali. Berikut lafal bacaannya:

لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ  لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِىْ وَيُمِيْتُ

 وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ  10 مرات    (رواه الترمذي)

“Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi Nya, miliknya segala kekuasaan dan segala pujian. Ia yang menghidupkan dan yang mematikan. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, 10 kali”  (HR. Al-Tirmidzi).  

Imam Al-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Abd al-Rahman bin Ghanam bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa sesudah selesai salat maghrib dan sesudah selesai salat subuh membaca dzikr:  “Laa ilaaha illallaah wahdahuu laa syariikalah lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘alaa kulli syai-in qodiir”,  sebanyak 10  kali, maka dicatatlah baginya setiap kalinya sepuluh pahala kebajikan, kemudian dihapus sepuluh dosa dan dinaikkan derajatnya sepuluh tingkat (HR. Al-Tirmidzi 3474). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Silsilah al-Sahihah, I/231).

Selain bacaan tersebut, setelah subuh dan maghrib juga disunahkan membaca tujuh kali: اللَّهُمَّ أَجِرْنِى مِنَ النَّارِ. Nabi saw. bersabda: “Jika engkau selesai dari salat maghrib maka bacalah “Allahumma ajirnii minan naar, Ya Allah lindungi aku dari api neraka sebanyak tujuh kali, jika kamu baca doa itu kemudian kamu meninggal pada malam itu juga, maka akan ditetapkan bahwa kamu terbebas dari neraka. Jika kamu selesai dari salat subuh maka bacalah doa itu juga, jika pada hari itu kamu meninggal, maka akan ditetapkan bahwa kamu terbebas dari neraka" (HR. Abu Daud 5081). Al-Albani: sahih.

 Mengenai apakah bacaan-bacaan zikir tersebut harus berurutan sesuai daftar urutan tersebut di atas? Jawabannya, tidak ada tuntunan yang mengharuskan semuanya berurutan. Namun, ada beberapa bagian yang disunnahkan berurutan sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., misalnya yang biasa dibaca oleh Nabi saw. pertama sekali setelah salam dari salatnya adalah bacaan istighfar tiga kali kemudian bacaan Allahumma antassalam waminkas salam tabarakta ya dzal Jalali wal ikram. Setelah itu baru zikir yang lainnya. Wallahu A’lam!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur ed. Mei 2025)