Selasa, 03 Mei 2011

Hukum Nikah Sirri

Hukum Nikah Sirri

Nikah Sirri disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi Saw dan para sahabat yang mulia, di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahn dalam hati mereka.

Sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan resmi (pemerintah) dengan pernikahan sirri (‘urfi). Perbedaannya, kalau pernikahan sirri (‘urfi) hanyalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, tetapi belum diakui oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat. Sedangkan nikah secara resmi, selain diakui oleh pemerintah juga sah secara syar’i .

DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit digugat .

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG NIKAH SIRRI

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memilih Nikah Sirri (pernikahan tanpa dicatat di KUA). Di antaranya adalah faktor sosial, harta dan agama.

1.Faktor Sosial

a. Problem Poligami

Syariat Islam membolehkan bagi laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki pun ingin mempraktikkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakat atau undang-undang negara mempersulit atau cenderung melarangnya.

b. Undang-undang usia

Dalam suatu Negara biasanya ada peraturan tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka akhirnya dia memilih jalan ini.

c. Tempat tinggal yang tidak menetap.

Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaannya atau selainnya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa mendampinginya. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.

2. Faktor Harta

Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahar sehingga menjadi medan kebanggaan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan mahar yang relative murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.

3. Faktor Agama

Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, di mana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi’

SEJARAH PENCATATAN AKAD NIKAH

Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaaan, di mana dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai, meninggal dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis.

Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagian mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya.

HUKUM NIKAH SIRRI (TANPA KUA)

Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak heran jika para ulama berbeda pandangan tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut:

Pendapat Pertama

Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syariat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat.

Pendapat Kedua

Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu nikah sirri termasuk yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat.

Pendapat Ketiga

Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya adalah sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja dia berdosa karena melanggar perturan pemerintah yang bukan maksiat.

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz:

Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa maslahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi
Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Allah mewajibkan kita menaati para pemimpin kita”

Kesimpulan:

1. Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi.

2. Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabat, hal ini termasuk politik syar’i yang tidak bertentangan dengan agama bahkan memiliki banyak manfaat.

3. Wajib bagi setiap muslim menaati undang-undang tersebut karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.

Wallahu A’lam bishshawab !

Dipresentasikan oleh:
Achmad Zuhdi Dh (0817581229)
Dalam berbagai acara majelis taklim

1 komentar: