Minggu, 04 April 2021

VAKSINASI BAGIAN DARI TAKDIR

 

VAKSINASI BAGIAN DARI TAKDIR

 oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Alhamdulillah, Senin 29 Maret 2021 lalu, saya bersama beberapa teman dari PWM Jawa Timur telah mendapatkan kesempatan untuk vaksinasi CoronaVac tahap kedua. Vaksinansi ini dilakukan sebagai bentuk ikhtiar merawat kesehatan dan bagian dari menjalani takdir untuk dapat menghindari virus atau penyakit yang bisa menyerang kapan saja dan kepada siapa saja.

            Dalam pandangan 'Ibn al-Qayyim, berobat untuk mendapatkan kesembuhan dari suatu penyakit adalah merupakan perintah Nabi Saw. Hal ini berdasarkan pada sejumlah hadis berikut ini:

1.      Muslim dalam Sahih-nya meriwayatkan hadis:

عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ »

Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obatnya cocok dengan penyakitnya maka akan mendapatkan kesembuhan dengan izin Allah ‘Azza Wa Jalla.

2.      Dalam Kitab Sahih al-Bukhari dan Sunan 'Ibn Majah:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً »

Dari 'Abu Hurayrah ra, Nabi Saw bersabda: “Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan pula obat untuk penyembuhannya”.

3.      Dalam Musnad al-'Imam 'Ahmad:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَصْحَابُهُ عِنْدَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِهِمُ الطَّيْرُ - قَالَ - فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَقَعَدْتُ - قَالَ - فَجَاءَتِ الأَعْرَابُ فَسَأَلُوهُ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَتَدَاوَى قَالَ « نَعَمْ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ »

              Dari Usamah b. Sharik, ia berkata: “Aku mendatangi Nabi Saw, saat itu para sahabat berada di sisi beliau seakan-akan burung di atas kepala mereka”. Ia (Usamah) berkata: “Kemudian aku menyampaikan salam kepada beliau lalu duduk. Setelah itu datanglah orang-orang Badui lalu bertanya kepada beliau: Ya Rasulallah! Apakah kami harus berobat? Nabi Saw menjawab: Ya! Berobatlah kalian! Karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali meletakkan juga obatnya, kecuali satu penyakit yaitu ketuaan”.

4.      Dalam hadis lain riwayat 'Ahmad dari ‘Abdullah b. Mas’ud ra, disebutkan:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ دَاءً، إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ.

Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan juga obat penyembuhnya. Orang yang berilmu mengetahuinya dan yang tidak berilmu tidak megetahuinya”.

 

5.      Dalam hadis riwayat al-Tirmidhi disebutkan:

عَنْ أَبِى خُزَامَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ رُقًى نَسْتَرْقِيهَا وَدَوَاءً نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةً نَتَّقِيهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ شَيْئًا قَالَ « هِىَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ »

Dari 'Abu Khuzamah dari bapaknya, katanya: “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang ruqyah yang kami lakukan, pengobatan yang kami lakukan dan penangkal yang kami terapkan? Apakah yang demikian ini menolak takdir Allah? Nabi Saw menjawab: “Itu semua termasuk takdir Allah!”.

Berdasarkan beberapa hadis tersebut di atas, 'Ibn al-Qayyim berpendapat bahwa berobat itu diperintahkan. Berobat tidak menafikan tawakkal. Hal ini sama halnya dengan orang yang lapar atau haus lalu berusaha menghilangkannya dengan makan dan minum. Yang demikian ini tidak menafikan tawakkal. Menurut 'Ibn al-Qayyim, jika tidak memenuhi tuntutan musababnya, seperti tidak mau berobat dan tidak mau makan dan minum padahal sangat membutuhkannya, hal itu malah menunjukkan ketidak-sempurnaan tauhidnya, karena dianggap tidak memenuhi perintah Allah. Menghentikan usaha berobat, sama halnya dengan menafikan tawakkal itu sendiri. Karena dengan tidak berobat, berarti menghentikan hakikat ketergantungannya kepada Allah yang telah memberitahu apa yang dapat bermanfaat dan apa yang dapat membawa bahaya, baik dalam agamanya maupun dunianya. Dengan ketergantungan ini maka harus dijalani sebab-sebab. Jika tidak, berarti menghentikan hikmah dan syarak. Karena itu, kata 'Ibn al-Qayyim, janganlah seorang hamba menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan jangan pula menjadikan tawakkalnya sebagai kelemahan.

Menurut 'Ibn al-Qayyim, hadis-hadis tersebut juga mengandung penolakan terhadap orang yang mengingkari pengobatan yang mengatakan bahwa jika kesembuhan sudah ditakdirkan maka pengobatan tidak diperlukan. Demikian juga jika belum ditakdirkan sembuh maka pengobatan juga tidak ada manfaatnya. Orang yang mengingkari pengobatan juga berdalih bahwa terjadinya suatu penyakit itu karena takdir Allah, sedangkan taqdir Allah itu tidak dapat ditolak.

Persoalan ini pernah dikemukakan oleh orang-orang Badui kepada Rasulullah Saw yang menyangsikan tentang bolehnya berobat. Orang-orang Badui pernah mempertanyakan: “Ya Rasulallah! Apakah kami harus berobat? Nabi Saw menjawab: Ya! Berobatlah kalian! Karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali meletakkan juga obatnya, kecuali satu penyakit yaitu ketuaan”. Adapun para sahabat yang utama, mereka sudah sangat faham dengan ajaran Allah, hikmah dan sifatNya, sehingga mereka tidak perlu mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw seperti yang pernah diajukan oleh orang-orang Badui.

'Ibn al-Qayyim mengatakan bahwasanya Nabi saw telah menegaskan tentang bolehnya berobat untuk mendapatkan kesembuhan. Nabi Saw bersabda bahwasanya usaha penyembuhan dengan berobat, melakukan ruqyah dan membuat penangkalnya adalah termasuk takdir Allah, sehingga tidak ada sesuatu yang keluar dari takdir Allah. Bahkan takdir Allah dapat ditolak dengan takdirNya yang lain. Penolakan terhadap takdir yang lain ini sesungguhnya merupakan takdir Allah juga. Karena itu tidak ada jalan keluar dari takdirNya dengan cara apa pun.  

Mengenai maksud sabda Nabi Saw bahwa Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan pula obatnya, kemudian orang yang berhasil mendapatkan kesembuhan adalah orang yang telah mendapatkan obat yang cocok dengan penyakitnya, dan hanya orang yang berilmu saja yang akan mengetahui obat yang cocok dengan penyakitnya, 'Ibn al-Qayyim memberikan ilustrasi dengan menyebutkan athar Isra’il sebagai berikut:

أَنّ إبْرَاهِيمَ الْخَلِيلَ قَالَ يَا رَبّ مِمّنْ الدّاءُ ؟ قَالَ " مِنّي " . قَالَ فَمِمّنْ الدّوَاءُ " ؟ قَالَ " مِنّي". قَالَ فَمَا بَالُ الطّبِيبِ ؟. قَالَ "رَجُلٌ أُرْسِلُ الدّوَاءَ عَلَى يَدَيْهِ"

Bahwasanya 'Ibrahim al-Khalil berkata: “Wahai Tuhanku, dari siapa datangnya penyakit itu?”. Tuhan menjawab: “Penyakit itu datangnya dariKu!”. 'Ibrahim bertanya lagi: “Dari mana asal obat itu?”.  Tuhan menjawab: “Obat itu asalnya dariKu!”. 'Ibrahim bertanya lagi: “Kalau bagitu apa peranan dokter?”. Tuhan menjawab: “Dokter itu adalah orang yang Aku kirimkan obat di tangannya!”.

Melalui ilustrasi 'athar dari 'Ibrahim al-Khalil itu, 'Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa sesungguhnya berobat kepada dokter untuk mendapatkan kesembuhan itu diperintahkan. Dokter adalah orang yang diberi ilmu oleh Allah untuk mengetahui obat yang cocok terhadap suatu penyakit. Karena itu jika ada orang yang berobat kepada dokter kemudian mendapatkan kesembuan, hakikatnya ia telah mendapatkan kesembuhan dari Allah melalui tangan dokter yang telah diberitahu oleh Allah Swt. Hal ini sangat sesuai dengan perkataan Nabi Saw bahwasanya kalau sudah terjadi kecocokan antara penyakit dengan obatnya, pasti akan memperoleh kesembuhan dengan izin Allah Swt.

Menurut 'Ibn al-Qayyim, mengenai hikmah adanya hadis Nabi Saw bahwa setiap penyakit itu ada obatnya, maka dengan sabda Nabi Saw ini dapat memberikan kekuatan mental bagi orang yang sakit dan mendorong bagi dokter untuk mencari obat dan memeriksanya. Sabab, kata 'Ibn al-Qayyim, apabila orang yang sakit menyadari bahwa  bagi setiap penyakit ada obat yang dapat menyembuhkannya, maka ia akan mempunyai harapan untuk sembuh. Dengan demikiaan, hatinya menjadi tenang. Apabila jiwanya kuat dan hatinya tenang maka dapat membantu untuk mengusir penyakit dan menolaknya. Demikian juga dokter apabila mengetahui bahwa setiap penyakit itu ada obatnya, maka ia akan berusaha untuk mencari obatnya dan memeriksa penyakitnya (Ibn al-Qayyim, al-Thibb al-Nabawi, Zad al-Ma’ad; al-Jurjani, Mukhtashar al-Ruqyah al-Syar’iyah; al-Munawi, Faidh al-Qadir; Kutub al-Tis’ah).

(Sumber: Buku Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I, Terapi Qur’ani, hal. 167-174)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar