Jumat, 27 Januari 2017

HUKUM DAN ETIKA BERMEDIA SOSIAL

HUKUM DAN ETIKA
MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL[1]
(Perspektif Islam)


Oleh:


Dr.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I[2]


Pendahuluan
Media Sosial (Social Media) adalah saluran atau sarana pergaulan sosial secara online di dunia maya (internet). Para pengguna (user) media sosial berkomunikasi, berinteraksi, saling kirim pesan, dan saling berbagi (sharing), dan membangun jaringan (networking).[3]
Media Sosial (Social Media) terdiri dari dua kata: media dan sosial. Pengertian menurut bahasa, media sosial adalah alat atau sarana komunikasi masyarakat untuk bergaul. Menurut Kamus Bahasa Indonesia,[4] media adalah alat, sarana komunikasi, perantara, atau penghubung. Sosial artinya "berkenaan dengan masyarakat" atau suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dsb).
Dari sisi bahasa tadi, media sosial bisa dimaknai sebagai sarana berkomunikasi dan berbagi. Makanya, dalam dunia internet seperti blogging atau Facebook dikenal istilah SHARE (berbagi). Bahkan, setiap blog atau situs selalu menyediakan fasilitas social share, terutama Facebook, Twitter, dan Google Plus.[5]
Media sosial saat ini tak ubahnya seperti pesawat (alat) serba guna. Ia dapat digunakan untuk apa saja. Ia dapat digunakan untuk agenda kebaikan, seperti menyambung silaturahim, taaruf, berbagi ilmu pengetahuan, dan sarana kebaikan lainnya. Di sisi lain media sosial dapat pula digunakan untuk kejahatan, seperti menfitnah, menipu, menciptakan issu negatif, dan agenda kejahatan lainnya.
            Pada masa Nabi Saw masih hidup, sarana komunikasi tidak seperti sekarang ini. Alat komunikasi yang paling penting saat itu hanyalah lesan dengan cara berbicara. Saat itu Nabi Saw sudah mengingatkan kepada sahabatnya untuk menjaga lesannya,[6] agar dapat digunakan untuk kebaikan, tidak untuk pertikaian atau kejahatan. Andaikan dulu sudah ada medsos, kemungkinan besar Nabi juga meminta umatnya agar pandai-pandai menggunakan medsos. Gunakanlah untuk sesuatu yang bermanfaat dan jangan gunakan untuk hal-hal yang dapat membawa mudarat.
Secara garis besar, penggunaan media social memiliki dampak, baik dampak positif maupun dampak negative.
Dampak positif dari penggunaan media social antara lain: (1)Mempererat silaturahim. Dalam hal bersilaturahim, penggunaan media sosial ini sangat cocok untuk dapat berinteraksi dengan orang yang berjauhan tempat tinggalnya; (2)Menambah wawasan dan pengetahuan. Akhir-akhir ini banyak akun sosial media yang selalu membagi wawasan dan pengetahuan, hal ini sangat menarik karena kita dapat menambah wawasan dan pengetahuan secara praktis; (3)Menyediakan informasi yang tepat dan akurat. Informasi dapat kita peroleh dari sosial media, baik itu informasi perguruan tinggi, lowongan kerja, ataupun beasiswa; (4)Menyediakan ruang untuk berpesan positif. Penggunaan sosial media saat ini sudah banyak digunakan oleh para tokoh agama, ulama, ataupun motivator; dan (5)Mengakrabkan hubungan pertemanan. Media sosial akan mengakrabkan suatu pertemanan, kala seseorang malu bertanya di dunia nyata.
Adapun dampak negatifnya antara lain: (1)Anak dan remaja menjadi malas belajar berkomunikasi di dunia nyata; (2)Situs jejaring social akan membuat anak dan remaja lebih mementingkan diri sendiri; (3)Bagi anak dan remaja, tidak ada aturan ejaan dan tata bahasa di jejaring social; (4)Situs jejaring social adalah lahan subur bagi predator untuk melakukan kejahatan; (5)Pornografi. Anggapan yang mengatakan bahwa internet identik dengan pornografi, memang tidak salah. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela; (6)Penipuan. Hal ini memang merajalela di bidang manapun. Internet pun tidak luput dari serangan penipu.[7]
            Dari paparan tersebut dapat difahami bahwa media social itu mengandung dua sisi kemanfaatan, sisi positif dan sisi negative. Ia netral, tergantung penggunanya untuk apa media social itu dimanfaatkan.

Hukum Menggunakan Medsos
            Menggunakan medsos termasuk persoalan muamalah dunyawiyah[8]. Oleh karena itu berlaku kaidah fikih sebagai berikut:
1.      Hukum asal dalam permasalahan muamalah adalah mubah (boleh), tidak dilarang kecuali hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah.” Ibn Taymiyah menyatakan:
 والعادات الأصل فيها العفو فلا يحظر منها إلا ما حرمه الله[9]
     Artinya: “Adat kebiasaan itu asalnya tidak mengapa (dimaklumi, dimaafkan), maka ia  pun tidak dilarang kecuali jika Allah melarangnya”.

      Kaidah ini menegaskan bahwa adat kebiasaan yang dilakukan oleh manusia di dunia ini, apa pun model dan caranya, selama tidak ada larangan khusus dari Allah dan RasulNya maka adat kebiasaan itu sah saja dilakukan. Misalnya kebiasaaan jalan pagi, rekreasi, dan lain sebagainya. Adapun contoh kebiasaan manusia yang dilarang secara khusus oleh Allah adalah minum-minuman keras (khamr), berjudi dan lain sebagainya.[10]

2.      Imam al-Suyuthi mengatakan:
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيم[11]
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.

Kaidah ini menegaskan bahwa melakukan apapun di dunia ini pada dasarnya dibolehkan, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menjelaskan keharamannya atau pelarangannya.

3.      Ibn al-Sa’di berkata:
  
 الوسائل لها أحكام المقاصد فما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وما لا يتم المسنون إلا به فهو مسنون، وطرق الحرام والمكروهات تابعة لها، ووسيلة المباح مباح.[12]
Artinya: “Hukum alat tergantung dengan hukum niat, sesuatu yang menjadi wasilah untuk melakukan perbuatan wajib, hukumnya juga wajib, sesuatu yang menjadi wasilah untuk melakukan perbuatan sunnah, hukumnya juga sunnah, jalan menuju ke haram dan makruh mengikuti hukum asal perbuatannya, jalan menuju hal yang mubah hukumnya juga mubah”.
Kaidah ini menegaskan bahwa sarana apa pun yang digunakan oleh manusia dalam hidup ini hukumnya tergantung kepada penggunaannya. Misalnya mobil, jika ia digunakan untuk kepentingan kebaikan maka dibolehkan bahkan dianjurkan. Adapun jika digunakan untuk keperluan kejahatan, maka dilarang penggunaannya.
4.      Segala sesuatu itu tergantung niatnya: (الامور بمقاصدها)[13]
Kaidah ini mengacu kepada sabda Nabi Saw:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى[14]
Artinya: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya”.

Kaidah tersebut menegaskan bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia, akan dinilai baik atau tidak tergantung dari niatnya. Karena itu, sungguhpun perbuatannya itu dinilai banyak orang sangat bagus, seperti membantu banyak masjid dan pesantren, tetapi kalau niatnya hanya untuk mendapatkan simpati, maka perbuatan tersebut dinilai tidak baik, karena tidak ikhlas.

Dalam menghukumi penggunaan media social, perlu dibedakan antara dua hal, yaitu hukum media social dan prilaku dalam menggunakan media social. Pertama, media social itu sendiri adalah tidak lebih dari sebuah benda, alat atau sarana. Sebagai benda, ia tak ada bedanya dengan alat-alat lain seperti komputer, pisau, pena, handphone, mobil, dan lain sebagainya. Ia bisa digunakan untuk kepentingan apa saja. Pisau contohnya, ia bisa digunakan sebagai peralatan memasak, menyembelih hewan kurban, tetapi bisa juga digunakan sebagai alat tindak kejahatan membunuh. Hukum pisau sebagai sebuah benda adalah mubah. Hukum pisau akan berubah sesuai dengan fungsi atau perbuatan yang menungganginya. Ia bisa menjadi wajib, jika digunakan sebagai alat untuk mengerjakan yang wajib, bisa sunnah jika digunakan mendukung pekerjaan sunnah, bahkan bisa menjadi haram jika digunakan untuk sesuatu yang haram.
Karena itu, sesuai dengan kaidah-kaidah di atas, maka hukum penggunaan media social tergantung kepada niat dan prilakunya. Jika digunakan untuk kepentingan menjalin silaturahim, menebarkan kebaikan, berdakwah melalui internet, maka media social menjadi wasilah yang diperbolehkan (mubah) atau bahkan dianjurkan (mustahab) karena baiknya perbuatan-perbuatan itu. Sebaliknya, jika digunakan untuk kejahatan, misalnya untuk penipuan, menfitnah, menebar issu sara sehingga meresahkan umat, maka penggunaannya menjadi haram atau terlarang.[15]

Etika dalam Bermedsos
            Media social saat ini tak ubahnya seperti senjata tajam atau kendaraan, yang bisa dimanfaatkan untuk apa saja, apakah untuk hal-hal yang positif ataupun untuk hal-hal yang negatif. Senjata tajam misalnya, dapat dimanfaat untuk menyembelih hewan kurban, selain bisa juga untuk melenyapkan nyawa orang. Demikian juga kendaraan, dapat digunakan untuk mengantar anak-anak ke sekolah, dan juga bisa digunakan untuk membawa kawanan perampok.
            Untuk bisa mengendalikan media social dengan baik dan bermaslahah dalam penggunaannya, maka harus memperhatikan tiga aspek. Aspek pertama tujuan, aspek kedua konten, dan aspek ketiga dampaknya.

Tujuan

1.      Niat yang ikhlas.
Pada saat ingin menulis artikel, opini, atau upload foto dan video di sebuah media social, seperti  facebook, twitter, blog, WhatsApp, dan lain sebagainya, maka hal itu harus diniati ikhlas ibadah karena Allah Swt. Karena, jika tidak dengan niat ikhlas, maka apa yang kita lakukan itu menjadi sia-sia. Nabi Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُه[16]
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali amalan itu dilakukan dengan ikhlas dan untuk mencari ridhaNya” (HR.al-Nasai no.3140).

Betapa pentingnya niat ikhlas, Yahya bin Abi Katsir berkata: “Pelajarilah tentang niat, karena ia lebih penting daripada amal”(تعلموا النية فإنها أبلغ من العمل).[17] Untuk bisa beramal dengan ikhlas, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh (mujahadah) dalam melawan riya, pamer, ingin dipuji, atau ingin dapat jempol dan like banyak dan lain sebagainya. Jangan sampai, niat mulia menebar ilmu berubah menjadi pamer ilmu.
2.      Dalam bersosial media hendaknya dimaksudkan untuk berdakwah amar makruf nahi munkar. Misalnya mengingatkan agar orang-orang(calon pembacanya) gemar berbagi, melaksanakan shalat tepat waktu, gemar shalat dhuha, shalat tahajjud, dan gemar membaca al-Qur’an. Selain itu bisa digunakan untuk mengingatkan orang-orang agar menjauhi kemaksiatan, seperti berjudi, minum-minuman keras, dan lain sebagainya. Nabi Saw bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا[18]  
“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk (yang benar), maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengikuti petunjuk itu, tidak mengurangi sedikitpun dari pahala yang mereka dapatkan”(HR. Muslim no.6980).
3.      Memberikan pencerahan, motivasi, dan hal-hal yang dapat menginspirasi. Dalam hal ini bisa dilakukan dengan cara menge-share atau memposting tentang kisah-kisah keteladanan, kata-kata mutiara, dan kiat-kiat menjadi orang sukses. Dari postingan semacam ini tidak sedikit orang yang tadinya putus asa menjadi bangkit dan kembali bersemangat, orang yang tadinya merasa jatuh terpuruk menjadi bangkit kembali karena terinspirasi sehingga merasa mendapatkan pencerahan dan jalan keluar dari lilitan problem yang tadinya menghimpit. Hadis Nabi Saw:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat…”(HR. Muslim No.2699).[19]

Konten

1.      Memastikan (benar-benar yakin) bahwa konten berupa tulisan, foto, dan video yang hendak diposting itu dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dalam hal ini, bisa berupa artikel atau opini yang berasal dari tulisan sendiri, dan bisa juga berasal dari postingan orang lain atau copas. Jika yang diposting itu masalah agama, harus ada dukungan dalil yang shahih dari al-Qur’an maupun al-Hadis. Demikian juga sekiranya yang diposting itu terkait dengan ilmu pengetahuan, misalnya masalah kesehatan dan obat-obatan, maka harus ditelusuri betul hingga mendapatkan referensi yang meyakinkan, siapa yang berpendapat demikian dan apakah ia memang benar-benar memiliki keahlian di bidangnya. Harus disadari bahwa apapun yang kita lakukan semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Allah Swt berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya(QS.Al-Isra:36).
Qatadah berkata: “Jangan engkau berkata aku melihat padahal tidak melihat, aku mendengar padahal tidak mendengar, dan aku mengetahui padahal tidak tahu menahu, karena Allah SWT akan menanyakan semua itu kepadamu. Allah  melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan dzan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi. [20]  
Dalam hal ini, termasuk hal yang harus disikapi secara ilmiah adalah kejujuran dan pengakuan dari pelaku posting atau yang melakukan sharing. Jika memang postingan itu berasal dari orang lain hendaknya diakui bahwa tulisan itu dari orang lain, minimal dengan mengungkapkan bahwa itu copas dari teman. Orang yang mengaku-ngaku karyanya padahal bukan, oleh Nabi Saw dipandang sebagai seorang pendusta. Nabi Saw bersabda:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
“Orang yang mengaku-ngaku memiliki (al-mutasyabbi’) dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, maka ia seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan” (HR. al-Bukhari No. 5219 dan Muslim No. 5705).
Maksudnya, ucapannya dan perbuatannya dosa. Dan ini bisa menambah dosa dan menambah bahaya.[21]
2.      Jika konten yang hendak diposting itu merupakan berita dari pihak lain, harus dilakukan tabayyun (klarifikasi)lebih dulu, apakah berita tersebut berasal dari sumber terpercaya.  Allah Swt berfirman:
يَـأيُّهَاالّذِيْن آمنـُوْا ِاٍنْ جـآءَكمْ فَاسقٌ بـِنَباٍ فتبيّنـُوْا أنْ تُصِبـوْا قوْمًـا بِجَهَالـةٍ فتُصْبِحُـوْا علَى مَا فعَلْتـُمْ نـدميـن  
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang seorang yang fasik kepadamu membawa berita, maka tangguhkanlah (hingga kamu mengetahui kebenarannya) agar tidak menyebabkan kaum berada dalam kebodohan (kehancuran) sehingga kamu menyesal terhadap apa yang kamu lakukan”(QS. Al-Hujurat, 6).
Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Imam Al-Rrazi mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan anjuran Allah Swt. untuk berhati-hati dalam menerima informasi dari orang-orang fasik, karena mereka hanya menginginkan terjadinya fitnah di antara kaum mukminin dan Allah memerintahkan untuk meneliti atau memfilter berita tersebut.[22]
3.      Dalam penyajian tulisan di media sosial, hendaknya seorang muslim mengedepankan asas praduga tak bersalah dan menghindari tulisan gunjingan atau ghibah, tulisan mengandung tuduhan zina (qadzaf), dan pembeberan rahasia orang, kelompok, atau negara.  Dalam Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَأكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ اَفَرَاَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنَّ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدِاغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَهُ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”(HR. Muslim No. 2589).
Allah mengancam orang-orang yang sengaja ingin membeberkan rahasia keburukan orang di hadapan public.
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.(QS. Al-Nur, 19).
4.      Bahasa konten yang digunakan dalam postingan di media social hendaknya yang wajar, baik, dan santun. Tidak menggunakan kata-kata porno dan jorok. Tidak pula menggunakan kata-kata yang dapat menyinggung atau bahkan melukai perasaan orang lain. Pada prinsipnya jangan sampai membuat orang lain terganggu dengan ungkapan bahasa yang kita posting di media social. Dalam sebuah hadis Nabi  disebutkan:
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه
Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Saw: “Siapakah orang-orang muslim yang paling baik (paling utama) ? Beliau menjawab, “Seseorang yang (bisa menjaga dirinya hingga) orang-orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.(HR. al-Bukhari No.11 dan Muslim No. 64).
Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan pentingnya menjaga lisan agar orang-orang muslim lainnya bisa selamat (tidak terganggu). Ahmad meriwayatkan dari al-Barra: “kendalikan lesanmu kecuali untuk kebaikan”. Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasul tentang kiat agar  menjadi orang yang selamat, Nabi Saw menegaskan: “kendalikan lidahmu”.[23] Jika dikaitkan dengan penggunaan media social, maka hal ini dapat disamakan dengan perintah agar berhati-hati atau selektif setiap hendak memposting dalam medsos.

Dampak Positif-Negatif.
            Termasuk hal-hal yang harus diperhatikan saat bergelut di media social adalah mengenai dampak positif dan negative dari suatu postingan atau sharing. Tidak semua yang benar itu baik untuk diposting, harus lihat situasi dan kondisi, apalagi postingan yang jelas-jelas tidak benar atau hoax. Karena itu perlu seleksi yang cermat sebelum melakukan postingan. Al-Nawawi memperingatkan:

اعلم أنه ينبغي لكل مكلف أن يحفظ لسانه عن جميع الكلام إلا كلاما تظهر المصلحة فيه، ومتى استوى الكلام وتركه في المصلحة، فالسنة الإمساك عنه، لأنه فد ينجر الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة...وروينا في صحيح البخاري ومسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت[24]

“Ketahuilah bahwa setiap orang wajib menjaga lisannya kecuali untuk hal-hal yang bermanfaat. Apabila dirasa ucapan tersebut posisinya masih ambigu, maksudnya tidak ada kepastian apakah mengandung manfaat atau mudharat, maka lebih baik ditinggalkan. Sebab terkadang ucapan yang diperbolehkan bisa berubah status hukumnya menjadi haram atau makruh. Hal ini banyak terjadi di lapangan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia
berkata baik atau lebih baik diam”.
Ungkapan Imam al-Syafi’i terkait dengan orang yang suka komentar:
إذا أراد الكلام فعليه أن يفكر قبل كلامه، فإن ظهرت المصلحة تكلم، وإن شك لم يتكلم حتى تظهر[25]
“Apabila kalian hendak bicara, berpikirlah sebelumnya. Jika ada kemaslahatan pada ucapan tersebut, bicaralah. Andaikan kalian ragu, lebih baik tidak bicara sampai ditemukan kemaslahatannya”.
Mahir Yasin menjelaskan:
وينبغي على المسلم أنْ يسكت عن كل ما رآه الإنسان من أحوال الناس مما يكره إلا ما في حكايته فائدة لمسلم أو دفع معصية[26]
“Seharusnya setiap muslim bersikap diam terhadap prilaku atau keadaan orang-orang yang dilihatnya tidak menyenangkan, kecuali jika pemberitaannya bisa membawa maslahah bagi orang lain dan dapat mencegah kemaksiatan.

Dari pernyataan beberapa ulama tersebut dapat difahami bahwa setiap orang yang hendak melakukan posting atau sharing suatu ide atau pemikiran di media social hendaknya mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya. Jika sekiranya dampaknya baik bagi masyarakat luas, silakan diposting. Namun, jika dampaknya bisa meresahkan public atau meragukan, maka hendaknya tidak dilakukan. Karena itu perlu sikap kritis dan selektif setiap menerima postingan dari fihak lain. Nabi Saw memperingatkan:
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ[27]
Dari Hafsh bin Ashim, Rasulullah Saw bersabda: “Cukuplah seseorang dianggap pendusta ketika dia menceritakan (menyebarkan) apa saja yang dia dengar.” (HR. Muslim No.7).

Penutup
            Akhir-akhir ini masalah hoax (berita bohong) sangat marak bermunculan di media social. Susilo Bambang Yudhoyono sepertinya tak sanggup menyembunyikan kegundahannya hingga menulis di akun twitter resminya, @SBYudhoyono terkait banyaknya berita fitnah dan hoax: “Ya Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Negara kok jadi begini. Juru fitnah dan penyebar “hoax” berkuasa dan merajalela. Kapan rakyat dan yang lemah bisa menang? SBY”.[28]
            Di hadapan tokoh masyarakat dan santri, Lukman Hakim (Menag RI) menceritakan bahwa berita hoax sebenarnya telah ada sejak zaman khulafaur rasyidin. Ia lantas mengisahkan cerita fitnatul qubro (fitnah besar) di mana Khalifah Utsman bin Affan terbunuh karena berita bohong (hoax). Sahabat Utsman misalnya, dibunuh oleh seorang muslim, yang tidak sembarang muslim. Bukan muslim awam, tapi seorang hafidz. Dia tergerak sendiri, membunuh sendiri, karena berita hoax.[29]
 Mengingat sudah sedemikian hebatnya berita hoax di sekitar kita, maka perlu disikapi dengan kritis dan selektif setiap ada pemberitaan. Ada beberapa kiat bagaimana cara mengetahui sebuah berita itu hoax atau asli. Sedikitnya ada tiga langkah yang dapat ditempuh:[30]
Pertama, periksa dulu asal-usul tulisan atau gambar tersebut dari mana. Jika asal-usulnya dari situs-situs yang tidak jelas, atau situs-situs yang selama ini dikenal sebagai situs yang sering menyebarkan berita hoax, maka waspadalah! Berita-berita  hoax di Indonesia tidak selamanya asli buatan dalam negeri; jamak terjadi berasal dari terjemahan, khusunya jika menyangkut temuan-temuan ilmiah.
Kedua, periksa juga siapa yang menulis. Berita hoax umumnya anonim atau bisa juga seakan-akan benar dengan menggunakan nama orang-orang yang sudah dikenal. Jika ada namanya, coba telusuri asal-usul tulisan tersebut dengan cara masuk ke blog atau web atau alamat-alamat penulis yang bisa diakses.
Ketiga, jika informasi yang hendak kita cari ada gambarnya, maka yang mesti kita lakukan adalah minta bantuan pada google image, upload gambarnya, lalu cari dari mana asal-usul gambar tersebut plus apa berita yang berkait dengan gambar tersebut. Jika sudah muncul gambarnya, periksa tanggalnya, lihat judul beritanya, dan apa isi informasinya. Dari sini akan diketahui keshahihan informasi tersebut.
Bagi kita sebagai pengguna, mulai hari ini tahan dirilah, tidak asal kirim apa yang kita dapatkan. Tabayyun dulu, jika sudah jelas shahih, boleh dikirim sebagai amal shalih. Tapi, jika kita sendiri tidak yakin keshahihannya, hendaklah melakukan tabayyun dulu, jika tidak bisa, maka tahanlah, jangan disebar, karena dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw memberi peringatan kepada umatnya: “Cukuplah seseorang dianggap pendusta ketika dia menceritakan (menyebarkan) apa saja yang dia dengar”.
Wallahu A’lam Bi al-Shawab !



DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Muhsin al-‘Ubbad, Syahrh Sunan Abi Dawud, I/2.
Ahmad Ibrahim Bek, al-Mu’amalah al-Syar’iyah al-Maliyah 
Al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Kamilah, II/439.
________, al-Silsilah al-Shahihah al-Mukhtasharah, I/118.
Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, XXVIII/102
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, XVII/299.
Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/188-190.
________, Tafsir Ibn Katsir, III/52.
Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum Wa al-Hikam,I/13.
Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, IV/5.
Ibrahim Mushthafa, et al., al-Mu’jam al-Wasith, II/628.
al-Nawawi, al-Adzkar al-Nawawiyah, I/418-419.
al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadzair, I/107.
Muhammad bin al-Husain al-Jaizani, Ma’alimUshul al-Fiqh Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, I/279.
Mahir Yasin al-Fahl, Hurmat al-Muslim ‘Ala al-Muslim, I/11.
Zakariyya bin Ghulam Qadir al-Bakistani, Ushul al-Fiqh ‘Ala Manhaj Ahl al-Hadis, I/129.
@SBYudhoyono
Herry Muhammad, http://www.arrahmah.com.
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php.
http://tarjih.or.id.

http://www.contohblog.com
  

CATATAN KAKI

[1] Dipresentasikan pada acara Kajian Tarjih “Fiqh Media Sosial” yang diselenggarakan oleh MTT-PWM  Jawa Timur, Sabtu 28 Januari 2017 di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
[2] Ketua Devisi Tarjih dan Fatwa MTT-PWM Jawa Timur dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
[4] http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php.
[5] http://www.contohblog.com
[6] Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Saw: “Siapakah orang muslim yang paling baik (paling utama) ? Beliau menjawab, “Seseorang yang (bisa menjaga dirinya hingga) orang-orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.(HR. al-Bukhari No.11 dan Muslim No. 64).
[8] Dalam Kamus al-Mu’jam al-Wasith disebutkan bahwa muamalat adalah hukum-hukum syarak yang berhubungan dengan urusan duniawi seperti jual-beli dan perdagangan. Ibrahim Mushthafa, at al., al-Mu’jam al-Wasith, II/628. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka. Ahmad Ibrahim Bek, al-Mu’amalah al-Syar’iyah al-Maliyah (Kairo: Dar al-Intishar, 1936).
[9] Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, IV/5.
[10] Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)," (QS. Al-Maadiah: 90-91)
[11] al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadzair, I/107.
[12] Muhammad bin al-Husain al-Jaizani, Ma’alimUshul al-Fiqh Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, I/279.
[13] Zakariyya bin Ghulam Qadir al-Bakistani, Ushul al-Fiqh ‘Ala Manhaj Ahl al-Hadis, I/129.
[14] HR. al-Bukhari No.1
[15] http://tarjih.or.id/halal-haram-facebook.
[16] Hadis tersebut menurut Al Albani shahih. Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Mukhtasharah, I/118.
[17] Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum Wa al-Hikam,I/13.
[18] Hadis tersebut shahih. Selain diriwayatkan oleh Imam Muslim juga diriwayatkan oleh Abu Dawud , al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, dan al-Darimi secara marfu dari Abu Hurairah. Al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Kamilah, II/439.
[19] Hadis tersebut, selain diriwayatkan oleh Muslim juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no.4895, al-Tirmidzi no.1426, Ibn Majalah no.225, Ahamad no.7427, dan lain-lain.
[20] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, III/52.
[21] Abd al-Muhsin al-‘Ubbad, Syahrh Sunan Abi Dawud, I/2.
[22] Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, XXVIII/102
[23] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, XVII/299.
[24] Imam al-Nawawi, al-Adzkar al-Nawawiyah, I/418-419.
[25] Ibid.
[26] Mahir Yasin al-Fahl, Hurmat al-Muslim ‘Ala al-Muslim, I/11.
[27] Hadis tersebut, selain diriwayatkan oleh Muslim juga diriwayatkan oleh Abu Dawud No.1694, Al-Hakim No. 381, Ibn Hibban No.30, dan lain-lain
[28] @SBYudhoyono, Jumat 20 Januari 2017.
[29] http://m.timesindonesia.co.id . Ibn Katsir menulis dalam kitabnya al-Bidayah Wa al-Nihayah: “Usman bin Affan akhirnya terbunuh oleh al-Ghafiqi bin Harb dan wafat pada hari Jumat tanggal 18 Dzul Hijjah tahun 35 H, setelah rumahnya dikepung selama 40 hari”. Ibn Katsir, Al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/ 188-190.
[30] Herry Muhammad dalam  http://www.arrahmah.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar