Selasa, 14 April 2020

Wabah Dalam Sejarah Islam


Wabah Dalam Sejarah Islam

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَنِي أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَأَنَّ اللهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ
Dari ‘Aisyah ra., istri Nabi saw. berkata; “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang masalah tha’un (wabah, penyakit menular), lalu beliau mengabarkan kepadaku bahwa tha’un adalah merupakan adzab (siksaan) yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Tidak ada seorangpun yang menderita tha’un lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala serta berkeyakinan bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah menakdirkannya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid”(HR. al-Bukhari No.3474).

Status Hadis
            Hadis tersebut dinilai shahih oleh Imam al-Bukhari dan dimasukkan dalam kitab al-Jami’ al-Shahih, IV/213 hadis no. 3474. Selain oleh al-Bukhari, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal, VI/251 hadis no. 26139, Imam al-Nasai dalam  Sunan al-Nasai al-Kubra, IV/363 hadis no. 7527, Imam al-Bayhaqi dalam Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, III/376 hadis No. 6798,  dan Imam Ishaq Bin Rahawayh dalam Musnad Ishaq Bin Rahawayh, III/743 hadis No. 1353. Syekh al-Albani juga menyatakan shahih terhadap hadis tersebut dalam Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II/73 hadis No. 1400.
Pembahasan
Hadis tersebut menjelaskan bahwa terjadinya tha’un (wabah, penyakit menular) adalah merupakan adzab bagi orang-orang yang dikehendaki Allah, yakni menjadi adzab bagi hamba-hamba-Nya yang kafir dan orang-orang yang suka berbuat maksiat atau melanggar aturan Allah. Sebaliknya, Tha’un  bisa menjadi rahmat bagi hamba-hamba Allah yang beriman, yang memiliki kesadaran dan keyakinan bahwa  tha’un (wabah, penyakit menular) merupakan takdir Allah. Bagi orang yang beriman, ketika terjadi tha’un, ia tidak akan panik, tidak gelisah, tetapi sabar dalam menghadapinya dan pasrah (tawakkal) sepenuhnya kepada Allah. Orang beriman juga berusaha sabar dan tetap tinggal di rumah, melakukan isolasi diri, ikut mencegah terjadinya tular-menular wabah, selanjutnya memperbanyak ibadah, berdzikir, istighfar dan tawakkal serta semakin mendekatkan diri kepada Allah. Sikap dan keyakinan yang demikian inilah yang akan dijamin oleh Allah dengan pahala mati syahid. Jika ia mati karena tha’un itu, ia akan mati syahid, dan jika ia tidak terkena tha’un, lalu ia mati karena faktor lain atau tetap hidup, maka ia dapat pahala seperti mati syahid (Ibn Hajar al-Asqalani, al-Fath al-Bari, X/192-193).

Konsep Islam Atasi Wabah
            Berdasarkan sejumlah hadis shahih, ada beberapa cara atau tindakan yang harus dilakukan dalam mengatasi wabah agar tidak terus menjalar ke mana-mana:
Pertama, melakukan lockdown, yaitu dengan cara menutup wilayah yang terkena wabah. Nabi saw. bersabda: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan keluar atau tinggalkan tempat itu"(HR. Bukhari No. 5728). 
Kedua, melakukan karantina atau isolasi bagi yang sudah positif kena wabah. Hal ini dimaksudkan agar penderita mendapatkan penanganan (pengobatan, penyembuhan) secara khusus dan serius serta tidak menularkan penyakitnya kepada yang lain. Nabi saw. bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat”(HR. al-Bukhari No. 5771 dan Muslim No. 5922).
Ketiga, melakukan social distancing, yaitu mengambil jarak, menghindari kedekatan antara satu dengan yang lain, dan menghindari kerumunan massa yang memungkinkan terjadinya penularan wabah penyakit dari satu orang ke orang lain yang berdekatan. Nabi saw. bersabda: “Tidak boleh berbuat mudharat (perbuatan yang berbahaya) dan hal yang menimbulkan kemudharatan bagi orang lain” (HR. Malik No. 2758, al-Syafii No. 1096, Ahmad No. 2865, dan Ibn Majah No. 2340). Al-Albani menshahihkan hadis ini (al-Albani, Irwa al-Ghalil, III/408).
            Amru bin Al-Ash ra., ketika menjadi pemimpin menggantikan pendahulunya (Abu Ubaidah bin Jarrah), saat menghadapi wabah, beliau mengatakan: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung, dan berpisah-pisahlah”(Ibn Hajar Al-Asqalani, al-Ishabah Fi Tamyiz al-Shahabah, VII/455 dan Ithaf al-Maharah, VI/183).
Keempat, perbanyak amal shalih, berdzikir, dan beristighfar. Imam Hasan al-Bashri pernah dimintai tolong untuk mengatasi berbagai masalah. Saat itu beliau memberikan solusi agar memperbanyak istighfar sambil menyebutkan Alquran Surat Nuh ayat 10-12 (al-Tsa’labi, al-Kasyfu Wa al-Bayan, X/44).
Kelima, berdoa dan tawakkal. Nabi mengajarkan beberapa doa untuk menghadapi wabah, di antaranya: Allahumma inni a’udzubika bin jahdil bala’ wa darkisysyaqa’ wa su’il qadha’ wa syamatatil a’da’ (Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari cobaan yang berat, kesengsaraan yang hebat, takdir yang buruk dan  kegembiraan musuh”(H.R. Al-Bukhari No. 6619). Jika sudah berusaha sedemikian rupa tetapi masih terkena, dan akhirnya mati, maka cukup pasrah (tawakkal) saja karena menurut sabda Nabi bahwa orang yang mati karena wabah dijamin mati syahid (HR. al-Bukhari No.2829).

Peristiwa Wabah Dalam Sejarah Islam
Abu al-Hasan al-Madaini mengungkapkan bahwa tha’un (wabah) yang terbesar dalam Islam ada lima, yaitu tha’un  Syirawaih pada masa Nabi Muhammad (6H),  tha’un  ‘Amwas  pada masa Umar bin Khattab (17-18 H), tha’un al-Jarif pada masa Ibnu Zubair (69 H), tha’un al-Fatayat pada masa Abd al-Malik  tahun 87 H, dan tho’un  al-Asyraf masa al-Hajjaj tahun 95 H(Ibn Hajar al-Asqalani, Badzl al-Ma’un Fi Fadl al-Tha’un, I/361) .

1. Wabah Shirawayh (6 H/627 M)
Wabah ini dianggap sebagai kejadian epidemik pertama yang terjadi pada masyarakat muslim. Wabah Shirawayh ini terjadi pada 6 H/ 627 M di ibukota Persia, al-Madain, kawasan Iraq sekarang ini, yang menelan korban sebanyak 200.000 orang. Ada yang menyebutkan separuh penduduk manusia atau sepertiganya meninggal akibat wabah tersebut(al-Mas’udi, Muruj al-Dzahab, I/123). Ibn al-Muthahar bahkan menyebutkan sembilan persepuluh orang meninggal (Ibn al-Muthahar, al-Bad’u Wa al-Tarikh, I/177). Nama wabah diambil dari nama  Siroes (Syirawaih), Raja Persia dari Dinasti Sassanian yang meninggal karena penyakit ini pada 8 H/629 M. Imam  al-Thabari mengatakan bahwa wabah ini membunuh banyak warga Persia meski tidak ada kepastian jumlah muslim yang meninggal karena masih sedikit populasinya (al-Thabari, Tarikh al-Thabari, I/478).
2. Wabah Amwas (17-18 H/638-639 M) 
Wabah ini terjadi pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab pada tahun 17 atau 18 H. Sesuai namanya, wabah Amwas awalnya menyerang sebuah desa kecil bernama Amwas yang terletak di Palestina atara Jerusalem dan Al-Ramlah (Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/93). Wabah ini menyerang tentara Islam yang sedang berada di Amwas pada bulan Muharram dan Safar yang siap bertempur melawan tentara Romawi (Ibn al-Muthahar, al-Bad’u Wa al-Tarikh, I/313).
Korban meninggal akibat wabah ini sebanyak 20.000 lebih. Sebagian besar ahli sejarah menyebutnya 25.000 orang, sebagian lain menyebutnya 30.000 bahkan ada yang menyebutkan 50.000 (al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, I/106, Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/93, Muhammad Bin Abd al-Wahhab, Mukhtasar Sirat al-Rasul, I/538). Mereka yang meninggal di antaranya termasuk orang-orang dekat Rasullah saw., yaitu Abu Ubaidah, Muaz bin Jabal, Yazid bin Abu Sufyan, Al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr, Utbah Bin Suhail, Amir Bin Ghailan al-Tsaqafi, dan ayahnya (Ibn al-Atsir, al-Kamil Fi al-Tarikh, II/399).
Sebelum wabah amwas, sempat terjadi kelaparan parah, tanah Hijaz gersang mengering, hingga tahun ini disebut Al-Ramadah (kebinasaan). Saat itu tanah tampak hitam disebabkan sedikit hujan hingga warnanya seperti abu. Di wilayah Suriah dan Palestina, banyak masyarakatnya yang terserang penyakit ini (Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/93).
Ada yang menarik dalam peristiwa wabah amwas ini. Saat Umar Bin Khattab keluar mau perang melawan Romawi hingga tiba di Saragh, ia mendapatkan info bahwa telah terjadi wabah di Syam. Lalu Umar kembali pulang, dan Abu Ubaidah berkata: “Apakah anda akan lari dari takdir Allah?”. Umar menjawab: “Benar, saya lari dari takdir Allah menuju takdir yang lain” (Ibn al-Muthahar, al-Bad’u Wa al-Tarikh, I/313).
Saat itu muncul ide brillian dari Amru bin Al-Ash ra., saat menghadapi wabah, beliau mengatakan: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung, dan berpisah-pisahlah”(Ibn Hajar Al-Asqalani, al-Ishabah Fi Tamyiz al-Shahabah, VII/455 dan Ithaf al-Maharah, VI/183).
3. Wabah Al-Jarif (69 H/688 M)
Wabah ini disebut dengan al-Jarif (kematian massal), karena  wabah ini menyapu manusia sebagaimana banjir besar menyapu bersih tanah-tanah. Wabah ini menyapu Irak selatan lewat Basrah seperti banjir sekitar tahun 69 H/ 688 M pada masa Ibn Zubair. Dalam tiga hari, setiap harinya merenggut nyawa 70.000 sehingga korban seluruhnya mencapai lebih dari 200,000 orang akibat wabah ini. Kebanyakan korban meninggal pada hari keempat setelah terinfeksi. Masyarakat dan pemerintah kesulitan menguburkan jenazah, sehingga harus mencegah mayat jangan sampai dimangsa hewan buas (al-Dzahabi, Sayr A’lam al-Nubala, III/405 dan IV/86).
Pada musim wabah ini, turut wafat anak-anak Anas Bin Malik sebanyak 80 orang, sebagian menyebutnya 70 orang, dan anak-anak Abd al-Rahman Bin Abi Bakr sebanayak 40 orang. Saat itu manusia tinggal sedikit. Mereka lemah dalam menghadapi kematian sehingga binatang-binatang liar memasuki rumah dan memangsanya. Pada hari Jumat, Khatib bin Amir berkhutbah dengan jamaah hanya tujuh orang dan satu orang perempuan. Saat itu juga 20.000 pasang pengantin ikut meninggal. Orang hanya bisa bertahan hidup pada hari keempat, kecuali sedikit sekali (al-Dzahabi, Tarikh al-Islam, V/66-67).

4. Wabah al-Fatayat (86-87 H/706 M)
Wabah al-Fatayat terjadi di Syam, Basrah, dan Wasit pada 86-87 H/705-706 M. Diberi nama wabah al-fatayat karena kebanyakan korban yang meninggal adalah para wanita muda, kemudian kaum laki-lakinya (Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, IX/61, al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, I/190, Ibn Hibban, al-Tsiqat, IV/40). Untuk menggambarkan situasi yang mencekam, Ibnu Abi al-Dunya dalam kitabnya al-I’tibar menerangkan bahwa Ayyub bersama orang-orang yang mengikutinya masuk ke dalam rumah dan dalam 11 hari kemudian  mereka mati terserang wabah tersebut (Ibn Abi al-Dunya, al-I’tibar, I/44). Abd al-Malik bin Marwan, khalifah Bani Umaiyah tercatat wafat pada musim wabah ini (705 M) atau beberapa saat setelah itu (Ibn Qutaybah, al-Ma’arif, I/135).
5. Wabah al-Asyraf (95 H/714 M)
Ibn Taghri Badri mengatakan bahwa wabah al-Asyraf terjadi pada masa al-Hajjaj bin Yusuf, dan ia meninggal pada saat wabah itu terjadi tahun 95 H (714 M). Disebut al-Asyraf karena yang meninggal saat itu banyak dari kalangan bangsawan. Banyak korban tak terhindarkan, terutama di wilayah Wasit (Ibn Taghri Badri, al-Nujum al-Zahirah Fi Muluk Mishr Wa al-Qahirah, I/90).
Ibn Qutaibah mengatakan, setelah itu wabah masih terus berlanjut pada tahun 100 H yang disebut dengan Tho’un  ‘Ady bin Arthah, kemudian pada tahun 127 H terjadi Tho’un  Ghurab, lelaki dari al-Rubab yang pertama sekali meninggal terkena wabah, pada masa al-Walid Bin Yazid Bin Abd al-Malik. Kemudian pada bulan Rajab tahun 131 H terjadi Tho’un  Muslim bin Quthaibah, terus berlanjut ke Sya’ban dan Ramadhan, kemudian wabah ini berkurang pada bulan Syawwal. Salah seorang Tabiin. Ayyub al-Sikhtiyani, meninggal dalam tragedi wabah tersebut (Ibn Qutaybah, al-Ma’arif, I/135). Korban meninggal akibat wabah ini dalam satu hari terkumpul seribu jenazah (Ibn Hajar al-Asqalani, Badzl al-Ma’un Fi Fadl al-Tha’un, I/363).
Tha’un atau wabah dari masa ke masa masih terjadi sampai sekarang, dan yang terkini (2020) adalah covid-19 yang telah mendunia sebagai pandemik. Sebagai orang beriman mesti meyakini bahwa terjadinya wabah adalah karena takdir-Nya, sebagai adzab bagi orang kafir dan ahli maksiat, sebagai rahmat bagi kaum beriman untuk mengambil hikmahnya, sabar menghadapinya, dan tawakkal, karena pahala syahid adalah jaminannya.

3 komentar:

  1. Assalamu'alaikum, Ustadz.
    Kalau membaca sejarah terjadinya wabah pada masa lalu begitu dasyatnya dengan kurban yang sangat banyak meskipun hanya dalam satu wilayah.
    Ngapunten Tadz, apakah wabah corona saat ini sudah dianggap setara dengan wabah waktu itu, sehingga kita harus sampai meninggalkan sholat berjamaah di masjid?
    Sementara yang saya ketahui, bahwa corona ini madih bisa disembuhkan dan kitapun bisa menghindari wabah ini dengan menjaga kesehatan tubuh dan menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan.
    Jazakallohu khoiron katsiro.

    BalasHapus
  2. Wa'alaikumussalam !
    Dilihat dari jumlah kurban, bisa jadi masih belum sedahsyat tempo dulu. Namun wabah covid-19 ini masih belum kunjung usai. Kita tdk tahu kapan persisnya wabah ini akan berakhir. Bedanya, tempo dulu, tenaga ahli kesehatan dan peralatannya tidak secanggih sekarang. Jika sekarang diketahui banyak yang berhasil sembuh, bisa jadi karena kemajuan iptek yang dimiliki umat ini.
    Tentang anjuran untuk melakukan isolasi, social distancing, termasuk tidak menyelenggarakan perkumpulan masa seperti kumpul2 di masjid, baik untuk shalat berjamaah lima waktu ataupun shalat Jumat,bisa jadi ini menjadi bagian dari solusi untuk menekan kurban dari ganasnya covid 19 ini. Kita tdk perlu merasa paling tahu, paling benar sendiri dalam memahami agama ini, juga tidak perlu menyalahkan orang lain terkait anjuran untuk tidak shalat berjamaah di masjid. Jika kita perhatikan, mereka yang membuat keputusan itu bukanlah orang perorang, tetapi sejumlah orang, sejumlah pakar dari berbagai bidang, baik yang ada di MUI, NU, Muhammadiyah, dan Pemerintah dalam hal ini adalah Kemenag RI. Meski tidak pasti kebenarannya, paling tidak kita tahu bahwa keputusan itu telah dibuat oleh orang-orang yang ahli di bidangnya.
    Selanjutnya, biarkan umat berfikir, membandingkan mana yang layak diikuti.
    Wallahu A'lam !

    BalasHapus
  3. Inggih Ustadz, jazakallohu koiron katsiro atas pencerahannya.

    BalasHapus