ORIENTALISME
DAN GERAKAN
KRISTENISASI
oleh: Achmad Zuhdi Dh
A. Studi Bahasa Arab
Jika orientalisme menganggap bahwa pengetahuan
bahasa-bahasa Timur adalah merupakan perangkat penting yang dapat digunakan
untuk mengenal agama dan peradaban Timur, maka sesungguhnya dalam hal ini
Orientalisme sama dengan Kristenisasi. Hal ini (menguasai bahasa-bahasa Timur
terutama bahasa Arab) sangat ditekankan
bagi para Juru dakwah Kristen yang akan melakukan kristenisasi di daerah-daerah
kaum muslimin yang akan menjadi sasaran misi
Kristen.Gerakan studi bahasa yang dilakukan oleh
misionaris-misionaris Kristen ini merupakan faktor penting bagi perkembangan
orientalisme, sehingga pada waktu itu sulit dibedakan antara gerakan
kristenisasi dan orientalisme.[1]
Karena gerakan kristenisasi (motivasi agama) inilah yang merupakan sebab utama
tumbuhnya gerakan orientalisme.
Roger Bacon (1214-1294 M) adalah salah seorang
penyebar Kristen yang sangat agressif meminta teman-temannya agar mempelajari
bahasa kaum muslimin untuk kepentingan kristenisasi. Bacon beranggapan bahwa
kristenisasi adalah satu-satunya cara yang mungkin dilakukan untuk perluasan
dan penyebaran agama kristen. Untuk mewujudkan tujuan itu maka diperlukan tiga
syarat, yaitu:
1. Harus mempelajari bahasa;
2. Mempelajari semua macam kekufuran, kemudian membedakan antara
yangsatu dengan yang lain;
3. Mempelajari semua dalil atau argumentasi agar dapat mematahkan
lawan.[2]
Gagasan Bacon ini kemudian didukung oleh Reymond
Lull (1235-1316 M). Reymond Lull lahir di Spanyol.[3]
Ia mempelajari bahasa Arab dari Abdun Arabi. Ia mempunyai andil yang besar
sekali dalam membina pengajaran bahasa Arab di beberapa tempat, hanya saja
tujuannya tidak lain adalah untuk kegiatan kristenisasi. Mereka berusaha meyakinkan
kaum muslimin dengan menggunakan bahasa Arab mengenai kelemahan-kelemahan Islam
serta menarik kaum muslimin agar menjadi penganut Kristen.[4]
Pertemuan gereja di Wina pada tahun 1312 M juga
mendukung gagasan Bacon dan Lull tentang penggalakan pengajaran bahasa-bahasa
Islam (Arab). Sebagai tindak lanjutnya, di beberapa Universitas Eropa seperti
Paris, Oxford, Polonia, Salmanka dan Universitas Kurie juga telah diajarkan
bahasa Arab. Dalam hal ini Reymond Lull sempat menyaksikan impiannya tersebut,
ia beranggapan bahwa sudah waktunya untuk menundukkan kaum muslimin dengan cara
kristenisasi, dengan demikian tantangan berat yang menghambat perubahan manusia
ke keyakinan Katolik dapat dihilangkan.[5]
Pada tahun 1539 M di Colleage de France Perancis
telah dilengkapi dengan jurusan bahasa Arab yang dibina oleh Guillaume
Postel[6]
(Wafat 1581 M) yang terhitung sebagai orientalis tulen. Ia telah banyak
memberikan jasanya dalam membina pelajaran bahasa Timur di Eropa. Ketika ia
berada di negara Timur, ia menemukan manuskrip-manuskrip penting yang baru
dijabarkan oleh muridnya Joseph Scaliger[7]
(wafat 1609 M).
Postel tidak memisahkan diri dari kegiatan-kegiatan
kristenisasi sama sekali, walaupun dari segi lain ia memuji-muji ketinggian
kesusasteraan Arab, dan dalam bentuk khusus tentang tulisan-tulisan yang
berkenaan dengan ilmu kedokteran dan falak. Ia berkata:
“Tak
ada seorang pun yang dapat menolak hasil pengobatan yang digali dari ilmu
kedokteran Arab; apa yang diuraikan Ibnu Sina dalam satu atau dua halaman,
lebih berbobot dari apa yang dikatakan oleh Galinius dalam 5 atau 6 jilid yang
tebal”.[8]
Walupun demikian, Postel tetap
mengingatkan tentang keputusan pertemuan Wina yang disebutkan terdahulu, ia
mengungkapkan betapa besar manfaatnya menguasai bahasa Arab, seperti yang
dikatakan: “...bahasa Arab sangat besar
manfaatnya karena merupakan bahasa internasional, sebagai alat berkomunikasi
dengan orang Maroko, Mesir, Syria, Persia, Turki, bangsa Tartar dan India.
Sasteranya sangat kaya. Ia mangatakan bahwa barangsiapa menguasai bahasa Arab
maka ia dengan mudah dapat mematahkan musuh-musuh aqidah Kristen dengan kitab
suci, dan dapat membantah aqidah mereka yang dianutnya. Dengan jalan memahami
bahasa Arab seseorang dapat berkomunikasi dengan orang sedunia”. Mereka bangga
dengan menguasai bahasa Arab, karena dengan penguasaan bahasa Arab, mereka
sanggup menyeberangi Asia sampai ke daratan Cina tanpa memerlukan penterjemah.[9]
Pada tahun 1586 M pencetakan dan
penerbitan buku-buku bahasa Arab di Eropa semakin terbuka jalannya, dan ketika
itu buku-buku tersebut dicetak pada percetakan yang didirikan oleh Kardinal
Ferdinand de Medici Tuscany. Telah banyak buku-buku berbahasa Arab yang
dicetak, di antaranya adalah karangan-karangan
Ibnu Sina mengenai kedokteran dan filsafat.[10]
Di antara orang yang berperan aktif
dalam menunjang pengajaran bahasa Arab di Eropa adalah seorang orientalis Thomas
Erpenius[11]
(1584-1613 M). Ia adalah orang pertama yang memberikan pengajaran bahasa Arab
di Universitas Leiden pada tahun 1613 M. Melalui jerih payahnya dan ditunjang
dengan tulisan-tulisan tentang bahasa Arab ia telah menempatkan Belanda sebagai
tempat/ sumber pengajaran bahasa Arab di Eropa selama kurang lebih dua abad.
Sungguhpun ia mengakui bahwa
al-Qur’an memiliki nilai yang tinggi dalam segi bahasanya, namun ia tidak
mempunyai keyakinan bahwa sebenarnya al-Qur’an mengandung banyak hal yang
menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, ia bahkan berpendapat bahwa mereka yang
mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an tidak lebih daripada taqlid yang
menggelikan kepada kitab suci. Sedangkan sikap dan pandangannya terhadap Nabi
Muhammad Saw dan ajaran yang dibawanya tidak ubahnya seperti pendapat
kebanyakan orang orientalis yang lain di Eropa yaitu memusuhi dan antipati.[12]
B. Studi Islam
Walaupun kita mengetahui tujuan
kristenisasi yang jelas-jelas bersikap memusuhi Islam, tetapi di akhir abad
ke-17 sampai abad ke-18 dari pihak lain kita melihat kecenderungan yang berbeda
mengenai apa yang dilakukan oleh kaum orientalis pada umumnya. Kelompok ini
memandang Islam dengan pandangan yang
obyektif dan ada kecenderungan untuk condong kepada Islam. Kondisi demikian
telah memberikan dorongan bagi timbulnya suatu pergolakan pemikiran yang baru
di Eropa pada waktu itu, di mana pada umunya mereka tidak sejalan dengan
kebijaksanaan gereja.
Orang orientalis yang termasuk dalam
kelompok ini adalah Richard Simon, dalam bukunya “Sejarah kritik
terhadap keyakinan dan adat istiadat bangsa-bangsa Timur”(tahun 1684); ia
menulis dalam buku itu mengenai tradisi
dan agama kaum muslimin secara jujur dan berimbang. Selanjutnya ia memberikan
respek dan menunjukkan kekagumannya terhadap tradisi-tradisi Islam. Terhadap sikap
Simon ini, Arnould menuduhnya sebagai berlebih-lebihan dalam
keobyektivitasannya terhadap Islam. Selanjutnya Simon menganjurkan Arnould agar
mau mencermati ajaran akhlaq mulia kaum muslimin.
Demikian juga Filosuf Pierre Bayle,
ia adalah seorang yang mengagumi toleransi yang dimiliki Islam. Sikap ini
nampak pada tulisannya tentang kehidupan Muhammad Saw dalam kamus tarikh dan
kritik yang terbit untuk pertama kalinya di Rotterdam pada tahun 1697 M.
Sedangkan Simon Ockley (1678-1720 M) dalam bukunya “Sejarah Arab
Muslim”, ia menulis dengan jujur dan tidak berat sebelah. Ia memuji Timur
dan Islam serta mengangkatnya/ memujinya melebihi Barat.[13]
Contoh-contoh tadi merupakan peralihan perlahan-perlahan
ke arah pandangan baru yang benar mengenai Islam. Adapun usaha sungguh-sungguh
yang pertama dilakukan untuk memperkenalkan Islam adalah oleh Andrianus
Relandus[14]
(wafat 1718 M), seorang guru besar bahasa-bahasa Timur di Universitas Utrech
Belanda. Ia telah menerbitkan sebuah buku dalam bahasa Latin tentang Islam yang
berjudul “Agama Muhammad” dalam dua jilid. Pada jilid pertama ia
mengemukakan tentang aqidah Islamiah yang referensinya dari sumber buku Latin
dan Arab. Sedangkan pada jilid yang kedua ia berupaya meluruskan
pandangan-pamdangan Barat tentang Islam.
Buku tersebut kemudian
mendapatkan tanggapan yang negatif dari pihak gereja, dan menuduhnya sebagai
ikut berperan dalam kegiatan dakwah Islam. Akhirnya gereja mengelompokkan buku
tersebut sebagai buku-buku terlarang, tetapi anehnya buku tersebut kemudian
masih diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda dan
Spanyol[15].
Pada abad ke-18 M, dunia orientalisme Jerman juga menyaksikan
contoh-contoh lain yang serupa di antaranya adalah J.J. Reiske
(1716-1773 M). Ia adalah seorang cendekiawan ahli bahasa Arab pada masanya, ia
juga dikenal sebagai orientalis Jerman yang pertama; ia mendapat tempat terhormat
dan menonjol dalam bidang pengajaran bahasa Arab di Jerman.
Tetapi zaman dan teman-teman
sejawatnya bersikap apatis kepadanya. Sejumlah cendekiawan Kristen menyerang
dan menuduhnya sebagai munafiq; mungkin karena sikapnya yang positif terhadap
Islam. Ia memuji Islam dalam bukunya
yang ditulis dalam bahasa Latin. Ia menolak mengidentikkan Nabi Saw dengan
kebohongan dan kesesatan, atau menolak pemberian sifat agama khurafat dan
menggelikan kepada Islam, sebagaimana yang banyak dilakukan orang pada waktu
itu. Ia juga dengan tegas menolak pembagian sejarah dunia menjadi sejarah suci
dan sejarah yang bukan suci, yang meletakkan sejarah Islam pada jantung sejarah
dunia. Lebih dari itu ia telah mengungkapkan pendapatnya dengan jelas dan terang-terangan
tanpa memikirkan akibat yang akan dihadapinya. Ia menghadapi cobaan-cobaan itu,
sepanjang hidupnya dilalui dengan kondisi ekonominya yang memprihatinkan. Ia
wafat setelah sengsara menghadapi penyakit paru-paru pada usia 58 tahun. Fueck
berkomentar tentang dia:
“Reiske
telah menjadi syahid sastra Arab; hidupnya menjadi sejarah dari kepedihan yang
diabadikan dalam buku hariannya.......sungguh suatu hal memalukan bahwa seorang
yang sangat menonjol pada masanya tidak dikenali potensi luar biasa yang
dimiliki Reiske yang menjadi salah seorang ahli dalam bahasa Arab”.[16]
Apa yang dilakukan oleh sebagian
orientalis yang cenderung obyektif dan terkadang malah memuji Islam tersebut
memang dapat meringankan beban dan tuduhan yang dilontarkan oleh cendekiawan
Kristen kepada Islam, tetapi usaha-usaha yang positif tersebut masih belum bisa
mempengaruhi pikiran-pikiran kebanyakan orang Eropa yang sudah terlanjur
membenci Islam. Begitulah gambaran negatif yang telah melekat di hati
orang-orang Eropa sebagai warisan dari abad pertengahan, yang terkadang masih
bermunculan hingga hari ini. Ada ungkapan Maxim Rodinson yang cukup
menggembirakan terhadap Islam, sebagai berikut:
“......Sesungguhnya di abad kedelapan belas kaum Kristen
memandang Timur Islam dengan pandangan persaudaraan yang penuh pengertian.
Pemikiran yang mengatakan bahwa pemberian akal yang sama kepada segenap
manusialah yang telah membantu penyebarannya semakin kuat dan kokoh; itulah dia
agama yang hakiki pada masa itu. Semakin terbuka kesempatan bagi masyarakat
untuk mengadakan kritik terhadap tuduhan yang dilemparkan kepada dunia Islam
pada abad-abad yang lalu.....dan pada abad kejayaan kaum muslimin baru dianggap
seperti manusia yang lain, malahan ada di antara mereka yang mengungguli bangsa
Eropa”.[17]
Kalau kita menerima apa yang
dikatakan Rodinson tentang ini, maka sebenarnya dia sendiri tidak memungkiri
bahwa pandangan yang diungkapkannya itu selanjutnya beralih menjadi
pandangan/sikap yang lebih buruk dari sebelumnya; Ia berkata:
“Pada
abad kesembilan belas ini, Timur Islam tetap merupakan musuh bahkan ia adalah
musuh yang sudah dinyatakan kalah. Dunia Timur menyerupai panorama indah yang
sudah binasa. Waktu itu seseorang dapat menikmati kemegahan yang mereka puji di
saat kaum politikus dan usahawan berbuat segala sesuatu yang dalam wewenangnya
untuk mempercepat proses kehancurannya. Di masa datang mereka tidak mungkin
menunjukkan semangat, malahan dalam
operasionalnya (pembaharuannya itu), mereka kehilangan bau aneh yang dulu
mereka dambakan”.[18]
Demikianlah pandangan bangsa Eropa
sebelumnya, yang dikumandangkan lewat ideologi internasional pada zamannya,
yaitu menghormati bangsa selain Eropa dan menghargai peradaban mereka. Namun
setelah itu yaitu pada abad ke-19 keadaan sudah berubah, pandangannya menjadi
sombong dan congkak, disusul kemudian dengan munculnya teori-teori yang membagi
manusia kepada dua jenis, yaitu yang maju dan yang terbelakang; Yang pertama
yakni yang maju adalah bangsa Ariyah, sedangkan yang kedua yang
terbelakang adalah bangsa Samiyah (Smit). Para orientalis dan
pemikir-pemikir Eropa yang berjalan menurut metodanya (dengan keterangan yang
mereka katakan) bahwa ciri-ciri khas bangsa Ariyah adalah mereka itu
orang-orang yang menciptakan peradaban dan datang dengan segala yang baru,
sedangkan bangsa Samiyah adalah mereka yang dangkal pemikiran dan
falsafahnya.[19]
Demikian sekilas mengenai bagaimana
sejarah orang Barat terutama dari kalangan juru dakwah Kristen dan para
orientalis menekuni kajian bahasa Arab dan agama Islam. Dari telaah tersebut dapat difahami betapa
tidak mudahnya membedakan antara gerakan orientalisme dengan Kristenisasi. Di
sini motivasi agama (termasuk kristenisasi) sangat dominan dalam menggerakkan
orientalisme. Sungguhpun ada beberapa kelompok orientalis yang secara jujur
mengagumi bahasa dan sastra Arab serta ajaran Islam, tetapi arus besar masih
menunjukkan yang kebalikannya. Paling tidak hal ini dapat dibaca perjalanan
sejarahnya hingga abad ke-19.
Dinukil dari buku Pandangan Orientalis Barat tentang Islam,
karya Achmad Zuhdi Dh
Dinukil dari buku Pandangan Orientalis Barat tentang Islam,
karya Achmad Zuhdi Dh
[1] Baca Assamurai, Bukti-Bukti,
67.
[2] Zaqzuq, al-Istishraq, 35.
[3] Assamurai mencatat bahwa Raymond Lull
berasal dari Majore, kelahiran kota Palma tahun 1233 M (633 H).Ada yang
berkomentar bahwa pada diri Raymond Lull terdapat obyek yang sangat
membingungkan. Sebagian orang menganggapnya sebagai orang suci sementara yang
lain menganggapnya zindiq. Sebagian orang menganggapnya sangat alim tetapi yang
lainnya menganggapnya tolol. Sebagian menganggapnya penerima ilham, namun yang
lainnya menganggapnya sebagai orang linglung. Baca Assamurai, Bukti-Bukti,
119.
[4] Rudi Paret, Al-Dirasat al-Islamiah
wa al-‘Arabiyah Fi al-Jami’at al-Almaniyah, terj. Mustafa Mahir (Kairo: tp,
1967),9. Baca juga Zaqauq, al-Istishraq, 35.
[5] Ibid., 36.
[6] Guillaume Postel adalah orientalis
Perancis lahir di Dolerie, Timur Laut Perancis pada tahun 1510 dan meninggal
pada tahun 1581 di Perancis. Di antara sumbangan Postel yang paling menonjol
dalam kajian orientalis adalah kesuksesannya dalam mengoleksi naskah-naskah
Timur, seperti naskah Tarikh Abi al-Fida, tulisan-tulisan Yohanna
al-Dimashqi dan terjemahan Suryani versi baru kitab suci. Levy de Lavida
menjelaskan bahwa sebagian dari naskah-naskahnya tersimpan di perpustakaan
Vatikan. Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni
Drajat (Yogjakarta: LKIS, 2003), 100.
[7] Joseph Scaliger adalah orientalis
Perancis yang ahli filologi klassik. Ia lahir pada 4 Agustus 1540 di Agen,
Barat Daya Perancis dan meninggal pada 21 Januari 1609. Ia memperdalam bahasa
Yunani, Latin, Ibrani, Arab, Suryani, Persia dan sejumlah bahasa Eropa Modern.
Dia yang mengidentifikasi bahwa yang dimaksud dengan Dzul Qarnain dalam surat
al-Kahfi adalah Iskandar Agung. Dalam kitabnya ia banyak mencantumkan teks-teks
Arab yang berhubungan dengan sistem penanggalan, seperti penanggalan yang
berlaku pada gereja-gereja Timur, gereja Antaqiyah, Habshiyah, dan gereja
Qibtiyah, dengan disertai nama-nama binatang pada setiap zodiaknya dalam bahasa
Arab. Ibid., 16-18.
[8]Ibid.,
37.
[9] Edward Said, Orientalism, 81.
Baca juga Zaqzuq, al-Istishraq, 37.
[10]Ibid.,
38.
[11] Thomas Erpenius adalah seorang
orientalis Belanda yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan nama Van Erpe. Ia
lahir tanggal 11 September 1584 di Gorkum, Belanda dan meninggal pada tahun
1624, dalam usia 40 tahun. Badawi, Ensiklopedi, 6.
[12] Zaqzuq, al-Istishraq, 39.
[13] Ibid., 41.
[14] Andrianus Relandus atau yang juga
disebut Reeland adalah orientalis Belanda yang wafat pada tahun 1718 M. Ia dipandang sebagai orientalis Eropa pertama
yang berusaha keras membersihkan Islam dari prasangka buruk yang tertanam di
benak pembaca Eropa yang bersumber dari buku Eropa yang menyebarkan pemahaman
salah terhadap Islam, terutama yang ditulis oleh tokoh-tokoh agama Kristen.
Relandus memberi contoh salah seorang cendekiawan Kristen yang berada di bawah
pengiuasa Islam adalah Johann al-Dimasgqi. Badawi, Ensiklopedi, 227.
[15] Zaqzuq, al-Istishraq, 41.
[16] Johan Fueck, Die Arabischen
Studien in Eropa (Leipzig, 1955), 108 sebagaimana dikutip oleh Zaqzuq dalam
al-Istishraq, 44,
[17] Ibid., 45.
[18] Ibid., 46.
[19] Mustafa Abd al-Razzaq, Tamhid Li
Tarikh al-Falsafah al-Islamiah (Kairo, 1966), 9. Baca juga Zaqzuq, al-Istishraq,
47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar