Rabu, 01 Januari 2025

MENGOBROL SAAT MAKAN BERSAMA

 MENGOBROL SAAT MAKAN BERSAMA


Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan

            Saat sedang makan bersama, di antara kami ada yang mengajak berbincang-bincang mengenai masalah-masalah ringan yang sedang terjadi. Tak terasa entah berapa lamanya, makan bersama pun selesai. Alhamdulillah. Yang perlu kami tanyakan kepada Pengasuh Konsultasi Agama MATAN adalah mengenai hukum mengobrol saat makan. Bolehkah? Bagaimana menurut tuntunan Rasulullah saw? Demikian, atas perkenannya kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (A. Zainul, Sidoarjo).

Pembahasan

            Dalam Islam, banyak sekali adab dan aturan yang bertujuan memuliakan kehidupan manusia, termasuk saat makan. Di antara aturan atau adab saat makan adalah (1) mencuci tangan sebelum makan. Hal ini berdasarkan hadis: “Apabila Nabi saw. hendak makan, beliau mencuci kedua tangannya (HR. al-Nasai 256, disahihkan al-Albani). Selain itu (2) tidak mencela makanan. Dalam hadis (Riwayat al-Bukhari 3563), “Rasulullah saw. tidak pernah mencela makanan, bila suka beliau memakannya dan bila tidak suka, beliau meninggalkannya.

            Selain itu, adab saat makan adalah (3) memulai makan dengan bacaan basmalah; (4) makan dengan menggunakan tangan kanan; dan (5) mengambil makanan yang ada didekatnya. Adab ini berdasarkan hadis dari Umar bin Abi Salamah yang mendapatkan pelajaran dari Nabi saw. agar saat hendak makan terlebih dulu dimulai dengan membaca basmalah, kemudian memakai tangan kanan, dan mengambil hidangan yang dekat dengannya (HR. al-Bukhari 5376 dan Muslim 5388).

            Setelah selesai makan disyariatkan bersyukur dengan memuji kepada Allah, misalnya dengan ucapan atau bacaan:

الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي كَفَانَا وَأَرْوَانَا غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مَكْفُورٍ

 Alhamdulillah alladzi kafana wa arwana ghaira makfiyyin wala makfurin (segala puji bagi Allah yang telah mencukupi kami dan menyegarkan kami, bukan nikmat yang tak dianggap dan bukan nikmat yang dikufuri (HR. al-Bukhari 5459).

            Selain adab-adab yang sudah disebutkan di atas, ada juga adab atau prilaku yang dianjurkan, yaitu memuji makanan, meskipun makanannya sederhana dan mengobrol atau bincang-bincang saat sedang makan bersama. Berikut ini di antara beberapa hadisnya:

1.     Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بِلَحْمٍ، فَرُفِعَ إِلَيْهِ الذِّرَاعُ، وَكَانَتْ تُعْجِبُهُ، فَنَهَسَ مِنْهَا نَهْسَةً فَقَالَ: أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Suatu hari Rasulullah saw. diberi hidangan makanan berupa daging, kemudian disuguhkan daging paha untuk beliau. Dan beliau sangat menyukainya. Maka beliau pun menyantapnya. Kemudian beliau bersabda: ‘Aku adalah pemimpin manusia di hari kiamat…'” (HR. al-Bukhari 3340 dan Muslim 194).

2.     Dari Jabir bin Abdillah ra:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - سَأَلَ أَهْلَهُ الأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلاَّ خَلٌّ. فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ  نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ

Artinya: Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad saw. meminta pada keluarganya lauk-pauk, lalu keluarga beliau menjawab: Kami tidak memiliki apa pun kecuali cuka. Nabi pun tetap meminta cuka dan beliau pun makan dengan (campuran) cuka, lalu beliau bersabda: Lauk yang paling baik adalah cuka, lauk yang paling baik adalah cuka. (HR. Muslim 5473).

Dalam hadis-hadis tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah saw. saat makan bersama sempat mengucapkan kalimat-klaimat sebagai wujud kegembiraannya dan dimaksudkan untuk menghibur serta menghargai orang-orang yang sedang makan, dan penghargaan kepada orang yang memberinya makanan. Imam al-Nawawi dalam mensyarahi hadis tersebut mengungkapkan sebagai berikut:

وَفِيهِ اِسْتِحْبَاب الْحَدِيث عَلَى الْأَكْل تَأْنِيسًا لِلْآكِلِينَ

Artinya: Dalam hadis tersebut tersirat pemahaman tentang kesunahan (anjuran) berbicara atas makanan untuk menggembirakan orang-orang yang makan (Imam al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ala Muslim, VII/14).

Yang perlu mendapatkan perhatian adalah materi pembicaraannya, apakah hal-hal yang dibicarakan itu baik atau tidak. Dalam hal ini, isi pembicaraannya haruslah yang baik, yang ringan-ringan saja seperti masalah menu makanan, cita rasa, resep dan sebagainya. Boleh juga membicarakan kisah atau pengalaman orang salih, orang sukses, dan orang-orang yang patut menjadi teladan. Dalam hal ini, Imam al-Nawawi telah memberikan penjelasan dalam kitab Al-Adzkar an-Nawawiyah sebagai berikut:

بابُ اسْتِحْبَابِ الْكَلاَمِ عَلَى الطَّعاَمِ فِيْهِ حَدِيْثِ جَابِر الَّذِيْ قَدَّمْنَاهُ فِي بَابِ مَدْحِ الطَّعَامِ. قَالَ الْإِمَامُ أَبُوْ حَامِد الْغَزَالِي فِي "الْإِحْيَاءِ": مِنْ آدَابِ الطَّعَامِ أَنْ يَتَحَدَّثُوْا فِي حَالِ أَكْلِهِ باِلْمَعْرُوْفِ، وَيَتَحَدَّثُوْا بِحِكَايَاتِ الصَّالِحِيْنَ فِي الْأَطْعِمَةِ وَغَيْرِهَا.

Artinya: Bab kesunahan berbicara atas makanan. Dalam menjelaskan bab ini terdapat hadis Sahabat Jabir yang telah disebutkan di awal dalam bab ‘Memuji makanan’. Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: Sebagian adab makan adalah berbicara pada saat makan dengan pembicaraan yang baik dan bercerita tentang kisah orang-orang salih dalam hal (menyikapi) makanan dan hal-hal lainnya (Imam al-Nawawi, Al-Adzkar al-Nawawiyah, II/ 297).

            Sungguhpun dianjurkan atau disunahkan berbicara atau mengobrol saat makan bersama, sedapat mungkin waktu berbicaranya dilakukan pada saat tidak sedang mengunyah makanan. Sebab bila berbicara pada saat sedang mengunyah makanan, hal ini dikhawatirkan akan membuat makanan yang sedang dikunyah jatuh dan dapat mengganggu kebersihan sekitar hidangan. Syekh al-Zabidi dalam kitabnya Syarah Ihya Ulum al-Din menjelaskan sebagai berikut:

وَلكِنْ لاَ يَتَكَلَّمُ وَهُوَ يَمْضَغُ اللُّقْمَةَ فَرُبَّمَا يَبْدُوْ مِنْهَا شَيْءٌ فَيَقْذُرُ الطَّعَامَ

akan tetapi (hendaknya) seseorang tidak berbicara saat sedang mengunyah makanan, karena bisa jadi (bicara saat sedang mengunyah) menyebabkan jatuh dari (mulutnya) sedikit makanan dan mengotori makanan yang dimakan (Muhammad bin Muhammad al-Husaini Al-Zabidi, Ittihaf al-Sadat al-Muttaqin, Juz V/229).  

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, maka sebaiknya mengobrol atau bincang-bincang saat makan bersama dilakukan pada saat makanan sudah selesai dikunyah dan tidak lagi tersisa makanan dalam mulutnya. Hal ini untuk menghindari agar potongan-potongan makanan yang masih di dalam mulut tidak terjatuh dalam santapan makanannya. 

Dari aspek kesopanan, bicara saat sedang mengunyah memang kurang baik bahkan bisa mengganggu kenyamanan. Karena itu sebisa mungkin suasana mengobrolnya bisa dilakukan di sela-sela makan yang di mulut tidak sedang mengunyah makanan. Tidak ada masalah dengan mengobrol saat makan, asal yang dibahas hal-hal yang baik.  Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan:

اَلكَلاَمُ عَلَى الطَّعَامِ كَالكَلاَمِ عَلَى غَيْرِ الطَّعَامِ؛ حَسَنُهُ حَسَنٌ، وَقَبِيحُهُ قَبِيحٌ

“Berbicara pada saat sedang makan, hukumnya seperti berbicara saat di luar makan. Jika pembicaraannya baik, maka dinilai baik. Jika pembicaraannya buruk, maka juga dinilai buruk” (al-Albani, Silsilat al-Huda wa al-Nur, 1/15).

            Ibn al-Jauzi (w.1201 M) mengatakan bahwa termasuk adab saat makan adalah tidak berdiam diri (tidak diam saja) saat makan, melainkan disertai berbicara dengan sesuatu yang baik. Saat makan dianjurkan untuk berbincang-bincang dengan teman-teman lainnya dengan menggunakan percakapan yang baik, serta menceritakan peristiwa atau kisah-kisah yang sesuai dengan keadaan jika mereka tampak kaku, agar mereka merasa lebih rileks dan duduk lebih lama.

            Di kalangan ulama madzhab juga telah membahas perihal bicara saat makan (الكلام على الطّعام).

            Ulama Hanafiyah berpendapat: "Hendaknya saat makan tidak berbicara mengenai hal-hal yang menjijikkan, melainkan membahas kisah-kisah orang salih, karena termasuk adab saat makan adalah berbicara atau mengobrol selama makan. Tidak boleh diam saja, karena diam mutlak adalah kebiasaan orang asing (non-Arab). Dari sinilah muncul ungkapan: 'Berdiam saja saat makan adalah kebiasaan orang bodoh dan hina, bukan kebiasaan para ulama yang mulia”.

Ulama Syafi'iyah berpendapat: "Saat makan disunahkan berbicara dengan hal-hal yang tidak terlarang (yang baik-baik), seperti menceritakan kisah-kisah orang salih saat makan, meskipun lebih baik untuk mengurangi pembicaraan".

Ulama Hanabilah berpendapat: "Dimakruhkan bagi seseorang yang makan bersama orang lain untuk berbicara tentang hal-hal yang menjijikkan, atau membuat mereka tertawa, atau mempermalukan mereka. Dianjurkan berbicara dengan perkataan yang baik selama makan" (Ali bin Nayif al-Syuhud, Mausu’ah Fiqh al- ‘Ibadah, 4).

Ibn al-Muflih al-Maqdisi (w. 1362 M) menyebutkan keterangan Ishaq bin Ibrahim:

تَعَشَّيْتُ مَرَّةً أَنَا وَأَبُو عَبْدِ اللَّهِ وَقَرَابَةٌ لَهُ فَجَعَلْنَا لَا نَتَكَلَّمُ وَهُوَ يَأْكُلُ وَيَقُولُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَبِسْمِ اللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: أَكْلٌ وَحَمْدٌ خَيْرٌ مِنْ أَكْلٍ وَصَمْتٍ. وَلَمْ أَجِدْ عَنْ أَحْمَدَ خِلَافَ هَذِهِ الرِّوَايَةِ صَرِيحًا وَلَمْ أَجِدْهَا فِي كَلَامِ أَكْثَرِ الْأَصْحَابِ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ أَحْمَدَ – رَحِمَهُ اللَّهُ – اتَّبَعَ الْأَثَرَ فِي ذَلِكَ فَإِنَّ مِنْ طَرِيقَتِهِ وَعَادَتِهِ تَحَرِّي الِاتِّبَاعِ.

Suatu ketika aku makan malam bersama Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) ditambah satu orang kerabat beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak berbicara sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan alhamdulillah dan bismillah setelah itu beliau mengatakan: “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam”. Tidak aku dapatkan pendapat lain dari Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi nukilan ini. Demikian juga tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama pengikut Imam Ahmad yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” (Ibn al-Muflih al-Maqdisi, al-Adab al-Shar’iyah Wa Minah al-Mar’iyah, 3/163).

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa mengobrol saat makan bersama itu dibolehkan, bahkan dianjurkan (disunahkan) demi menciptakan suasana yang rileks, ramah, dan menyenangkan. Yang penting, masalah yang dibicarakan itu adalah sesuatu yang baik, tidak menyinggung perasaan orang lain, dan lebih baik jika yang dibicarakan itu sesuatu yang bisa menginspirasi dan mencerahkan.

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Desember 2024)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar