MENGOBROL SAAT MAKAN BERSAMA
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan
Saat
sedang makan bersama, di antara kami ada yang mengajak berbincang-bincang
mengenai masalah-masalah ringan yang sedang terjadi. Tak terasa entah berapa
lamanya, makan bersama pun selesai. Alhamdulillah. Yang perlu kami tanyakan
kepada Pengasuh Konsultasi Agama MATAN adalah mengenai hukum mengobrol saat
makan. Bolehkah? Bagaimana menurut tuntunan Rasulullah saw? Demikian, atas
perkenannya kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan
katsiran! (A. Zainul, Sidoarjo).
Pembahasan
Dalam
Islam, banyak sekali adab dan aturan yang bertujuan memuliakan kehidupan manusia,
termasuk saat makan. Di antara aturan atau adab saat makan adalah (1)
mencuci tangan sebelum makan. Hal ini berdasarkan hadis: “Apabila Nabi saw.
hendak makan, beliau mencuci kedua tangannya (HR. al-Nasai 256, disahihkan
al-Albani). Selain itu (2) tidak mencela makanan. Dalam hadis (Riwayat
al-Bukhari 3563), “Rasulullah saw. tidak pernah mencela makanan, bila suka
beliau memakannya dan bila tidak suka, beliau meninggalkannya.
Selain
itu, adab saat makan adalah (3) memulai makan dengan bacaan basmalah; (4)
makan dengan menggunakan tangan kanan; dan (5) mengambil makanan yang
ada didekatnya. Adab ini berdasarkan hadis dari Umar bin Abi Salamah yang
mendapatkan pelajaran dari Nabi saw. agar saat hendak makan terlebih dulu
dimulai dengan membaca basmalah, kemudian memakai tangan kanan, dan mengambil
hidangan yang dekat dengannya (HR. al-Bukhari 5376 dan Muslim 5388).
Setelah
selesai makan disyariatkan bersyukur dengan memuji kepada Allah, misalnya
dengan ucapan atau bacaan:
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي
كَفَانَا وَأَرْوَانَا غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مَكْفُورٍ
Alhamdulillah
alladzi kafana wa arwana ghaira makfiyyin wala makfurin (segala puji bagi Allah
yang telah mencukupi kami dan menyegarkan kami, bukan nikmat yang tak dianggap
dan bukan nikmat yang dikufuri (HR. al-Bukhari 5459).
Selain
adab-adab yang sudah disebutkan di atas, ada juga adab atau prilaku yang dianjurkan,
yaitu memuji makanan, meskipun makanannya sederhana dan mengobrol atau
bincang-bincang saat sedang makan bersama. Berikut ini di antara beberapa
hadisnya:
1.
Dari Abu Hurairah ra.,
ia berkata:
أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمًا بِلَحْمٍ، فَرُفِعَ إِلَيْهِ الذِّرَاعُ، وَكَانَتْ تُعْجِبُهُ،
فَنَهَسَ مِنْهَا نَهْسَةً فَقَالَ: أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ …
“Suatu hari Rasulullah saw. diberi
hidangan makanan berupa daging, kemudian disuguhkan daging paha untuk beliau.
Dan beliau sangat menyukainya. Maka beliau pun menyantapnya. Kemudian beliau
bersabda: ‘Aku adalah pemimpin manusia di hari kiamat…'” (HR.
al-Bukhari 3340 dan Muslim 194).
2.
Dari Jabir bin Abdillah
ra:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِىَّ -
صلى الله عليه وسلم - سَأَلَ أَهْلَهُ الأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلاَّ
خَلٌّ. فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ
الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ
Artinya: Diriwayatkan
dari sahabat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad saw. meminta pada
keluarganya lauk-pauk, lalu keluarga beliau menjawab: Kami tidak memiliki apa
pun kecuali cuka. Nabi pun tetap meminta cuka dan beliau pun makan dengan
(campuran) cuka, lalu beliau bersabda: Lauk yang paling baik adalah cuka, lauk
yang paling baik adalah cuka. (HR. Muslim 5473).
Dalam hadis-hadis
tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah saw. saat makan bersama sempat mengucapkan
kalimat-klaimat sebagai wujud kegembiraannya dan dimaksudkan untuk menghibur
serta menghargai orang-orang yang sedang makan, dan penghargaan kepada orang
yang memberinya makanan. Imam al-Nawawi dalam mensyarahi hadis tersebut
mengungkapkan sebagai berikut:
وَفِيهِ اِسْتِحْبَاب الْحَدِيث عَلَى الْأَكْل
تَأْنِيسًا لِلْآكِلِينَ
Artinya: Dalam hadis
tersebut tersirat pemahaman tentang kesunahan (anjuran) berbicara atas makanan
untuk menggembirakan orang-orang yang makan (Imam al-Nawawi, Syarh
al-Nawawi ala Muslim, VII/14).
Yang
perlu mendapatkan perhatian adalah materi pembicaraannya, apakah hal-hal yang
dibicarakan itu baik atau tidak. Dalam hal ini, isi pembicaraannya haruslah
yang baik, yang ringan-ringan saja seperti masalah menu makanan, cita rasa,
resep dan sebagainya. Boleh juga membicarakan kisah atau pengalaman orang
salih, orang sukses, dan orang-orang yang patut menjadi teladan. Dalam hal ini,
Imam al-Nawawi telah memberikan penjelasan dalam kitab Al-Adzkar
an-Nawawiyah sebagai berikut:
بابُ اسْتِحْبَابِ الْكَلاَمِ عَلَى الطَّعاَمِ فِيْهِ
حَدِيْثِ جَابِر الَّذِيْ قَدَّمْنَاهُ فِي بَابِ مَدْحِ الطَّعَامِ. قَالَ الْإِمَامُ
أَبُوْ حَامِد الْغَزَالِي فِي "الْإِحْيَاءِ": مِنْ آدَابِ الطَّعَامِ
أَنْ يَتَحَدَّثُوْا فِي حَالِ أَكْلِهِ باِلْمَعْرُوْفِ، وَيَتَحَدَّثُوْا بِحِكَايَاتِ
الصَّالِحِيْنَ فِي الْأَطْعِمَةِ وَغَيْرِهَا.
Artinya: Bab kesunahan
berbicara atas makanan. Dalam menjelaskan bab ini terdapat hadis Sahabat Jabir
yang telah disebutkan di awal dalam bab ‘Memuji makanan’. Imam Abu Hamid
al-Ghazali berkata: Sebagian adab makan adalah berbicara pada saat makan dengan
pembicaraan yang baik dan bercerita tentang kisah orang-orang salih dalam hal
(menyikapi) makanan dan hal-hal lainnya (Imam al-Nawawi, Al-Adzkar
al-Nawawiyah, II/ 297).
Sungguhpun dianjurkan atau disunahkan berbicara atau
mengobrol saat makan bersama, sedapat mungkin waktu berbicaranya dilakukan pada
saat tidak sedang mengunyah makanan. Sebab bila berbicara pada saat sedang
mengunyah makanan, hal ini dikhawatirkan akan membuat makanan yang sedang
dikunyah jatuh dan dapat mengganggu kebersihan sekitar hidangan. Syekh
al-Zabidi dalam kitabnya Syarah Ihya Ulum al-Din menjelaskan
sebagai berikut:
… وَلكِنْ لاَ يَتَكَلَّمُ وَهُوَ يَمْضَغُ اللُّقْمَةَ فَرُبَّمَا
يَبْدُوْ مِنْهَا شَيْءٌ فَيَقْذُرُ الطَّعَامَ
… akan tetapi (hendaknya)
seseorang tidak berbicara saat sedang mengunyah makanan, karena bisa jadi
(bicara saat sedang mengunyah) menyebabkan jatuh dari (mulutnya) sedikit
makanan dan mengotori makanan yang dimakan (Muhammad bin Muhammad
al-Husaini Al-Zabidi, Ittihaf al-Sadat al-Muttaqin, Juz V/229).
Berdasarkan
keterangan tersebut di atas, maka sebaiknya mengobrol atau bincang-bincang saat
makan bersama dilakukan pada saat makanan sudah selesai dikunyah dan tidak lagi
tersisa makanan dalam mulutnya. Hal ini untuk menghindari agar
potongan-potongan makanan yang masih di dalam mulut tidak terjatuh dalam
santapan makanannya.
Dari
aspek kesopanan, bicara saat sedang mengunyah memang kurang baik bahkan bisa
mengganggu kenyamanan. Karena itu sebisa mungkin suasana mengobrolnya bisa
dilakukan di sela-sela makan yang di mulut tidak sedang mengunyah makanan.
Tidak ada masalah dengan mengobrol saat makan, asal yang dibahas hal-hal yang
baik. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan:
اَلكَلاَمُ عَلَى الطَّعَامِ كَالكَلاَمِ عَلَى
غَيْرِ الطَّعَامِ؛ حَسَنُهُ حَسَنٌ، وَقَبِيحُهُ قَبِيحٌ
“Berbicara pada saat sedang
makan, hukumnya seperti berbicara saat di luar makan. Jika pembicaraannya baik,
maka dinilai baik. Jika pembicaraannya buruk, maka juga dinilai buruk” (al-Albani,
Silsilat al-Huda wa al-Nur, 1/15).
Ibn al-Jauzi (w.1201 M) mengatakan bahwa termasuk
adab saat makan adalah tidak berdiam diri (tidak diam saja) saat makan,
melainkan disertai berbicara dengan sesuatu yang baik. Saat makan dianjurkan
untuk berbincang-bincang dengan teman-teman lainnya dengan menggunakan
percakapan yang baik, serta menceritakan peristiwa atau kisah-kisah yang sesuai
dengan keadaan jika mereka tampak kaku, agar mereka merasa lebih rileks dan
duduk lebih lama.
Di kalangan ulama madzhab juga telah membahas perihal
bicara saat makan (الكلام على الطّعام).
Ulama Hanafiyah berpendapat: "Hendaknya saat
makan tidak berbicara mengenai hal-hal yang menjijikkan, melainkan membahas kisah-kisah
orang salih, karena termasuk adab saat makan adalah berbicara atau mengobrol selama
makan. Tidak boleh diam saja, karena diam mutlak adalah kebiasaan orang asing
(non-Arab). Dari sinilah muncul ungkapan: 'Berdiam saja saat makan adalah
kebiasaan orang bodoh dan hina, bukan kebiasaan para ulama yang mulia”.
Ulama Syafi'iyah
berpendapat: "Saat makan disunahkan berbicara dengan
hal-hal yang tidak terlarang (yang baik-baik), seperti menceritakan kisah-kisah
orang salih saat makan, meskipun lebih baik untuk mengurangi pembicaraan".
Ulama Hanabilah
berpendapat: "Dimakruhkan bagi seseorang yang makan
bersama orang lain untuk berbicara tentang hal-hal yang menjijikkan, atau
membuat mereka tertawa, atau mempermalukan mereka. Dianjurkan berbicara dengan
perkataan yang baik selama makan" (Ali bin Nayif al-Syuhud, Mausu’ah
Fiqh al- ‘Ibadah, 4).
Ibn al-Muflih
al-Maqdisi (w. 1362 M) menyebutkan keterangan Ishaq bin Ibrahim:
تَعَشَّيْتُ مَرَّةً أَنَا وَأَبُو عَبْدِ اللَّهِ
وَقَرَابَةٌ لَهُ فَجَعَلْنَا لَا نَتَكَلَّمُ وَهُوَ يَأْكُلُ وَيَقُولُ:
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَبِسْمِ اللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: أَكْلٌ وَحَمْدٌ خَيْرٌ مِنْ
أَكْلٍ وَصَمْتٍ. وَلَمْ أَجِدْ عَنْ أَحْمَدَ خِلَافَ هَذِهِ الرِّوَايَةِ
صَرِيحًا وَلَمْ أَجِدْهَا فِي كَلَامِ أَكْثَرِ الْأَصْحَابِ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ
أَحْمَدَ – رَحِمَهُ اللَّهُ – اتَّبَعَ الْأَثَرَ فِي ذَلِكَ فَإِنَّ مِنْ
طَرِيقَتِهِ وَعَادَتِهِ تَحَرِّي الِاتِّبَاعِ.
“Suatu ketika aku makan
malam bersama Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) ditambah satu orang kerabat
beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak berbicara sedangkan Imam Ahmad
makan sambil mengatakan alhamdulillah dan bismillah setelah itu beliau
mengatakan: “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam”.
Tidak aku dapatkan pendapat lain dari Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi
nukilan ini. Demikian juga tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama
pengikut Imam Ahmad yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar
Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan
beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” (Ibn
al-Muflih al-Maqdisi, al-Adab al-Shar’iyah Wa Minah al-Mar’iyah, 3/163).
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa mengobrol
saat makan bersama itu dibolehkan, bahkan dianjurkan (disunahkan) demi
menciptakan suasana yang rileks, ramah, dan menyenangkan. Yang penting, masalah
yang dibicarakan itu adalah sesuatu yang baik, tidak menyinggung perasaan orang
lain, dan lebih baik jika yang dibicarakan itu sesuatu yang bisa menginspirasi
dan mencerahkan.
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Desember 2024)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar