Minggu, 09 April 2023

DI BULAN RAMADHAN, BOLEHKAN WANITA HAID BACA AL-QUR’AN?

 

DI BULAN RAMADHAN, BOLEHKAN WANITA HAID BACA AL-QUR’AN?

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb!

Ustadz Achmad Zuhdi (UAZ) rahimakumullah! Mohon penjelasan tentang seorang Wanita muslimah yang sedang haid di Bulan Ramadhan. Amalan apa yang bisa dilakukan, dan bolehkah ia tetap membaca mushaf al-Qur’an dengan tujuan untuk memperkuat hafalannya? Demikian, atas perkenan dan jawabannya, saya sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Faizah, Candi).

Wassalamu’alaikum wr.wb.!

Jawaban:

              Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikutipkan hadis sebagai berikut:

 عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَألْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا فَقُلْتُ: مَا باَلُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلا تَقْضِى الصَّلاةَ؟ فَقَالَتْ: أحَرُورِيَّةٌ أنْتِ؟ فَقُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّة. وَلكِنْ أسْألُ فَقَالَتْ: كَانَ يُصيبُنَا ذلكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْم وَلا نُؤمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاةِ

“Muadzah binti Abdullah menuturkan bahwa dirinya pernah bertanya kepada Aisyah ra. Muadzah berkata: “Mengapa orang haid harus mengganti puasa pada hari yang lain akan tetapi tidak mengganti shalat pada hari yang lain?” Aisyah berkata,  “Apakah engkau termasuk kelompok Haruriyyah?” Muadzah menjawab, “Aku bukanlah seorang Haruriyah tetapi aku hanya sekedar bertanya”. Aisyah menjawab: “Kami pernah mengalami haid. Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa, namun kami tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat” (HR. Muslim No. 789).

              Hadis tersebut dapat dipahami bahwa selama Ramadhan, bagi wanita yang sedang haid, ia tidak boleh shalat dan tidak boleh berpuasa. Sebagai gantinya, ia diwajibkan mengqadha puasa Ramadhan di bulan yang lain. Adapun shalat yang ditinggalkannya karena haid, tidak perlu diqadha.

 

Amalan Yang Boleh Dilakukan Wanita Haid     

              Muncul pertanyaan, jika wanita haid tidak boleh berpuasa dan tidak boleh shalat selama Ramadhan, lalu apa yang boleh dilakukan sebagai amal shalihnya? Bukankah bulan Ramadhan adalah bulan yang agung, penuh berkah dan ampunan?  Benar, masih banyak amalan yang bisa dilakukan oleh wanita yang sedang haid atau nifas di bulan Ramadhan, di antaranya adalah sebagai berikut:

1.   Memberi dan Menyediakan Ifthar (hidangan buka puasa)

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا.

Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa memberi ifthar (hidangan untuk berbuka) kepada orang-orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakan puasa tanpa dikurangi sedikitpun” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, dan lain-lain). Al-Albani: Hadis ini shahih.

Hadis tersebut menunjukkan bahwa siapapun yang mau menyediakan makanan atau minuman untuk berbuka puasa, baik kaum laki-laki maupun perempuan, sedang berpuasa atau tidak sedang berpuasa (karena haid, sakit, safar, dan lain sebagainya), maka yang bersangkutan akan mendapatkan bagian pahala puasa seperti yang dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa.

Selain sedekah untuk berbuka puasa, wanita haid bisa juga sedekah-sedekah yang lain, baik yang wajib seperti zakat al-mal dan zakat al-fithr, maupun sedekah sunnah  seperti infak atau sedekah untuk masjid, TPQ, panti asuhan, dan lain-lain yang membutuhkan bantuan.

2.   Berdoa, berdzikir, dan beristighfar

Bagi wanita yang sedang haid atau nifas memang tidak boleh shalat dan tidak boleh berpuasa, namun ia diperkenankan untuk berdoa dan berdzikir. Misalnya  ketika mendengar adzan, ia dibolehkan menjawabnya dan setelah usai adzan ia pun dibolehkan untuk berdoa dan berdzikir. Sebagaimana yang sudah maklum bahwa berdoa setelah mendengar adzan sangat besar pahalanya dan dijamin akan dapat syafaat dari Nabi Saw pada hari kiamat(HR. Bukhari dan lain-lain).

Para Fuqaha sepakat bahwa tiga macam ibadah yaitu: istighfar, dzikir dan doa tidak disyaratkan bagi pelakunya harus suci dari hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil. Artinya, seorang wanita yang sedang haid, meskipun dia berhadas besar, tidak ada larangan baginya untuk beristighfar, dzikir dan berdoa sepanjang waktu selama mampu (al-Syanqithi, Syarh al-Tirmidzi, 62/4).

Terutama pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kaum muslimin ditekankan memperbanyak amal ibadah. Bagi wanita haid dapat meniru dzikir dan doa yang biasa dibaca Aisyah ra saat-saat menunggu lailatul qadar, yakni dengan bacaan “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni” (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaafkan, karena itu maafkanlah aku).  Al-Albani: hadis ini riwayat Ahmad, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah. Hadis ini shahih( al-Albani: Shahih al-Jami’ al-Shaghir, II/814).

 

3.   Thalabul ‘Ilmi (menghadiri pengajian)

 Mencari ilmu atau menghadiri pengajian termasuk amal shalih yang bisa dilakukan wanita haid di bulan Ramadhan, baik dilakukan dengan mendatangi majelis ilmu maupun mempelajari buku-buku yang bermanfaat. Dalam sebuah hadis disebutkan tentang keutamaan menuntut ilmu:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut Ilmu, niscaya Allah Swt. menunjukkan jalan menuju surga baginya”. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

Wanita Haid Baca Mushaf al-Qur’an?

         Bagaimana dengan wanita yang haid, bolehkah membaca al-Qur’an? Tentang hukum membaca al-Qur’an, ulama berbeda pendapat. Sebagian melarang dan sebagian lagi membolehkan. Ulama yang membolehkan beralasan pada hadis tentang Aisyah yang sedang menunaikan ibadah haji. Saat itu Aisyah sedang haid. Kepada Aisyah, Nabi Saw bersabda: “Lakukan apa saja dalam ibadah haji, kecuali thawaf” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa beramal apa saja boleh, misal sa’i dan doanya, wukuf di Arafah dan doanya, dan lain-lain selain thawaf. Di antara ulama yang membolehkan wanita haid baca al-Qur’an adalah Imam al-Bukhari, al-Thabari, Ibn al-Mundzir, Abu Dawud dan lain-lain. Mereka mengacu pada keumuman hadis:

كَانَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Nabi Saw biasa berdzikir pada semua keadaan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dzikir di sini lebih umum, termasuk di dalamnya membaca al-Qur’an(al-Mubarakfuri, Tuhafat al-Ahwadzi Syarh al-Tirmidzi , I/348).

Dari hadis di atas dapat difahami bahwa orang yang berhadas besar boleh berzikir menyebut nama Allah. Membaca al-Qur’an dapat disamakan dengan menyebut nama Allah. Mengenai ayat laa yamassuhu illal-muthahharuun (al-Waqi‘ah ayat 79) menurut riwayat diturunkan di Makkah, sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah. Sedang mushaf al-Qur’an baru ada pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, yang berarti adanya mushaf al-Qur’an setelah lebih kurang 30 tahun setelah ayat tersebut diturunkan. Pada masa Khalifah Utsman baru ada lima mushaf dan itupun belum beredar ke tengah masyarakat. Mushaf al-Qur’an baru dicetak dan mulai beredar ke tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun kemudian. Karena itu, ayat di atas tidak ada kaitannya dengan mushaf al-Qur’an.

Dari pendapat para mufassir dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-muthahharuun, ialah orang yang suci yang benar-benar beriman kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang-orang inilah yang dapat menyentuh isi dan kandungan al-Qur’an. Sedangkan orang yang tidak suci tidak akan dapat menyentuh kandungan dan isi al-Qur’an. Orang-orang suci yang dimaksud mungkin malaikat, dan mungkin manusia, dan mungkin pula kedua-duanya (al-Thabari, Tafsir al-Thabari, XXIII/150-151).

Majelis Tarjih PP. Muhammadiyah dalam Buku Fatwa-Fatwa Tarjih Tanya Jawab Agama Juz II hal. 34-37 berpendapat bahwa al-Qur’an yang terdapat dalam mushaf sekarang ini asli. Dahulu di lauh al-mahfud yang kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad saw kemudian ditulis dan sekarang kita dapati tulisan itu dalam mushaf al-Qur’an. Adapun menyentuh dan membacanya tidak harus berwudu, tetapi diutamakan. Nabi saw bersabda:

أَنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ إِلَّا عَلَى طَهَارَةٍ

“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci” (HR. Ahmad No. 19034 dan Abu Dawud No. 17). al-Albani mensahihkannya (al-Albani, Irwa al-Ghalil, II/245).

              Dari keterangan tersebut dapat difahami bahwa Wanita haid yang ingin membaca al-Qur’an dengan memegang mushaf pada bulan Ramadhan dengan tujuan untuk menjaga hafalannya, maka hukumnya dibolehkan. Wallahu A’lam!

 Tulisan ini telah dimuat di Majalah MATA HATI Lazismu PDM Sidoarjo pada Maret 2023

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar