Kamis, 07 April 2022

PUASA MENJADI PERISAI

 

PUASA MENJADI PERISAI


Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الصِّيَامُ جُنَّةٌ

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Puasa itu perisai” (HR. Muslim No. 2761).

Status Hadis

            Hadis tersebut dinilai sahih oleh Imam Muslim dan dimasukkan ke dalam kitab al-Sahih hadis No. 2761. Selain Muslim, beberapa ulama ahli hadis yang meriwayatkan hadis tersebut adalah al-Bukhari dalam al-Sahih No. 1894, Abu Dawud dalam al-Sunan No. 2365, al-Nasai dalam al-Sunan No. 2228, Ibn Majah dalam al-Sunan No. 1639, Ahmad dalam al-Musnad No. 8128, Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf No. 8891, Abd al-Razzaq dalam al-Mushannaf No. 7895, Malik dalam al-Muwatta No. 1099, al-Hakim dalam al-Mustadrak No. 7162, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath No. 4536, Ibn Hibban dalam al-Sahih No. 3427, Ibn Khuzaimah dalam al-Sahih No. 1891, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra No. 8093, dan al-Bazzar dalam al-Musnad No. 2321. Al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Irwa al-Ghalil, IV/34).

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menerangkan bahwa puasa itu bisa menjadi perisai. Perisai, tameng, dan pelindung bagi seorang muslim yang sedang berpuasa. Hadis tersebut terdiri dari dua kata, yaitu puasa (al-shiyam) dan perisai (junnah). Puasa (shiyam atau shaum) menurut bahasa berarti al-imsak ‘an al-syai’ (mencegah atau mengendalikan dari sesuatu), bisa juga berarti al-tarku lahu (meninggalkannya). Sedangkan menurut syariat, puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar (subuh) sampai dengan terbenamnya matahari (maghrib) disertai niat (Fakhr al-Razi, Tafsir al-Razi, I/760). Sedangkan perisai (al-junnah) menurut Ibn Abd al-Bar bisa berarti al-wiqayah (perlindungan) dan al-sitr (tutup, tameng) (Ibn Abd al-Barr, al-Tamhid, XIX/54, al-Suyuthi, Tanwir al-Hawalik, I/226).

            Ibadah puasa yang dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh akan bisa menjadi perisai atau pelindung bagi pelakunya. Dalam hal ini, puasa yang dilakukan tidak sekedar meninggalkan kebiasaan makan, minum, dan berhubungan suami-isteri dari pagi hingga sore hari, tetapi lebih dari itu dalam berpuasa juga berusaha menjaga diri untuk bersikap santun, tidak emosional, tidak berbohong, tidak bersikap bodoh, dan tidak melakukan maksiat atau dosa. Jabir bin Abdillah ra. berkata:

إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَآثِمِ، وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ (اَوِالْجاَرِ) وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ يَوْمَ صِيَامِكَ، وَلَا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَيَوْمَ صِيَامِكَ سَوَاءً

“Apabila engkau berpuasa, maka berpuasalah (dengan cara menjaga atau mengendalikan) pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari perbuatan dusta dan dosa, hindarilah perbuatan yang dapat menyakiti pelayan atau tetangga, bersikaplah santun dan tenang pada saat berpuasa, dan jangan samakan harimu antara saat tidak berpuasa dengan saat sedang berpuasa (Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, II/422, Ibn al-Mubarak, al-Zuhd, I/461, al-Bayhaqi, Syu’ab al-Iman, V/247, Ibn Hazm, al-Muhalla, VI/179, Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, I/155, al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, I/484, dan Ibn Jibrin, Fatawa Ramadhan, I/24).

            Imam al-Ghazali mengingatkan: “Jangan kaukira bahwa berpuasa itu cukup dengan meninggalkan makan, minun, dan berhubungan suami-siteri saja, karena Nabi saw. pernah bersabda: “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan pahala puasanya (sia-sia belaka) selain hanya dapat lapar dan dahaga” (HR. Ahmad, al-Musnad No.9685 dan al-Bayhaqi, Syu’ab al-Iman No. 3642; al-Albani: sahih). Puasa yang sempurna adalah mencegah atau mengendalikan seluruh anggota badan dari hal-hal yang dibenci oleh Allah swt. Karena itu dalam berpuasa engkau harus menjaga mata dari pandangan terhadap hal-hal yang tidak disukai Allah, menjaga lidah dari bicara yang tidak berguna, menjaga telinga dari hal-hal yang dilarang Allah, dalam hal ini, pendengar sama dengan pembicara saat melakukan ghibah. Jadi, dalam berpuasa, engkau harus menjaga atau mengendalikan seluruh anggota badan sebagaimana engkau mengendalikan perut dan kemaluan (al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah, I/166-167).

            Berpuasa dengan cara yang demikian berarti berusaha menahan diri, berusaha mengendalikan diri, dan berusaha menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik dan hal-hal yang membahayakan diri. Puasa seperti inilah yang akan berguna bagi dirinya dalam membentuk karakter dan pribadi yang kuat. Kuat menghindari maksiat, kuat melaksanakan ibadat, dan kuat dalam mengendalikan diri saat dilanda amarah. Seseorang yang berpuasa dengan baik, maka puasanya bisa menjadi perisai (pelindung) dari lima hal, yaitu dari dosa dan maksiat, dari api neraka, dari kekikiran, dari musibah, dan dari amarah.

Pertama, puasa bisa menjadi perisai dari perbuatan dosa dan maksiat. Puasa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan menjadi perisai dari berbagai perbuatan dusta dan dosa. Allah hanya akan menerima ibadah puasa seseorang kalau puasanya tidak sekedar menahan makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari segala kemaksiatan dan dosa. Nabi mengingatkan: “Barang siapa (saat berpuasa) tidak meninggalkan perkataan dusta, tidak meninggalkan perbuatan dusta, dan tidak meninggalkan tindakan bodoh, maka Allah tidak butuh atas (puasanya, meskipun ia), meninggalkan makan dan minum” (HR. al-Bukhari No. 6057). Ini berarti puasa seseorang hanya akan diterima oleh Allah apabila disertai dengan berusaha meninggalkan berbagai perbuatan dosa dan maksiat. Ibn Rajab mengatakan bahwa puasa bisa menghalangi seseorang dari maksiat ketika didunia, sebagaimana firman Allah swt. (QS. Al-Baqarah, 183): Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (Ibn Rajab, Jami’ al- ‘Ulum Wa al-Hikam, I/271).

Kedua, puasa bisa menjadi perisai dari ancaman neraka. Dari Utsman bin Abi al- ‘Ash ra., Rasulullah saw. bersabda: “Puasa adalah perisai dari neraka (الصِّيَامُ جُنّةٌ مِنَ النَّار), seperti perisai salah seorang di antara kamu dari peperangan” (HR. Ahmad: 16278, al-Nasai: 4/167, dan Ibnu Majah: 1639, al-Albani: sahih). Ibnu Rajab memberikian komentar yang sangat indah: “Bila puasa adalah perisai dirinya dari berbagai maksiat (ketika didunia), maka di akhirat kelak, puasa tersebut lebih pantas menjadi perisainya dari azab neraka (كان له في الآخرة جنة من النار), namun apabila puasanya tidak bisa menjadi perisai baginya dari maksiat ketika didunia, maka lebih-lebih diakhirat kelak tidak akan menjadi perisai dirinya dari api neraka” (Ibn Rajab, Jami’ al- ‘Ulum Wa al-Hikam, I/271).

Ketiga, puasa menjadi perisai dari sifat kikir. Ketika seseorang sedang berpuasa, terutama saat memasuki siang hari, biasanya perut mulai terasa lapar.  Di saat kelaparan (puasa) inilah akan tumbuh kesadaran bagi orang yang berpuasa untuk berempati kepada orang lain terutama terhadap kaum fakir-miskin yang terbiasa kekurangan makan dan sering kelaparan. Kesadaran untuk berempati ini kemudian menumbuhkan keinginan untuk membantu mereka, bersedekah dan menyantuni mereka. Ada ulama salaf ditanya, kenapa orang disuruh berpuasa? Beliau menjawab:

لِيَذُوْقَ الغنيُّ طَعْمَ الْجُوْعِ فَلاَ يَنْسَى الْجَائِعَ

 “Agar supaya orang kaya bisa merasakan lapar, sehingga ia tidak akan melalaikan orang yang kelaparan” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, I/168). Di sinilah ibadah puasa bisa menggugah kesadaran untuk berbagi kepada orang lain, sehingga tidak lagi kikir.

Keempat, puasa menjadi perisai dari musibah. Ibn al-Najjar meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda: فَإِنَّ الصِّيَامَ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ وَمِنْ بَوَائِقِ الدَّهْر, Artinya: “Sesungguhnya puasa adalah perisai dari api neraka, dan perisai dari musibah dan bencana zaman” (al-Suyuthi, Jami al-Ahadis No. 42810, al-Muttaqi, Kanz al-Ummal No. 23603, dan al-Munawi, Faid al-Qadir No. 5059). Hadis ini dha’if. Meskipun hadis ini dhaif, namun makna dan kandungannya benar, sebab semua jenis ibadah bisa membentengi seseorang dari berbagai bencana dan musibah. Allah swt. berfirman (QS. Al-Syura, 30): “Dan musibah apa pun yang menimpa kalian adalah karena perbuatan-perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahanmu). Ayat ini mengisyaratkan bahwa penyebab turunnya bencana adalah dosa dan maksiat, dan kebalikannya ibadah dan amal salih bisa menolak bala dan berbagai bencana atau musibah.

Kelima, puasa menjadi perisai dari tindakan bodoh dan nafsu amarah. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Puasa itu perisai, maka (saat berpuasa) janganlah berkata kotor (cabul) dan jangan membuat kegaduhan. Dalam Riwayat lain dikatakan: “janganlah melakukan tindakan bodoh (bertindak tanpa berpikir lebih dulu). Apabila ada orang yang mengajak berkelai atau menghinanya, maka katakanlah aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa ((HR. Al-Bukhari No. 1894 dan Muslim No. 1151). Hadis ini mengajarkan agar ibadah puasa yang kita lakukan bisa menjadi sarana untuk belajar bersabar dalam menghadapi berbagai masalah, dan belajar mengendalikan diri dari kemarahan dan angkara murka. Berikut ini ada kisah inspiratif “ular dan gergaji” (الثعبان والمنشار) mengenai pentingnya bersabar dan mempertimbangkan akal sehat sebelum bertindak.

Seekor ular memasuki gudang tempat kerja seorang tukang kayu di malam hari. Kebiasaan si tukang kayu adalah membiarkan sebagian peralatan kerjanya berserakan dan tidak merapikannya. Ketika ular itu masuk ke sana, secara kebetulan ia merayap di atas gergaji. Tajamnya mata gergaji menyebabkan perut ular terluka. Ular beranggapan gergaji itu menyerangnya. Ia pun membalas dengan mematuk gergaji itu berkali-kali. Serangan yang bertubi-tubi menyebabkan luka parah di bagian mulutnya. Marah dan putus asa, ular berusaha mengerahkan kemampuan terakhirnya untuk mengalahkan musuhnya. Ia pun lalu membelit kuat gergaji itu. Belitan itu menyebabkan tubuhnya terluka amat parah, akhirnya ia pun binasa (https://www.eshamel.net/vb/t45151.html). Ini adalah “pelajaran” akibat dari kemarahan yang tak terkendali atau tindakan bodoh mengabaikan akal sehat. Karena itu, setiap menghadapi suatu persoalan, jangan buru-buru ambil keputusan. Kendalikan diri, tenangkan hati, dan gunakan akal sehat sebelum mengambil keputusan. Imam Syafii berkata: “Jika mau bicara pikirkan dulu, jika membawa maslahat bicaralah, jika ragu jangan bicara” (al-Nawawi, al-Adzkar, I/419). 


Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM JATIM pada April 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar