Sabtu, 09 Juli 2016

MENGGANDAKAN NIAT DALAM SATU AMALAN

HUKUM DUA NIAT (MENGGANDAKAN NIAT)
 DALAM SATU AMALAN

oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Di kalangan ulama ada perbedaan pendapat mengenai sah dan tidaknya menyatukan dua niat dalam ibadah. Misalnya niat qadla puasa wajib Ramadlan sekaligus niat puasa sunnah Syawal atau niat puasa sunnah Senin-Kamis.
  Secara garis besar, perbedaan mengenai hal teersebut dapat dikelompokkan menjadi dua pendapat saja. Pendapat pertama memandang sah menyatukan dua niat dalam suatu ibadah, seperti niat qadla puasa Ramadlan sekaligus niat puasa sunnah Syawal. Sedangkan pendapat kedua memandang tidak sah, dan kedua amalan tersebut dinyatakan sia-sia (batal).
Pendapat yang menyatakan sah terhadap amalan tersebut dianut oleh para ulama mutaakhkhirin, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Zainuddin al-Malibari    (W.972 H) murid Ibn Hajar al-Haitami al-Syafi’i (W..974 H).   dalam kitabnya Fath al-Mu’in Bi Syarh Qurrati al-‘Ain [1] :
أَفْتَى جَمْعٌ مُتَأَخِّرُوْنَ بِحُصُوْلِ ثَوَابِ عَرَفَةَ وَمَا بَعْدَهُ بِوُقُوْعِ صَوْمِ فَرْضٍ فِيْهَا

Artinya:
“Golongan ulama mutaakhkhirun telah memberikan fatwa bahwa  (seseorang) tetap akan dapat pahala puasa Arafah atau puasa-puasa sunnah yang lain dikarenakan pada hari tersebut dilaksanakan puasa fardlu”.
             
 Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama-ulama sebelumnya seperti Imam al-Nawawi, Imam al-Asnawi dan lain-lain. Dalam kitab al-Majmu’ [2], al-Nawawi menegaskan:
إِنْ نَوَاهُمَا لَمْ يَحْصُلْ لَهُ شَيْءٌ مِنْهُمَا
Artinya:
 “Jika seseorang berniat keduanya (niat wajib dan sunnah sekaligus) maka orang itu tidak akan mendapat apa pun dari keduanya” [3].

            Pendapat tersebut didukung oleh TM Hasbi al-Shiddiqi dalam bukunya Pedoman Puasa.  al-Shiddiqi mengatakan bahwa mencampurkan niat puasa yang wajib dengan puasa yang sunnah atau tathawwu’ itu tidak sah, baik yang fardlu atau pun yang sunnah sama-sama tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:

وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Artinya:
                        “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah, serta mengikhlaskan taat kepadaNya” (QS al-Bayyinah, 5).

            Ikhlas yang dimaksudkan dalam firman Allah ini, kata al-Shiddiqi, adalah mengikhlaskan amal yang disuruh dengan cara yang disuruh pula. Demikian pendapat Imam Malik, al-Syafi’i dan Abu Sulaiman[4].   
Munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai sah atau tidaknya menyatukan dua niat dalam ibadah (niat puasa wajib dan sunnah sekaligus) tersebut dikarenakan tidak adanya dalil yang jelas dari al-Qur’an maupun al-Sunnah serta tidak adanya contoh dan keterangan dari para sahabat. Ulama yang memandang sah terhadap amalan tersebut hanya berdasarkan pertimbangan bahwa pengamalan kedua ibadah (puasa yang wajib dan puasa yang sunnah) tersebut dilakukan dengan cara sama dan di dalam waktu yang sama yakni pada hari-hari mulia yang memang disunnahkan berpuasa. Dengan niat ganda dalam satu amalan dan dalam satu waktu tersebut diharapkan akan mendapatkan pahala yang ganda juga.
Adapun ulama yang memandang tidak sah terhadap cara beramal dengan menyatukan dua niat dalam ibadah, mereka beralasan bahwa amalan tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan juga para sahabat Nabi Saw. Menyatukan dua niat dalam satu amalan, oleh ulama ini dinilai sama dengan mencampur-adukkan dua niat menjadi satu. Hal ini dipandang tidak bersih, tidak ikhlas. Karena itu cara beramal seperti ini, seperti menyatukan niat puasa qadla Ramadlan yang wajib dengan niat puasa sunnah Syawal atau Senin-Kamis dinilai tidak sah dan sia-sia.
Mana di antara kedua pendapat tersebut yang benar? Tentu saja hanya Allah yang mengetahuinya. Bagi kita yang ingin beramal satu kali tetapi dapat dua sekaligus, barangkali tertarik dengan pendapat para ulama mutaakhkhirin yang membolehkan menyatukan dua niat dengan harapan dapat dua pahala sekaligus. Pendapat yang memandang sah ini didukung oleh Imam Ibn Hajar al-Haitami, Muhammad al-Ramli dan lain-lain.
Sedangkan bagi kita yang ragu dengan amalan tersebut (menyatukan dua niat dalam ibadah) karena khawatrir tidak diterima oleh Allah, mungkin akan lebih tertarik pada pendapat Imam al-Nawawi yang menilainya tidak sah, dan sia-sia keduanya.
Untuk mengambil sikap yang hati-hati mengenai hal tersebut, ada baiknya membaca Keputusan Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 21 Oktober 1926 M tentang pendapat tokoh (Imam) yang boleh difatwakan. Yang boleh/ dapat dipergunakan berfatwa ialah:
a.       Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i;
b.      Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja;
c.       Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja;
d.      Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak;
e.       Pendapat ulama yang terpandai;
f.       Pendapat ulama yang paling wira’i.[5]

Sesuai dengan peringkat pilihan fatwa tersebut maka jika dikaitkan dengan permasalahan yang sedang kita bahas ini, yakni tentang menyatukan dua niat dalam ibadah puasa (seperti niat qadla puasa Ramadlan sekaligus niat puasa sunnah Senin-Kamis, Arafat, Asyura dan lain-lain), maka pilihan kita akan jatuh pada pendapat Imam al-Nawawi. Dalam hal ini al-Nawawi berpendapat bahwa menyatukan dua niat dalam ibadah seperti tersebut di atas tidaklah  sah kedua-duanya dan tidak dapat apa-apa dari keduanya.
Itulah pendapat Imam al-Nawawi. Bagi yang setuju, silakan diambil dan diikuti, sedangkan bagi yang tidak setuju itu menjadi haknya. Kita harus tetap saling menghormati. Semoga Allah Swt memberikan hidayat kepada kita untuk dapat memilih pendapat yang benar. Amien !
Wallahu a’lam bi al-shawab !




[1] Zainuddin bin Abd al-‘Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in Bi Syarh Qurrati al-‘Ain (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt), 59.
[2] Al-Nawawi mengutip pendapat Imam Syafi’i dan sahabat-sahabatnya yang mengatakan bahwa bulan Ramadlan itu untuk puasa Ramadlan, tidak boleh untuk niat puasa yang lain. Jika pada bulan Ramadlan itu seseorang niat puasa kafarah, puasa nadzar, puasa qadla atau puasa-puasa sunnah yang lain, baik  ia sebagai musafir atau  sedang sakit, maka niatnya itu tidak sah dan puasanya juga tidak sah. Keduanya tidak sah, baik niat Ramadlannya ataupun niat yang lainnya. Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Vol.VI (Beirut: Dar al-Fikr,tt), 299.
[3] al-Malibari, Fath al-Mu’in, 59.
[4] TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Pedoman Puasa (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 149.
[5] Ahkam al-Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999), terj. Djamaluddin Miri (Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2005), 3. Pendapat muktamar tersebut mengacu kepada Sayid al-Bakri dalam I’anat al-Thalibin, Vol.I, 19.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar