Selasa, 29 April 2014

SHALAT HAJAT


HUKUM SHALAT HAJAT

Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I 
  

Shalat hajat adalah shalat yang dilakukan karena ada hajat (keperluan), baik keperluan untuk kepentingan duniawi, seperti ingin usahanya lancar, ingin segera dapat jodoh dan lain-lain; maupun keperluan yang sifatnya rohani, seperti ingin mendapatkan ketenangan hati, kedamaian dalam keluarga, semakin dekat kepada Allah Swt., dan lain-lain.
            Tentang hukum shalat hajat, ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama memandang bahwa shalat hajat itu tidak disyariatkan karena tidak ditemukan dalil yang shahih; sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa shalat hajat itu disyariatkan karena ada  (menemukan) dalil yang shahih.
            Ulama yang berpendapat bahwa shalat hajat itu tidak disyariatkan beralasan bahwa hadis-hadis tentang shalat hajat itu dha’if. Di antara hadis tentang shalat hajat adalah hadis riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah serta yang lainnya dari Abdullah bin Abi Aufa’ bahwa Nabi saw bersabda: ”Barangsiapa mempunyai suatu keperluan kepada Allah atau kepada seseorang dari anak Adam hendaklah dia berwudhu dan membaguskan wudhunya kemudian melaksanakan shalat dua rakaat kemudian memuji Allah dan bershalawat atas Nabi, selanjutnya berdoa:
لا إِله إِلا الله الحليمُ الكريمُ ، سبحان الله ربِّ العرشِ العظيم : الحمدُ لله رب العالمين، أسألكَ موجباتِ رحمتكَ ، وعزائمَ مغفرتك، والغنيمةَ من كلِّ بِرّ ، والسلامةَ من كل إِثم ، لا تدعْ لي ذنبا إِلا غفرتَهُ ، ولا همّا إِلا فَرَّجْتَه ، ولا حاجة هي لكَ رِضى إِلا قضيتَها يا أرحم الراحمين
“Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Al-Halim Al-Karim, Maha Suci Allah Pemilik Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, aku memohon kepadaMu apa-apa yang mendatangkan rahmatMu, dan ampunanMu, dan aku memohon kepadaMu untuk mendapatkan setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa, janganlah Engkau tinggalkan bagiku dosa kecuali telah Engkau ampuni, dan jangan Engkau tinggalkan bagiku rasa gelisah kecuali Engkau beri jalan keluar, dan jangan Engkau tinggalkan bagiku keperluanku yang engkau ridhai kecuali Engkau tunaikan untukku, wahai Yang Maha Penyayang.”
Hadis tersebut dinilai oleh ulama ini sebagai hadis yang dha’if. Al-Albani menilai hadis tersebut lemah sekali, karena terdapat perawai benama Faid bin Abdurrahman. Orang ini dinilai matruk (hadisnya ditinggalkan, diabaikan, tidak dijadikan hujjah).
Adapun ulama yang mengatakan bahwa shalat hajat itu disyariatkan, mereka berpedoman kepada hadis shahih riwayat Ahmad, IV/138; al-Tirmidzi, V/569; Ibnu Majah, I/ 441; dan al-Hakim, I/458; (al-Suyuthi, Jami’ al-Ahadis, VI/189) sebagai berikut:
“Dari Usman bin Hunaif, bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang pernah datang kepada Nabi Saw seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!” Nabi Saw bersabda, “Jika engkau menginginkan demikian, saya akan doakan, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki itu menjawab, “Berdoalah!” Maka, Nabi Saw memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat lalu berdoa dengan doa ini:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيّ
 “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Nabi rahmat. Sesungguhnya, saya menghadap denganmu kepada Rabbku agar terpenuhi hajatku. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya untukku.”
 Dia (Usman bin Hunaif) berkata, “Lelaki itu kemudian mengerjakan (saran Nabi), setelah itu ia mendapatkan kesembuhan”.
Al-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan shahih gharib.” Abu Ishaq berkata, “Hadis ini shahih.” Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih,” dan hal ini disetujui oleh Al-Dzahabi. Syekh Al-Albani juga menilai bahwa hadis ini shahih (Shahih Wa Dla’if Jami’ al-Shaghir, VI/106 dan al-Tawassul, I/69-70).
            Hadis tersebut menjelaskan disyariatkannya shalat hajat. Imam Ibnu Majah memuat atau mencatat hadis tersebut pada “Bab ma ja-a fi shalat al-hajah”( bab penjelasan tentang shalat hajat) dalam Sunan Ibn Majah, I/440.  Demikian juga, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, I/184 memuat hadis tersebut pada “bab adzkar shalat al-hajah” (bab tentang dzikir-dzikir shalat hajat).  
Berdasarkan hadis tersebut, shalat hajat itu disyariatkan. Adapun caranya terlebih dulu melakukan wudhu secara sempurna, kemudian melakukan shalat hajat sebanyak dua rakaat, lalu bedoa sesuai dengan doa yang diajarkan Nabi tersebut. Sedangkan waktunya tidak ditentukan, yakni boleh kapan saja selama tidak pada waktu yang terlarang (misalnya setelah shalat ashar dan setelah shalat shubuh). Wallahu a’lam !

8 komentar:

  1. Ust mohon perkenan menjelaskan lebih dahulu; 1. Shalat seperti apakah yang dimaksud dengan "Shalat Hajat" ini? 2. Apa perkataan ulama yang mensyari'atkannya? Kemudian, yang musti antum cermati dalam pokok kajian ini adalah; para ulama abad ini, mulai dari Syekh al-'Utsaymin, Albani hingga para alim yang tergabung dalam Lajnah Daimah Saudi, menyimpulkan tidak ada hadits-hadits tentang "Shalat Hajat" yang mencapai status shahih atau hasan. Padahal Albani sendiri menilai shahih "hadits orang buta" di atas. Nah loh?!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trims atas komentarnya. Tulisan di atas agaknya cukup jelas tentang peta pendapat ulama, antara yang setuju dan yang tidak setuju adanya shalat hajat. Jika Ust mempunyai pandangan lain, saya akan senang sekali kalau bisa dipaparkan pada blog ini. Syukran!

      Hapus
  2. Jadi intinya kita diperbolehkan shalat hajat apa tidak? Mohon dijawab saya bingung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baca lagi pada paragraf terakhir. Cukup jelas. Insya Allah hal tsb termasuk shalat sunnah yg disyariatkan.

      Hapus
    2. Baca lagi pada paragraf terakhir. Cukup jelas. Insya Allah hal tsb termasuk shalat sunnah yg disyariatkan.

      Hapus