Minggu, 31 Agustus 2014

Doa Menjelang Keberangkatan Haji

 DOA-DOA
MENJELANG  KEBERANGKATAN HAJI & UMRAH 

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


1. Doa untuk keluarga/teman dan handai taulan yang ditinggalkan

اسْتَوْدَعْتُكَ اللَّهَ الَّذِى لاَ يُضَيِّعُ وَدَائِعَهُ
(رواه احمد وبن ماجة)

Istawda’tuka Alla>h al-ladhi> la> yud}ayyi’u wa da>- i’ahu

Artinya: Aku titipkan engkau kepada Allah yang tidak akan menyia-nyiakan titipan yang dititipkan kepadaNya. (HR Ibnu Ma>jah  dan Ah}mad).[1]

2. Doa keluarga/ teman dan handai taulan untuk orang yang hendak berangkat haji

زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ
وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ
(رواه الترمذى وبن خزيمة والدارمى والحاكم والطبرانى)

Zawwadaka Alla>hu al-taqwa> wa ghafara dhanbaka wa yassara laka al-khaira
h}aithuma> kunta

Artinya: Semoga Allah memberi bekal takwa dan memberikan ampunan dosamu serta memudahkan keberuntungan kepadamu di mana saja engkau berada. (HR.al-Tirmidzi>, Ibn Khuzaymah, al-Da>rimi>, al-H{a>kim dan al-T{abrani> ).[2]

3. Doa keluar rumah

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ ، لاَ حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
 (رواه الترمذي)

Bismilla>h tawakkaltu ‘alalla>h la> h}awla wala> quwwata
illa> billa>h

            Artinya: Dengan nama Allah, aku pasrah (tawakal) kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan seizin Allah (HR. al-Tirmi>dhi>).[3]

4. Doa naik kendaraan

اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ , سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ  اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ

Alla>hu Akbar, Alla>hu Akbar, Alla>hu Akbar, 
Subh}a>na al-ladhi> sakhkhara lana> ha>dha> wa ma> kunna> lahu> muqrini>n wa inna>  ila> rabbina> lamunqalibu>n. Alla>humma inna> nas-aluka fi> safarina> ha>dha> al-birra wa al-taqw>a wamin al ‘amali ma> tard}a>. Alla>humma hawwin ‘alyina> safarana> ha>dha>  wat}wi ‘anna> bu’dahu. Alla>humma anta al-s}a>hibu fi al-safari wa al-khali>fatu fi al-ahli. Alla>humma inni> a’u>dhu bika min wa’tha>’i al-safar wa ka-a>bati al-mandzar wasu>’i al-munqalabi fi al- ma>l
wa al-ahl.

Artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya dan sungguh kepada Tuhan kami kembali. Ya Allah, kami mohon kepadaMu dalam perjalanan kami kebaikan dan takwa serta amal perbuatan yang Engkau ridai. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini dan dekatkan jauhnya. Ya Allah, Engkau adalah yang menyertai dalam bepergian dan pelindung terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari kesukaran dalam bepergian, penampilan yang buruk, kepulangan yang menyusahkan dalam hubungan dengan harta benda dan keluarga  (HR. Muslim).

5. Shalat safar, sunnahkah ?
Shalat safar adalah shalat dua rakaat yang dilaksanakan ketika hendak melakukan perjalanan atau bepergian, baik perjalanan biasa maupun perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji.
            Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat safar yang dua rakaat itu hukumnya sunnah. Sementara ulama lain berpendapat bahwa shalat safar itu tidak sunnah atau tidak disyariatkan.
            Alasan ulama yang mengatakan bahwa shalat safar itu sunnah, merujuk  kepada sebuah hadis riwayat  al-T{abra>ni> dari al-Mut}’im bin al-Miqda>m:

عَنْ الْمُطْعِمِ بْنِ الْمِقْدَامِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا خَلَّفَ أَحَدٌ عِنْدَ أَهْلِهِ أَفْضَلَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يَرْكَعُهُمَا عِنْدَهُمْ حِينَ يُرِيدُ سَفَرًا (رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ عَسَاكِر)

Al-Mut}’im bin al-Miqda>m berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih utama yang ditinggalkan oleh seseorang terhadap keluarganya selain shalat dua rakaat di tempat mereka ketika ia hendak bepergian” (HR. Al-T{abra>ni> dan Ibn ‘Asa>kir).
‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, dalam kitabnya al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba’ah menulis bahwa berdasarkan hadis tersebut, shalat safar yang dua rakaat itu hukumnya sunnah[4].  
Adapun ulama yang berpendapat bahwa shalat safar itu tidak disyariatkan (tidak disunnahkan), mereka menilai bahwa hadis tentang shalat safar tersebut tidak sahih. Shaykh Muh}ammad Na>s}iruddi>n al-Alba>ni> mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibn Abi> Shaibah dalam al-Mus}annaf (I/105/1), al-Khat}ib dalam al-Muwad}d}ah} (2/220-221), dan Ibn ‘Asa>kir dalam al-Ta>ri>kh (16/297/2). Dalam hadis-hadis tersebut terdapat perawi yang bernama al-Mut}’im bin al-Miqda>m (ta>bi’i>, tidak pernah bertemu dengan Rasulullah SAW). Perawi ini mengatakan bahwa hadis yang ia riwayatkan itu berasal dari Rasulullah SAW (marfu>’).
Bila ada seorang ta>bi’i> mengatakan bahwa ia menerima hadis dari Rasulullah SAW tanpa menyebut s}ah}a>bat, hadis ini namanya hadis mursal. Dalam ilmu hadis, hadis mursal termasuk hadis da’if, tidak boleh dijadikan h}ujjah atau dalil.
Selain dinilai sebagai hadis mursal, hadis tersebut juga dinilai mu’d}al, karena al-Mut}’im bin al-Miqda>m ini ada yang menilai sebagai pengikut ta>bi’i>n (atba’ al-ta>bi’i>n), dengan demikian hadis yang diriwayatkan tersebut terdapat dua perawi yang tidak disebutkan yaitu dari kalangan ta>bi’i>n dan s}aha>bat. Hadis ini dipandang d}a’i>f, bahkan lebih d}a’i>f daripada yang mursal.
Karena hadis tersebut d}a’i>f, maka tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan suatu hukum. Hal ini berarti bahwa  shalat safar,  kata al-Alba>ni>, tidak berdasarkan riwayat dari Rasulullah SAW, dan ini juga berarti bahwa shalat safar itu tidak disyariatkan[5].










[1] Shaykh Shu’ayb al-Arnout menilai hadis ini s}ah}i>h} lighairih (Musnad Ah}mad bin H{anbal, II/403).
[2] Al-Alba>ni> menilai hadis ini sahih (H{asan S{ah}i>h} al-Kalim al-Tayyib, 123/170, tah}qi>q ke-2).
[3] Hadis ini dinilai h}asan oleh al-Alba>ni> (S{ah}i>h} al-Tirmi>dhi>, III/151).
[4] ‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala al-Madha>hib al-Arba’ah Juz.I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1986), hal. 334.
[5] Lebih lanjut baca al-Albani, Silsilat al-Ah}a>di>th al-D{a’i>fah, Juz I:549.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar