Selasa, 03 Desember 2013

HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG

HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG

oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi DH

  

Pengertian:
Umrah berasal dari kata al-i’timar yang berarti al-ziarah. Yang dimaksud dengan Umrah di sini adalah ibadah dengan cara mengunjungi ka’bah dan thawaf di sekitarnya, kemudian melakukan sa’i di antara shafa dan marwa dan diakhiri dengan mencukur rambut.[1]
Hukum Umrah:
Ulama pada umumnya sepakat bahwa umrah termasuk ibadah yang disyariatkan. Sebagian ulama ada yang memandangnya fardlu ‘ain bagi setiap muslim seumur hidup sekali sebagaimana haji, sementara yang lain berpendapat bahwa umrah itu hukumnya sunnah muakkadah [2].
 Di antara ulama yang memandang umrah itu fardlu ‘ain adalah Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Dalil-dalil yang dijadikan dasar adalah sebagai berikut:
1.      Firman Allah Surat al-Baqarah ayat 196:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ   (البقرة: 196)
Artinya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”.
(QS. al-Baqarah, 196).
           
2.      HR. Ahmad dan Ibn Majah dari A’isyah ra:

قَا لَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ  هَلْ عَلَى النِّسَاءِ مِنْ جِهَادٍ ؟ قَالَ نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ: اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ (رواه أحمد وابن ماجة ورواته ثقة)
 Artinya:
‘Aisyah ra berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kaum wanita juga diwajibkan untuk jihad?” Rasulullah menjawab: Ya, mereka juga berkewajiban berjihad hanya saja tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu melaksanakan haji dan umrah”. (HR. Ahmad dan Ibn Majah dengan para perawi yang tsiqqah).

3.      HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa-i dan Ibn Majah (HR.Lima) dari Abu Razin al-‘Uqaili ra. Suatu ketika al-‘Uqaili mendatangi Nabi Saw kemudian ia berkata:

أَنَّ أَبِىْ شَيْخٌ كَبِيْرٌ لاَ يَسْتَطِيْعُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ وَلاَ الظَّعْنَ قَالَ: حَجِّ عَنْ أَبِيْكَ وَاعْتَمِرْ (رواه الخمسة)
Artinya:
        “Bahwasanya ayahku telah tua renta, tak sanggup lagi menunaikan ibadah haji dan umrah, juga tak bisa bepergian (bagaimana dengan kewajibannya?). Nabi Saw. menjawab: “Lakukan haji dan umrah untuk ayahmu!”(HR. Lima ahli hadits).[3]

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali mengatakan bahwa hukum ibadah haji dan umrah itu adalah fardlu ‘ain bagi setiap orang Islam seumur hidup sekali.
Sementara itu Imam Hanafi dan Imam Maliki berpendapat bahwa umrah itu hukumnya sunnah muakkadah sekali seumur hidup. Adapun dalil-dalil yang dijadikan pegangan adalah sebagai berikut:
Nabi Saw. bersabda:
اَلْحَجُّ مَكْتُوْبٌ وَالْعُمْرَةُ تَطَوُّعٌ  (رواه ابن ماجة)
Artinya:
“Ibadah haji itu hukumnya wajib, sedangkan umrah itu hukumnya sunnah” (HR. Ibn Majah).

Adapun firman Allah Swt:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ   (البقرة: 196)
Artinya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”.
(QS. al-Baqarah, 196).

Maksud ayat tersebut adalah untuk menyempurnakan suatu ibadah sesudah mulai dikerjakan. Karena ibadah itu kalau sudah mulai dilakukan harus disempurnakan walaupun ibadah itu hukumnya sunnah. Jadi ayat tersebut tidak menunjukkan wajibnya.

Demikian juga hadits Nabi Saw:
عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ: اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ (رواه أحمد وابن ماجة ورواته ثقة)
Artinya:
 “Mereka juga berkewajiban berjihad hanya saja tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu melaksanakan haji dan umrah”. (HR. Ahmad dan Ibn Majah dengan para perawi yang tsiqqah).

Hadits tersebut juga tidak menunjukkan wajibnya umrah, karena kata عَلَيْهِنَّ  pada hadits tersebut mengandung makna wajib dan juga sunnah. Maka yang wajib adalah hajinya, sedangkan yang sunnah adalah umrahnya sesuai dengan hadits tadi yakni وَالْعُمْرَةُ تَطَوُّعٌ , dan umrah itu hukumnya sunnah. Adapun tentang kewajiban haji telah jelas dalilnya dari al-Qur’an, yaitu :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً (ال عمران 97)

Artinya:
Bagi manusia yang sudah mampu, wajib baginya menunaikan ibadah haji ke baitullah” (QS. Ali ‘Imran, 97). [4]

Hukum Umrah berulang-ulang:

Selain mempersoalkan status hukum ibadah umrah bagi setiap muslim, ulama juga memperdebatkan masalah boleh dan tidaknya melakukan umrah secara berulang-ulang dalam satu tahun, terutama pada musim haji atau di bulan Ramadlan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa melakukan umrah berulang-ulang sepanjang memungkinkan, baik di musim haji atau di bulan Ramadlan. Alasan yang dijadikan dasar oleh ulama yang membolehkan umrah berulang-ulang ini adalah karena bagi orang-orang yang jarak tempat tinggalnya amat jauh dari tanah suci (Makkah al-Mukarramah) dan biayanya terbatas, mereka mungkin hanya bisa sekali dapat melakukan haji dan umrah seumur hidupnya. Sedangkan waktu senggang menunggu pelaksanaan ibadah haji masih lama, sehingga sayang kalau tidak dimanfaatkan untuk melakukan umrah-umrah sunnah.
Abd al-Rahman al-Jaziri[5], dalam bukunya al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengemukakan:
وَيُنْدَبُ اْلإِ كْثَارُ مِنَ الْعُمْرَةِ وَتَتَأَكَّدُ فِىْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِاتِّفَاقِ ثَلاَ ثَةٍ وَخَالَفَ الْمَالِكِيَّةُ
Artinya:
 “Dianjurkan memperbanyak atau mengulang-ulang ibadah umrah, terutama di bulan Ramadlan sesuai dengan kesepakatan tiga imam madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), kecuali Imam Maliki yang tidak sependapat”. Sesuai hadits riwayat  Ibn Abbas ra bahwasanya umrah di bulan Ramadlan itu pahalanya sama dengan ibadah haji”[6].

Nafi berkata:
إِعْتَمَرَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَعْوَامًا فِى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عُمْرَتَيْنِ فِىْ كُلِّ عَامٍ
Artinya:
“Abdullah bin Umar telah bertahun-tahun melakukan umrah pada masa Ibn al-Zubair dua kali setiap tahunnya”.[7]
            Jabir ra meriwayatkan bahwa suatu ketika ‘Aisyah ra meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk melakukan umrah setelah hajinya, karena pada saat umrah sebelumnya ia batal karena kedatangan haid sebelum melakukan thawaf. Walaupun ia ditanggung dapat dua pahala juga karena telah melakukan haji dan umrah sekaligus   sesuai saran Nabi Saw, tetapi ia belum puas sebelum melakukan ibadah umrah tersendiri. Karena itu setelah ia suci dan selesai thawaf haji, ia berkata kepada Rasulullah Saw:
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنْطَلِقُوْنَ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ وَأَنْطَلِقُ بِالْحَجِّ؟ فَأَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِىْ بَكْرٍ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا إِلَى التَّنْعِيْمِ فَاعْتَمَرَتْ بَعْدَ الْحَجِّ فِىْ ذِى الْحِجَّةِ (رواه البخارى)
Artinya:
 “Wahai Rasulullah Saw, apakah mereka pergi menunaikan ibadah haji dan umrah sedangkan aku hanya dapat ibadah haji saja? Rasulullah Saw kemudian memerintahkan Abd al-Rahman bin Abu Bakar untuk keluar menemani Aisyah pergi ke Tan’im, kemudian Aisyah pun melakukan ibadah umrah setelah haji di musim haji itu”( HR. Al-Bukhari)[8]

            Berdasarkan hadits riwayat Aisyah tersebut sebagian ulama memahaminya bahwa sesungguhnya ibadah umrah itu boleh dilakukan dua kali dalam satu tahun bahkan dua kali dalam satu bulan.[9]  Hal ini memperkuat pendapat bolehnya melakukan umrah berulang-ulang pada musim haji atau pada bulan suci Ramadlan.
            Adapun ulama yang tidak membolehkan umrah berulang-ulang dalam satu tahun adalah Imam Maliki. Dalam bukunya Fiqh al-Sunnah[10], Sabiq menulis:
كَرِهَ مَالِكٌ تِكْرَارَهَا فِىْ الْعَامِ أَكْثَرَ مِنْ مَرَّةٍ
Artinya:
“Imam Malik memandang makruh mengulang-ulang umrah dalam satu tahun lebih dari satu kali”.[11]
           
Ibn Taimiyah termasuk ulama yang memandang makruh. Ia mengatakan bahwa ulama salaf telah sepakat tentang makruhnya mengulang-ulang umrah dan memperbanyaknya. Pendapat ini dipertegas oleh Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (ulama kontemporer dari Saudi Arabia) bahwa keluarnya seseorang dari Makkah ke Tan’im atau miqat lain untuk melakukan umrah kedua, ketiga pada bulan Ramadlan atau yang lainnya, adalah termasuk perbuatan bid’ah yang tidak dikenal pada masa Nabi Saw. Sebab pada masa Nabi Saw hanya dikenal satu masalah yaitu masalah “khusus” Aisyah ra ketika ihram haji tamattu’ lalu haid. Ketika Nabi Saw menemuinya, didapatkannya ia sedang menangis dan Nabi Saw menanyakan sebabnya ia menangis, lalu Aisyah memberitahukannya kepada Nabi Saw bahwa ia sedang haid. Maka Nabi Saw menenteramkan hatinya bahwa haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepada anak-anak perempuan Bani Adam. Kemudian Nabi Saw memerintahkannya untuk ihram haji. Maka Aisyah ihram haji dan menjadi haji qiran[12]. Tetapi ketika Aisyah selesai melaksanakan haji, dia mendesak Nabi Saw agar mengizinkannya umrah sendiri, maka Rasulullah Saw pun mengizinkannya dan memerintahkan saudaranya (Abd al-Rahman bin Abu Bakar) untuk menyertainya ke Tan’im. Maka Abd al-Rahman bin Abu Bakar keluar bersama Aisyah ke Tan’im dan dari sana Aisyah melakukan Umrah[13].
Al-Utasimin menambahkan bahwa seandainya peristiwa yang terjadi pada Aisyah itu termasuk sesuatu yang disyariatkan pada semua orang, niscaya Nabi Saw akan mengerahkan para sahabat bahkan menganjurkan Abd al-Rahman bin Abu Bakar yang keluar bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah, karena akan mendapatkan pahala. Dan telah maklum bahwa Rasulullah Saw pernah bermukim di Makkah pada tahun pembebasan kota Makkah selama sembilan belas (19) hari tetapi beliau tidak melaksanakan umrah, padahal bila mau beliau dengan mudah dapat melakukannya. Ini menunjukkan bahwa umrah berulang-ulang itu tidak disyariatkan, karena di samping hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin pun tidak pernah melakukannya[14].
Begitulah antara pro dan kontra mengenai hukum umrah berulang-ulang dalam bulan Ramadlan atau di musim haji. Ulama yang mengatakan boleh atau sunnah dan ulama yang mengatakan tidak boleh, makruh atau bahkan bid’ah, masing-masing memiliki dasar hukum yang jelas. Sebagai pembaca kita patut merenungkannya sambil memperhatikan dalil-dalil yang dijadikan rujukan. Jika kita telah mengambil pilihan salah satu di antara dua pendapat tersebut, kita harus konsekuen untuk mengamalkannya dengan sebaik-baiknya. Adapun terhadap pendapat yang tidak kita pilih atau tidak kita setujui, kita tetap harus menghormatinya. Betapa pun mereka itu adalah para ulama yang mumpuni di bidangnya. Bukankah hanya Allah yang Maha Tahu mana di antara pendapat-pendapat itu yang benar? Semoga Allah Swt. senantiasa menurunkan hidayahNya kepada kita. Amien ! 

Tulisan ini dinukil dari buku
 "Fiqh Moderat: Menyikapi Khilafiah masalah Fiqh",
 karya Achmad Zuhdi Dh 




[1] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 633.
[2] Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Beirur: Dar al-Fikr, 1986), 684.
[3] Baca hadits yang senada pada Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Bi Hasyiah al-Sindi, Vol.I (tt: Dar al-Fikr, tt), 318-319.
[4] Al- Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib, Vol.I, 684.
[5] Ibid., 687.
[6] HR. Ahmad dan Ibn Majah. Baca Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 633.
[7] Ibid.
 [8] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Bi Hasyiah al-Sindi, Vol.I, 306.
[9] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad Fi Huda Khair al-‘Ibad, Vol.I (tt: Dar al-Fikr,tt), 201.
[10] Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 633.
[11]Baca juga al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib, Vol.I, 687.
[12] Haji Qiran adalah berihram (niat) untuk melakukan umrah dan haji sekaligus dari miqat, atau berihram untuk umrah kemudian memasukkan niat (ihram) untuk haji sebelum memulai thawaf. Baca Nashir bin Musfir al-Zahrani, Ibhaj al-Hajj (Riyad: Maktabah al-‘Abikan, 1423 H), 36.
[13] Peristiwa ini banyak dimuat dalam hadits-hadits shahih. Baca Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Bi Hasyiah al-Sindi, Vol.I, 318-319. Baca juga Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 634-635.
[14] Abd al-Aziz bin Baz et.al., al-Bida’ Wa al-Muhdatsat Wa Ma la Ashla lahu (Riyad: Dar Ibn Khuzaimah, 1999), 391-392. Baca juga Muhammad bin Shalih al-‘Utasimin, Fiqh al-‘Ibadat (Riyad: Dar al-Wathan, 1416 H), 294-295.

3 komentar: