Kamis, 12 Desember 2013

Budaya Sinkretis dalam Upacara Kemanten Jawa


UPACARA SELAMATAN DAN RITUAL KEMANTEN JAWA,
AGAMA ATAU BUDAYA?

Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Asal-usul kepercayaan orang Jawa

Dalam buku Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budioano Herusatoto mengatakan, bahwa suku bangsa Jawa zaman purba mempunyai pandangan hidup Animisme, suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri.[2] Selain animisme, pada mereka juga mempunyai pandangan Dinamisme, yaitu kepercayaan akan adanya tenaga magis pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda, juga dalam sebuah kata yang diucapkan atau ditulis pada tanda yang dipasang, dan sebagainya.
Menurut I. Djumhur, antara Dinamisme dan Animisme tak dapat dipisah-pisahkan, tidak ada bangsa primitif yang hanya mempunyai kepercayaan Dinamisme saja dan mengenyampingkan Animisme. Kedua gejala berpikir itu dapat kita jumpai pada suatu bangsa yang sama.[3] Di Jawa misalnya, ada kepercayaan bahwa apabila orang itu punya ilmu tinggi, maka ia akan mengalami kesulitan apabila akan mati, karena dia menyimpan tenaga magis. Gejala ini adalah merupakan kepercayaan Dinamisme. Selanjutnya ada juga kepercayaan, bahwa bila orang itu mati harus ditutupi semua lubang yang ada pada tubuh mayat, agar nyawa yang ada pada tubuh itu terlindungi dari pengaruh-pengaruh buruk. Gejala ini adalah berkaitan dengan Animisme.
Animisme dan Dinamisme inilah yang merupakan asal-usul kepercayaan yang dimiliki orang Jawa. Adanya kepercayaan terhadap kedua isme ini, maka orang-orang Jawa pada zaman purba itu tunduk kepada gejala-gejala alamiah dan benda-benda alam. Ketundukan ini lahir dalam bentuk menyembah dan mempertuhankannya. Untuk mengungkapkan perasaannya dan ketundukannya kepada sesembahannya itu dibuatlah gambar-gambar dan tata cara tertentu.[4] Suatu misal untuk mencegah kekuatan yang bisa menimbulkan penyakit atau banjir atau gempa bumi atau hama tanaman, maka dipersembahkanlah sajian-sajian (sesajen) untuk benda-benda yang dianggapnya punya roh dan kekuatan itu.[5]
Kemudian kira-kira pada tahun 400 M, datanglah orang-orang India ke Pulau Jawa untuk berdagang yang membawa pula agama Hindu dan Budha dan kemudian berkembanglah kedua agama itu di Pulau Jawa.
Di antara pengaruh yang jelas dari kebudayaan Hindu dan Budha terhadap orang Jawa dapat dilihat pada tindakan religius  orang Jawa. Penghormatan dan pemujaan yang pada mulanya dilakukan oleh orang Jawa terhadap kekuatan benda dan roh-roh, kini pemujaan itu dialihkan pada dewa-dewa yang menguasai benda-benda dan roh-roh itu. Kalau pada Animisme dan Dinamisme percaya pada kekuatan bulan, maka oleh Hindu kemudian kepercayaan itu ditambahi dengan adanya dewa yang menjaga dan menguasai bulan itu, Dewa Candra; begitu juga pada matahari yang dipercayai secara Animistis dan Dinamistis akhirnya pun dilengkapi dengan adanya kepercayaan adanya dewa yang menjaganya, Dewa Surya, dan lain-lain. Ini adalah hasil assimilasi kepercayaan Animisme-Dinamisme dengan Hindu-Budha. Hasil assimilasi yang lain adalah munculnya kepercayaan terhadap Dewi Sri, tokoh simbolik kaum petani Jawa, yang melindungi tanaman padinya dari gangguan hama tanaman,yang dianggapnya berasal dari roh-roh jahat. Kemudian tokoh Bathara Kala adalah simbol pembawa malapetaka bagi orang yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan melakukan tindakan-tindakan tertentu yang telah ditetapkan oleh Bathara Guru, raja segala dewa untuk menjadi mangsa Bathara Kala. Untuk menghindarkan diri dari mangsanya, orang harus diruwat atau dibebaskan dari incaran dan ancaman Bathara Kala; yaitu dengan mengadakan selamatan. Untuk ini, upacara selamatan dalam upaya membebaskan diri dari padanya, biasanya diadakan pagelaran wayang dengan mengambil lakon (cerita) Murwakala.[6] 
Kemudian pada abad XIII M, Islam sudah masuk ke Indonesia. Ia dibawa oleh orang-orang Persi dan orang-orang Gujarat. Orang-orang Persi membawanya ke Gujarat, kemudian keduanya, bersama-sama atau sendiri-sendiri membawanya ke Indonesia.[7]  
Dari Persia, Islam yang sudah berbau mistik itu (mistik Islam, tasawuf), singgah di Gujarat-India. Di sini ia  berkembang dan bersentuhan dengan agama Hindu yang mistis itu. Dari sebab itu penyiar pertama agama Islam di Indonesia bisa dimungkinkan dari ahli-ahli tasawuf, dan juga orang-orang Syi’ah. Walaupun nanti ternyata bahwa pengaruh Syi’ah tidak sebesar Tasawuf.
Setelah ajaran Islam masuk ke dalam hati orang Jawa yang sebelumnya sudah diwarnai oleh Animisme-Dinamisme dan Hindu-Budha, pada akhirnya muncullah dua golongan kepercayaan dalam masyarakat Jawa.
Golongan Putihan atau kelompok santri, adalah golongan orang yang taat beragama Islam. Namun, pada mereka agaknya tidak bisa menghilangkan begitu saja pengaruh-pengaruh kepercayaan pra Islam. Ciri golongan ini adalah ketaatannya untuk melakukan shalat lima waktu sehari semalam dan berpuasa di bulan Ramadan. Faktor penyebab sulitnya menghilangkan kepercayaan pra Islam bagi orang Jawa, menurut Sufaat M, hal ini dikarenakan para wali yang merupakan arsitek penyiaran Islam di Jawa mengambil garis lunak terhadap unsur-unsur kepercayaan lama. Mereka adalah orang-orang Tasawuf yang cukup toleran, dan menyadari bahwa periode mereka adalah periode transisi.[8]
Golongan Abangan atau Islam Kejawen, adalah orang Jawa yang meskipun ia penganut agama Islam, tidak begitu saleh dan alim, tidak begitu sungguh menjalankan agama, bahkan mereka tidak perlu sembahyang Jum’at, berpuasa, dan lain-lain.[9] Golongan abangan ini terbagi menjadi dua:
            Golongan wong cilik, yaitu golongan yang dasar kepercayaannya adalah Animisme dan Dinamisme. Kalau dulu kepercayaannya hanya dilengkapi dengan unsur Hindu-Budha, maka sekarang mendapat tambahan unsur baru, yaitu Islam. Bahkan Islam di sini selain menjadi unsur tambahan juga menjadi bungkus. Golongan ini mempunyai acara inti berupa selamatan atau sesaji. Mereka yang tinggal bersama-sama dalam suatu lingkungan daerah, merupakan suatu ikatan dari orang-orang yang mempunyai kepercayaan yang sama. Konsepsi mukjizat dan karomah pada golongan Tasawuf nampaknya menarik golongan ini untuk menempelkan lencana Islam pada diri mereka.
            Golongan Priyayi, yaitu golongan keluarga istana dan pejabat pemerintahan. Mereka ini masih tetap kuat pengaruh mistik Hindu-Budhanya. Perubahannya ialah kalau dulu hanya didasari unsur-unsur Animisme-Dinamisme, kini mendapat tambahan unsur baru, yaitu Islam. Tetapi Islam hanyalah diperlukan untuk melengkapi kata-kata yang diperlukan pada ajaran mistik. Sebab esensi mistik priyayi ini memang amat sulit untuk dikrompomikan dengan ajaran tasawuf yang masih murni menurut konsepsi Islam. Dalam mistik  priyayi ini, tiada beda antara yang Mutlak dengan manusia. Sedangkan dalam Islam, Tuhan jelas berbeda dengan manusia. Dalam mistik priyayi, terjadinya persatuan dengan yang mutlak, tergantung dari kesanggupan usaha manusia. Sedangkan kasyf (terbukanya tirai antara manusia dengan Tuhan) pada golongan tasawuf, adalah merupakan anugerah dari Tuhan. Manusia hanya dapat memohon dan mempersiapkan diri.
            Golongan ini (mistik priyayi) mempunyai ciri memperluas kehidupan batin dan rasa. Dalam hal-hal tertentu mereka sering melakukan semedi atau menyepi. Oleh sebab itu dari golongan ini lalu banyak muncul tokoh aliran kebatinan, atau mistik Jawa atau Kejawen.[10]
            Begitulah dengan masuknya Islam ke hati orang Jawa, nampaknya menambah wawasan dalam keyakinan mereka. Tetapi dengan menerima Islam itu tidaklah dengan sendirinya berarti mereka melenyapkan kepercayaan-kepercayaan pra Islam. Mereka menafsirkan dan memahami al-Quran secara elactic, artinya sebagai karet yang bisa diolor-olor. Mereka mengucapkan syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan kepercayaan kepada Bathara Guru, Bathara Wisnu, Dewi Sri dan lain-lain masih tetap kuat. Di sini muncul kecenderungan kepada sinkretisme.[11]
Dengan demikian setelah datangnya Islam, pada orang Jawa terdapat berbagai kepercayaan yang bercampur menjadi satu: Animsme-Dinamisme, Hindu-Budha, dan Islam sekaligus.
              Dari kepecayaan  orang Jawa yang merupakan kombinasi dari kepercayaan Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha, dan Islam, maka tindakan-tindakan keagamaannya pun mencerminkan ketiga unsur kepercayaan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada upacara yang terpenting bagi orang Jawa yang disebut dengan Wilujengan atau selamatan. Secara lebih rinci, model sinkritisme dapat ditelaah pada contoh upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa.

Upacara Selamatan

Dilihat dari asal usul bahasanya, kata “selamatan” dalam bahasa Indonesia ini berasal dari bahasa Jawa slametan, yang kemungkinan besar dari bahasa Arab (Islam) salaamatan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh Islam yang kuat pada orang Jawa, yang meskipun tidak secara keseluruhan ingin mengamalkan ajaran Islam, mereka senang menjadikan istilah-istilah Arab (Islam) itu menjadi miliki mereka.
Dalam Kamus Indonesia-Arab, kata salaamatan ini diartikan dengan “selamat atau kesalamatan”.[12] Selamat dalam bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa Jawa slamet, artinya terhindar dari malapetaka. Karena itu jika orang Jawa melakukan suatu perbuatan yang bertujuan ingin terhindar dari suatu malapetaka, maka perbuatan itu disebut dengan slametan, wilujengan atau kenduri dalam bahasa Jawa, atau dalam bahasa Indonesia “selamatan”.
Menurut  Clifford Geertz, selamatan atau slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia, ia melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya andai-taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja dan karena itu terikat ke dalam satu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan untuk tolong menolong dan bekerja sama.[13]
Upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, yang sudah mendarah daging hingga kini, merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Aktifitas selamatan yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan Animisme-Dinamisme, sebuah fenomena kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu.
Dari sinilah manusia pada awalnya, setelah merasa tak berdaya, lalu meminta perlindungan kepada yang maha kuat, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada benda-benda tertentu. Aktifitas yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itulah kemudian disebut dengan “selamatan”. Seiring dengan masuknya kepercayaan Hindu dan Budha pada orang Jawa, maka kepercayaannya pun bertambah lagi, menjadi percaya kepada adanya dewa-dewi. Hal ini akan nampak jelas pada bacaan doa dalam upacara selamatan yang diselenggarakan. Setelah  kedatangan Islam di tanah Jawa, Islam juga ikut mempengaruhi upacara selamatan. Jika pada masa sebelumnya disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian nama-nama dewa-dewi, maka setelah kedatangan Islam nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya cukup mewarnainya, dalam doa-doa selamatan.
Harsya W. Bachtiar, setelah mengamati praktek selamatan ini, membaginya menjadi dua jenis selamatan. Selamatan yang berdasarkan atas adat, dan selamatan yang berdasarkan atas dorongan agama (kepercayaan). Sebagai upacara adat, selamatan bertujuan untuk mempererat kesetiakawanan kelompok, untuk menyebarkan kabar gembira untuk memperoleh legitimasi bagi usaha-usaha tertentu, dan sebagainya.[14] Melihat tujuan seperti yang dikemukakan Bachtiar, maka upacara selamatan yang berdasarkan adat adalah berorientasi pada aspek sosiologis, yakni demi kelestarian dan keutuhan masyarakat. Dalam pengamatan selanjutnya, Bachtiar mengakui bahwa tidak jarang upacara-upacara selamatan yang asalnya berorientasi religius kemudian berubah orientasi menjadi upacara adat, sehingga dalam penyelenggaraan selamatan, tujuan-tujuan yang bersifat keagamaan sudah kurang diperhatikan lagi. Misalnya selamatan pindah rumah, selamatan ganti nama, dan beberapa selamatan yang lain yang berkaitan dengan selamatan lingkaran hidup. Satu hal yang perlu dicatat adalah, meski tujuan-ujuan keagamaan cenderung hilang, tapi seringkali masih nampak dalam penganan-penganan yang dibuat secara simbolik berkenaan dengan tujuan selamatan yang diadakan. Namun, kebanyakan orang Jawa tidak mengerti dan tidak menyadari maksud dibuatkannya penganan-penganan itu.
Menurut Geertz, ada empat jenis selamatan yang diselenggarakan orang Jawa. Pertama, selamatan yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan, yaitu kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Kedua, selamatan yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam, misalnya: Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, dan lain-lain. Ketiga, selamatan yang ada kaitannya dengan sosial seperti bersih desa. Keempat, selamatan sela (selingan) yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tentu, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang, misalnya keberangkatan untuk suatu perjalanan, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan lain sebagainya.[15]

Upacara Selamatan dan Ritual Kemanten Jawa

            Untuk suatu upacara pernikahan, biasanya jauh sebelumnya di depan rumah mempelai putri dibangun sebuah tarub, yaitu suatu atap sementara yang juga merupakan lambang dari suatu pesta pernikahan. Tarub mulai dibangun tiga sampai lima hari sebelum pesta dilangsungkan. Menurut Pranata ssp, kata tarub berasal dari nama Jaka Tarub, tokoh cerita rakyat di Jawa yang berhasil memperistri seorang bidadari cantik jelita bernama Dewi Nawang Wulan. Menurut cerita tersebut, setiap  hari Rabu dan Sabtu ada 7 bidadari yang turun dan mandi di danau indah. Jaka Tarub iseng mencuri salah satu busana yang tertinggal di tepi danau waktu mereka mandi. Ketika selesai mandi, para bidadari naik ke darat lalu berbusana kembali dan pulang ke Kahyangan, maka ada seorang bidadari yang ketinggalan karena busananya hilang. Itulah Dewi Nawang Wulan. Akhirnya Jaka Tarub kawin dengan Dewi Nawang Wulan. Jaka Tarub lalu membangun atap-atap tambahan bagi gubuknya, sebagai pertanda dia akan kawin. Bangunan tambahan itu dihias-hias dengan berbagai daun serta tetumbuhan lain, termasuk janur kuning. Jadi penggunaan tarub dalam arti bangunan tambahan maupun dalam arti bleketepe, berasal dari cerita Jaka Tarub, dengan maksud agar supaya hajat perkawinan berlangsung selamat.[16]
            Sejak tarub mulai dibangun, calon pengantin wanita dan pengantin pria tidak diperkenankan bertemu lagi. Bahkan calon mempelai wanita dilarang keluar rumah, sebaliknya harus selalu berada di dalam kamar. Kemudian dua hari sebelum  acara pernikahan, diadakanlah suatu upacara selamatan sederhana dengan mengundang para tetangga terdekat.
            Sehari sebelum upacara dilangsungkan, calon mempelai wanita menjalani upacara mandi atau siraman yang dimulai sekitar pukul 9 pagi atau 4 sore. Hal-hal yang harus disediakan dalam upacara siraman adalah air yang diber wangi-wangian dan kelopak-kelopak bunga, kemudian disediakan beberapa beberapa helai kain batik, beberapa helai bahan baju, dan berbagai macam daun tertentu serta sajian yang terdiri dari tumpeng-tumpeng kecil beserta lauk pauknya, kue-kue dan buah-buahan di atas sehelai nampan.
            Mengenai teknik pelaksanaan upacara siraman ini, Koentjaraningrat menjelaskan sebagai berikut:
            Pengantin wanita duduk di atas sebuah bangku dengan tubuh yang ditutup dengan sehelai kain putih. Ia dikelilingi oleh kaum keluarganya yang wanita, kenalan-kenalan wanita, ibunya dan juga teman-temannya sendiri yang ingin menyaksikan jalannya upacara. Upacara itu dipimpin oleh seorang wanita yang sedapat-dapatnya sudah tua, yang sudah banyak anak dan cucunya. Pengantin wanita mula-mula dimandikan dengan cara biasa, lalu diurut-urut dengan minyak yang sudah diberi wangi-wangian. Sambil membaca surat-surat al-Quran, kepalanya disiram dengan air yang berasal dari tujuh sumber. Dengan demikian selesailah upacara siraman.[17]

            Setelah upacara siraman, lalu calon mempelai wanita dirias. Selesai dirias muka dan rambutnya, lalu diadakan upacara penantunipun pengantin putri, yang artinya: “menanyakan kepada pengantin putri” yang dilakukan oleh ayahnya atau walinya, yakni minta persetujuannya untuk dinikahkan.
            Satu malam sebelum upacara pernikahan dilangsukan, diadakan selamatan yang disebut midodareni. Pada saat itu pengantin wanita belum tidur sebelum tengah malam. Semua yang hadir baik anggota keluarga, para tamu, sahabat-sahabat yang menemani dalam acara tirakatan itu tidak diperkenankan ramai. Guna menghilangkan kantuk dihidangkanlah minuman dan makanan kecil. Orang Jawa percaya bahwa pada malam sebelum menikah, kedua pengantin harus berusaha mendekati para bidadari serta para makhluk  halus baik lainnya, dan kesempatan itu ada pada waktu larut malam. Maksud dari adat ini adalah untuk meminta restu mereka. Agaknya acara ini dihubungkan dengan mitos Jaka Tarub. Pranata mengisahkan:
Pada awal pernikahan, Nawang Wulan dan Jaka Tarub membuat janji bahwa mereka  akan menjadi suami istri selamanya. Dewi Nawang Wulan tidak akan kembali ke kahyangan, asalkan Jaka Tarub tidak membuka kekep (tutup penanak nasi) setiap kali istrinya masak. Tapi karena Jaka Tarub selalu keheranan melihat keajaiban, mengapa istrinya tidak nampak mengambil beras, tetapi selalu berhasil menanak nasi dengan lezat sekali rasanya, maka dia tak kuat lagi menahan keinginannya untuk membuka kekep, untuk melihat apa yang sebenarnya ditanak oleh istrinya sehingga menghasilkan nasi yang lezat sekali itu.
Menyangka bahwa istrinya terlena, Jaka Tarub mencuri langkah lalu membuka kekep, dan sang istri menjadi kecewa sekali. Lalu terpaksa terbang kembali ke kahyangan ke tempat asalnya. Namun, dia berpesan pada Jaka Tarub bahwa kelak apabila putrinya bernama Dewi Nawangsih akan kawin, maka pada malam menjelang upacara perkawinan (menjelang akad nikah dan upacara panggih) hendaknya dipedaringan (ruangan dalam rumah utama tempat menyimpan harta kekayaan) ditaruh manggar mayang sekembaran dan cikal sepasang. Manggar adalah bunga pohon kelapa dan mayang adalah bunga pohon pinang (jambe). Sekembaran artinya satu pasang, yakni dua tetapi sama yang sama rupanya, yakni kembar… Dengan isyarat seperti itu, maka pada malam tersebut Dewi Nawang Wulan akan turun dari kahyangan menjenguk putrinya, untuk memberi restu bagi perkawinannya serta ikut mempercantik putrinya terebut.[18]
         
            Paginya, pengantin pria yang sudah memakai busana pengantin, dengan diapit oleh walinya dan para anggota keluarganya serta teman-temannya, berjalan ke masjid atau ke suatu tempat di mana upacara akad nikah dapat dilangsungkan. Dalam upacara akad nikah ini yang harus ada antara lain: Calon dua mempelai, wali, penghulu, dan sedikitnya dua saksi. Dalam upacara ini mempelai pria menyatakan kesediaannya untuk menikah dengan mempelai putri. Setelah itu mempelai pria membubuhkan tanda tangannya di atas surat nikah, lalu diteruskan dengan penyerahan mas kawin. Dengan selesainya upacara akad ini, telah resmilah dua mempelai ini menjadi suami isteri.
          Setelah acara ijab-qabul usai, lalu malam harinya diadakan upacara panggih. Upacara panggih atau temon ini terkadang dilaksanakan langsung pada siang hari setelah acara ijab diadakan. Dalam upacara panggih ini wanita digandeng oleh dua orang anggota keluarga wanita yang tertua, dan berjalan menuju pintu masuk untuk menjumpai pengantin pria yang datang bersama rombongannya. Upacara panggih ini selalu diiringi dengan bunyi gamelan yang melagukan kebogiro. Setelah kedua mempelai beserta rombongannya masing-masing saling berhadapan, lalu kedua mempelai saling berlomba melempar sadak, yaitu daun sirih yang telah digulung dan di dalamnya diisi dengan enjet (apu) dan jambe, lalu diikat dengan benang lawe.
          Upacara lempar sadak ini melambangkan suatu himbauan agar suami-isteri dalam hidupnya nanti selalu berlomba saling mendahului untuk menyelesaikan suatu perkara dengan dasar kasih sayang.[19] Selanjutnya upacara Wijidadi. Dalam upacara ini pengantin pria menginjak telor ayam yang disediakan oleh mempelai putri, sampai pecah. Lalu mempelai putri mencuci kaki mempelai pria. Upacara ini adalah simbol dari doa dan harapan semoga perkawinannya nanti membuahkan keturunan sebagaimana yang diinginkan.
          Setelah itu, menurut Koentjoroningrat, pengantin pria menunutun istrinya ke tempat duduk yang sudah disediakan, disaksikan oleh semua hadirin. Sebelum mereka menduduki kursi pelaminan, harus menjalani upacara sungkem. Kedua orang tua pengantin yang sejak upacara temu berada di sekitar upacara itu, diminta duduk di dekat kursi yang disediakan untuk pengantin. Kedua mempelai melakukan sungkem terhadap orang tua pengantin wanita, dengan mencium lutut mereka sambil berjongkok. Sementara itu orang tua pengantin wanita meletakkan tangan mereka pada kepala mempelai yang sedang melakukan sungkem sambil memberikan doa restu. Selesai upacara sungkem, pengantin pria diminta duduk di atas paha kanan ayah pengantin wanita, dan pengantin wanita di atas paha kiri ayahnya, yang masih tetap duduk di tempatnya. Ibu pengantin putri bertanya pada suaminya, mana di antara keduanya yang lebih berat. Suaminya menjawab bahwa keduanya sama-sama berat. Upacara ini mengingatkan bahwa orang tua harus menganggap menantunya seperti anaknya sendiri. Setelah itu mempelai duduk di kursi pengantin dan minum sekedarnya, sementara para tamu kemudian mencari tempat duduk, di mana mereka kemudian dihidangkan minuman dan kue-kue.
          Di saat para tamu menikmati hidangan makan kecil, mempelai berganti pakaian di kamar pengantin. Setelah itu mereka berpisah, pengantin pria duduk bersama-sama dengan para tamu pria dan bagian rumah yang diberi tarub, sedangkan pengantin wanita bersama para tamu wanita di dalam rumah. Mereka beramah-tamah, dan sebagian tamu kemudian ada yang mohon diri untuk pulang. Setelah itu dua mempelai bersanding kembali untuk melaksanakan upacara suap nasi, yang terdiri dari nasi kuning dengan lauk pauknya, yang dimulai oleh pengantin pria dengan menyuapkan nasi kuning ke mulut isterinya dan sebaliknya. Setelah ini diikuti oleh segenap hadirin bersama-sama menyantap santapan walimah. Dengan demikian upacara panggih yang menjadi inti upacara pernikahan telah berakhir. Berikutnya para tamu pun mohon diri kepada mempelai untuk pulang menuju rumah masing-masing.[20]
            Sebagaimana upacara-upacara yang lain, pada upacara pernikahan ini pun tidak lupa menyediakan sesajen, sejak masa pembuatan tarub, upacara siraman, midodareni, ijab, sampai dengan upacara panggih sekali pun. Sesajen tersebut hampir tidak berbeda dengan yang lain-lain, seperti pada acara khitanan maupun tingkeban. Semua sesajen itu diletakkan di sekitar rumah, antara lain dapur, kamar pengantin, di muka pintu ruang tengah, di sudut-sudut rumah; hal ini dilakukan pada saat memasang tarub, berhubungan dengan midodareni, sajian diletakkan di tempat pemandian. Demikian juga di saat ijab pun diletakkan di dekat meja tempat ijab. Semua ini dilakukan orang Jawa dalam rangka untuk mendapatkan keselamatan dan restu dari yang Kuasa.

Budaya singkretis

Jika memperhatikan model upacara selamatan dan ritual kemanten Jawa tersebut, maka akan terlihat budaya singkretis telah mewarnainya. Di antara agama dan kepercayaan yang telah mewarnainya adalah unsur Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha dan Islam. Unsur-unsur Animisme-Dinamisme tampak pada pembuatan tarub yang merupakan manifestasi dari Jaka Tarub. Kemudian air dari tujuh sumber yang diyakini memmpunyai kekuatan tertentu untuk digunakan mandi dalam acara siraman. Selanjutnya, pengharapan restu dari Dewi Nawangwulan-Dewi Nawangsih, saat acara midodareni, adalah manifestasi adanya keyakinan terhadap Dewa-Dewi dari kepercayaan Hindu-Budha. Sedangkan pembacaan al-Qur’an saat mengiringi acara siraman dan upacara ijab-qabul adalah adanya unsur Islam yang diyakininya. Adapun upacara wijidadi (menginjak telor), acara sungkem, lempar sadak, dan panggih,adalah merupakan filosofi ajaran Jawa yang luhur yang penuh dengan muatan doa atau harapan akan datangnya kebaikan dan keberkahan hidup di masa depan.
Sebagai bangsa yang beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka cukup antusias melaksanakan suatu aktifitas yang berhubungan dengan keagamaan atau kepercayaan. Upacara selamatan yang ternyata merupakan budaya Jawa yang sarat dengan unsur-unsur agama dan kepercayaan ini nampaknya masih cukup kuat dalam memberikan motivasi bagi mereka untuk menyelenggarakannya, hingga sekarang, terutama dari kalangan muslim tradisional. Dari kalangan  muslim tradisional sendiri sebagiannya sudah mulai meninggalkan beberapa bagian keyakinan yang secara mencolok mengandung unsur keyakinan agama lain. Terutama pada kelompok muslim santri, nama dewa-dewi sudah cenderung hilang dari doa-doa yang dilantunkan.
Dari paparan mengenai upacara selamatan dan ritual kemanten Jawa: agama atau budaya, maka dapat disimpulkan bahwa dalam acara tersebut secara sinkretis telah tercampur menjadi satu, antara animisme-dinamisme, hindu-budha dan Islam.
Bagi kalangan muslim modern, mereka berusaha mengkritisi berbagai amalan (khususnya selamatan dan ritual) yang telah dilakukan muslim tradisional secara sinkretis, seperti upacara selamatan yang pada umumnya telah tercampuri (campur-aduk) dengan berbagai budaya dan kepercayaan agama lain.  Hal ini dilakukan oleh kaum muslim modern dengan maksud agar dapat diketahui secara jelas mana ajaran Islam yang masih murni dan mana yang sudah tidak murni lagi. Mengingat mayoritas orang jawa (Indonesia) lebih cenderung pada budaya muslim tradisional, dan begitu kuatnya dalam mempertahankan budaya-budaya tradisional seperti selamatan, maka ketika kaum muslim modern tidak  mau berpartisipasi apalagi mengkritisi budaya selamatan, maka kaum muslim modern malah dianggapnya sebagai bersikap aneh. Sungguh pun demikian, kaum muslim modern tetap istiqamah dalam berjuang dan beramar makruf nahi munkar[21].






[2] Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: PT. Hanindita. 1984), 43.
[3] I.Djumhur, Pengantar ke Antropologi Budaya (Bandung: Dirgantara. 1977), 100.
[4] Hasan Al Banna, Allah Fil Aqidah Al Islamiyah, terj. Mukhtar Yahya (Solo: Ramadhani. 1981), 19.
[5] H.M. Rasyidi, Empat Kuliah Agama pada Perguruan Tinggi (Jakarta: Bulan Bintang. 1977), 11.
[6] Sri Mulyono, Demi Dakwah (Bandung: Al Ma’arif. 1976),36.
[7] Sufaat M, Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan (Yogyakarta: Kota Kembang. 1985), 37.
[8] Ibid., 43.
[9] Rosihan Anwar, Demi Dakwah (Bandung: Al Ma’arif. 1976), 5
[10] Sufaat M, Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan,  44.
[11] Anwar, Demi Dakwah, 9.
[12] Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia-Arab (Cirebon. 1981), 485.
[13] Clifford Geertz, The Religion of Java, Terj. Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya. 1981), 13.
[14] Harsya W. Bachtiar, The Religion of Java Sebuah Komentar, dalam Clifford Geertz, The Religion of Java, 528.
[15] Ibid., 38.
[16] Pranata ssp., Mencari Jodoh dan Upacara Perkawinan Adat Jawa (Jakarta: PT, Yudha Gama Corparation. 1984), 51.
[17] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 131.
[18] Pranata, Mencari Jodoh,  77.
[19] Ibid., 103.
[20] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 134-135.
[21] Sikap gigih yang dilakukan kaum muslim modern ini di antaranya termotivasi oleh sabda Nabi Saw:

« بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ».

 "Islam dulu pada awal kedatangannya dianggap aneh, dan pada saatnya nanti, ajaran Islam akan dianggap aneh lagi, maka beruntunglah/ berbahagialah mereka yang dianggap aneh itu". (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Pada riwayat lain disebutkan":

طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ، قِيلَ : وَمَنَ الْغُرَبَاءُ ، قَالَ : قَوْمٌ يُصْلِحُونَ حِينَ يُفْسِدُ النَّاسَ
Berbahagialah orang yang dipandang aneh itu, yaitu mereka yang berusaha melakukan perbaikan (koreksi) pada saat banyak manusia yang telah melakukan kerusakan (mengabaikan sunnah)". HR. al-Tirmidzi, al-Nasa-i dan lain-lain. al-Albani menyatakan hadis tersebut sahih dalam al-Silsilah al-Sahihah al-Kamilah, III/ 347. 

1 komentar: