Sabtu, 23 Maret 2013

Hukum Mengusap Kepala dlm Wudu


HUKUM MENGUSAP KEPALA DALAM BERWUD{U

 oleh:
DR. H. ACHMAD ZUHDI DH, M.FIL. I


Dalam hal wud}u, ‘ulama> sepakat bahwa membasuh muka, membasuh kedua tangan, mengusap kepala dan membasuh kedua kaki adalah fard}u hukumnya. Dalam  hal mengusap kepala, mereka berbeda pendapat apakah diusap seluruhnya atau sebagian saja.

Kadar Mengusap Kepala Saat Melakukan Wud}u

-          ‘Ulama> Ma>liki>ah berpendapat bahwa yang  difard}ukan ialah mengusap seluruh kepala
-          ‘Ulama> Sha>fi’i>ah berpendapat bahwa yang  difard}ukan ialah mengusap sebagian kepala saja, walau sehelai rambut atau beberapa helai rambut.  
-          ‘Ulama> H{anafiah ada dua pendapat; menurut suatu riwayat yang  dipegang oleh ulama Mutaakhirin berpendapat bahwa yang  difard}ukan ialah seperempat kepala, sedangkan menurut ‘ulama> Mutaqaddimi>n berpendapat bahwa yang difard}ukan ialah sebatas tiga jari.
-          ‘Ulama> H{ana>bilah juga ada dua pendapat. Yang  pertama, dan inilah yang dipandang  terkuat, yaitu sama dengan ‘Ulama Maliki>ah, yakni bahwa yang difard}ukan adalah mengusap seluruh kepala; sedangkan  yang  kedua berpendapat bahwa yang difard}ukan hanyalah sekedar ubun-ubun saja.[1]

Alasan Mengusap kepala secara keseluruhan
‘Ulama> Ma>liki>ah mengambil dalil dengan firman Allah :
وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ
                                   “Dan usaplah kepalamu”[2]
Menurut ulama Malikiah, bahwa ba’ pada  “"برؤوسكم   itu ada kalanya zaidah (tambahan) atau untuk ilshaq (melekat). Tidak ada pengertian yang  ketiga lagi yang  mungkin diartikannya. Berdasarkan  kedua kemungkinan itu, maka susunan kalimat tersebut memberi pengertian mengusap seluruh kepala saat wudu. [3]
Keterangan yang menyebutkan bahwa ba’ mempunyai pengertian ketiga, maka yang  paling dekat dan dapat digambarkan sesudah zaidah (tambahan) dan ilshaq (melekat) ialah tab’idl (menunjukkan sebagian).  
   Yang  pasti menurut ahli bahasa ialah bahwa tab’idl tidak termasuk di antara makna ba’. Di antara ulama ahli bahasa adalah Ibnu Burhan yang mengatakan: “Barang siapa berpendapat bahwa ba’ menunjukkan arti tab’idl, maka ia mengantarkan ahli bahasa pada perkara yang tidak dikenal oleh mereka”. Asy-Syaukani mengatakan bahwa Imam Syibawaih memungkiri   adanya ba’ yang menunjukkan arti tab’idl pada lima belas tempat dalam kitabnya.
         Pengertian umum yang menerangkan masalah ba’ berarti  ilshaq ialah bahwa kepala pada hakikatnya dimaksudkan untuk “seluruh”. Sedangkan pengertian yang mengarah pada “sebagian” adalah  majaz, yang  tidak boleh diartikan demikian kalau tidak ada petunjuk untuk itu.   Oleh karena  di sini tidak ada petunjuk yang mengarah pada arti “sebagian”, maka haruslah diusap seluruh kepala.
   Secara keseluruhan bahwa pengertian zaidah juga tetap ada pada pengertian ilshaq. Dengan demikian ayat itu adalah mujmal, yang  mana untuk memahami apa yang  telah dimaksud memerlukan penjelasan dari Rasulullah Saw.
  Ulama Malikiah berpendapat bahwa tidak ada hadits yang  shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mencukupkan mengusap sebagian kepala. Dengan demikian tetaplah bahwa yang  dimaksud dari ayat itu ialah mengusap seluruh kepala. [4]

 Hadits yang menerangkan mengusap seluruh kepala

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِم فِى صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ: وَمَسَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ (متفق عليه)
Artinya:
“Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, tentang sifat wudu : ia berkata :….dan Rasulullah Saw.. mengusap kepalanya, yaitu ia jalankan dua tangannya ke belakang dan ia kembalikannya. (Muttafaq ‘alaih). [5]

وَفِىْ لَفْظٍ لَهُمَا: بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِىْ بَدَأَ مِنْهُ
Artinya :
“Dan di satu lafadz (lain) dari riwayat keduanya (Bukhari dan Muslim),  ia mulai (mengusap) dari depan kepalanya hingga ia jalankan dua tangannya sampai tengkuknya, kemudian ia kembalikan (kedua) nya ke tempat yang  ia mulai daripadanya” .[6]
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو فِى صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ: ثُمَّ مَسَحَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِهِ وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَبَاحَتَيْنِ فِيْ أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ (أخرجه أبو داود والنسائي وصححه ابن خزيمة)
Artinya:
Dan dari Abdillah bin ‘Amr tentang sifat wudunya (Rasulullah Saw.), ia berkata: “Kemudian ia (Rasulullah Saw.) mengusap kepalanya, kemudian memasukkan kedua jari telunjuknya ke dalam telinganya dan mengusap bagian luar telinganya dengan kedua ibu jarinya” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa-i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).[7]
Berdasarkan hadits-hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa cara Rasulullah Saw. mengusap kepala ialah dengan meletakkan kedua telapak tangannya yang  basah di depan kepala dekat dahi, lalu memundurkan (menarik ke belakang)  keduanya sampai ke tengkuk lantas menarik keduanya kembali ke tempat permulaan, kemudian menurunkan kedua tangan itu pada dua telinga, dan mengusap bagian dalam  dua telinga itu dengan dua jari telunjuknya serta mengusap sebelah luarnya dengan kedua ibu jari.    

Alasan Mengusap sebagian kepala
Ulama Syafi’iah juga sama mengambil dalil  ayat “Wamsahuu biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6), sedangkan penjelasannya adalah bahwa “ ba’ ”  pada lafadz tersebut dalam arti ilshaq, yaitu makna yang  hampir tidak pernah ada.  Maka ayat itu adalah mutlaq,  yang mengandung arti melekatkan usapan ke kepala,  dan ini dapat berarti dengan mengusap sebagian atau seluruh kepala.[8]
Ulama  Syafi’iah berpendapat : Kalau kita menerima bahwa ba’  itu zaidah, tentu ayat itu menjadi mujmal, dan untuk memahami apa yang  telah dimaksudkan maka perlu penjelasan dari Nabi Saw.,  sedangkan penjelasan mengenai itu sudah ada yaitu yang  terdapat pada Hadits al-Mughirah bin Syu’bah bahwa Nabi pernah mengusap sebagian kepala, sebagaimana keterangan hadits shahih riwayat Muslim berikut ini:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَة أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ  (رواه مسلم)
Artinya:
Dari al-Mughirah bin Syu’bah, bahwasanya Rasulullah SAW., telah berwudu dengan mengusap  ubun-ubun dan dari atas surban dan dua sarung kaki. (HR.Muslim)[9]

Pada riwayat lain Nabi Saw.. mengusap ubun-ubunnya dan surban. Demikian juga pada riwayat Abu Daud dari Anas ra. ia berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW. berwudu sedang di atas kepalanya surban Qathariyah, maka beliau memasukkan tangannya di bawah surban lalu mengusap bagian muka dari kepalanya. Begitu pula hadits riwayat al-Baihaqi dari Atha’ bahwa Rasulullah SAW. berwudu lalu menggeser surbannya, dan mengusap bagian muka dari kepalanya. Atau ia berkata : Ubun-ubunnya. [10]
Hadits-hadits tersebut dengan tegas menerangkan tentang bolehnya  mengusap sebagian kepala. Berdasarkan ini, pastilah ba’ itu untuk ilshaq dan tidak mungkin zaidah, demikian pandangan ulama al-Syafi’iah.[11]
Ulama Hanafiah mengambil dalil dengan ayat itu juga, yakni “Wamsahuu biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6) dan mereka  berpendapat bahwa dijadikan ba’ itu zaidah adalah bukan asal dan oleh karena itu pastilah ia untuk ilshaq. Yang  dimintakan ialah melekatkan tangan dengan kepala, karena firman Allah “Wamsahuu” membutuhkan maf’ul (obyek), yaitu alat mengusap yakni tangan. Maka ayat itu lengkapnya menurut pengertian ialah: “Wamsahuu aidiyakum mulshaqatan biru-usikum” (Usaplah tanganmu menyentuh kepalamu). [12]
  Kaidah  mengatakan bahwa bila ba’  masuk kepada yang  diusap, maka yang dikehendaki adalah mencakup alat sebagaimana apabila ia masuk kepada alat menghendaki pula mencakup yang  diusap. Misalnya, jika ada orang mengatakan bahwa dirinya mengusap kepala anak yatim dengan tangannya, maka orang lain akan memahami bahwa yang diusap adalah seluruh kepala. Dan jika ada orang mengatakan bahwa dirinya mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, maka orang lain akan memahami bahwa ia mengusap kepala anak yatim dengan seluruh tangannya. Ayat tersebut termasuk dalam kategori pengertian yang kedua, yaitu mengusap dengan seluruh tangannya[13]
Mereka  berkata : “Seluruh tapak tangan yang menyentuh kepala biasanya tidak dapat mencakup kepala kecuali seperempatnya.  Dengan demikian, maka itulah yang  dimaksud dari ayat tersebut”.
Mereka  juga dapat menerima bahwa ba’ itu zaidah. Mereka  berpendapat bahwa ayat tersebut adalah mujmal, karena ada kemungkinan berarti zaidah dan juga  kemungkinan berarti ilshaq; sedang hadits-hadits yang  datang dalam  masalah ini menerangkan bahwa yang  diminta ialah ilshaq, yaitu ilshaq tertentu sekedar ubun-ubun atau lebih. Hal ini karena Rasulullah Saw. tidak membiasakan mengusapkan seluruhnya atau sebagaimana tidak pernah mengusap kurang dari ubun-ubun atau bagian muka dari kepala. Ubun-ubun dan bagian muka dari kepala adalah sama dengan seperempat. Maka tentulah yang  difardlukan itu adalah seperempat (kepalanya). [14]
            Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai wajibnya batas mengusap kepala saat berwudu adalah disebabkan adanya perbedaan dalam memahami ba’ pada ayat “Wamsahuu biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6). Sebagian ulama cenderung memahami dalam arti zaidah, yang mengandung arti mujmal sehingga yang dimaksud oleh ayat itu adalah mengusap seluruh kepala. Kecuali jika ada dalil khusus yang menunjukkan pengecualiannya, misalnya Nabi Saw. pernah mengusap sebagian kepala. Dalam hal ini ulama Malikiah memandang  bahwa tidak ada hadits yang shahih yang menjelaskan tentang mengusap hanya sebagian kepala. Pendapat ini diperkuat oleh sebagian ulama Hanabilah.
            Pendapat yang lain, terutama dari kalangan ulama Syafi’iah berpendapat bahwa ba’ pada ayat “Wamsahuu biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6) dapat berarti mutlaq, hal ini bisa berarti seluruh kepala dan juga bisa berarti sebagian kepala (li al-tab’idl).  Lebih lanjut ulama Syafi’iah menjelaskan bahwa bila kita menerima ba’ itu zaidah maka berarti menjadi mujmal, dan untuk memahami maksudnya diperlukan keterangan dari Nabi Saw.. Menurut ulama Syafi’iah, dalil yang menerangkan tentang mengusap sebagian kepala saat wudu  itu memang ada, yaitu hadits riwayat Muslim[15] dari al-Mughirah bin Syu’bah yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah mengusap ubun-ubunnya dan surbannya saat berwudu. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat ulama Hanafiah, hanya saja ulama Hanafiah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan sebagian kepala adalah seperempatnya saja.
Perbedaan antara kedua golongan yang mengatakan bahwa yang wajib dalam hal  batas mengusap kepala saat wudu itu adalah seluruh kepala atau hanya sebagian kepala, kedua-duanya memiliki dalil yang dapat dijadikan hujjah. Bagi ulama yang cenderung memahami makna ba’ pada ayat tersebut adalah zaidah, maka wajib mengusap kepala seluruhnya, sedangkan ulama yang memahami makna ba’ itu li al-tab’idl, maka yang wajib diusap hanya sebagian kepalanya[16].
Dari bahasan perbedaan ulama mengenai batas mengusap kepala yang diwajibkan saat berwudu, dapat disimpulkan bahwa ulama Hanabilah dan Malikiah sepakat bahwa yang diwajibkan dalam berwudu adalah mengusap seluruh kepala. Adapun ulama Hanafiah dan Syafi’iah memandang bahwa yang diwajibkan hanya mengusap sebagian kepala saja, sedangkan untuk mengusap seluruh kepala hanya disunnahkan saja. Lebih lanjut ulama Syafi’iah menjelaskan bahwa yang wajib itu hanya mengusap sebagian kepala saja, walaupun mudah melakukannya. Adapun ulama Hanafiah cenderung pada pendapat bahwa yang wajib itu seperempat kepala saja, yakni diperhitungkan dengan lebarnya telapak tangan yang memungkinkan menyentuh kepala saat wudu.[17]
Apa pun pendapat mereka, yang jelas masing-masing kelompok (ulama) sudah memiliki dalil-dalil yang diyakininya kuat dan shahih. Tentang kita harus pilih yang mana di antara pendapat-pendapat itu, tentu kita harus memperhatikan dulu dalil-dalil yang digunakannya. Jika kita lebih cenderung pada pendapat tertentu (dengan pertimbangan dalil-dalilnya yang lebih kuat) setelah melakukan kajian terhadap masing-masing dalil yang digunakan, maka pendapat itulah yang harus kita pegangi. Namun  demikian kita harus tetap menghormati pendapat orang lain yang tidak sejalan dengan kita. Dengan demikian, insya Allah persaudaran di antara kita sesama muslim akan tetap terpelihara dengan baik dan harmonis.
 Wallahu a’lam bi al-Shawab!




[1]Ibn Rushd, Bida>yat al-Mujtahid wa Niha>yat al-Muqtas}id, Vol.I (Tt: Da>r al-Ih}ya> al-‘Arabi>yah, tt), 8. Baca juga Mah}mu>d Shaltu>t dan  Ali As-Sayis, Fiqh Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung : CV.Pustaka Setia, 2000),35.
[2] QS. Al-Maidah, 6
[3] Syaltout, Fiqh Tujuh,, 36.
[4] Ibid., 37.
[5] Muhammad Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, Vol, I (tt: Dar al-Fikr, tt), 44.
[6] Ibid. Baca juga Muhammad al-Shalih al-‘Utsaimin, Tanbih al-Abham Bisyarh Umdat al-Ahkam, Vol.I (Saudi Arabia: tp, 1403 H), 26-27.
[7] Al-Shan’ani, Subul al-Salam, 45.
[8]Syalthut, Fiqh Tujuh, 37.
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1983), 39. Baca juga Al-Shan’ani, Subul al-Salam, 50.
[10] Syalthut, Fiqh Tujuh, 37.
[11] Ibid.
[12]Ibid., 38.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), 141.
[16] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, 9.
[17] Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Tt: Dar al-Fikr, 1986), 63.

2 komentar:

  1. mohon izin copy hadistnya pak, jazakallah

    BalasHapus
  2. Bagus Sekali silahkan memilih pendapat yang anda lebih yakini tanpa harus menyalahkan yang lain

    BalasHapus