Senin, 09 Mei 2011

KIAT MERAIH HAJI MABRUR

KIAT MERAIH HAJI MABRUR
Oleh: Achmad Zuhdi Dh (0817581229)


أنَّ رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم قال: الحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الجَنَّةَ
(متفقٌ عليه عن أبى هريرة )

Rasulullah Saw bersabda: “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”.
(Muttafaqqun ‘alaih, dari Abu Hurairah ra)


1.Pengertian haji mabrur

Dalam kitab Lisan al-‘Arab (IV/51), kata mabrur mengandung dua arti:

Pertama, mabrur berarti baik, suci dan bersih. Dalam pengertian ini, haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan baik, tidak diperbuat di dalamnya hal-hal yang dilarang seperti berkata kotor, berbuat fasik dan menyakiti atau mengganggu orang lain termasuk menyuap orang untuk kemudahan amalnya sementara orang lain mendapatkan kesulitan karenanya. Di samping itu, bekal yang dibawa untuk berhaji adalah bekal yang halal dan bersih.

Kedua, mabrur berarti maqbul atau diterima dan diridhai oleh Allah Swt. Dalam hal ini, haji mabrur adalah haji yang tata caranya dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan memperhatikan syarat-syarat dan rukunnya serta hal-hal yang wajib diperhatikan dalam berhaji.

Dari dua pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan haji mabrur adalah haji yang diterima dan diridhai oleh Allah Swt karena ibadah hajinya telah dilakukan dengan baik dan benar serta dengan bekal yang halal, suci dan bersih.

2.Siapakah orang yang berhasil meraih haji mabrur?

Tentang siapa orangnya yang berhasil meraih haji mabrur, agaknya hal ini menjadi rahasia Allah Swt. Bisa jadi tidak banyak.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din (Vol.I/ 341) mengisahkan perjalanan seorang ‘Alim yang shalih sedang menempuh perjalanan haji. Namanya ‘Ali bin al-Muwaffiq. Dikisahkan:

“Pada suatu malam, tanggal 8 malam 9 Dhu al-Hijjah (malam hari ‘Arafah) ia tertidur di masjid al-Khaif Mina. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat sedang berdialog. Malaikat yang satu berbicara kepada malaikat yang lain: “Hai teman (Abdullah), tahukah engkau berapa banyak orang yang pergi haji tahun ini?”. Malaikat yang lain menjawab: “Tidak tahu!”. Kemudian temannya tadi memberitahu bahwa mereka itu jumlahnya mencapai 600.000 jamaah. Kemudian ditanya lagi: “tahukah kamu berapa orang di antara mereka itu yang meraih haji mabrur ?”. Tidak tahu!, jawab temannya. Kemudian temannya itu menjelaskan bahwa yang meraih mabrur/ maqbul hajinya itu hanya 6 orang. Sampai dialog ini, dua malaikat itu pun pergi. Setelah itu ‘Ali bin al-Muwaffiq pun terbangun dari tidurnya dengan penuh penasaran, sedih dan gelisah.

Dalam hatinya bertanya: “Jika hanya 6 orang yang diterima hajinya dari 600.000 jamaah, apakah aku bisa masuk yang enam orang itu?”. Demikianlah ia terus menerus merenungkan dan berusaha mencari tahu makna di balik mimpinya itu. Selanjutnya ia berusaha melakukan ibadah hajinya dengan sebaik mungkin agar berhasil masuk dalam kelompok enam yang hajinya mabrur itu.

Kisah ini tidak jelas kapan terjadi dan seberapa jauh kebenarannya, karena tak seorang pun sejarawan yang membuktikan fakta kebenaran kisahnya. Terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut, al-Ghazali yang dikenal sebagai ulama yang amat masyhur dan mendapat julukan “Hujjatul Islam” itu telah mencatat dalam Kitabnya yang amat monumental dan berpengaruh di kalangan orang-orang yang mendalami masalah-masalah spiritualitas. Sekurang-kurangnya yang dapat diambil hikmah dari kisah tersebut adalah agar setiap orang yang menunaikan ibadah haji selalu menata dan meluruskan niatnya, melakukan ibadah hajinya dengan baik dan benar serta selalu berusaha dan berdoa agar ibadahnya diterima oleh Allah Swt. Wallahu a’lam bi al-shawab!

3.Beberapa indikator haji yang mabrur

Tidak mudah untuk mengetahui siapa-siapa yang berhasil meraih haji mabrur. Namun demikian, Rasulullah Saw pernah memberikan beberapa indikatornya. Dalam sebuah hadits diterangkan sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌُ إِلاَّ الْجَنَّةَ قِيْلَ وَمَا بِرُّهُ ؟ قَالَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ (رواه أحمد والطبرانى وغيره)

Artinya: Dari Jabir ra. Nabi Saw bersabda: “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”. Rasul ditanya: “Apa tanda-tanda mabrurnya?”. Nabi Saw menjawab: “Suka membantu memberikan makanan dan santun dalam berbicara” (HR. Ahmad, al-Tabrani, dan lain-lain).

Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih lighairih (Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II/3).

Imam al-Nawawi dalam Kitab al-Idhah Fi Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah hal 516, mengatakan :

اَلْحَجُّ الْمَقْبُوْلُ هُوَالَّذِيْ يَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ بَعْدَ رُجُوْعِهِ خَيْرًا مِمَّا كَانَ

Artinya: Haji mabrur itu tanda-tandanya adalah setelah ia pulang dari haji, keadaannya lebih baik daripada sebelumnya

Dari keterangan hadits Nabi Saw dan penjelasan Imam al-Nawawi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa indikator ke-mabrur-an haji seseorang itu dapat dilihat dari tiga hal:

Pertama, suka memberi makanan (إطعام الطعام ). Perkataan “memberi makanan” ini harus difahami lebih luas, yaitu kesediaan untuk berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan untuk menyumbangkan sebagian harta kita kepada fakir miskin atau kaum dhu’afa. Dalam hal ini termasuk membantu dalam hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan (pengobatan), sandang, pangan maupun papan.
Membantu orang-orang miskin termasuk hal terpenting dalam beragama. Allah bahkan terang-terangan menyebut sebagai pendusta agama, bagi orang yang tidak mau membantu orang-orang miskin dan menyayangi anak yatim. (QS. Al-Ma’un, ayat 1-3).

Dikisahkan bahwa ada seorang ‘alim tertidur pulas di bawah pohon dalam menempuh perjalanan spiritualnya, mencari makna kearifan hidup. Ia bermimpi bertemu malaikat yang memberitahukan kepadanya bahwa di antara sekian banyak orang yang naik haji hanya satu yang berhasil meraih haji mabrur, sambil memberi tahu ciri-ciri orang yang beruntung itu. Setelah ia terbangun, segera mencari orang yang dimaksud itu. Betapa terkejutnya, ternyata orang itu tidak menunaikan ibadah haji di musim haji tahun itu. Maka ia berusaha mencari tahu apa rahasianya sehingga ia mendapat gelar atau pahala sekelas haji mabrur. Setelah beberapa hari menginap di rumah orang itu, ia tidak menemukan hal-hal yang istimewa dari orang itu. Ibadahnya biasa-biasa saja. Akhirnya, orang itu cerita bahwa dulu pernah berniat menunaikan ibadah haji dan mengumpulkan bekal sedikit demi sedikit dari keringatnya sendiri. Setelah bekal itu cukup dan hendak digunakan untuk berangkat haji, tiba-tiba ada orang miskin yang sangat membutuhkan bantuannya. Karena ia tak tega melihat penderitaan si miskin itu, ia pun memberikan bekal hajinya itu untuk keperluan dan hajat si miskin, sehingga ia tidak jadi menunaikan ibadah haji.
Demikianlah kisahnya, ia tak jadi berangkat haji, tetapi malah mendapat predikat haji mabrur. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dalam hadits shahih al-Bukhari dan Muslim, Nabi Saw bersabda:

فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْ بِهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً (متفق عليه)

Artinya: “Barangsiapa berniat melakukan kebaikan (misalnya niat haji), kemudian ia tidak jadi melakukannya, maka ia dicatat oleh Allah mendapatkan pahala kebaikan (haji) yang sempurna”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Berangkat dari hadits ini, agaknya sangat relevan dengan kisah tersebut di atas (walaupun belum tentu kisah tersebut faktual), yaitu orang yang telah lama berniat haji dengan mengumpulkan bekal dari keringatnya, tetapi karena ada orang miskin yang amat membutuhkan dan meminta bantuan kepadanya, bekal untuk hajinya itu diperbantukan kepadanya, sehingga ia tidak jadi naik haji tahun itu. Kesediaannya untuk membantu orang miskin itulah yang menyebabkan ia berhak menyandang gelar haji mabru>r. Karena itu, walaupun ia tidak jadi naik haji, tetapi karena ia telah berbuat kebaikan sebagaimana orang yang meraih haji mabrur, maka layaklah bila ia meraih pahala haji mabrur. Wallahu a’lam!

Kedua, bertutur kata yang lembut (وطيب الكلام). Menurut al-Ghazali, kata-kata ini di samping bisa difahami bertutur kata yang baik, juga berarti berbudi pekerti yang luhur atau berakhlak yang mulia. Prilaku ini nampak pada orang-orang yang beribadah haji, baik saat berhaji maupun sesudahnya.
Akhlak yang mulia ini nampak pada tutur katanya yang lembut, baik dan bersahaja. Tidak suka menyinggung dan menyakiti orang lain. Kalau berbicara kalimatnya sederhana, disesuaikan dengan orang yang diajak bicara. Raut mukanya diusahakan cerah, manis dan simpatik sehingga orang lain senang berbicara dan bergaul dengannya. Lidah dan tangannya dikendalikan sedemikian rupa agar tidak mengganggu orang lain.

Dalam haji, banyak orang tergoda untuk melakukan kesempurnaan ibadahnya baik yang rukun, wajib maupun sunnahnya dengan berbagai cara. Ketika hendak mencium h}ajar aswad misalnya, banyak orang yang secara egois berusaha keras dengan cara menyingkirkan orang lain bahkan menyakitinya agar dia sendiri berhasil mencium h}ajar aswad itu. Dia tidak sadar bahwa ketika ia hendak meraih hajar aswad itu ia telah menyakiti banyak orang. Menurut agama, menyakiti orang lain itu hukumnya haram, sedangkan mencium hajar aswad itu hanyalah sunnah hukumnya. Prilaku ini termasuk akhlak yang rendah dan tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang sedang berhaji.

Orang yang akan meraih haji mabrur indikatornya mulai nampak pada saat ia berhaji. Ia tidak ingin mengganggu orang lain, tetapi ia malah berusaha untuk membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain sesama jama’ah haji. Hal ini nampak pada saat keberangkatan haji, naik kendaraan, antri pemeriksaan paspor, mencari kamar penginapan di hotel dan saat-saat pelaksanaan ibadah haji dari ketika ihram, wuquf di ‘Arafah, Muzdalifah, di Mina dan melempar jamarat, thawaf dan sa’i. Ia berusaha menghindari pertengkaran, berkata kotor dan berbuat fasik.
Nabi Saw. bersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
(متفق عليه)

Artinya: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji sedang ia tidak berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan maka ia kembali pulang dalam keadaan bersih seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Inilah janji Allah dan RasulNya.
Bagi orang yang ingin meraih haji yang mabrur maka ia harus berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya, lidahnya, tangannya agar tidak mengganggu orang lain. Sebaliknya ia seyogyanya berusaha untuk dapat membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain.

Ketiga, setelah pulang haji kehidupannya menjadi lebih baik daripada sebelum haji.
Indikator yang ketiga ini justru menjadi ukuran yang paling penting, karena apa yang dikatakan Imam al-Nawawi bahwa tanda-tanda ke-mabrur-an ibadah haji seseorang adalah kehidupannya setelah haji menjadi lebih baik ketimbang keadaannya sebelum haji, sebenarnya mengandung makna yang selaras dengan perkataan Nabi Saw. bahwa tanda-tanda ke-mabrur-an haji seseorang itu adalah suka membantu, memberikan makan orang lain dan suka bertutur kata yang lembut hingga orang lain banyak yang suka kepadanya.

Maksudnya, untuk mengetahui keadaan seseorang yang yang hajinya mabrur, dapat dilihat dari pola kehidupannya setelah pulang haji. Apakah ia setelah pulang dari hajinya kemudian suka membantu orang miskin, suka memberi makan, membantu pengobatan dan pendidikan serta memberikan pakaian dan kebutuhan lainnya? Apakah ia juga berusaha bertutur kata yang lembut, baik, santun dan bersahaja. Tidak tinggi hati, tidak sombong, tidak meremehkan orang lain? Apakah ia berusaha menghindarkan diri dari perkataan atau perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain terganggu atau tersakiti? Apakah ia juga berusaha untuk dapat membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain?

Jika semuanya itu dapat dilakukan dengan baik, maka tanda-tanda ke-mabrur-an haji telah melekat pada dirinya. Insya Allah !

4.Usaha-usaha untuk meraih haji yang mabrur

Setelah mengetahui apa itu haji mabrur dan bagaimana indikatornya, maka berikutnya adalah bagaimana cara atau kiat-kiat meraih haji mabrur itu.
Dalam hal ini ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:

Pertama, menata niat (haji) yang benar, lurus dan ikhlas semata-mata untuk memenuhi panggilan Allah;

Kedua, menyiapkan bekal haji (ONH/BPIH) yang cukup dan bersih dari harta yang haram maupun syubhat;

Ketiga, mempelajari manasik haji dengan baik dan benar agar tidak keliru dalam menunaikan ibadah haji;

Keempat, membiasakan bersedekah sejak sebelum berangkat haji, pada saat musim haji maupun setelah pulang haji. Terutama membantu meringankan beban derita yang dialami orang-orang miskin atau kaum dhu’afa lainnya;

Kelima, berusaha untuk bertutur kata yang lembut, baik dan bersahaja. Menghindarkan diri dari pertengkaran, sikap tinggi hati, meremehkan orang lain. Menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat mengganggu dan menyakiti orang lain, sebaliknya berusaha membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain.

4 komentar:

  1. Assalamu'alaikum. mohon keikhlasannya mengkopi materinya, jazakumullohu katsiiron

    BalasHapus
  2. sangat bermanfaat untuk menjadi bekal ibadah haji agar bisa mabrur. terima kasih

    BalasHapus
  3. Tulisan diatas adalah tulisan terbaik tentang Haji Mabrur yang patut diperhatikan dan diikuti bagi calon jamaah haji yang berniat untuk mendapat berkah Allah sebagai Haji Mabrur....

    Jumlah Haji yang Mabrur hingga jumlah 6 jamaah Haji sudah termasuk banyak, karena bahkan ada yang tidak ada yang mendapat berkah haji Mabrur di suatu tahun haji ....

    Saran yang baik untuk mendapat Haji Mabrur adalah bersedekah sejak sebelum berangkat haji dan di saat naik haji (sebaiknya terus dilakukan sepanjang hidup) ... Sedekahnya (bisa) dilakukan sejak di Indonesia (sebelum berangkat haji), sebaiknya dilakukannya sudah dimulai di saat bulan Ramadhan (di tahun saat berangkat naik haji) ....

    Dana untuk sedekah dan biaya naik haji haruslah harta yang HALAL 100%.

    Niat dan doakan selalu, sejak mendapat pengumuman kuota berhak naik haji, untuk diijinkan Allah SWT menjadi Haji Mabrur .... Insya Allah dikabulkan menjadi Haji Mabrur .....

    BalasHapus