Selasa, 06 Juli 2021

DONASI NON-MUSLIM UNTUK MASJID DAN MADRASAH

 

DONASI NON-MUSLIM UNTUK MASJID DAN MADRASAH

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:

              Assalamu’alaikum wr. wb.!

              Ustadz Zuhdi rahimakumullah! Mohon penjelasan tentang hukum menerima sumbangan atau donasi dari kalangan non-muslim, baik untuk kepentingan pribadi seperti makanan dan pakaian maupun kepentingan umum seperti membangun masjid, madrasah, dan lain-lain. Demikian, atas pencerahannya, kami sampaikan banyak terima kasih. Jazakumullah khairan katsiran! (Subhan, Sidoarjo).

Wassalamu’laikum wr.wb.!

Jawab:

Masalah menerima donasi atau sumbangan dari non muslim, setidaknya ada dua hadis yang terkesan bertentangan mengenai ini, yakni sebagai berikut:

1.      Hadis Riwayat al-Thabrani No. 15487. Dari Ka’b bin Malik, ia berkata:

جَاءَ مُلاعِبُ الأَسِنَّةِ إِلَى النَّبِيِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَدِيَّةٍ، فَعَرَضَ عَلَيْهِ الإِسْلامَ، فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"فَإِنِّي لا أَقْبَلُ هَدِيَّةَ مُشْرِكٍ".

“Ada seorang yang bergelar ‘pemain berbagai senjata’ (yaitu ‘Amir bin Malik bin Ja’far) menghadap Nabi saw. dengan membawa hadiah. Nabi lantas menawarkan Islam kepadanya. Orang tersebut menolak untuk masuk Islam. Nabi saw. lantas bersabda: “Sungguh aku tidak menerima hadiah dari orang musyrik” (HR. al-Thabrani No. 15487).

Beberapa ulama menilai hadis tersebut shahih tetapi mursal, di antara ulama tersebut adalah Abd al-Rauf al-Munawi dalam kitabnya (Faid al-Qadir Syarh al-Jami al-Shaghir, III/16); Badr al-Din al-‘Aini al-Hanafi dalam kitabnya (Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, XX/158); Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya  (Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII/110); dan al-Syaukani dalam kitabnya (Nail al-Authar, VI/77). Sedangkan Syekh Nashirudin al-Albani cenderung pada penilaian hadis tersebut shahih. Menurut al-Albani, setelah mencermati berbagai jalur periwayatan ditemukan sejumlah syahid yang menunjukkan kesahihan hadis tersebut. Hadis tersebut mursal melalui periwayatan Abd al-Razzaq, tetapi kemudian dimarfu’kan atau dimaushulkan oleh Ibn al-Mubarak. Menurut al-Albani, Ibn al-Mubarak lebih terjaga hafalannya (ahfad) daripada Abd al-Razzaq (al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Kamilah, IV/226).

 

2.      Hadis Riwayat al-Bukhari No. 1481, dari Abu Humaid al-Sa’idi ra., beliau mengatakan:

غَزَوْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – تَبُوكَ، وَأَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

“Kami mengikuti perang Tabuk bersama Nabi saw. Raja negeri Ailah memberi hadiah kepada beliau berupa baghal berwarna putih dan kain. Sang raja juga menulis surat untuk Nabi saw. (HR. Bukhari No. 1481).

              Sekilas, hadis tersebut tampak bertentangan. Hadis pertama Riwayat al-Thabrani menerangkan bahwa Nabi tidak mau menerima pemberian (donasi) dari orang musyrik (non-muslim). Sedangkan pada hadis kedua, Riwayat al-Baukhari menjelaskan bahwa Nabi saw. menerima hadiah dari raja yang masih musyrik (Raja Ailah).

Mengomentari adanya hadis yang terkesan bertentangan (antara yang menolak dan menerima pemberian (donasi) dari kalangan musyrik (non-muslim), Ibn Hajar al-Asqalani dalam Kitab Fath al-Bari Syarh Kitab Shahih al-Bukhari, menulis sebagai berikut: 

قَوْلُهُ :( بَاب قَبُولِ اَلْهَدِيَّةِ مِنْ اَلْمُشْرِكِينَ) أَيْ جَوَاز ذَلِكَ وَكَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى ضَعْف اَلْحَدِيث اَلْوَارِد فِي رَدِّ هَدِيَّة اَلْمُشْرِك

“Ungkapan Imam al-Bukhari pada “Bab menerima hadiah dari orang-orang musyrik”, maksudnya adalah bolehnya menerima hadiah dari kaum musyrikin. Dalam tulisan ini seakan-akan al-Bukhari memberi isyarat tentang lemahnya hadis yang menolak hadiah dari orang musyrik (al-Asqalani, Fath al-Bari, V/230).

Al-Asqalani juga mengutip beberapa pendapat ulama yang mengkomparasikan beberapa hadis yang bertentangan mengenai masalah tersebut. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah bahwa hadis yang melarang menerima pemberian non-Muslim konteksnya adalah pemberian yang terindikasi kuat bertujuan menghancurkan umat Islam atau berdampak merugikan mereka. Sedangkan hadis yang membolehkannya diarahkan kepada tujuan menghibur dan untuk kepentingan mendakwahkan Islam.   

Ibn Hajar al-Asqalani lebih lanjut mengatakan: “Sang pengarang menyebutkan beberapa hadis yang menunjukkan kebolehan menerima hadiah non-Muslim. Imam al-Thabari membuat komparasi bahwa penolakan Nabi diarahkan kepada hadiah yang secara khusus diberikan kepada beliau, dan hadis yang menerima diarahkan kepada pemberian untuk umat Islam secara umum. Pendapat al-Thabari ini perlu dikaji ulang, sebab di antara dalil yang membolehkan adalah hadiah yang secara khusus diberikan kepada Nabi. Ulama lainnya memberikan jalan tengah bahwa penolakan Nabi konteksnya adalah non-Muslim yang bertujuan konspirasi (jahat), dan penerimaan Nabi konteksnya adalah non-Muslim yang dengan menerima hadiahnya dimaksudkan menghibur dan memberinya simpati agar masuk Islam. Al-Asqalani menyatakan: (وَهَذَا أَقْوَى مِنْ اَلْأَوَّل), pendapat yang ini lebih kuat dibandingkan yang pertama(al-Asqalani, Fath al-Bari, V/231; baca juga al-Syaukani, Nayl al-Authar, VI/77).

              Keterangan tersebut membuka ruang diskusi tentang hukum menerima donasi dari kalangan non-muslim. Termasuk di dalamnya adalah pembahasan mengenai bagaimana hukum seorang muslim menerima hadiah (pemberian) berupa makanan, baju dan selainnya dari keluarga atau temannya yang masih non-muslim, dan bagaimana hukum panitia pembangunan masjid atau madrasah menerima sumbangan (donasi) dari kalangan non-muslim.

 Menerima hadiah untuk kepentingan pribadi dari keluarga atau sahabat yang non-muslim

Dilihat dari cara mendapatkannya, suatu benda bisa menjadi haram diterima sebagai sedekah atau pemberian, jika suatu benda yang diberikan tadi diketahui atau diduga berasal dari  hasil mencuri, korupsi, manipulasi, memeras, menipu, menyogok, atau dari tindak kejahatan lainnya. Dalam hal ini, pemberian barang yang berasal dari hasil tindak kejahatan, baik dari muslim maupun non muslim, maka barang tersebut tidak boleh diterima. Sedangkan dilihat dari zatnya, jika suatu benda sudah dinyatakan haram oleh al-Qur’an atau al-Sunnah, seperti khamer atau minuman keras, daging babi, dan lain sebagainya, maka benda-benda tersebut tidak boleh diterima sebagai pemberian atau sedekah, baik dari seorang muslim maupun dari non-muslim.

Oleh karena itu, jika ada seorang non muslim bersedekah atau memberi sesuatu kepada seorang muslim berupa uang halal, makanan halal atau barang-barang yang halal menurut Islam, maka pemberian tersebut boleh diterima. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad diterangkan dari Amir bin Abdullah bin al-Zubair, ia berkata, “Qutailah (Ibu dari Asma’) pernah mendatangi anak perempuannya, Asma’ binti Abu Bakar dengan membawa beberapa hadiah, di antaranya daging, keju dan minyak samin, sedangkan ia (Qutailah) seorang yang musyrik, maka Asma’ menolak hadiahnya serta tidak mempersilakan ibunya masuk rumah. Aisyah ra. pun menanyakan peristiwa tersebut kepada Nabi Saw. maka Allah Swt. menurunkan Surat al-Mumtahanah ayat 8 (artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama).

فَأَمَرَهَا أَنْ تَقْبَلَ هَدِيَّتَهَا وَأَنْ تُدْخِلَهَا بَيْتَهَا.

 Maka Nabi Saw. pun memerintahkan Asma’ untuk menerima hadiah ibunya dan mempersilakan masuk rumah” (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, IV/4); Menurut al-Hakim, hadis ini sahih (Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, XXVI/135).

Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Asma binti Abi Bakr, ia berkata:

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ، وَهِيَ رَاغِبَةٌ: أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّك

“Aku pernah didatangi ibuku yang masih musyrik pada masa Rasulullah saw. lalu aku meminta fatwa dari Rasulullah saw. Aku berkata: ’Sesungguhnya ibuku datang, dia begitu ingin(menemuiku), apakah aku sambungkan silaturahim dengan ibuku?’ beliau bersabda: ’Ya, sambungkanlah ibumu” (HR. Al-Bukhari No. 2620 dan Muslim No. 2372).

Dua hadis tersebut menunjukkan bahwa menyambung silaturrahim dan menerima pemberian atau sedekah dari seorang non-muslim itu diperbolehkan.

Panitia pembangunan masjid atau madrasah menerima donasi dari non-muslim

          Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid ketika ditanya tentang hukum menerima bantuan dari kalangan non-muslim, beliau menjawab: “Menerima pemberian orang-orang kafir(non-muslim) dan bantuan mereka, tanpa meminta terlebih dahulu, itu tidak mengapa. Dan boleh menggunakan harta pemberian tersebut untuk berbagai keperluan umat Islam. Adapun meminta bantuan dari orang kafir, di sana terdapat perkara-perkara yang perlu dijauhi diantaranya bersikap dzull (merendahkan diri) di depan mereka dan timbulnya kecenderungan hati dari peminta sehingga mudah dipengaruhi oleh mereka, jika permintaannya diberikan.

فلو خلا من هذه المحاذير فلا بأس ، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يستعين ( دون ذلّ ) في أمور الدعوة - وهو بمكة - ببعض المشركين كعمه أبي طالب وغيره

 

Jika tidak ada perkara-perkara yang terlarang ini, maka tidak mengapa. Nabi saw. dahulu pernah meminta bantuan (tanpa merendahkan diri) kepada sebagian kaum Musyrikin di Mekkah dalam urusan dakwah, semisal kepada paman beliau Abu Thalib dan yang selainnya” (al-Munajjid, Fatawa al-Islam Sual Wa Jawab, I/1918).

              Secara khusus Lajnah Daimah Ulama Saudi pernah ditanya tentang hukum menerima bantuan atau donasi dari non-muslim untuk pembangunan masjid dan madrasah, berikut jawabannya:

يجوز للمسلمين أن يمكنوا غير المسلمين من الإنفاق على المشاريع الإسلامية ، كالمساجد والمدارس إذا كان لا يترتب على ذلك ضرر على المسلمين أكثر من النفع.

“Boleh bagi kaum muslimin menerima infak (donasi) dari non-muslim untuk kegiatan Islam semisal membangun masjid dan sekolah atau pesantren, jika tidak ada bahaya yang lebih banyak yang menimpa kaum muslimin daripada manfaatnya (Fatawa al-Lajnah al-Daimah No. 21334, Vol.XXXI/256).

              Kesimpulannya, menerima donasi berupa uang, makanan, dan lain-lain untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan umum(umat) seperti pembangunan masjid, sekolahan dan juga pesantren, maka hukumnya diperbolehkan. Asal dalam pemberian donasi tersebut tidak ada maksud jahat untuk melemahkan umat Islam. Wallahu A’lam bishshawab!

 

 

 

 

1 komentar: