HUKUM DAN ETIKA
MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL[1]
(Perspektif Islam)
Oleh:
Dr.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I[2]
Pendahuluan
Media Sosial (Social
Media) adalah saluran atau sarana pergaulan sosial secara online di
dunia maya (internet). Para pengguna (user) media sosial berkomunikasi,
berinteraksi, saling kirim pesan, dan saling berbagi (sharing), dan
membangun jaringan (networking).[3]
Media Sosial
(Social Media) terdiri dari dua kata: media dan sosial. Pengertian menurut
bahasa, media sosial adalah alat atau sarana komunikasi masyarakat untuk
bergaul. Menurut Kamus
Bahasa Indonesia,[4]
media adalah alat, sarana komunikasi, perantara, atau penghubung. Sosial
artinya "berkenaan dengan masyarakat" atau suka memperhatikan
kepentingan umum (suka menolong, menderma, dsb).
Dari sisi bahasa tadi, media sosial
bisa dimaknai sebagai sarana berkomunikasi dan berbagi. Makanya, dalam dunia
internet seperti blogging atau Facebook dikenal istilah SHARE (berbagi).
Bahkan, setiap blog atau situs selalu menyediakan fasilitas social share,
terutama Facebook, Twitter, dan Google Plus.[5]
Media sosial saat ini tak ubahnya
seperti pesawat (alat) serba guna. Ia dapat digunakan untuk apa saja. Ia dapat
digunakan untuk agenda kebaikan, seperti menyambung silaturahim, taaruf, berbagi
ilmu pengetahuan, dan sarana kebaikan lainnya. Di sisi lain media sosial dapat
pula digunakan untuk kejahatan, seperti menfitnah, menipu, menciptakan issu
negatif, dan agenda kejahatan lainnya.
Pada
masa Nabi Saw masih hidup, sarana komunikasi tidak seperti sekarang ini. Alat
komunikasi yang paling penting saat itu hanyalah lesan dengan cara berbicara.
Saat itu Nabi Saw sudah mengingatkan kepada sahabatnya untuk menjaga lesannya,[6]
agar dapat digunakan untuk kebaikan, tidak untuk pertikaian atau kejahatan. Andaikan
dulu sudah ada medsos, kemungkinan besar Nabi juga meminta umatnya agar pandai-pandai
menggunakan medsos. Gunakanlah untuk sesuatu yang bermanfaat dan jangan gunakan
untuk hal-hal yang dapat membawa mudarat.
Secara garis
besar, penggunaan media social memiliki dampak, baik dampak positif maupun
dampak negative.
Dampak positif
dari penggunaan media social antara lain: (1)Mempererat silaturahim. Dalam
hal bersilaturahim, penggunaan media sosial ini sangat cocok untuk dapat
berinteraksi dengan orang yang berjauhan tempat tinggalnya; (2)Menambah wawasan
dan pengetahuan. Akhir-akhir ini banyak akun sosial media yang selalu membagi
wawasan dan pengetahuan, hal ini sangat menarik karena kita dapat menambah
wawasan dan pengetahuan secara praktis; (3)Menyediakan informasi yang tepat dan
akurat. Informasi dapat kita peroleh dari sosial media, baik itu informasi
perguruan tinggi, lowongan kerja, ataupun beasiswa; (4)Menyediakan ruang untuk
berpesan positif. Penggunaan sosial media saat ini sudah banyak digunakan oleh
para tokoh agama, ulama, ataupun motivator; dan (5)Mengakrabkan hubungan
pertemanan. Media sosial akan mengakrabkan suatu pertemanan, kala seseorang
malu bertanya di dunia nyata.
Adapun dampak
negatifnya antara lain: (1)Anak dan remaja menjadi malas belajar berkomunikasi
di dunia nyata; (2)Situs jejaring social akan membuat anak dan remaja lebih
mementingkan diri sendiri; (3)Bagi anak dan remaja, tidak ada aturan ejaan dan
tata bahasa di jejaring social; (4)Situs jejaring social adalah lahan subur
bagi predator untuk melakukan kejahatan; (5)Pornografi. Anggapan yang
mengatakan bahwa internet identik dengan pornografi, memang tidak salah. Dengan
kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun
merajalela; (6)Penipuan. Hal ini memang merajalela di bidang manapun. Internet
pun tidak luput dari serangan penipu.[7]
Dari paparan tersebut dapat difahami bahwa media social
itu mengandung dua sisi kemanfaatan, sisi positif dan sisi negative. Ia netral,
tergantung penggunanya untuk apa media social itu dimanfaatkan.
Hukum Menggunakan Medsos
Menggunakan medsos termasuk persoalan muamalah dunyawiyah[8].
Oleh
karena itu berlaku kaidah fikih sebagai berikut:
1.
Hukum asal dalam permasalahan
muamalah adalah mubah (boleh), tidak dilarang kecuali hal-hal yang telah diharamkan
oleh Allah.” Ibn Taymiyah menyatakan:
Artinya: “Adat kebiasaan itu asalnya tidak mengapa (dimaklumi,
dimaafkan), maka ia pun tidak dilarang kecuali
jika Allah
melarangnya”.
Kaidah ini menegaskan bahwa adat kebiasaan
yang dilakukan oleh manusia di dunia ini, apa pun model dan caranya, selama
tidak ada larangan khusus dari Allah dan RasulNya maka adat kebiasaan itu sah
saja dilakukan. Misalnya kebiasaaan jalan pagi, rekreasi, dan lain sebagainya.
Adapun contoh kebiasaan manusia yang dilarang secara khusus oleh Allah adalah
minum-minuman keras (khamr), berjudi dan lain sebagainya.[10]
2. Imam al-Suyuthi mengatakan:
Artinya: “Hukum
asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.
Kaidah ini
menegaskan bahwa melakukan apapun di dunia ini pada dasarnya dibolehkan,
kecuali ada dalil atau petunjuk yang menjelaskan keharamannya atau
pelarangannya.
3.
Ibn al-Sa’di berkata:
الوسائل لها أحكام المقاصد فما لا يتم
الواجب إلا به فهو واجب، وما لا يتم المسنون إلا به فهو مسنون، وطرق الحرام
والمكروهات تابعة لها، ووسيلة المباح مباح.[12]
Artinya: “Hukum
alat tergantung dengan hukum niat, sesuatu yang menjadi wasilah untuk
melakukan perbuatan wajib, hukumnya juga wajib, sesuatu yang menjadi wasilah
untuk melakukan perbuatan sunnah, hukumnya juga sunnah, jalan menuju ke haram
dan makruh mengikuti hukum asal perbuatannya, jalan menuju hal yang mubah
hukumnya juga mubah”.
Kaidah ini
menegaskan bahwa sarana apa pun yang digunakan oleh manusia dalam hidup ini
hukumnya tergantung kepada penggunaannya. Misalnya mobil, jika ia digunakan
untuk kepentingan kebaikan maka dibolehkan bahkan dianjurkan. Adapun jika
digunakan untuk keperluan kejahatan, maka dilarang penggunaannya.
Kaidah ini mengacu kepada sabda Nabi
Saw:
Artinya: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya
mendapatkan sesuai niatnya”.
Kaidah tersebut menegaskan bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia, akan dinilai baik atau tidak tergantung dari niatnya. Karena itu, sungguhpun perbuatannya itu dinilai banyak orang sangat bagus, seperti membantu banyak masjid dan pesantren, tetapi kalau niatnya hanya untuk mendapatkan simpati, maka perbuatan tersebut dinilai tidak baik, karena tidak ikhlas.
Dalam menghukumi penggunaan media
social, perlu dibedakan antara dua hal, yaitu hukum media social dan prilaku dalam
menggunakan media social. Pertama, media social itu sendiri adalah tidak lebih
dari sebuah benda, alat atau sarana. Sebagai benda, ia tak ada bedanya dengan
alat-alat lain seperti komputer, pisau, pena, handphone, mobil, dan lain
sebagainya. Ia bisa digunakan untuk kepentingan apa saja. Pisau contohnya, ia
bisa digunakan sebagai peralatan memasak, menyembelih hewan kurban, tetapi bisa
juga digunakan sebagai alat tindak kejahatan membunuh. Hukum pisau sebagai
sebuah benda adalah mubah. Hukum pisau akan berubah sesuai dengan fungsi atau
perbuatan yang menungganginya. Ia bisa menjadi wajib, jika digunakan sebagai
alat untuk mengerjakan yang wajib, bisa sunnah jika digunakan mendukung
pekerjaan sunnah, bahkan bisa menjadi haram jika digunakan untuk sesuatu yang
haram.
Karena itu, sesuai dengan kaidah-kaidah
di atas, maka hukum penggunaan media social tergantung kepada niat dan
prilakunya. Jika digunakan untuk kepentingan menjalin silaturahim, menebarkan
kebaikan, berdakwah melalui internet, maka media social menjadi wasilah yang
diperbolehkan (mubah) atau bahkan dianjurkan (mustahab) karena
baiknya perbuatan-perbuatan itu. Sebaliknya, jika digunakan untuk kejahatan,
misalnya untuk penipuan, menfitnah, menebar issu sara sehingga meresahkan umat,
maka penggunaannya menjadi haram atau terlarang.[15]
Etika dalam Bermedsos
Media social saat ini tak ubahnya seperti senjata tajam atau
kendaraan, yang bisa dimanfaatkan untuk apa saja, apakah untuk hal-hal yang
positif ataupun untuk hal-hal yang negatif. Senjata tajam misalnya, dapat
dimanfaat untuk menyembelih hewan kurban, selain bisa juga untuk melenyapkan
nyawa orang. Demikian juga kendaraan, dapat digunakan untuk mengantar anak-anak
ke sekolah, dan juga bisa digunakan untuk membawa kawanan perampok.
Untuk bisa mengendalikan media social dengan baik dan
bermaslahah dalam penggunaannya, maka harus memperhatikan tiga aspek. Aspek pertama
tujuan, aspek kedua konten, dan aspek ketiga dampaknya.
Tujuan
1.
Niat yang ikhlas.
Pada saat ingin
menulis artikel, opini, atau upload foto dan video di sebuah media social,
seperti facebook, twitter, blog, WhatsApp,
dan lain sebagainya, maka hal itu harus diniati ikhlas ibadah karena Allah Swt.
Karena, jika tidak dengan niat ikhlas, maka apa yang kita lakukan itu menjadi
sia-sia. Nabi Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ
إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُه[16]
“Sesungguhnya
Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali amalan itu dilakukan dengan
ikhlas dan untuk mencari ridhaNya” (HR.al-Nasai no.3140).
Betapa pentingnya niat ikhlas, Yahya
bin Abi Katsir berkata: “Pelajarilah tentang niat, karena ia lebih penting daripada
amal”(تعلموا
النية فإنها أبلغ من العمل).[17]
Untuk bisa beramal dengan ikhlas, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh (mujahadah)
dalam melawan riya, pamer, ingin dipuji, atau ingin dapat jempol dan like banyak
dan lain sebagainya. Jangan sampai, niat mulia menebar ilmu berubah menjadi
pamer ilmu.
2.
Dalam bersosial media
hendaknya dimaksudkan untuk berdakwah amar makruf nahi munkar. Misalnya mengingatkan
agar orang-orang(calon pembacanya) gemar berbagi, melaksanakan shalat tepat
waktu, gemar shalat dhuha, shalat tahajjud, dan gemar membaca al-Qur’an. Selain
itu bisa digunakan untuk mengingatkan orang-orang agar menjauhi kemaksiatan, seperti
berjudi, minum-minuman keras, dan lain sebagainya. Nabi Saw bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ
مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْئًا[18]
“Barangsiapa
mengajak kepada petunjuk (yang benar), maka ia akan mendapatkan pahala seperti
orang yang mengikuti petunjuk itu, tidak mengurangi sedikitpun dari pahala yang
mereka dapatkan”(HR. Muslim no.6980).
3.
Memberikan pencerahan, motivasi, dan hal-hal
yang dapat menginspirasi. Dalam hal ini bisa dilakukan dengan cara menge-share
atau memposting tentang kisah-kisah keteladanan, kata-kata mutiara, dan
kiat-kiat menjadi orang sukses. Dari postingan semacam ini tidak sedikit orang
yang tadinya putus asa menjadi bangkit dan kembali bersemangat, orang yang
tadinya merasa jatuh terpuruk menjadi bangkit kembali karena terinspirasi
sehingga merasa mendapatkan pencerahan dan jalan keluar dari lilitan problem
yang tadinya menghimpit. Hadis Nabi Saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى
الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Barangsiapa yang melapangkan satu
kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu
kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan
(dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari
kesulitan) di dunia dan akhirat…”(HR. Muslim No.2699).[19]
Konten
1.
Memastikan (benar-benar yakin) bahwa konten
berupa tulisan, foto, dan video yang hendak diposting itu dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Dalam hal ini, bisa berupa artikel atau opini yang berasal dari
tulisan sendiri, dan bisa juga berasal dari postingan orang lain atau copas. Jika
yang diposting itu masalah agama, harus ada dukungan dalil yang shahih dari
al-Qur’an maupun al-Hadis. Demikian juga sekiranya yang diposting itu terkait
dengan ilmu pengetahuan, misalnya masalah kesehatan dan obat-obatan, maka harus
ditelusuri betul hingga mendapatkan referensi yang meyakinkan, siapa yang
berpendapat demikian dan apakah ia memang benar-benar memiliki keahlian di
bidangnya. Harus disadari bahwa apapun yang kita lakukan semuanya akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah. Allah Swt berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya(QS.Al-Isra:36).
Qatadah berkata: “Jangan engkau
berkata aku melihat padahal tidak melihat, aku mendengar padahal tidak
mendengar, dan aku mengetahui padahal tidak tahu menahu, karena Allah SWT akan menanyakan semua itu kepadamu.
Allah melarang mengatakan sesuatu tanpa
pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan dzan
(dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi. [20]
Dalam hal ini, termasuk hal yang
harus disikapi secara ilmiah adalah kejujuran dan pengakuan dari pelaku posting
atau yang melakukan sharing. Jika memang postingan itu berasal dari orang lain
hendaknya diakui bahwa tulisan itu dari orang lain, minimal dengan
mengungkapkan bahwa itu copas dari teman. Orang yang mengaku-ngaku karyanya
padahal bukan, oleh Nabi Saw dipandang sebagai seorang pendusta. Nabi Saw
bersabda:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ
كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
“Orang yang mengaku-ngaku memiliki
(al-mutasyabbi’) dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, maka ia seperti
orang yang memakai dua pakaian kedustaan” (HR. al-Bukhari No. 5219 dan Muslim
No. 5705).
Maksudnya, ucapannya dan
perbuatannya dosa. Dan ini bisa menambah dosa dan menambah bahaya.[21]
2.
Jika konten yang hendak diposting itu
merupakan berita dari pihak lain, harus dilakukan tabayyun
(klarifikasi)lebih dulu, apakah berita tersebut berasal dari sumber terpercaya. Allah Swt berfirman:
يَـأيُّهَاالّذِيْن
آمنـُوْا ِاٍنْ جـآءَكمْ فَاسقٌ بـِنَباٍ فتبيّنـُوْا أنْ تُصِبـوْا قوْمًـا
بِجَهَالـةٍ فتُصْبِحُـوْا علَى مَا فعَلْتـُمْ نـدميـن
Artinya : “Wahai orang-orang yang
beriman, jika datang seorang yang fasik kepadamu membawa berita, maka
tangguhkanlah (hingga kamu mengetahui kebenarannya) agar tidak menyebabkan kaum
berada dalam kebodohan (kehancuran) sehingga kamu menyesal terhadap apa yang
kamu lakukan”(QS. Al-Hujurat, 6).
Dalam tafsir Mafatih
al-Ghaib, Imam Al-Rrazi mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan anjuran Allah
Swt. untuk berhati-hati dalam menerima informasi dari orang-orang fasik, karena
mereka hanya menginginkan terjadinya fitnah di antara kaum mukminin dan Allah
memerintahkan untuk meneliti atau memfilter berita tersebut.[22]
3.
Dalam penyajian tulisan di media sosial,
hendaknya seorang muslim mengedepankan asas praduga tak bersalah dan
menghindari tulisan gunjingan atau ghibah, tulisan mengandung tuduhan zina (qadzaf),
dan pembeberan rahasia orang, kelompok, atau negara. Dalam Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ
: أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ :
ذِكْرُكَ أَخَأكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ اَفَرَاَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا
أَقُولُ قَالَ إِنَّ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدِاغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَهُ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para
sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan
RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau
menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut,
“Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau
menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya,
sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah
berdusta atas dirinya”(HR. Muslim No. 2589).
Allah mengancam orang-orang yang
sengaja ingin membeberkan rahasia keburukan orang di hadapan public.
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ
آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar
(berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah
mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.(QS. Al-Nur, 19).
4.
Bahasa konten yang digunakan dalam postingan
di media social hendaknya yang wajar, baik, dan santun. Tidak menggunakan
kata-kata porno dan jorok. Tidak pula menggunakan kata-kata yang dapat
menyinggung atau bahkan melukai perasaan orang lain. Pada prinsipnya jangan sampai
membuat orang lain terganggu dengan ungkapan bahasa yang kita posting di media
social. Dalam sebuah hadis Nabi disebutkan:
إِنَّ رَجُلاً
سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ قَالَ «
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه
Ada seorang
laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Saw: “Siapakah orang-orang muslim
yang paling baik (paling utama) ? Beliau menjawab, “Seseorang yang (bisa
menjaga dirinya hingga) orang-orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan
dan tangannya”.(HR. al-Bukhari No.11 dan Muslim No. 64).
Ibn Hajar
al-‘Asqalani menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan pentingnya menjaga
lisan agar orang-orang muslim lainnya bisa selamat (tidak terganggu). Ahmad
meriwayatkan dari al-Barra: “kendalikan lesanmu kecuali untuk kebaikan”. Uqbah
bin Amir bertanya kepada Rasul tentang kiat agar menjadi orang yang selamat, Nabi Saw
menegaskan: “kendalikan lidahmu”.[23]
Jika dikaitkan dengan penggunaan media social, maka hal ini dapat disamakan
dengan perintah agar berhati-hati atau selektif setiap hendak memposting dalam
medsos.
Dampak Positif-Negatif.
Termasuk hal-hal yang harus diperhatikan saat bergelut di
media social adalah mengenai dampak positif dan negative dari suatu postingan
atau sharing. Tidak semua yang benar itu baik untuk diposting, harus lihat
situasi dan kondisi, apalagi postingan yang jelas-jelas tidak benar atau hoax.
Karena itu perlu seleksi yang cermat sebelum melakukan postingan. Al-Nawawi
memperingatkan:
اعلم أنه ينبغي لكل مكلف أن يحفظ لسانه عن جميع الكلام إلا كلاما
تظهر المصلحة فيه، ومتى استوى الكلام وتركه في المصلحة، فالسنة الإمساك عنه، لأنه
فد ينجر الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة...وروينا
في صحيح البخاري ومسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم
قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت[24]
“Ketahuilah bahwa setiap orang wajib menjaga lisannya kecuali untuk hal-hal yang bermanfaat. Apabila dirasa ucapan tersebut posisinya masih ambigu, maksudnya tidak ada kepastian apakah mengandung manfaat atau mudharat, maka lebih baik ditinggalkan. Sebab terkadang ucapan yang diperbolehkan bisa berubah status hukumnya menjadi haram atau makruh. Hal ini banyak terjadi di lapangan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau lebih baik diam”.
Ungkapan Imam al-Syafi’i terkait dengan orang
yang suka komentar:
“Apabila kalian hendak bicara,
berpikirlah sebelumnya. Jika ada kemaslahatan pada ucapan tersebut, bicaralah.
Andaikan kalian ragu, lebih baik tidak bicara sampai ditemukan
kemaslahatannya”.
Mahir Yasin menjelaskan:
وينبغي على المسلم أنْ يسكت عن كل ما
رآه الإنسان من أحوال الناس مما يكره إلا ما في حكايته فائدة لمسلم أو دفع معصية[26]
“Seharusnya setiap muslim bersikap
diam terhadap prilaku atau keadaan orang-orang yang dilihatnya tidak
menyenangkan, kecuali jika pemberitaannya bisa membawa maslahah bagi orang lain
dan dapat mencegah kemaksiatan.
Dari pernyataan beberapa ulama
tersebut dapat difahami bahwa setiap orang yang hendak melakukan posting atau
sharing suatu ide atau pemikiran di media social hendaknya mempertimbangkan
dampak positif dan negatifnya. Jika sekiranya dampaknya baik bagi masyarakat
luas, silakan diposting. Namun, jika dampaknya bisa meresahkan public atau meragukan,
maka hendaknya tidak dilakukan. Karena itu perlu sikap kritis dan selektif
setiap menerima postingan dari fihak lain. Nabi Saw memperingatkan:
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ
بِكُلِّ مَا سَمِعَ[27]
Dari Hafsh bin Ashim,
Rasulullah Saw bersabda: “Cukuplah
seseorang dianggap pendusta ketika dia menceritakan (menyebarkan) apa saja yang
dia dengar.” (HR. Muslim No.7).
Penutup
Akhir-akhir ini masalah hoax
(berita bohong) sangat marak bermunculan di media social. Susilo Bambang
Yudhoyono sepertinya tak sanggup menyembunyikan kegundahannya hingga menulis di
akun twitter resminya, @SBYudhoyono terkait banyaknya berita fitnah dan hoax:
“Ya Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Negara kok jadi begini. Juru fitnah dan
penyebar “hoax” berkuasa dan merajalela. Kapan rakyat dan yang lemah bisa
menang? SBY”.[28]
Di
hadapan tokoh masyarakat dan santri, Lukman Hakim (Menag RI) menceritakan bahwa
berita hoax sebenarnya telah ada sejak zaman khulafaur rasyidin. Ia
lantas mengisahkan cerita fitnatul qubro (fitnah besar) di
mana Khalifah Utsman bin Affan terbunuh karena berita bohong (hoax).
Sahabat Utsman misalnya, dibunuh oleh seorang muslim, yang tidak sembarang
muslim. Bukan muslim awam, tapi seorang hafidz. Dia tergerak
sendiri, membunuh sendiri, karena berita hoax.[29]
Mengingat sudah sedemikian hebatnya berita
hoax di sekitar kita, maka perlu disikapi dengan kritis dan selektif setiap ada
pemberitaan. Ada beberapa kiat bagaimana cara mengetahui sebuah berita itu hoax
atau asli. Sedikitnya ada tiga langkah yang dapat ditempuh:[30]
Pertama, periksa dulu asal-usul tulisan atau gambar
tersebut dari mana. Jika asal-usulnya dari situs-situs yang tidak jelas, atau
situs-situs yang selama ini dikenal sebagai situs yang sering menyebarkan
berita hoax, maka waspadalah! Berita-berita hoax di Indonesia tidak selamanya asli
buatan dalam negeri; jamak terjadi berasal dari terjemahan, khusunya jika
menyangkut temuan-temuan ilmiah.
Kedua, periksa juga siapa yang menulis. Berita hoax
umumnya anonim atau bisa juga seakan-akan benar dengan menggunakan nama
orang-orang yang sudah dikenal. Jika ada namanya, coba telusuri asal-usul
tulisan tersebut dengan cara masuk ke blog atau web atau alamat-alamat penulis
yang bisa diakses.
Ketiga, jika informasi yang hendak kita cari ada
gambarnya, maka yang mesti kita lakukan adalah minta bantuan pada google
image, upload gambarnya, lalu cari dari mana asal-usul gambar
tersebut plus apa berita yang berkait dengan gambar tersebut. Jika sudah muncul
gambarnya, periksa tanggalnya, lihat judul beritanya, dan apa isi informasinya.
Dari sini akan diketahui keshahihan informasi tersebut.
Bagi kita sebagai pengguna, mulai
hari ini tahan dirilah, tidak asal kirim apa yang kita dapatkan. Tabayyun
dulu, jika sudah jelas shahih, boleh dikirim sebagai amal shalih. Tapi, jika
kita sendiri tidak yakin keshahihannya, hendaklah melakukan tabayyun dulu, jika
tidak bisa, maka tahanlah, jangan disebar, karena dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah
Saw memberi peringatan kepada umatnya: “Cukuplah seseorang dianggap pendusta
ketika dia menceritakan (menyebarkan) apa saja yang dia dengar”.
Wallahu A’lam Bi al-Shawab !
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Muhsin al-‘Ubbad, Syahrh Sunan Abi
Dawud, I/2.
Ahmad Ibrahim Bek, al-Mu’amalah al-Syar’iyah al-Maliyah
Al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah
al-Kamilah, II/439.
________, al-Silsilah al-Shahihah
al-Mukhtasharah, I/118.
Fakhr al-Din
al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, XXVIII/102
Ibn Hajar
al-‘Asqalani, Fath al-Bari, XVII/299.
Ibn Katsir, al-Bidayah
Wa al-Nihayah, VII/188-190.
________, Tafsir Ibn Katsir, III/52.
Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum Wa
al-Hikam,I/13.
Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, IV/5.
Ibrahim Mushthafa, et al., al-Mu’jam
al-Wasith, II/628.
al-Nawawi, al-Adzkar
al-Nawawiyah, I/418-419.
al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadzair,
I/107.
Muhammad bin al-Husain al-Jaizani, Ma’alimUshul
al-Fiqh Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, I/279.
Mahir Yasin
al-Fahl, Hurmat al-Muslim ‘Ala al-Muslim, I/11.
Zakariyya bin Ghulam Qadir al-Bakistani, Ushul
al-Fiqh ‘Ala Manhaj Ahl al-Hadis, I/129.
@SBYudhoyono
Aris Kurniawan, http://www.gurupendidikan.com.
Herry
Muhammad, http://www.arrahmah.com.
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php.
http://tarjih.or.id.
http://www.romelteamedia.com
http://www.contohblog.com
CATATAN KAKI
[1] Dipresentasikan pada acara Kajian Tarjih “Fiqh Media Sosial” yang diselenggarakan oleh MTT-PWM Jawa Timur, Sabtu 28 Januari 2017 di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
[1] Dipresentasikan pada acara Kajian Tarjih “Fiqh Media Sosial” yang diselenggarakan oleh MTT-PWM Jawa Timur, Sabtu 28 Januari 2017 di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
[6] Ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada Rasulullah Saw: “Siapakah orang muslim yang paling baik (paling
utama) ? Beliau menjawab, “Seseorang yang (bisa menjaga dirinya hingga) orang-orang
muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.(HR. al-Bukhari No.11
dan Muslim No. 64).
[8] Dalam Kamus al-Mu’jam al-Wasith
disebutkan bahwa muamalat adalah hukum-hukum syarak yang berhubungan dengan
urusan duniawi seperti jual-beli dan perdagangan. Ibrahim Mushthafa, at al., al-Mu’jam
al-Wasith, II/628. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, muamalah adalah
peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti
perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi,
peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun
khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan
terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di
antara mereka. Ahmad Ibrahim Bek, al-Mu’amalah al-Syar’iyah al-Maliyah (Kairo: Dar
al-Intishar, 1936).
[10] Allah SWT
berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)," (QS. Al-Maadiah: 90-91)
[12] Muhammad bin al-Husain al-Jaizani, Ma’alimUshul
al-Fiqh Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, I/279.
[16] Hadis tersebut menurut Al Albani shahih. Muhammad
Nashiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Mukhtasharah, I/118.
[18] Hadis tersebut shahih. Selain diriwayatkan
oleh Imam Muslim juga diriwayatkan oleh Abu Dawud , al-Tirmidzi, Ibn Majah,
Ahmad, dan al-Darimi secara marfu dari Abu Hurairah. Al-Albani, al-Silsilah
al-Shahihah al-Kamilah, II/439.
[19] Hadis tersebut, selain diriwayatkan oleh
Muslim juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no.4895, al-Tirmidzi no.1426, Ibn
Majalah no.225, Ahamad no.7427, dan lain-lain.
[27] Hadis tersebut, selain diriwayatkan oleh
Muslim juga diriwayatkan oleh Abu Dawud No.1694, Al-Hakim No. 381, Ibn Hibban
No.30, dan lain-lain
[29] http://m.timesindonesia.co.id
. Ibn Katsir menulis dalam kitabnya al-Bidayah Wa al-Nihayah: “Usman bin Affan
akhirnya terbunuh oleh al-Ghafiqi bin Harb dan wafat pada hari Jumat tanggal 18
Dzul Hijjah tahun 35 H, setelah rumahnya dikepung selama 40 hari”. Ibn Katsir, Al-Bidayah
Wa al-Nihayah, VII/ 188-190.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar