HUKUM SALAT BERPAKAIAN NAJIS
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan
Suatu
saat kami sedang dalam perjalanan ke tempat wisata. Tak sengaja, saat ke toilet
percikan najis mengenai celana kami. Saat itu kami mau salat tetapi tidak
memiliki pakaian pengganti yang suci. Padahal waktu salat hampir habis. Dalam
keadaan demikian (darurat), bolehkah kami salat dengan berpakaian najis? Demikian,
atas jawabannya saya sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa
jazakumullah khairal jaza’! (Mohammad Sholeh, Sidoarjo).
Pembahasan:
Berpakaian
suci adalah termasuk syarat sahnya salat. Beberapa hadis yang menerangkan
pentingnya berpakaian suci ketika salat diterangkan dalam beberapa hadis, di
antaranya hadis dari Abu Said al-Khudri ra., Nabi saw. bersabda:
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُقَلِّبْ
نَعْلَيْهِ، فَإِنْ رَأَى فِيهِمَا أَذًى فَلْيُمِطْ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
Apabila kalian hendak masuk
masjid, hendaknya dia membalikkan (melihat) sandalnya. Jika dia lihat ada
najis, hendaknya dia bersihkan, dan (setelah itu) silahkan digunakan untuk
salat (HR. al-Darimi 1378 dan al-Hakim 955). Al-Albani menilai bahwa
hadis ini sahih (al-Albani, Asl Sifat Salat al-Nabi Sallallahu Alaihi
Wasallam, I/108-109).
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي
فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ
أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا
أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Malaikat Jibril as. telah datang kepadaku, lalu memberitahukan
kepadaku bahwa di sepasang sandal itu ada najisnya.” Selanjutnya beliau
bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah,
jika ia melihat di sepasang sandalnya terdapat najis atau kotoran maka
bersihkanlah, dan salatlah dengan sepasang sandalnya itu” (HR.
Abu Dawud 650).
Al-Albani menilai hadis ini sahih
(al-Albani, Sahih Abi Dawud, II/241).
Dua
hadis tersebut menerangkan bahwa setiap hendak melakuan salat harus menggunakan
pakaian yang suci atau bersih dari najis. Nah, bagaimana kalau kita hendak
salat ternyata pakaiannya kotor, kena najis dan saat itu kita tidak tersedia
pakaian pengganti yang suci, sementara waktu salat hampir habis? Bolehkah salat
dengan berpakaian najis?
Dalam
keadaan yang tidak memungkinkan lagi berganti pakaian yang suci (dalam keadaan
darurat), maka ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya:
Kelompok Ulama Pertama, berpendapat bahwa orang itu harus tetap salat
dengan menggunakan pakaian seadanya walaupun pakiannya itu terkena najis.
Pendapat ini dipegangi oleh ulama Malikiyah dan Hanabilah. Dalam pandangan ulama
Malikiyah, jika nanti sudah menemukan pakaian pengganti yang suci maka ia harus
mengulangi salatnya.
Sedangkan dalam pandangan ulama Hanabilah mengatakan
bahwa dalam keadaan terpaksa, tidak tersedia pakaian kecuali yang sudah terkena
najis itu, maka ia harus salat dengan pakaian yang terkena najis itu dan tidak
boleh salat dalam keadaan telanjang, dan secara mutlak ia harus mengulanginya
(Abdullah al-Faqih, Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah Muaddalah, VI/3465).
Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.
1223 M) mengatakan:
وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا ثَوْبًا نَجِسًا صَلَّى
فِيهِ وَأَعَادَ عَلَى الْمَنْصُوصِ، وَيَتَخَرَّجُ أَنْ لَا يُعِيدَ بِنَاءً
عَلَى مَنْ صَلَّى فِي مَوْضِعٍ نَجِسٍ لَا يُمْكِنُهُ الْخُرُوجُ مِنْهُ،
فَإِنَّهُ قَالَ لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ.
"Barang siapa tidak
menemukan kecuali pakaian najis, maka ia boleh salat dengan pakaian itu dan
mengulang salatnya menurut pendapat yang tertulis (pendapat resmi). Namun, ada
pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak perlu mengulangi lagi salat berdasarkan
pendapat bahwa orang yang salat di tempat najis yang ia tidak bisa keluar
darinya, maka dikatakan tidak ada kewajiban mengulang (salat) atasnya" (Ibn
Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’ Fi Syarh al-Muqni’, I/369).
Kelompok
Ulama Kedua, berpendapat bahwa tidak boleh secara mutlak salat dengan
menggunakan pakaian yang terkena najis. Kalau ia mau salat dan tidak ada
pakaian yang suci, maka ia salat dalam keadaan telanjang, dan bila sudah salat
maka ia tidak perlu mengulanginya lagi. Ini adalah pendapat Imam Syafii dan
ulama Syafiiyah.
Imam Syafii (w. 820 M) dalam kitab al-Umm
mengatakan:
وَلَوْ أَصَابَتْ ثَوْبَهُ نَجَاسَةٌ ولم يَجِدْ
مَاءً لِغُسْلِهِ صلى عُرْيَانًا وَلَا يُعِيدُ ولم يَكُنْ له أَنْ يصلى في ثَوْبٍ
نَجِسٍ بِحَالٍ وَلَهُ أَنْ يصلى في الْإِعْوَازِ من الثَّوْبِ الطَّاهِرِ
عُرْيَانًا
Jika pakaiannya terkena najis,
sementara dia tidak memiliki air untuk membersihkannya, maka dia salat dengan
telanjang, dan tidak perlu mengulanginya. Dia tidak boleh salat dengan pakaian
najis sama sekali. Ia boleh salat dengan telanjang ketika tidak mendapatkan
pakaian yang suci (Imam al-Syafi’i, al-Umm, 1/74).
Kelompok Ulama Ketiga, berpendapat bahwa bila
tidak mendapatkan pakaian kecuali hanya yang terkena najis, sementara waktu
salat akan habis dan tidak ada kesempatan untuk mencucinya, maka ia boleh salat
dengan pakaian yang terkena najis itu. Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah.
Secara rinci Imam al-Kasani al-Hanafi menerangkan sebagai berikut:
فَإِنْ كان رُبْعُهُ طَاهِرًا لم يُجْزِهِ أَنْ
يُصَلِّيَ عُرْيَانًا بَلْ يَجِبُ عليه أَنْ يُصَلِّيَ في ذلك الثَّوْبِ لِأَنَّ
الرُّبْعَ فما فَوْقَهُ في حُكْمِ الْكَمَالِ
Jika seperempat dari pakaian
yang dikenakan itu masih suci, maka ia tidak boleh salat dengan telanjang.
Bahkan wajib baginya untuk salat dengan pakaian yang terkena najis itu. Karena
bila pakaian yang dikenakan itu, yakni yang suci minimal seperempatnya, maka
sifatnya dipandang sama dengan sempurna (al-Kasani, Bada-i’
al-Sana-i’, I/117).
Lebih
lanjut al-Kasani (w. 1191 M) menerangkan:
وَإِنْ كان كُلُّهُ نَجِسًا أو الطَّاهِرُ منه
أَقَلَّ من الرُّبْعِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ في قَوْلِ أبي حَنِيفَةَ وَأَبِي
يُوسُفَ إنْ شَاءَ صلى عُرْيَانًا وَإِنْ شَاءَ مع الثَّوْبِ لَكِنَّ الصَّلَاةَ
في الثَّوْبِ أَفْضَلُ وقال مُحَمَّدٌ لَا تُجْزِئُهُ إلَّا مع الثَّوْبِ
Jika pakaian yang dikenakan
semuanya terkena najis atau bagian yang suci kurang dari seperempat, maka dia
boleh memilih, ini menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Bila mau, dia
boleh salat dengan telanjang, dan boleh juga salat dengan pakaian yang terkena
najis itu. Namun salat dengan pakaian yang terkena najis itu lebih utama
ketimbang salat dengan telanjang. Muhammad bin Hasan (salah satu murid senior
Abu Hanifah) berkata bahwa salatnya tidak sah, kecuali dengan mengenakan
pakaian (al-Kasani, Bada-i’ al-Sana-i’, 1/117).
Menurut ulama kontemporer, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
(w. 2001 M), apabila najis yang menempel di pakaian itu tidak bisa dihilangkan,
padahal telah tiba waktu salat dan ia dalam perjalanan serta khawatir akan
habisnya waktu salat, maka yang bisa dilakukan adalah meminimalisir najis yang
ada pada pakaian itu sebisa mungkin. Yang tidak mungkin dihilangkan atau
diringankan dari kenajisan tersebut berarti tidak menjadi masalah (dimaklumi),
karena Allah telah berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat
kemampuanmu! (QS.
Al-Taghabun, 16).
Lebih lanjut al-Utsaimin mengatakan bahwa seseorang bisa
salat dengan pakaian tersebut walaupun najis (karena terpaksa) dan tidak wajib
mengulangi salatnya. Beliau mengatakan:
فَتُصَلِّي باِلثَّوْبِ وَلَوْ كَانَ نَجساً وَلاَ
إِعَادَةَ عَلَيْكَ عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ
“Engkau boleh salat dengan pakaian itu
walau sudah terkena najis, dan tidak perlu mengulanginya berdasarkan pendapat
yang kuat”.
Al-Utasimin
kemudian memberikan argumen bahwa yang demikian itu adalah bagian dari takwa
kepada Allah sesuai dengan kesanggupan yang dimilikinya. Apabila seseorang
telah melaksanakan ketakwaan sesuai dengan kemampuan yang ada padanya maka dia
dipandang telah melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas dirinya, dan siapa
saja yang telah berusaha maksimal untuk melaksanakan apa yang diwajibkan atas
dirinya maka orang itu telah terbebas dari segala kewajiban (Al-Utsaimin, Majmu’
Fatawa Wa Rasa-il al-Utsaimin, XII/368).
Menurut
Himpunan Putusan Tarjih (HPT-3, hal.673), jika pakaian seseorang terkena najis
salah satu dari yang telah disebutkan (kotoran manusia, muntah, air madzi wadi,
dan lain lain), maka pakaiannya tidak sah digunakan untuk salat. Ia harus
menanggalkannya dan menggantinya dengan yang lain. Namun dalam kondisi terjadi
bencana (kondisi terpaksa), di mana tidak memungkinkan untuk berganti pakaian
yang bersih dan suci, maka hal tersebut dapat dimaklumi (dibolehkan salat
dengan pakaian yang terkena najis itu) dan salatnya tadi menjadi sah. Tidak
perlu diulang.
Kewajiban
salat tetap harus ditunaikan oleh setiap orang muslim sekalipun salah satu
syarat sahnya tidak bisa terpenuhi. Inilah yang disebut sebagai kondisi
darurat, kondisi terpaksa, yang menyebabkan terjadinya pengecualian. Dalam
kaidah usul fiqih disebutkan:
الضَّروراتُ تُبيحُ المحظُوراتِ
Kondisi darurat dapat membolehkan sesuatu yang
tadinya dilarang (Abd al-Qadir Ibn Badran, al-Madkhal, I/298).
Maksudnya, salat yang dilakukan dengan menggunakan
pakaian yang terkena najis pada dasarnya hukumnya tidak sah. Karena salah satu
syarat sahnya salat adalah dengan menggunakan pakaian yang suci. Namun, bila
kondisinya terpaksa (darurat), yakni tidak memungkinkan lagi untuk berganti
pakaian yang suci, sementara waktu salat hampir habis, maka dalam keadaan
demikian, meskipun pakaiannya terkena najis, salatnya dihukumi sah dan tidak
perlu mengulang. Wallahu A’lam!
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Novenber 2024)