Sabtu, 09 November 2024

HUKUM SALAT BERPAKAIAN NAJIS

 HUKUM SALAT BERPAKAIAN NAJIS

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan

            Suatu saat kami sedang dalam perjalanan ke tempat wisata. Tak sengaja, saat ke toilet percikan najis mengenai celana kami. Saat itu kami mau salat tetapi tidak memiliki pakaian pengganti yang suci. Padahal waktu salat hampir habis. Dalam keadaan demikian (darurat), bolehkah kami salat dengan berpakaian najis? Demikian, atas jawabannya saya sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’! (Mohammad Sholeh, Sidoarjo).

Pembahasan:

Berpakaian suci adalah termasuk syarat sahnya salat. Beberapa hadis yang menerangkan pentingnya berpakaian suci ketika salat diterangkan dalam beberapa hadis, di antaranya hadis dari Abu Said al-Khudri ra., Nabi saw.  bersabda:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، فَإِنْ رَأَى فِيهِمَا أَذًى فَلْيُمِطْ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

Apabila kalian hendak masuk masjid, hendaknya dia membalikkan (melihat) sandalnya. Jika dia lihat ada najis, hendaknya dia bersihkan, dan (setelah itu) silahkan digunakan untuk salat (HR. al-Darimi 1378 dan al-Hakim 955). Al-Albani menilai bahwa hadis ini sahih (al-Albani, Asl Sifat Salat al-Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam, I/108-109).

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Malaikat Jibril as. telah datang kepadaku, lalu memberitahukan kepadaku bahwa di sepasang sandal itu ada najisnya.” Selanjutnya beliau bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah, jika ia melihat di sepasang sandalnya terdapat najis atau kotoran maka bersihkanlah, dan salatlah dengan sepasang sandalnya itu” (HR. Abu Dawud 650). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Abi Dawud, II/241).

            Dua hadis tersebut menerangkan bahwa setiap hendak melakuan salat harus menggunakan pakaian yang suci atau bersih dari najis. Nah, bagaimana kalau kita hendak salat ternyata pakaiannya kotor, kena najis dan saat itu kita tidak tersedia pakaian pengganti yang suci, sementara waktu salat hampir habis? Bolehkah salat dengan berpakaian najis?

            Dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi berganti pakaian yang suci (dalam keadaan darurat), maka ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya:

Kelompok Ulama Pertama, berpendapat bahwa orang itu harus tetap salat dengan menggunakan pakaian seadanya walaupun pakiannya itu terkena najis. Pendapat ini dipegangi oleh ulama Malikiyah dan Hanabilah. Dalam pandangan ulama Malikiyah, jika nanti sudah menemukan pakaian pengganti yang suci maka ia harus mengulangi salatnya.  

Sedangkan dalam pandangan ulama Hanabilah mengatakan bahwa dalam keadaan terpaksa, tidak tersedia pakaian kecuali yang sudah terkena najis itu, maka ia harus salat dengan pakaian yang terkena najis itu dan tidak boleh salat dalam keadaan telanjang, dan secara mutlak ia harus mengulanginya (Abdullah al-Faqih, Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah Muaddalah, VI/3465).

Ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 1223 M) mengatakan:

وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا ثَوْبًا نَجِسًا صَلَّى فِيهِ وَأَعَادَ عَلَى الْمَنْصُوصِ، وَيَتَخَرَّجُ أَنْ لَا يُعِيدَ بِنَاءً عَلَى مَنْ صَلَّى فِي مَوْضِعٍ نَجِسٍ لَا يُمْكِنُهُ الْخُرُوجُ مِنْهُ، فَإِنَّهُ قَالَ لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ.

"Barang siapa tidak menemukan kecuali pakaian najis, maka ia boleh salat dengan pakaian itu dan mengulang salatnya menurut pendapat yang tertulis (pendapat resmi). Namun, ada pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak perlu mengulangi lagi salat berdasarkan pendapat bahwa orang yang salat di tempat najis yang ia tidak bisa keluar darinya, maka dikatakan tidak ada kewajiban mengulang (salat) atasnya" (Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’ Fi Syarh al-Muqni’, I/369).

            Kelompok Ulama Kedua, berpendapat bahwa tidak boleh secara mutlak salat dengan menggunakan pakaian yang terkena najis. Kalau ia mau salat dan tidak ada pakaian yang suci, maka ia salat dalam keadaan telanjang, dan bila sudah salat maka ia tidak perlu mengulanginya lagi. Ini adalah pendapat Imam Syafii dan ulama Syafiiyah.

            Imam Syafii (w. 820 M) dalam kitab al-Umm mengatakan:

وَلَوْ أَصَابَتْ ثَوْبَهُ نَجَاسَةٌ ولم يَجِدْ مَاءً لِغُسْلِهِ صلى عُرْيَانًا وَلَا يُعِيدُ ولم يَكُنْ له أَنْ يصلى في ثَوْبٍ نَجِسٍ بِحَالٍ وَلَهُ أَنْ يصلى في الْإِعْوَازِ من الثَّوْبِ الطَّاهِرِ عُرْيَانًا

Jika pakaiannya terkena najis, sementara dia tidak memiliki air untuk membersihkannya, maka dia salat dengan telanjang, dan tidak perlu mengulanginya. Dia tidak boleh salat dengan pakaian najis sama sekali. Ia boleh salat dengan telanjang ketika tidak mendapatkan pakaian yang suci (Imam al-Syafi’i, al-Umm, 1/74).

            Kelompok Ulama Ketiga, berpendapat bahwa bila tidak mendapatkan pakaian kecuali hanya yang terkena najis, sementara waktu salat akan habis dan tidak ada kesempatan untuk mencucinya, maka ia boleh salat dengan pakaian yang terkena najis itu. Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah. Secara rinci Imam al-Kasani al-Hanafi menerangkan sebagai berikut:

فَإِنْ كان رُبْعُهُ طَاهِرًا لم يُجْزِهِ أَنْ يُصَلِّيَ عُرْيَانًا بَلْ يَجِبُ عليه أَنْ يُصَلِّيَ في ذلك الثَّوْبِ لِأَنَّ الرُّبْعَ فما فَوْقَهُ في حُكْمِ الْكَمَالِ

Jika seperempat dari pakaian yang dikenakan itu masih suci, maka ia tidak boleh salat dengan telanjang. Bahkan wajib baginya untuk salat dengan pakaian yang terkena najis itu. Karena bila pakaian yang dikenakan itu, yakni yang suci minimal seperempatnya, maka sifatnya dipandang sama dengan sempurna (al-Kasani, Bada-i’ al-Sana-i’, I/117).

            Lebih lanjut al-Kasani (w. 1191 M) menerangkan:

وَإِنْ كان كُلُّهُ نَجِسًا أو الطَّاهِرُ منه أَقَلَّ من الرُّبْعِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ في قَوْلِ أبي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ إنْ شَاءَ صلى عُرْيَانًا وَإِنْ شَاءَ مع الثَّوْبِ لَكِنَّ الصَّلَاةَ في الثَّوْبِ أَفْضَلُ وقال مُحَمَّدٌ لَا تُجْزِئُهُ إلَّا مع الثَّوْبِ

Jika pakaian yang dikenakan semuanya terkena najis atau bagian yang suci kurang dari seperempat, maka dia boleh memilih, ini menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Bila mau, dia boleh salat dengan telanjang, dan boleh juga salat dengan pakaian yang terkena najis itu. Namun salat dengan pakaian yang terkena najis itu lebih utama ketimbang salat dengan telanjang. Muhammad bin Hasan (salah satu murid senior Abu Hanifah) berkata bahwa salatnya tidak sah, kecuali dengan mengenakan pakaian (al-Kasani, Bada-i’ al-Sana-i’, 1/117).

            Menurut ulama kontemporer, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 2001 M), apabila najis yang menempel di pakaian itu tidak bisa dihilangkan, padahal telah tiba waktu salat dan ia dalam perjalanan serta khawatir akan habisnya waktu salat, maka yang bisa dilakukan adalah meminimalisir najis yang ada pada pakaian itu sebisa mungkin. Yang tidak mungkin dihilangkan atau diringankan dari kenajisan tersebut berarti tidak menjadi masalah (dimaklumi), karena Allah telah berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ  

Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!  (QS. Al-Taghabun, 16).

            Lebih lanjut al-Utsaimin mengatakan bahwa seseorang bisa salat dengan pakaian tersebut walaupun najis (karena terpaksa) dan tidak wajib mengulangi salatnya. Beliau mengatakan:

فَتُصَلِّي باِلثَّوْبِ وَلَوْ كَانَ نَجساً وَلاَ إِعَادَةَ عَلَيْكَ عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ

“Engkau boleh salat dengan pakaian itu walau sudah terkena najis, dan tidak perlu mengulanginya berdasarkan pendapat yang kuat”.

Al-Utasimin kemudian memberikan argumen bahwa yang demikian itu adalah bagian dari takwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupan yang dimilikinya. Apabila seseorang telah melaksanakan ketakwaan sesuai dengan kemampuan yang ada padanya maka dia dipandang telah melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas dirinya, dan siapa saja yang telah berusaha maksimal untuk melaksanakan apa yang diwajibkan atas dirinya maka orang itu telah terbebas dari segala kewajiban (Al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa Wa Rasa-il al-Utsaimin, XII/368).

Menurut Himpunan Putusan Tarjih (HPT-3, hal.673), jika pakaian seseorang terkena najis salah satu dari yang telah disebutkan (kotoran manusia, muntah, air madzi wadi, dan lain lain), maka pakaiannya tidak sah digunakan untuk salat. Ia harus menanggalkannya dan menggantinya dengan yang lain. Namun dalam kondisi terjadi bencana (kondisi terpaksa), di mana tidak memungkinkan untuk berganti pakaian yang bersih dan suci, maka hal tersebut dapat dimaklumi (dibolehkan salat dengan pakaian yang terkena najis itu) dan salatnya tadi menjadi sah. Tidak perlu diulang.

Kewajiban salat tetap harus ditunaikan oleh setiap orang muslim sekalipun salah satu syarat sahnya tidak bisa terpenuhi. Inilah yang disebut sebagai kondisi darurat, kondisi terpaksa, yang menyebabkan terjadinya pengecualian. Dalam kaidah usul fiqih disebutkan:

الضَّروراتُ تُبيحُ المحظُوراتِ

Kondisi darurat dapat membolehkan sesuatu yang tadinya dilarang (Abd al-Qadir Ibn Badran, al-Madkhal, I/298).

            Maksudnya, salat yang dilakukan dengan menggunakan pakaian yang terkena najis pada dasarnya hukumnya tidak sah. Karena salah satu syarat sahnya salat adalah dengan menggunakan pakaian yang suci. Namun, bila kondisinya terpaksa (darurat), yakni tidak memungkinkan lagi untuk berganti pakaian yang suci, sementara waktu salat hampir habis, maka dalam keadaan demikian, meskipun pakaiannya terkena najis, salatnya dihukumi sah dan tidak perlu mengulang. Wallahu A’lam!

             (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Novenber 2024)

SALAT SUNAH TAUBAT

 SALAT SUNAH TAUBAT

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M. Fil I

Permasalahan:

            Ada seorang teman yang memperbincangkan tentang status hukum Salat Taubat. Katanya, sejumlah ulama mengatakan bahwa Salat Taubat itu disunahkan, tetapi dalam buku-buku yang memuat fatwa tarjih, baik dalam HPT-I, HPT-3, maupun dalam buku-buku Tanya Jawab Agama (Jilid 1-9) tidak ditemukan keterangan mengenai kesunahan Salat Taubat. Melalui rubrik konsultasi agama ini saya mohon kepada Pengasuh Konsultasi Agama untuk memberikan penjelasan bagaimana sebenarnya status hukum Salat Taubat menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, sunahkah? (Ahmad Tabib, Sidoarjo).

Pembahasan:

            Yang dimaksud dengan Salat Taubat adalah salat yang dilakukan oleh seseorang yang baru saja terjebak dalam perbuatan dosa atau maksiat. Salat ini dilakukan setelah seseorang menyadari dosa-dosanya, selanjutnya berharap kepada Allah untuk mendapatkan pengampunanNya melalui salat. Salat Taubat ini juga disebut dengan Salat Istighfar, yakni salat untuk memohon ampunan dari Allah.

            Mengenai tidak dicantumkannya Salat Taubat dalam deretan salat-salat sunah, baik di buku HPT-I maupun HPT-3, dan juga dalam Sembilan (9) buku Tanya Jawab Agama yang berisi fatwa-fatwa tarjih, hal itu disebabkan pada saat itu Majelis Tarjih berpendapat bahwa hadis-hadis tentang Salat Taubat bersumber dari hadis Ali bin Abi Thalib ra., yang di dalam sanadnya ada seorang perawi “bermasalah” yang bernama Asma bin Al-Hakam (w.66 H), sehingga Majelis Tarjih menangguhkan (masih ragu) dengan kesunahannya (Tanya Jawab Agama 9, hal.113).

            Status perawi yang bernama Asma bin al-Hakam ini memang diperselisihkan para ulama ahli hadis. Sebagian ulama ada yang melemahkannya, tetapi sebagian ulama ahli hadis lain ada yang menilainya siqah (kridibel atau terpercaya). Al-Bukhari (w.256 H) termasuk ulama ahli hadis yang mengingkari perawi ini, tidak memasukkannya dalam deretan nama-nama perawi dalam sanadnya (al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, I/255).

Imam al-Bukhari (w.256 H) mengatakan bahwa Asma bin al-Hakam tidak meriwayatkan hadis kecuali ini saja dan hadis lainnya tidak ada yang menjadi penguat (mutabi). Terhadap pernyataan al-Bukhari ini, Al-Mizzi (w.742 H) mengatakan bahwa tidak adanya mutabi (penguat) tidaklah mengurangi kesahihan hadis, karena mutabi tidaklah menjadi syarat kesahihan suatu hadis (al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, I/234).

            Adapun ulama ahli hadis yang menilai Asma bin al-Hakam ini siqah, antara lain al- ‘Ajili (w.261 H). Al- ‘Ajili mengatakan bahwa Asma bin al-Hakam adalah ulama Tabiin berasal dari Kufah, dan ia adalah orang yang siqah (al- ‘Ajili, al-Tsiqaat, I/223). Ibn Hajar al-Asqalani (w.852 H) juga menilai bahwa Asma bin al-Hakam adalah perawi dari Kufah yang siqah (al-Asqalani, Lisan al-Mizan, IX/261). Pada Kitab lain, Ibn Hajar al-Asqalani menyebutnya sebagai perawi yang saduq, jujur atau dapat dipercaya, dan perawi ini merupakan perawi generasi ketiga (al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, I/105).

Karena adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli hadis tentang status perawi bernama Asma bin al-Hakam ini, yakni ada sebagian ulama yang melemahkan dan sebagian yang lain mensiqahkan, maka sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dalam ilmu hadis, yaitu “al-jarh didahulukan daripada al-ta‘dil”, artinya “yang menilai cacat didahulukan daripada yang memberikan pujian”, maka atas dasar itu Majelis Tarjih pada waktu itu tidak memasukkan (menangguhkan) Salat Taubat ke dalam deretan salat-salat sunat dalam HPT (Tanya Jawab Agama, hal.113).

Setelah dilakukan pembahasan ulang pada Munas (Musyawarah Nasional) Tarjih XXX (2018) di Makassar, dengan mempertimbangkan banyak ulama ahli hadis yang menilainya sahih dan hasan, serta banyaknya ulama yang menyatakan kesunahannya atau disyariatkannya Salat Taubat, maka Majelis Tarjih dan Tajdid memutuskan bahwa Salat Taubat itu disyariatkan atau disunahkan berdasarkan hadis dari Abu Bakar al-Siddiq sebagai berikut:

عَنْ عَلِيٍّ يَقُولُ إِنِّى كُنْتُ رَجُلاً إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَدِيثًا نَفَعَنِى اللَّهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِى بِهِ وَإِذَا حَدَّثَنِى رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِى صَدَّقْتُهُ وَإِنَّهُ حَدَّثَنِى أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ». ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ )

Dari ‘Ali ra., ia berkata: “Aku adalah seorang lelaki, jika aku telah mendengar sebuah hadis dari Rasulullah saw., Allah Azza wa Jalla memberiku manfaat yang Dia kehendaki dengan perantara hadis itu. Jika ada salah seorang sahabat Nabi saw. yang menyampaikan sebuah hadis kepadaku, maka aku akan memintanya bersumpah (bahwa dia benar-benar telah mendengar dari Nabi saw. red). Jika dia telah bersumpah kepadaku, maka aku mempercayainya. Dan sesungguhnya Abu Bakar telah memberitakan sebuah hadis kepadaku, dan Abu Bakar telah berkata jujur, dia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada seseorang pun yang melakukan dosa, lalu dia berdiri kemudian bersuci lalu menunaikan salat, setelah itu memohon ampun kepada Allah, maka Allah pasti mengampuninya”. Setelah itu beliau membaca ayat ini (yang artinya-red): “Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(-nya) (QS. Ali Imran, 135).

Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadis, di antaranya Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, I/179; Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud Bab Fi al-Istighfar nomor 1523, 1/561, Al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi Kitab al-Salah, bab Fi al-Salah ‘Inda al-Taubah nomor 406, II/257; al-Nasai dalam Sunan al-Nasai al-Kubra, VI/315; Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah, I/446; Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban Bab al-Taubah No. 623, II/389; al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Ausat, I/185; Ibn Khuzaimah dalam Sahih Ibn Huzaimah, II/ 215; al-Tahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar, No. 6042, XV/304; dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman Bab Mu’alajah Kulli Dzanbin Bi al-Taubah, No. 6675, IX/291.

Beberapa kritikus hadis kontemporer menilai hadis tersebut sebagai hadis yang sahih dan hasan. Menurut al-Albani (w.1999 M), hadis tersebut sahih, seluruh perawinya siqat sebagaimana yang tercantum dalam deretan para perawi dalam hadis-hadis riwayat al-Bukhari kecuali Asma bin al-Hakam. Perawi ini kesiqahannya diperselisihkan tetapi tidak membahayakan (al-Albani, Sahih Abi Dawud, V/252). Sementara dalam Riwayat lain, al-Albani menilai hadis tersebut hasan (al-Albani, Sahih Wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, I/406).

Syaikh Syu’aib al-Arnout (w.2016 M) dalam riwayat Ahmad juga menilai hadis tersebut sahih (Ed. Al-Arnout, Musnad Ahmad al-Risalah, I/179). Sedangkan dalam hadis riwayat Ibn Hibban bab al-Taubah No. 623, al-Arnout menilai hadis tersebut hasan (Ed. Al-Arnout, Sahih Ibn Hibban, II/389).

 Atas dasar penilaian sejumlah ulama bahwa hadis tersebut sahih minimal hasan, maka Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada saat Munas Tarjih XXX di Makasar tahun 2018 menyatakan bahwa Salat Taubat termasuk salat sunah yang disyariatkan (MTT-PPM, Materi Munas Tarjih Muhammadiyah XXX, 302).

Lebih lanjut Majelis Tarjih menegaskan bahwa Salat Taubat adalah salat yang dilakukan oleh seseorang setelah sadar melakukan dosa atau maksiat dengan maksud untuk mendapatkan ampunan dari Allah. Tentang kaifiatnya, Salat Taubat terdiri dari dua rakaat. Bacaannya sama dengan salat-salat sunah yang lainnya. Waktunya bisa kapan saja, siang atau malam. Diutamakan setelah menyadari tentang perbuatan dosanya (MTT-PPM, Materi Munas Tarjih Muhammadiyah XXX, 302).

Sejak berabad-abad lalu, banyak ulama yang berpendapat bahwa Salat Taubat itu disunahkan. Di antaranya adalah Ibn Qudamah (w.1223 M). Ia menulis bab tentang Salat Taubat dalam kitabnya (Ibn Qudamah, al-Mughni, I/805). Selanjutnya Ibn Taymiyah (w.1328 M) dengan jelas dan tegas menerangkan:

وَكَذَلِكَ صَلَاةُ التَّوْبَةِ فَإِذَا أَذْنَبَ فَالتَّوْبَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الْفَوْرِ وَهُوَ مَنْدُوبٌ إلَى أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَتُوبَ كَمَا فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ

Demikian juga tentang Salat Taubat. Apabila seseorang melakukan perbuatan dosa, maka ia wajib bertaubat segera, dan disunahkan melakukan salat dua rakaat kemudian bertaubat kepada Allah sebagaimana yang diterangkan dalam hadis riwayat Abu Bakar al-Siddiq (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXIII/215).

            Pendapat Ibn Taymiyah ini kemudian diperkuat atau diamini oleh murid setianya, Ibn al-Qayyim (w.1350 M). Dalam kitabnya yang berjudul Saddu al-Dzara-i’, Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa Salat Taubat itu disunahkan bagi orang yang baru saja melakukan perbuatan dosa (Ibn al-Qayyim, Saddu al-Dzara-i’ Wa Tahrim al-Hiyal, III/218).

            Ibn Katsir (w.1373 M), dalam Kitab Tafsirnya menegaskan dengan mengutip hadis riwayat Abu Bakar: “Barangsiapa berbuat dosa kemudian berwudu dengan sebaik-baiknya, lalu salat dua rakat, dan meminta ampun kepada Allah, maka ia akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt. Dari berbagai jalur riwayat dapat dikatakan bahwa hadis tersebut hasan (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, II/124).

Al-Bahuti (w.1641 M) menyatakan bahwa Salat Taubat itu disunahkan bagi orang yang baru saja berbuat dosa dengan cara bersuci lebih dulu kemudian salat dua rakaat, setelah itu meminta ampun kepada Allah swt. sesuai dengan hadis riwayat Abu Bakar ra. (al-Bahuti, Kasyaf al-Qina, I/443). Masih banyak lagi ulama lain yang memandang kesunahan Salat Taubat. Wallahu A’lam! 

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Oktober 2024)

HUKUM BERBUSANA MERAH

 HUKUM BERBUSANA MERAH


Oleh


Dr. H. Achmad Zuhdi Dh, M. Fil I

Permasalahan

            Saya pernah mendengar seorang Ustadz mengatakan bahwa berbusana merah itu tidak diperbolehkan. Beliau mengatakan bahwa ada hadis yang melarangnya. Melalui rubrik konsultasi agama Islam Majalah MATAN ini saya mohon kepada Pengasuh untuk berkenan memaparkan dan membahasnya dengan jelas mengenai hukum berbusana merah disertai dengan dalil-dalinya, dan mohon disampaikan juga bagaimana menurut pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah (Choirul, Waru Sidoarjo).

Pembahasan

            Mengenai hukum berbusana merah, ulama berbeda pendapat. Terjadinya perbedaan pendapat ini di antaranya disebabkan oleh adanya hadis-hadis yang antara satu dengan yang lain tampak bertentangan. Beberapa hadis ada yang menjelaskan tentang larangan berbusana merah, sementara hadis-hadis yang lain ada yang membolehkannya.

            Berikut ini akan dipaparkan beberapa hadis yang menjelaskan tentang larangan berbusana merah, selanjutnya dipaparkan juga beberapa hadis yang membolehkannya. Selain itu akan dibahas mengenai status hadis-hadis tersebut dan bagaimana pandangan serta pemahaman ulama dan juga pandangan Majelis Tarjih berdasarkan hadis-hadis tersebut.

Hadis-hadis yang melarang berbusana merah

1.     HR. al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib:

 الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سَبْعٍ نَهَانَا عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ أَوْ قَالَ حَلْقَةِ الذَّهَبِ وَعَنِ الْحَرِيرِ وَالْإِسْتَبْرَقِ وَالدِّيبَاجِ وَالْمِيثَرَةِ الْحَمْرَاءِ وَالْقَسِّيِّ وَآنِيَةِ الْفِضَّةِ

Al-Barra` bin ‘Azib ra. berkata; “Nabi saw. melarang kami tujuh perkara: beliau melarang kami mengenakan cincin dari emas atau kalung dari emas, memakai kain sutera, istibraq (kain sutera tebal), dibaj (semacam kain sutera), mitsarah hamra` (semacam bantal warna merah yang diletakkan pada pelana kuda atau unta), Qasiy (sejenis kain sutera campuran) dan tempat air dari perak …” (HR. al-Bukhari No. 5863). Hadis ini disahihkan oleh Imam al-Bukhari (Sahih al-Bukhari, I/2985).

2.     HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi dari Abdulah bin ‘Amr.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ مَرَّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَحْمَرَانِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَيْهِ.

Dari Abdullah bin ‘Amr ra, ia berkata: “Ada seorang laki-laki memakai dua kain berwarna merah melewati Nabi saw. kemudian menyampaikan salam kepadanya., tetapi beliau tidak menjawabnya (HR. Abu Dawud No.4071 dan al-Tirmidzi No.2807). Hadis ini dinilai lemah oleh Syekh al-Albani (Sahih Wa Da’if Sunan Abi Dawud, I/2, dan Sahih Wa Da’if Sunan al-Tirmidzi, VI/307).

3.     Hadis Riwayat al-Tabrani dan al-Baihaqi dari Rafi bin Yazid al-Tsaqafi:

عَنْ رَافِعِ بْنِ يَزِيدَ الثَّقَفِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَنَّ الشَّيْطَانَ يُحِبُّ الْحُمْرَةَ فَإِيَّاكُمْ وَالْحُمْرَةَ وَكُلَّ ثَوْبٍ ذِي شُهْرَةٍ "

Dari Rafi’ bin Yazid al-Tsaqafi, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya setan itu menyukai warna merah maka jauhilah olehmu warna merah dan setiap pakaian yang terkenal (mencolok)” (HR. al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath No. 7708 dan al-Baihaqi dalam kitab Syua’b al-Iman No. 5915). Syekh al-Albani menilai hadis ini sangat lemah (al-Silsilah al-Da’ifah Wa al-Maudu’ah, IV/208).

4.     HR. al-Tabrani dari Imran bin Husain:

عَنْ عِمْرَانَ بن حُصَيْنٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"إِيَّاكُمْ وَالْحُمْرَةَ، فَإِنَّهَا أَحَبُّ الزِّينَةِ

إِلَى الشَّيْطَان

Dari Imran bin Hushain, Rasulullah saw. bersabda: “Jauhilah busana warna merah, karena sesungguhnya warna merah itu merupakan perhisasan kesukaan setan” (HR. al-Tabrani No. 317). Syekh al-Albani menilai hadis ini lemah (al-Silsilah al-Da’ifah, IV/207).

5.     HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin al- ‘Ash ra:

 

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَخْبَرَهُ قَالَ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَىَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ « إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا ».

Bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash mengabarkan kepadanya, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat aku memakai dua potong pakaian yang dicelup ‘ushfur (zat pewarna merah), lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir, maka janganlah kamu memakainya.” (HR. Muslim no. 2077).

Hadis-hadis yang membolehkan berbusana merah

1.     HR. Abu Dawud dari Hilal bin Amir ra:

عَنْ هِلاَلِ بْنِ عَامِرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِمِنًى يَخْطُبُ عَلَى بَغْلَةٍ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ أَحْمَرُ وَعَلِىٌّ - رضى الله عنه - أَمَامَهُ يُعَبِّرُ عَنْهُ

Dari Hilal bin Amir dari ayahnya, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah saw. berkhutbah di Mina di atas Bighalnya, beliau memakai selendang warna merah. Sementara Ali berada di depan beliau, mengeraskan apa yang disampaikan Nabi saw.” (HR. Abu Daud No. 4073). Syekh al-Albani mensahihkan hadis ini (Sahih Wa Da’if Sunan Abi Dawud, I/2).

2.     HR. al-Bukhari dari Abu Ishaq

عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ سَمِعَ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ

Abu Ishaq mendengar al-Barra bin Azib ra berkata: “Nabi saw itu tingginya sedang. Saya melihat beliau mengenakan pakaian warna merah, belum pernah sekalipun saya melihat orang yang lebih tampan daripada beliau (HR. al-Bukhari No. 5848). Hadis ini disahihkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Sahihnya (Sahih al-Bukhari, V/2198).

3.     HR. al-Tirmidzi dari al-Barra’:

 عَنِ البَرَاءِ ، قَالَ: مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِي لِمَّةٍ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari al-Barra’, ia berkata: “Saya belum pernah melihat ada orang yang memakai busana merah yang lebih tampan daripada Rasulullah saw.” (HR. al-Tirmudzi No. 3635).  Al-Tirmidzi menyatakan hadis ini hasan sahih, sedangkan al-Albani menilainya sahih (Sahih Wa Da’if Sunan al-Tirmidzi, IV/224).

4.     HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Juhaifah ra., ia berkata:

رَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ عَنَزَةً فَرَكَزَهَا وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مُشَمِّرًا فَصَلَّى إِلَى الْعَنَزَةِ بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ

Aku (Abu Juhaifah) melihat Bilal membawa tongkat kecil, lalu ditancapkan di depan. Kemudian Rasulullah saw. keluar dari kemahnya dengan memakai busana warna merah. Beliau mengangkat sarungnya hingga ke pertengahan betis, kemudian salat dua rakaat menghadap tongkat tersebut mengimami para sahabat (HR. Bukhari 376, Muslim No. 1148).

5.     HR. al-Baihaqi dari Ibn Abbas ra:

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يوم الْعِيدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ

Dari Ibn Abbas ra., ia berkata: “Rasulullah saw. ketika salat Id memakai jubah warna merah (HR. al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Ausat No. 3609). Syekh al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Silsilah al-Sahihah, III/274).

            Berdasarkan paparan hadis-hadis tersebut dapat diketahui bahwa ada hadis yang melarang berbusana merah, dan ada juga hadis yang membolehkannya. Menghadapi hadis-hadis yang tampak bertentangan tersebut, maka ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Ibnu Hajar al-Asqalani (Fath al-Bari, X/305-306) merangkum ada tujuh pendapat ulama mengenai hukum berbusana merah:

Pertama, membolehkan secara mutlak. Pendapat ini merupakan pendapat dari kalangan Sahabat seperti Ali, Talhah, Abdullah bin Ja’far, al-Barra’ dan beberapa sahabat yang lain. Sementara dari kalangan Tabi’in di antaranya Sa’id bin al-Musayyab, al-Nakhai, al-Sya’bi, Abu Qilabah, Abu Wail dan beberapa tabi’in yang lain.

Kedua, melarang secara mutlak. Pendapat ini adalah kebalikan dari pendapat yang pertama.

Ketiga, hukum makruh berlaku untuk kain berwarna merah membara dan tidak untuk warna merah yang teduh. Pendapat ini dinukil dari Atha’, Tawus dan Mujahid.  

Keempat, hukum makruh berlaku untuk semua kain berwarna merah jika dipakai dengan maksud semata berhias atau mencari popularitas, namun diperbolehkan jika dipakai di rumah dan untuk pakaian kerja. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Abbas dan juga pendapat yang dipilih oleh Imam Malik.

Kelima, diperbolehkan jika dicelup dengan warna merah saat berupa kain baru kemudian ditenun dan terlarang jika dicelup setelah berupa tenunan. Inilah pendapat yang dipilih oleh al-Khathabi.

Keenam, larangan hanya berlaku untuk kain yang dicelup dengan menggunakan bahan ‘ushfur karena itulah yang dilarang dalam hadis sedangkan bahan pencelup selainnya tidaklah terlarang.

Ketujuh, kain yang terlarang adalah berlaku khusus untuk kain yang seluruhnya dicelup dengan ‘ushfur. Sedangkan kain mengandung warna yang selain merah maka itu boleh. Inilah makna yang tepat untuk hadis-hadis yang nampaknya membolehkan kain berwarna merah, karena tenunan Yaman yang biasa Nabi kenakan itu umumnya memiliki garis-garis berwarna merah dan selain merah.

Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan bahwa sesudah masalah ini diteliti, maka larangan mamakai busana merah itu adalah apabila menyerupai pakaian orang kafir. Oleh sebab itu tergantung motifnya untuk apa berbusana merah. Apabila berbusana merah karena meniru mode pakaian wanita, maka kembali kepada larangan menyerupai wanita (HR. al-Bukhari no 5435). Jadi yang dilarang itu bukan zatnya. Demikian juga apabila berbusana merah itu karena ingin kemasyhuran atau menjatuhkan kehormatan, maka larangan itu karena motif hal tersebut. Sebaliknya, apabila tidak karena yang demikian, maka berbusana merah tidak dilarang (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, X/306).

Menurut Majelis Tarjih Muhamamadiyah, setelah memperhatikan hadis-hadis yang melarang dan yang membolehkan kemudian mengkompromikannya, maka dapat difahami bahwa yang dilarang dalam berbusana merah itu bukanlah zatnya namun niat (motif) yang keliru dalam menggunakannya. Rasulullah saw. sebagai sosok panutan dalam segala hal, begitu pula beliau dalam berpakaian. Beliau pernah berbusana dengan segala macam warna. Beliau pernah berbusana warna merah (HR. Bukhari 376, Muslim No. 1148), beliau juga pernah memakai busana warna hijau (Abu Dawud No. 4065, at-Turmudzi No. 2812) dan bersorban dengan kain hitam (Muslim No. 1358).

Dengan demikian, tuntunan dalam berpakaian ialah dilihat pada fungsi dan niatnya dalam berpakaian. Oleh karena itu, maka menggunakan pakaian warna merah bagi laki-laki maupun perempuan dibolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan tatacara berbusana bagi seorang muslim (Majalah SM Edisi 11 Tahun 2018). Wallahu A’lam!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada September 2024)

NIKAH VIA ONLINE

 NIKAH VIA ONLINE

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

            Permasalahan

Mohon penjelasan tentang hukum menikah (akad nikah) secara virtual atau online, semisal via video call, dikarenakan beberapa alasan seperti LDR (long Distance Relationship) atau hubungan jarak jauh. Hal ini terjadi karena salah satu mempelai terikat kontrak kerja yang tidak mendapatkan izin cuti.  Bolehkah atau sahkah akad nikah secara virtual tersebut? Bagaimana menurut Tarjih Muhammadiyah? Demikian permasalahan yang kami sampaikan, atas perkenan dan pembahasannya disampaikan terima kasih (Muhsin, Surabaya).

Pembahasan

            Menikah adalah salah satu sunah yang sangat ditekankan dalam Islam bagi orang yang sudah mampu. Dalam al-Qur’an surat al-Nur ayat 32 Allah berfirman:

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Nur, 32).

             Betapa pentingnya masalah pernikahan ini, Nabi saw. memperingatkan umatnya. Dalam hadis sahih al-Bukhari diterangkan bahwa suatu saat ada seorang sahabat yang menyatakan: “Saya telah menjauhi wanita, dan tidak akan menikah selamanya”. Mendengar pernyataan sahabat seperti itu, Nabi saw. bersabda: “Aku adalah orang yang paling takwa di antara kalian, tetapi aku juga puasa dan tidak puasa, salat malam dan tidur, juga menikah. Barangsiapa yang enggan mengikuti sunahku (termasuk menikah) maka ia tidak termasuk umatku” (HR. al-Bukhari 5063 dan Muslim 3469).

 Mengenai pernikahan, para ahli fiqh umumnya menyepakati bahwa suatu pernikahan dianggap sah apabila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun-rukun dalam pernikahan menurut jumhur ulama ada lima, yaitu (1) adanya mempelai pria, (2) adanya mempelai wanita, (3) adanya wali nikah, (4) hadirnya dua orang saksi, dan (5) akad ijab-kabul. Rukun-rukun tersebut masing-masing ada persyaratannya.

Khusus tentang persyaratan ijab dan kabul, ada lima syarat, yaitu: Pertama, ijab dan kabul harus dilakukan dengan mengunakan kalimat yang jelas, yakni kalimat (ucapan) dari wali nikah yang akan menikahkan (ijab) dan kalimat (ucapan) dari calon suami yang akan menerima pernikahan (kabul). Kedua, ijab dan kabul harus dilakukan dalam satu majelis; Ketiga, adanya kesesuaian antara ijab dan kabul. Misalnya wali mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya bernama Aisyah…”, kemudian calon suaminya menjawab: “Saya terima nikahnya Alimah…”, maka nikahnya tidak sah, karena nama calon isteri yang diucapkan antara ijab dan kabul tidak sesuai. Jadi yang sah adalah apabila juga dijawab dengan nama yang sama yaitu Aisyah; Keempat, kalimat ijab dan kabul terdengar jelas oleh semua pihak yang terlibat dalam perjanjian pernikahan; Kelima, berlaku seketika, maksudnya nikah tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang. Jika wali mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya Aisyah besok atau besok lusa”, maka ijab dan kabul seperti ini tidak sah (Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, IV/13).

Dari lima persyaratan tersebut, tentang syarat kedua yaitu ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis, pengertiannya masih diperselisihkan ulama.

Sebagian ulama berpendapat bahwa pengertian dalam satu majelis adalah harus dalam satu tempat yang sama. Dalam hal ini tidak boleh dalam jarak berjauhan antara wali yang akan menikahkan putrinya dengan seorang pria yang akan menjadi calon suaminya. Bagi ulama yang berpegang tegung pada prinsip yang demikian, maka nikah secara virtual (via online) hukumnya tidak sah. Namun demikian, masih ada solusi atau jalan keluar lain bagi yang terpaksa harus berjarak jauh dalam pelaksanaan akad nikahnya, yaitu dengan jalan membuat perwakilan atau akad wakalah, baik melalui perantara surat, utusan, telepon, jaringan internet, video call, atau semisalnya.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad ijab dan kabul dinamakan satu majelis jika setelah pihak wali selesai mengucapkan ijab, calon suami dapat langsung mengucapkan kabulnya. Yang penting, dalam hal ini, antara ijab dan kabul tidak boleh ada jeda waktu yang lama. Sebab, jika ada jeda waktu lama antara ijab dan kabul, antara wali dengan calon mempelai pria (suami), maka ucapan kabulnya tidak dianggap sebagai jawaban terhadap ijab. Ukuran jeda waktu yang lama, yaitu jeda yang mengindikasikan calon suami menolak untuk menyatakan kabul. Dalam hal ini antara ijab dan kabul tidak boleh diselingi dengan perkataan yang tidak terkait dengan nikah sekalipun sedikit, juga sekalipun tempat akadnya tidak berpisah.

Berdasarkan pemahaman yang kedua tersebut, maka ijab dan kabul dalam satu majelis tidak harus dilakukan antara dua pihak dalam satu tempat yang sama. Para ulama imam madzhab sepakat tentang sahnya akad ijab dan kabul yang dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan melalui sarana surat atau utusan. Misalnya ijab dan kabul dilakukan melalui surat atau utusan dari wali yang dikirimkan kepada calon suami.

Jika akad ijab dan kabul melalui surat, maka yang dimaksud dengan majelis akad yaitu tempat suami membacakan surat yang berisi ijab dari wali di hadapan para saksi, dan jika calon suami setelah membaca surat yang berisi ijab dari wali segera mengucapkan kabul, maka akad dipandang dilakukan dalam satu majelis.

Jika akad ijab dan kabul melalui utusan, maka yang dimaksud dengan majelis akad yaitu tempat utusan menyampaikan ijab dari wali pada calon suami di hadapan para saksi, dan jika setelah utusan menyampaikan ijab dari wali, calon suami segera mengucapkan kabul, maka akad dipandang telah dilakukan dalam satu majelis.

Pada zaman dahulu, akad antara dua pihak yang berjauhan hanya terbatas melalui alat komunikasi surat atau utusan. Dewasa ini, alat komunikasi berkembang pesat dan jauh lebih canggih. Seseorang dapat berkomunikasi melalui internet, telepon, atau melalui tele-conference secara langsung dari dua tempat yang berjauhan. Alat komunikasi telepon atau hand phone (HP), dahulu hanya bisa dipergunakan untuk berkomunikasi lewat suara (berbicara) dan Short Massage Service (SMS: pesan singkat tertulis). Saat ini teknologi HP semakin canggih, di antaranya adalah fasilitas jaringan 4G (Fourth-Geneation Technology).

 Fourth (4) G adalah istilah yang digunakan untuk sistem komunikasi mobile (hand phone) generasi selanjutnya. Sistem ini bisa memberikan pelayanan yang lebih baik dari apa yang ada sebelumnya, yaitu pelayanan suara, teks dan data. Jasa layanan yang diberikan oleh 4G ini adalah jasa pelayanan video, akses ke multimedia dan lain-lain. Dengan fasilitas ini, yakni dengan video call, seseorang dapat berkomunikasi langsung lewat suara dan melihat gambar lawan bicara.

Syekh Abdullah al-Jibrin mengatakan: “Boleh saja melakukan akad nikah sekalipun posisinya berjauhan, yang melibatkan pengantin pria, wali, dan saksi. Hal ini bisa dilakukan melalui internet, sehingga memungkinkan untuk dilakukan akad dan persaksian dalam waktu bersamaan, dan dihukumi (dianggap) sama dengan satu majelis. Meskipun hakekatnya mereka berjauhan, mereka bisa saling mendengar percakapan dalam satu waktu. Pertama dilakukan ijab, lalu disusul dengan kabul. Sementara para saksi bisa melihat wali dan pengantin lelaki (melalui video call). Mereka bisa menyaksikan ucapan keduanya dalam waktu yang sama. Lebih lanjut al-Jibrin mengatakan:

فَهَذَا الْعَقْدُ صَحِيْحٌ، لِعَدَمِ إِمْكَانِ التَّزْوِيْرِ أَوْ تَقْلِيْدِ الْأَصْوَاتِ

Akad ini sah, karena tidak mungkin ada penipuan atau tiru-tiru suara… (Abdullah bin Abd al-Aziz al-Jibrin, Syarh Umdat al-Fiqh Li al-Muwafiq Ibn Qudamah, II/1248).

            Pandangan Syekh al-Jibrin tersebut sama dengan pendapat yang telah difatwakan oleh Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MTT PPM), jika akad ijab dan kabul melalui surat atau utusan disepakati kebolehannya oleh ulama madzhab, maka akad ijab dan kabul menggunakan fasilitas jaringan 4G, yakni melalui video call lebih layak untuk dibolehkan. Dengan surat atau utusan sebenarnya ada jarak waktu antara ijab dari wali dengan kabul dari calon suami. Sungguhpun demikian, akad melalui surat dan utusan masih dianggap satu waktu (satu majelis). Sedangkan melalui video call, akad ijab dan kabul benar-benar dilakukan dalam satu waktu (in real time).

Dalam akad ijab kabul melalui surat atau utusan, pihak pertama yakni wali tidak mengetahui langsung terhadap pernyataan kabul dari pihak calon suami. Sedangkan melalui video call, lebih baik dari itu, yakni pihak wali dapat mengetahui secara langsung (baik mendengar suara maupun melihat gambar) pernyataan kabul dari pihak calon suami, demikian pula sebaliknya. Kelebihan video call yang lain, para pihak yakni wali dan calon suami mengetahui secara pasti kalau yang melakukan akad ijab dan kabul betul-betul pihak-pihak terkait. Sedangkan melalui surat atau utusan, bisa saja terjadi pemalsuan.

Dengan demikian, menikah via online, yakni akad ijab dan kabul melalui video call dapat dipandang sah secara syar’i, dengan catatan memenuhi syarat-syarat akad ijab dan kabul yang lain, serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sah nikah yang lain. Apabila akad ijab dan kabul melalui video call sah antara wali dengan calon suami, maka sah juga untuk akad tawkil (mewakilkan) dari pihak wali kepada wakil jika wali mewakilkan akad nikah pada orang lain. Bahkan sah juga akad ijab dan kabul melalui video call antara wakil dengan mempelai pria (Majalah S.MNo 20 Tahun 2008).

Sekalipun demikian, sebaiknya akad ijab dan kabul dilakukan secara normal dengan bertemunya masing-masing pihak secara langsung. Ijab dan kabul dilakukan via video call apabila memang diperlukan karena jarak yang berjauhan dan tidak memungkinkan untuk masing-masing pihak bertemu secara langsung. Wallahu a’lam bissawab!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Agustus 2024)