Sabtu, 09 November 2024

SALAT SUNAH TAUBAT

 SALAT SUNAH TAUBAT

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M. Fil I

Permasalahan:

            Ada seorang teman yang memperbincangkan tentang status hukum Salat Taubat. Katanya, sejumlah ulama mengatakan bahwa Salat Taubat itu disunahkan, tetapi dalam buku-buku yang memuat fatwa tarjih, baik dalam HPT-I, HPT-3, maupun dalam buku-buku Tanya Jawab Agama (Jilid 1-9) tidak ditemukan keterangan mengenai kesunahan Salat Taubat. Melalui rubrik konsultasi agama ini saya mohon kepada Pengasuh Konsultasi Agama untuk memberikan penjelasan bagaimana sebenarnya status hukum Salat Taubat menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, sunahkah? (Ahmad Tabib, Sidoarjo).

Pembahasan:

            Yang dimaksud dengan Salat Taubat adalah salat yang dilakukan oleh seseorang yang baru saja terjebak dalam perbuatan dosa atau maksiat. Salat ini dilakukan setelah seseorang menyadari dosa-dosanya, selanjutnya berharap kepada Allah untuk mendapatkan pengampunanNya melalui salat. Salat Taubat ini juga disebut dengan Salat Istighfar, yakni salat untuk memohon ampunan dari Allah.

            Mengenai tidak dicantumkannya Salat Taubat dalam deretan salat-salat sunah, baik di buku HPT-I maupun HPT-3, dan juga dalam Sembilan (9) buku Tanya Jawab Agama yang berisi fatwa-fatwa tarjih, hal itu disebabkan pada saat itu Majelis Tarjih berpendapat bahwa hadis-hadis tentang Salat Taubat bersumber dari hadis Ali bin Abi Thalib ra., yang di dalam sanadnya ada seorang perawi “bermasalah” yang bernama Asma bin Al-Hakam (w.66 H), sehingga Majelis Tarjih menangguhkan (masih ragu) dengan kesunahannya (Tanya Jawab Agama 9, hal.113).

            Status perawi yang bernama Asma bin al-Hakam ini memang diperselisihkan para ulama ahli hadis. Sebagian ulama ada yang melemahkannya, tetapi sebagian ulama ahli hadis lain ada yang menilainya siqah (kridibel atau terpercaya). Al-Bukhari (w.256 H) termasuk ulama ahli hadis yang mengingkari perawi ini, tidak memasukkannya dalam deretan nama-nama perawi dalam sanadnya (al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, I/255).

Imam al-Bukhari (w.256 H) mengatakan bahwa Asma bin al-Hakam tidak meriwayatkan hadis kecuali ini saja dan hadis lainnya tidak ada yang menjadi penguat (mutabi). Terhadap pernyataan al-Bukhari ini, Al-Mizzi (w.742 H) mengatakan bahwa tidak adanya mutabi (penguat) tidaklah mengurangi kesahihan hadis, karena mutabi tidaklah menjadi syarat kesahihan suatu hadis (al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, I/234).

            Adapun ulama ahli hadis yang menilai Asma bin al-Hakam ini siqah, antara lain al- ‘Ajili (w.261 H). Al- ‘Ajili mengatakan bahwa Asma bin al-Hakam adalah ulama Tabiin berasal dari Kufah, dan ia adalah orang yang siqah (al- ‘Ajili, al-Tsiqaat, I/223). Ibn Hajar al-Asqalani (w.852 H) juga menilai bahwa Asma bin al-Hakam adalah perawi dari Kufah yang siqah (al-Asqalani, Lisan al-Mizan, IX/261). Pada Kitab lain, Ibn Hajar al-Asqalani menyebutnya sebagai perawi yang saduq, jujur atau dapat dipercaya, dan perawi ini merupakan perawi generasi ketiga (al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, I/105).

Karena adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli hadis tentang status perawi bernama Asma bin al-Hakam ini, yakni ada sebagian ulama yang melemahkan dan sebagian yang lain mensiqahkan, maka sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dalam ilmu hadis, yaitu “al-jarh didahulukan daripada al-ta‘dil”, artinya “yang menilai cacat didahulukan daripada yang memberikan pujian”, maka atas dasar itu Majelis Tarjih pada waktu itu tidak memasukkan (menangguhkan) Salat Taubat ke dalam deretan salat-salat sunat dalam HPT (Tanya Jawab Agama, hal.113).

Setelah dilakukan pembahasan ulang pada Munas (Musyawarah Nasional) Tarjih XXX (2018) di Makassar, dengan mempertimbangkan banyak ulama ahli hadis yang menilainya sahih dan hasan, serta banyaknya ulama yang menyatakan kesunahannya atau disyariatkannya Salat Taubat, maka Majelis Tarjih dan Tajdid memutuskan bahwa Salat Taubat itu disyariatkan atau disunahkan berdasarkan hadis dari Abu Bakar al-Siddiq sebagai berikut:

عَنْ عَلِيٍّ يَقُولُ إِنِّى كُنْتُ رَجُلاً إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَدِيثًا نَفَعَنِى اللَّهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِى بِهِ وَإِذَا حَدَّثَنِى رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِى صَدَّقْتُهُ وَإِنَّهُ حَدَّثَنِى أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ». ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ )

Dari ‘Ali ra., ia berkata: “Aku adalah seorang lelaki, jika aku telah mendengar sebuah hadis dari Rasulullah saw., Allah Azza wa Jalla memberiku manfaat yang Dia kehendaki dengan perantara hadis itu. Jika ada salah seorang sahabat Nabi saw. yang menyampaikan sebuah hadis kepadaku, maka aku akan memintanya bersumpah (bahwa dia benar-benar telah mendengar dari Nabi saw. red). Jika dia telah bersumpah kepadaku, maka aku mempercayainya. Dan sesungguhnya Abu Bakar telah memberitakan sebuah hadis kepadaku, dan Abu Bakar telah berkata jujur, dia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada seseorang pun yang melakukan dosa, lalu dia berdiri kemudian bersuci lalu menunaikan salat, setelah itu memohon ampun kepada Allah, maka Allah pasti mengampuninya”. Setelah itu beliau membaca ayat ini (yang artinya-red): “Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(-nya) (QS. Ali Imran, 135).

Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadis, di antaranya Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, I/179; Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud Bab Fi al-Istighfar nomor 1523, 1/561, Al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi Kitab al-Salah, bab Fi al-Salah ‘Inda al-Taubah nomor 406, II/257; al-Nasai dalam Sunan al-Nasai al-Kubra, VI/315; Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah, I/446; Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban Bab al-Taubah No. 623, II/389; al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Ausat, I/185; Ibn Khuzaimah dalam Sahih Ibn Huzaimah, II/ 215; al-Tahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar, No. 6042, XV/304; dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman Bab Mu’alajah Kulli Dzanbin Bi al-Taubah, No. 6675, IX/291.

Beberapa kritikus hadis kontemporer menilai hadis tersebut sebagai hadis yang sahih dan hasan. Menurut al-Albani (w.1999 M), hadis tersebut sahih, seluruh perawinya siqat sebagaimana yang tercantum dalam deretan para perawi dalam hadis-hadis riwayat al-Bukhari kecuali Asma bin al-Hakam. Perawi ini kesiqahannya diperselisihkan tetapi tidak membahayakan (al-Albani, Sahih Abi Dawud, V/252). Sementara dalam Riwayat lain, al-Albani menilai hadis tersebut hasan (al-Albani, Sahih Wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, I/406).

Syaikh Syu’aib al-Arnout (w.2016 M) dalam riwayat Ahmad juga menilai hadis tersebut sahih (Ed. Al-Arnout, Musnad Ahmad al-Risalah, I/179). Sedangkan dalam hadis riwayat Ibn Hibban bab al-Taubah No. 623, al-Arnout menilai hadis tersebut hasan (Ed. Al-Arnout, Sahih Ibn Hibban, II/389).

 Atas dasar penilaian sejumlah ulama bahwa hadis tersebut sahih minimal hasan, maka Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada saat Munas Tarjih XXX di Makasar tahun 2018 menyatakan bahwa Salat Taubat termasuk salat sunah yang disyariatkan (MTT-PPM, Materi Munas Tarjih Muhammadiyah XXX, 302).

Lebih lanjut Majelis Tarjih menegaskan bahwa Salat Taubat adalah salat yang dilakukan oleh seseorang setelah sadar melakukan dosa atau maksiat dengan maksud untuk mendapatkan ampunan dari Allah. Tentang kaifiatnya, Salat Taubat terdiri dari dua rakaat. Bacaannya sama dengan salat-salat sunah yang lainnya. Waktunya bisa kapan saja, siang atau malam. Diutamakan setelah menyadari tentang perbuatan dosanya (MTT-PPM, Materi Munas Tarjih Muhammadiyah XXX, 302).

Sejak berabad-abad lalu, banyak ulama yang berpendapat bahwa Salat Taubat itu disunahkan. Di antaranya adalah Ibn Qudamah (w.1223 M). Ia menulis bab tentang Salat Taubat dalam kitabnya (Ibn Qudamah, al-Mughni, I/805). Selanjutnya Ibn Taymiyah (w.1328 M) dengan jelas dan tegas menerangkan:

وَكَذَلِكَ صَلَاةُ التَّوْبَةِ فَإِذَا أَذْنَبَ فَالتَّوْبَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الْفَوْرِ وَهُوَ مَنْدُوبٌ إلَى أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَتُوبَ كَمَا فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ

Demikian juga tentang Salat Taubat. Apabila seseorang melakukan perbuatan dosa, maka ia wajib bertaubat segera, dan disunahkan melakukan salat dua rakaat kemudian bertaubat kepada Allah sebagaimana yang diterangkan dalam hadis riwayat Abu Bakar al-Siddiq (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXIII/215).

            Pendapat Ibn Taymiyah ini kemudian diperkuat atau diamini oleh murid setianya, Ibn al-Qayyim (w.1350 M). Dalam kitabnya yang berjudul Saddu al-Dzara-i’, Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa Salat Taubat itu disunahkan bagi orang yang baru saja melakukan perbuatan dosa (Ibn al-Qayyim, Saddu al-Dzara-i’ Wa Tahrim al-Hiyal, III/218).

            Ibn Katsir (w.1373 M), dalam Kitab Tafsirnya menegaskan dengan mengutip hadis riwayat Abu Bakar: “Barangsiapa berbuat dosa kemudian berwudu dengan sebaik-baiknya, lalu salat dua rakat, dan meminta ampun kepada Allah, maka ia akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt. Dari berbagai jalur riwayat dapat dikatakan bahwa hadis tersebut hasan (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, II/124).

Al-Bahuti (w.1641 M) menyatakan bahwa Salat Taubat itu disunahkan bagi orang yang baru saja berbuat dosa dengan cara bersuci lebih dulu kemudian salat dua rakaat, setelah itu meminta ampun kepada Allah swt. sesuai dengan hadis riwayat Abu Bakar ra. (al-Bahuti, Kasyaf al-Qina, I/443). Masih banyak lagi ulama lain yang memandang kesunahan Salat Taubat. Wallahu A’lam! 

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Oktober 2024)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar