SALAT SUNAH TAUBAT
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M. Fil I
Permasalahan:
Ada seorang teman yang memperbincangkan
tentang status hukum Salat Taubat. Katanya, sejumlah ulama mengatakan bahwa Salat
Taubat itu disunahkan, tetapi dalam buku-buku yang memuat fatwa tarjih, baik
dalam HPT-I, HPT-3, maupun dalam buku-buku Tanya Jawab Agama (Jilid 1-9) tidak
ditemukan keterangan mengenai kesunahan Salat Taubat. Melalui rubrik konsultasi
agama ini saya mohon kepada Pengasuh Konsultasi Agama untuk memberikan
penjelasan bagaimana sebenarnya status hukum Salat Taubat menurut Majelis Tarjih
Muhammadiyah, sunahkah? (Ahmad Tabib, Sidoarjo).
Pembahasan:
Yang
dimaksud dengan Salat Taubat adalah salat yang dilakukan oleh seseorang yang
baru saja terjebak dalam perbuatan dosa atau maksiat. Salat ini dilakukan
setelah seseorang menyadari dosa-dosanya, selanjutnya berharap kepada Allah untuk
mendapatkan pengampunanNya melalui salat. Salat Taubat ini juga disebut dengan Salat
Istighfar, yakni salat untuk memohon ampunan dari Allah.
Mengenai tidak dicantumkannya Salat Taubat dalam deretan
salat-salat sunah, baik di buku HPT-I maupun HPT-3, dan juga dalam Sembilan (9)
buku Tanya Jawab Agama yang berisi fatwa-fatwa tarjih, hal itu disebabkan pada
saat itu Majelis Tarjih berpendapat bahwa hadis-hadis tentang Salat Taubat
bersumber dari hadis Ali bin Abi Thalib ra., yang di dalam sanadnya ada seorang
perawi “bermasalah” yang bernama Asma bin Al-Hakam (w.66 H), sehingga
Majelis Tarjih menangguhkan (masih ragu) dengan kesunahannya (Tanya Jawab
Agama 9, hal.113).
Status perawi yang bernama Asma bin al-Hakam ini memang
diperselisihkan para ulama ahli hadis. Sebagian ulama ada yang melemahkannya,
tetapi sebagian ulama ahli hadis lain ada yang menilainya siqah (kridibel
atau terpercaya). Al-Bukhari (w.256 H) termasuk ulama ahli hadis yang mengingkari
perawi ini, tidak memasukkannya dalam deretan nama-nama perawi dalam sanadnya
(al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, I/255).
Imam al-Bukhari
(w.256 H) mengatakan bahwa Asma bin al-Hakam tidak meriwayatkan hadis kecuali
ini saja dan hadis lainnya tidak ada yang menjadi penguat (mutabi). Terhadap
pernyataan al-Bukhari ini, Al-Mizzi (w.742 H) mengatakan bahwa tidak adanya mutabi
(penguat) tidaklah mengurangi kesahihan hadis, karena mutabi tidaklah
menjadi syarat kesahihan suatu hadis (al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib,
I/234).
Adapun ulama ahli hadis yang menilai Asma bin al-Hakam
ini siqah, antara lain al- ‘Ajili (w.261 H). Al- ‘Ajili mengatakan bahwa
Asma bin al-Hakam adalah ulama Tabiin berasal dari Kufah, dan ia adalah orang
yang siqah (al- ‘Ajili, al-Tsiqaat, I/223). Ibn Hajar al-Asqalani
(w.852 H) juga menilai bahwa Asma bin al-Hakam adalah perawi dari Kufah yang siqah
(al-Asqalani, Lisan al-Mizan, IX/261). Pada Kitab lain, Ibn Hajar
al-Asqalani menyebutnya sebagai perawi yang saduq, jujur atau dapat
dipercaya, dan perawi ini merupakan perawi generasi ketiga (al-Asqalani, Taqrib
al-Tahdzib, I/105).
Karena
adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli hadis tentang status perawi
bernama Asma bin al-Hakam ini, yakni ada sebagian ulama yang melemahkan dan sebagian
yang lain mensiqahkan, maka sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dalam ilmu hadis,
yaitu “al-jarh didahulukan daripada al-ta‘dil”, artinya “yang
menilai cacat didahulukan daripada yang memberikan pujian”, maka atas dasar itu
Majelis Tarjih pada waktu itu tidak memasukkan (menangguhkan) Salat Taubat ke
dalam deretan salat-salat sunat dalam HPT (Tanya Jawab Agama, hal.113).
Setelah
dilakukan pembahasan ulang pada Munas (Musyawarah Nasional) Tarjih XXX (2018) di
Makassar, dengan mempertimbangkan banyak ulama ahli hadis yang menilainya sahih
dan hasan, serta banyaknya ulama yang menyatakan kesunahannya atau
disyariatkannya Salat Taubat, maka Majelis Tarjih dan Tajdid memutuskan bahwa Salat
Taubat itu disyariatkan atau disunahkan berdasarkan hadis dari Abu Bakar al-Siddiq
sebagai berikut:
عَنْ عَلِيٍّ يَقُولُ إِنِّى كُنْتُ رَجُلاً إِذَا
سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَدِيثًا نَفَعَنِى اللَّهُ
مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِى بِهِ وَإِذَا حَدَّثَنِى رَجُلٌ مِنْ
أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِى صَدَّقْتُهُ وَإِنَّهُ حَدَّثَنِى
أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ
فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ
لَهُ ». ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً
أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا
وَهُمْ يَعْلَمُونَ )
Dari ‘Ali ra., ia berkata: “Aku
adalah seorang lelaki, jika aku telah mendengar sebuah hadis dari Rasulullah
saw., Allah Azza wa Jalla memberiku manfaat yang Dia kehendaki dengan perantara
hadis itu. Jika ada salah seorang sahabat Nabi saw. yang menyampaikan sebuah hadis
kepadaku, maka aku akan memintanya bersumpah (bahwa dia benar-benar telah
mendengar dari Nabi saw. red). Jika dia telah bersumpah kepadaku, maka aku
mempercayainya. Dan sesungguhnya Abu Bakar telah memberitakan sebuah hadis
kepadaku, dan Abu Bakar telah berkata jujur, dia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah
saw. bersabda: “Tidak ada seseorang pun yang melakukan dosa, lalu dia berdiri
kemudian bersuci lalu menunaikan salat, setelah itu memohon ampun kepada Allah,
maka Allah pasti mengampuninya”. Setelah itu beliau membaca ayat ini (yang artinya-red):
“Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan
atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?
Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu)
sedangkan mereka mengetahui(-nya) (QS. Ali Imran, 135).
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadis, di antaranya Ahmad bin
Hambal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, I/179; Abu Dawud dalam Sunan
Abi Dawud Bab Fi al-Istighfar nomor 1523, 1/561, Al-Tirmidzi dalam Sunan
al-Tirmidzi Kitab al-Salah, bab Fi al-Salah ‘Inda al-Taubah
nomor 406, II/257; al-Nasai dalam Sunan al-Nasai al-Kubra, VI/315; Ibnu
Majah dalam Sunan Ibn Majah, I/446; Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban
Bab al-Taubah No. 623, II/389; al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Ausat,
I/185; Ibn Khuzaimah dalam Sahih Ibn Huzaimah, II/ 215; al-Tahawi dalam Syarh
Musykil al-Atsar, No. 6042, XV/304; dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman
Bab Mu’alajah Kulli Dzanbin Bi al-Taubah, No. 6675, IX/291.
Beberapa
kritikus hadis kontemporer menilai hadis tersebut sebagai hadis yang sahih
dan hasan. Menurut al-Albani (w.1999 M), hadis tersebut sahih,
seluruh perawinya siqat sebagaimana yang tercantum dalam deretan para
perawi dalam hadis-hadis riwayat al-Bukhari kecuali Asma bin al-Hakam. Perawi
ini kesiqahannya diperselisihkan tetapi tidak membahayakan (al-Albani, Sahih
Abi Dawud, V/252). Sementara dalam Riwayat lain, al-Albani menilai hadis
tersebut hasan (al-Albani, Sahih Wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi,
I/406).
Syaikh
Syu’aib al-Arnout (w.2016 M) dalam riwayat Ahmad juga menilai hadis tersebut sahih
(Ed. Al-Arnout, Musnad Ahmad al-Risalah, I/179). Sedangkan dalam hadis
riwayat Ibn Hibban bab al-Taubah No. 623, al-Arnout menilai hadis
tersebut hasan (Ed. Al-Arnout, Sahih Ibn Hibban, II/389).
Atas dasar penilaian sejumlah ulama bahwa hadis
tersebut sahih minimal hasan, maka Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah pada saat Munas Tarjih XXX di Makasar tahun 2018 menyatakan bahwa Salat
Taubat termasuk salat sunah yang disyariatkan (MTT-PPM, Materi Munas
Tarjih Muhammadiyah XXX, 302).
Lebih lanjut Majelis Tarjih menegaskan bahwa Salat Taubat
adalah salat yang dilakukan oleh seseorang setelah sadar melakukan dosa atau
maksiat dengan maksud untuk mendapatkan ampunan dari Allah. Tentang kaifiatnya,
Salat Taubat terdiri dari dua rakaat. Bacaannya sama dengan salat-salat sunah
yang lainnya. Waktunya bisa kapan saja, siang atau malam. Diutamakan setelah
menyadari tentang perbuatan dosanya (MTT-PPM, Materi Munas Tarjih
Muhammadiyah XXX, 302).
Sejak berabad-abad lalu, banyak ulama yang berpendapat
bahwa Salat Taubat itu disunahkan. Di antaranya adalah Ibn Qudamah
(w.1223 M). Ia menulis bab tentang Salat Taubat dalam kitabnya (Ibn Qudamah,
al-Mughni, I/805). Selanjutnya Ibn
Taymiyah (w.1328 M) dengan jelas dan tegas menerangkan:
وَكَذَلِكَ صَلَاةُ التَّوْبَةِ فَإِذَا أَذْنَبَ
فَالتَّوْبَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الْفَوْرِ وَهُوَ مَنْدُوبٌ إلَى أَنْ يُصَلِّيَ
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَتُوبَ كَمَا فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ
Demikian
juga tentang Salat Taubat. Apabila seseorang melakukan perbuatan dosa, maka ia
wajib bertaubat segera, dan disunahkan melakukan salat dua rakaat kemudian
bertaubat kepada Allah sebagaimana yang diterangkan dalam hadis riwayat Abu Bakar
al-Siddiq (Ibn Taymiyah, Majmu’
al-Fatawa, XXIII/215).
Pendapat Ibn Taymiyah ini kemudian diperkuat
atau diamini oleh murid setianya, Ibn al-Qayyim (w.1350 M). Dalam kitabnya yang
berjudul Saddu al-Dzara-i’, Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa Salat Taubat
itu disunahkan bagi orang yang baru saja melakukan perbuatan dosa (Ibn
al-Qayyim, Saddu al-Dzara-i’ Wa Tahrim al-Hiyal, III/218).
Ibn
Katsir (w.1373 M), dalam Kitab Tafsirnya menegaskan dengan mengutip hadis riwayat
Abu Bakar: “Barangsiapa berbuat dosa kemudian berwudu dengan sebaik-baiknya,
lalu salat dua rakat, dan meminta ampun kepada Allah, maka ia akan diampuni
dosa-dosanya oleh Allah swt. Dari berbagai jalur riwayat dapat dikatakan bahwa
hadis tersebut hasan (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, II/124).
Al-Bahuti (w.1641 M) menyatakan bahwa Salat Taubat itu disunahkan bagi orang yang baru saja berbuat dosa dengan cara bersuci lebih dulu kemudian salat dua rakaat, setelah itu meminta ampun kepada Allah swt. sesuai dengan hadis riwayat Abu Bakar ra. (al-Bahuti, Kasyaf al-Qina, I/443). Masih banyak lagi ulama lain yang memandang kesunahan Salat Taubat. Wallahu A’lam!
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Oktober 2024)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar