Minggu, 06 April 2025

PERCERAIAN, TAKDIR ATAU PILIHAN?

 PERCERAIAN, TAKDIR ATAU PILIHAN?

          Oleh


       Prof. Dr. H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan

             Mohon penjelasan tentang perceraian (al-talaq) dalam Islam. Jika perceraian antara suami dan isteri adalah merupakan salah satu hal yang tidak disukai atau dibenci oleh Allah, lantas mengapa di dalam Islam terdapat peluang untuk melakukan perceraian? Apakah perceraian itu merupakan bagian dari takdir Allah, atau merupakan pilihan dari individunya sendiri? Mohon kepada Pengasuh Konsultasi Agama MATAN berkenan membahasnya dengan jelas. Demikian, atas jawabannya kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’! (Arif, Lamongan).

Pembahasan

Dalam Islam, pernikahan adalah merupakan ikatan yang kuat untuk menyatukan kedua belah fihak, antara suami-istri. Dalam berkeluarga, diharapkan keduanya (suami-isteri) dapat menempuh hidup bersama dengan tenang (sakinah) dan bisa menjaga keharmonisannya. Islam, sebenarnya telah memberikan motivasi dan pelajaran berharga kepada keduanya (suami-isteri) untuk selalu menjaga ikatan pernikahan, mempertahankannya, mengharmoniskannya, dan terus memeliharanya.  

Sehubungan dengan ini, Allah telah memerintahkan kepada suami untuk berbuat baik kepada istrinya dengan cara yang baik atau patut (cara yang makruf). Allah swt. berfirman:

وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. Al-Nisa’, 21).

Ayat tersebut mengandung konsekuensi agar suami berusaha untuk dapat mempertahankan dan menjaga ikatan serta keutuhan keluarganya. Selain itu perlu difahami bahwa memisah ikatan akad nikah (dengan perceraian), hukum asalnya adalah haram atau terlarang.

Sesuai syariat, perceraian memang bisa dilakukan jika mempunyai alasan yang tepat, yaitu tidak bisa melanjutkan lagi kehidupan berumah tangga dan tidak mungkin lagi dilakukan dengan cara perdamaian atau dalam bentuk apa pun yang ditempuh. Sebaliknya, jika tidak ada alasan yang tepat maka usaha untuk melakukan terjadinya perceraian itu dilarang. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَوْ عَبْدًا عَلَى سَيِّدِهِ

Bukan termasuk golongan kami orang yang membujuk seorang perempuan untuk memusuhi suaminya atau membujuk seorang budak untuk memusuhi tuannya.” (HR. Abu Daud, no. 2175). Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih (al-Albani, Shahih Al-Targhib wa At-Tarhib, No. 2014).

            Selain itu, termasuk juga yang terlarang adalah meminta cerai tanpa ada sebab yang dibenarkan seperti disebutkan dalam hadis Tsauban, ia pernah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة

Wanita mana pun yang meminta talak (cerai) tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga” (HR. Abu Daud, no. 2226; al-Tirmidzi, no. 1187; Ibnu Majah, no. 2055(. Abu Isa Al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Adapun Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Abi Dawud, VI/425).

            Dalam kehidupan berumah tangga, peristiwa perceraian adalah salah satu fenomena yang sering menjadi topik diskusi, baik dalam aspek sosial maupun aspek keagamaan. Islam, sebagai agama yang memberikan pedoman lengkap dalam kehidupan manusia, telah mengatur persoalan perceraian dengan arif dan bijaksana. Namun, ada pertanyaan yang sering muncul, yaitu apakah perceraian itu merupakan takdir yang tidak bisa dihindari, ataukah merupakan pilihan yang bisa diambil oleh masing-masing atau salah satu dari pasangan?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, dalam pembahasan berikut ini akan mengulas perspektif Islam tentang perceraian dan takdir, apakah perceraian itu sebagai takdir atau merupakan pilihan bagi manusia, dengan landasan dalil-dalil dari Al-Qur'an, al-Hadis, dan pandangan sejumlah ulama.

Perceraian Sebagai Takdir Allah

Islam (baik yang tertuang dalam al-Qur’an maupun al-Hadis) mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, termasuk perceraian, adalah bagian dari takdir Allah swt. Takdir ini mencakup seluruh kejadian yang telah ditentukan oleh Allah dalam Lauh Mahfuz. Dalil dari Al-Qur'an, Allah swt. berfirman:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍۢ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah"(QS. Al-Hadid: 22).

            Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu, apa pun termasuk musibah seperti perceraian, sudah ditetapkan dalam takdir Allah. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, IV/377-378) menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut (QS. al-Hadid, 22) adalah bahwa takdir Allah itu mencakup seluruh peristiwa yang terjadi di dunia, di langit dan di bumi, namun manusia tetap memiliki kehendak untuk bertindak.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allah telah menetapkan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka”. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, (kalau demikian) apakah kita tidak bersandar saja pada ketentuan takdir kita dan tidak perlu melakukan amal (kebaikan)? Rasulullah Saw. bersabda: “Lakukanlah amal (kebaikan), karena setiap manusia akan dimudahkan (untuk melakukan) apa yang telah ditetapkan baginya, manusia yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia (masuk surga) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang berbahagia, dan manusia yang termasuk golongan orang-orang yang celaka (masuk neraka) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang celaka”. Kemudian Rasulullah Saw. membaca al-Qur’an Surat al-Lail, ayat 5-10:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa (kepada-Nya), dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (berpaling dari petunjuk-Nya), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (keburukan)”. HR. al-Bukhari (no. 4666) dan Muslim (no. 2647).

            Hadis tersebut menjelaskan bahwa sungguhpun Allah telah menakdirkan sesuatu kepada manusia, Allah masih memberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baik. Bisa jadi dengan melakukan sesuatu yang baik itu bisa mengantarkan kepada takdir yang baik baginya.

            Para ulama, seperti Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, menjelaskan bahwa adanya takdir Allah bukanlah alasan untuk bersikap pasif. Takdir adalah ketetapan yang sudah Allah tentukan, tetapi manusia diberi kemampuan dan kesempatan untuk berusaha dan mengambil keputusan. Dalam konteks perceraian, Allah mungkin telah menakdirkan sebuah pernikahan untuk berakhir, tetapi manusia tetap memiliki tanggung jawab untuk berikhtiar memperbaiki hubungan sebelum memilih perceraian.

Perceraian Sebagai Pilihan

Islam juga menegaskan bahwa perceraian adalah hasil dari keputusan yang diambil oleh pasangan. Dalam hal ini, manusia memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi tetap harus bertanggung jawab atas pilihannya. Dalil dari Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

فَإِمۡسَاكٌۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحٌۢ بِإِحۡسَـٰنٍۗ

"Maka rujuklah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik" (QS. Al-Baqarah: 229).

Ayat ini menunjukkan bahwa perceraian adalah pilihan yang diberikan kepada pasangan. Dalam Tafsir Al-Qurthubi (Juz III/123), disebutkan bahwa keputusan untuk rujuk atau bercerai harus dilakukan dengan bijaksana dan mempertimbangkan kebaikan semua pihak. Dalil dari Hadis, Rasulullah SAW bersabda:

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ

"Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak" (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Al-Albani menilai bahwa hadis tersebut da’if atau lemah (al-Albani, Irwa al-Ghalil, VII/106).

            Hadis tersebut menegaskan bahwa meskipun perceraian itu diperbolehkan, tetapi hal itu merupakan tindakan yang tidak disukai Allah dan dibenciNya. Oleh karena itu, perceraian seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah semua usaha untuk memperbaiki hubungan gagal dilakukan.

            Sebagai tambahan keterangan, berikut ini adalah pandangan ulama mengenai takdir (qada dan qadar):

1. Imam Al-Ghazali (W. 1111 M)

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin (Juz IV Bab Keimanan) menekankan bahwa takdir Allah meliputi segala sesuatu. Namun, manusia tetap memiliki kebebasan dalam batas kehendak Allah. Menurutnya, ada keseimbangan antara kekuasaan Allah yang mutlak dan kebebasan manusia dalam memilih, sehingga manusia tetap bertanggung jawab atas perbuatannya.

2. Al-Syahrastani (W. 1153 M)

Al-Syahrastani menegaskan bahwa pandangan moderat yang dipegang oleh mayoritas Ahlus Sunnah adalah bahwa manusia memiliki usaha (kasb), tetapi kehendak Allah tetap yang menentukan (Al-Milal wa al-Nihal, Bab. Pembahasan Qadariyah dan Jabariyah).

3. Imam Al-Nawawi (W. 1277 M)

Imam Al-Nawawi menjelaskan bahwa iman kepada takdir adalah bagian dari rukun iman. Dalam Al-Majmu' (Juz 1 Bab Iman), ia menegaskan bahwa manusia wajib berusaha, tetapi hasilnya bergantung pada kehendak Allah.

4. Hujjatul Islam Ibn Taymiyah (W. 1328 M)

Ibn Taimiyah dalam Majmu' Fatawa (Juz VIII) menjelaskan bahwa takdir Allah itu terbagi menjadi dua. Pertama, takdir mutlak (qada mubram), tidak dapat diubah oleh manusia. Kedua, takdir yang dapat diubah (qada muallaq), bergantung pada usaha dan doa manusia. Ia menekankan pentingnya usaha manusia dalam batas takdir Allah.

Kesimpulan

Perceraian dalam Islam adalah fenomena yang kompleks, yang melibatkan aspek takdir dan pilihan. Sebagai takdir, perceraian adalah bagian dari ketetapan Allah SWT yang tidak dapat dihindari. Namun, sebagai pilihan, perceraian adalah keputusan yang diambil oleh pasangan berdasarkan kehendak bebas mereka.

Islam mengajarkan untuk selalu berusaha memperbaiki hubungan sebelum memilih perceraian. Jika perceraian menjadi satu-satunya jalan keluar, maka prosesnya harus dilakukan dengan cara yang baik dan sesuai syariat.

Dengan memahami bahwa perceraian adalah gabungan antara takdir dan pilihan, umat Islam diharapkan dapat mengambil keputusan dengan bijak, penuh tanggung jawab, dan tetap menjaga prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan rumah tangga.

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi April 2025)

SEJARAH SALAT TARAWIH

 SEJARAH SALAT TARAWIH

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan

            Sungguhpun sudah berabad-abad Salat Tarawih diamalkan kaum muslimin, beberapa masalah masih menarik dibahas, antara lain mengenai (1) nama Salat Tarawih itu mulai kapan dikenal; (2) Nabi sendiri biasanya berapa rakaat Salat Tarawihnya; (3) dan mengapa di Masyarakat kita ada perbedaan jumlah rakaat dalam Salat Tarawih, ada yang 11 dan ada yang 23 rakaat. Bagaimana sejarahnya? Melalui majalah MATAN ini, mohon pengasuh Konsultasi Agama berkenan memberikan penjelasan dan pencerahannya. Demikian, terima kasih atas perkenannya. Jazakumullah khairal jaza’ (Fikri, Tulangan Sidoarjo).

Jawaban

            Secara bahasa, tarawih (تراويح) atau tarwihat (ترويحات) merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah (ترويحة), yang secara harfiyah berarti istirahat. Maksudnya ialah istirahat di antara rangkaian salat malam di bulan Ramadan setelah dikerjakan empat rakaat (لاستراحة الناس بعد أربع ركعات بالجلسة).  Hal ini dikarenakan ulama dulu mengerjakan Salat Tarawih secara bertahap. Pertama mengerjakan salat empat rakaat kemudian duduk dan istirahat melepaskan lelah. Kemudian mereka mengerjakan empat rakaat lagi lalu duduk dan istirahat lagi. Istirahat-istirahat di antara rangkaian empat rakaat salat itu disebut tarawih (Badr al-Din al- ‘Aini, Umdat al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, XVII/150).

            Dalam perkembangan berikutnya, istilah tarawih/tarwihat digunakan untuk menyebut rangkaian salat yang empat rakaat dalam salat malam Ramadan. Ibn Abi Syaibah (w.235 H/849 M) misalnya meriwayatkan pernyataan Wiqa’ bahwa Said bin Jubair (w.95 H/714 M) salat mengimami jamaahnya di bulan Ramadan sebanyak enam tarwihat (6x4 yakni 24 rakaat tidak termasuk witir, pada dua puluh malam pertama), dan apabila memasuki sepuluh malam terakhir, beliau iktikaf di masjid dan salat mengimami jamaahnya tujuh tarwihat, 7x4 yakni dua puluh delapan rakaat selain witir (Ibn Abi Syaibah, al-Musannaf Fi al-Ahadis Wa al-Asar, III/395).

            Di masa kita sekarang ini, istilah tarawih sering digunakan untuk menyebut nama salat malam atau qiyam Ramadan yang meliputi seluruh jumlah rakaatnya, termasuk witirnya. Sebagai misal dikatakan bahwa Salat Tarawih di sejumlah masjid dilakukan sebanyak sebelas (11) rakaat, sementara di masjid-masjid yang lain dilakukan sebanyak dua puluh tiga (23) rakaat.

Pada masa Nabi saw., istilah Salat Tarawih belum dikenal. Demikian juga pada masa sahabat dan tabiin juga belum populer digunakan. Sebagai bukti, dalam kitab al-Muwatta karya Imam Malik (w.179 H/795 M) dan juga kitab al-Umm karya Imam al-Syafii (w. 204 H/820 M) belum ada kalimat atau istilah mengenai Salat Tarawih. Imam Malik dalam al-Muwatta’ menggunakan istilah Qiyam Ramadan, sementara Imam al-Syafii dalam al-Umm menggunakan istilah Qiyam Syahr Ramadan (Malik, al-Muwatta’, II/157 dan al-Syafii, al-Umm, II/150).

Secara jelas penggunaan frasa “Salat Tarawih” untuk menunjukkan salat malam atau qiyam Ramadan baru ditemukan pada abad ke-5 H, seperti yang disebutkan dalam kitab al-Sunan al-Kibra karya al-Baihaqi (w. 458 H/1066 M). Adapun kata “tarawih” tanpa digandengkan dengan kata “salat” sudah banyak digunakan pada abad ke-3 H, dan umumnya mengacu kepada rangkaian empat rakaat salat malam. Selain itu, kata tarawih terkadang juga dimaksudkan untuk ungkapan qiyam Ramadan. Al-Fakihani (w. 272-279 H) dalam karyanya (Akhbar Makkah, II/154) menggambarkan suasana salat malam Ramadan di Masjid al-Haram: “Apabila imam telah selesai dari tarawih (فَإِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ مِنَ التَّرَاوِيحِ), maka pintu-pintu masjid dijaga dan kaum perempuan dipersilakan keluar lebih dulu sampai habis. Kata tarawih di sini yang dimaksud adalah salat malam atau qiyam Ramadan.

Mengenai istilah “Kitab Salat al-Tarawih” yang ada dalam Kitab Sahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (w. 256 H/870 M) diduga tidak ditulis oleh Imam al-Bukhari sendiri, tetapi oleh penyalinnya kemudian, karena hal ini hanya terdapat dalam manuskrip al-Mustamli (w. 376 H/987 M) saja, tidak ada pada manuskrip-manuskrip yang lain (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, IV/250).

Jumlah Rakaat Nabi Dalam Salat Tarawih

Sebelumnya telah diterangkan bahwa pada zaman Rasulullah istilah Salat Tarawih belum dikenal. Istilah yang dikenal adalah salat al-lail atau qiyam Ramadan. Semua bentuk ibadah sunah yang dilaksanakan pada malam hari, lebih dikenal dengan sebutan qiyam Ramadhan.

Salat Tarawih atau qiyam Ramadan dicontohkan oleh Rasulullah pertama sekali pada bulan Ramadan tahun kedua Hijriyah. Pada masa itu, Rasulullah terkadang mengerjakannya di masjid dan terkadang di rumah. Dalam hadis Riwayat Muslim disebutkan: “Pada suatu malam (di bulan Ramadhan), Rasulullah salat di Masjid, lalu diikuti beberapa orang sahabat. Kemudian (pada malam kedua) beliau salat lagi, dan ternyata diikuti banyak orang. Dan pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul, namun Rasulullah tidak keluar salat bersama mereka. Maka setelah pagi, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan salat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (Salat Tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian”. Kata perawi: “Itu terjadi pada bulan Ramadan” (HR. Muslim, No 1270).

            Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa Nabi pernah menjadi imam dalam Salat Tarawih atau qiyam Ramadan di masjid. Hanya pelaksanaannya sekitar tiga malam saja, selebihnya beliau salat di rumah. Alasannya, beliau khawatir kalau Salat Tarawih itu menjadi salat yang diwajibkan bagi umatnya. Dalam hadis tersebut tidak disebutkan berapa jumlah rakaatnya.

            Terkait jumlah rakaatnya, disebutkan dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi biasa Salat Tarawih 11 rakaat. Dari Abu Salamah, ia pernah bertanya kepada Aisyah ra, “Bagaimana salat Nabi Muhammad di bulan Ramadan?” Aisyah menjawab:

مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا  

 “Rasulullah tidak menambah pada bulan Ramadan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, jangan ditanya betapa bagus dan lamanya, lantas salat empat rakat lagi, jangan ditanya betapa bagus dan lamanya, kemudian tiga rakaat…” (HR Bukhari 1147 dan Muslim 1757).

            Hadis tersebut menerangkan bahwa Rasulullah melaksanakan Salat Tarawih dengan 4-4-3. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis tersebut tentang salat witir. Hal ini tidak benar, karena dalam hadis tersebut Abu Salamah menanyakan tentang salat Nabi di bulan Ramadan. Al-Albani mengatakan bahwa takwil ini lemah, sekedar mendukung madzhab (al-Albani, Salat al-Tarawih, 34-35).

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan: “Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al-Baihaqi, al-Tabrani dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah  salat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, maka sanad hadis itu da’if dan bertentangan dengan hadis dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa salat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at. ‘Aisyah tentu lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah pada waktu malam daripada yang lainnya. Al-Mizzi bahkan mengatakan hadis (Nabi qiyam Ramadan 20 rakaat) itu munkar (al-Asqalani, Fath al-Bari, IV/254; al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, II/149).

Asal-Usul Tarawih 11, 23, dan 39 Rakaat

            Dalam paparan sebelumnya diterangkan bahwa pada zaman Nabi praktik Salat Tarawih di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat. Praktik sebelas rakaat di zaman Nabi ini berlanjut terus hingga zaman ‘Umar. Sahabat yang bergelar Al-Faruq ini menertibkan pelaksanaan jamaah tarawih di Masjid Nabawi pada tahun 14 H/635 M supaya dilakukan Salat Tarawih dengan satu imam, Ubay Bin Ka’b (Ibn Kasir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/47; Ahmad al-Bakri, Umar Ibn al-Khattab, I/100).

            Mengenai berapa bilangan rakaat dalam Salat Tarawih pada masa Umar bin Khattab, ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan 11 rakaat, sedangkan yang kedua mengatakan 23 rakaat. Masing-masing pendapat memiliki dalil yang bisa dijadikan sandaran.

            Bagi ulama yang berpendapat bahwa masa Umar Salat Tarawih dilakukan 11 rakaat berdasarkan hadis riwayat Imam Malik dalam “Al-Muwatta” (II/159 No. 379) dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saib bin Yazid, beliau menuturkan bahwa “Umar bin Al-Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Al-Dari untuk mengimami manusia (Salat Tarawih) 11 raka’at”. Beliau melanjutkan: “Dan kala itu, seorang qari (imam) biasa membaca ratusan ayat sehingga kami terpaksa bertelekan pada tongkat kami karena terlalu lama berdiri. Lalu kami baru bubar salat menjelang fajar” (HR. Malik No.379).

            Dari penulusurannya, ulama ini menyatakan bahwa tidak ditemukan riwayat bahwa Umar pernah mengubah kebijakannya. Bahkan tidak ada riwayat yang sahih bahwa dua khalifah sesudahnya yaitu ‘Usman dan ‘Ali pernah mengubah kebijakan itu. Karenanya, dapat diduga kuat bahwa selama masa Khulafa Rasyidin Salat Tarawih di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat.

            Adapun ulama yang menyebut Umar sebagai pelopor Salat Tarawih dua puluh rakaat adalah Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H/1401 M). Tetapi ulama dari Mazhab Syafii ini tidak menunjukkan bukti riwayat bahwa ‘Umar pernah mengubahnya dari sebelas menjadi dua puluh. Ia mengambil hadis dari Yazid bin Khusaifah, dari Saib bin Yazid, ia mengatakan: “Mereka melakukan qiyam Ramadan pada masa Umar bin Khattab sebanyak 20 rakaat. Ia mengatakan, mereka membaca ratusan ayat (HR. al-Baihaqi No. 4801).

Jika memang asar Yazid Ibn Khusaifah tersebut (tarawih 20 rakaat masa Umar) itu valid, hal tersebut dapat dipahami dua hal. Pertama, menunjukkan bahwa pada masa Umar telah dipraktikkan Salat Tarawih 20 rakaat. Kedua, bisa menunjukkan bahwa beberapa Sahabat di zaman ‘Umar melakukan tarawih dua puluh rakaat. Tidak menunjukkan adanya perintah ‘Umar untuk mengubah Salat Tarawih secara resmi di Masjid Nabi saw dari sebelas rakaat menjadi dua puluh rakaat.

Al-Subki (756 H/1355 M) menyatakan: “Saya melihat berbagai asar atau Riwayat dalam Sunan Sa’id Bin Mansur tentang Salat Tarawih 20 rakaat dan 36 rakaat, tetapi semuanya berasal dari zaman sesudah Umar bin Khattab” (al-Subki, al-Ibtihaj, 696). Dari sini terjadi kontroversi mengenai kapan Salat Tarawih 20 rakaat itu dimulai apakah sejak zaman Umar atau sesudahnya.

Ada dua ulama yang kontroversi pendapatnya. Ibn Abd al-Barr (w.463 H/1071 M) mengatakan: “….ini semua membuktikan bahwa Riwayat 11 rakaat adalah keliru dan salah. Yang benar adalah Riwayat 23 rakaat (Ibn Abd al-Barr, al-Istidzkar, V/156). Sebaliknya Ibn al-‘Arabi (w.543 H/1148 M) mengatakan bahwa bilangan Salat Tarawih selain 11 rakaat tidak ada dasarnya (Ibn al-‘Arabi, Aridat al-Ahwadzi, IV/19).

Bisa jadi Salat Tarawih sebelas rakaat berlangsung terus hingga diubah oleh Mu‘awiyah pada akhir masa pemerintahannya (w. 60 H/680 M) atau beberapa tahun sebelum Perang al-Harrah (63 H/683 M). Sejak itu oleh khalifah pertama Dinasti Umayyah ini, Salat Tarawih di Masjid Nabawi adalah tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir dan ini berlangsung hingga abad ke-4 H (al-Marwazi, Qiyam Ramadan, 57; Ibn al-Mulaqqin, al-Taudih LiSyarh al-Jami al-Sahih, III/558).

 Pada abad ke-8 H, Hakim Tinggi Madinah Imam al-‘Iraqi (w. 806/1403) kembali mempraktikkan Salat Tarawih di Masjid Nabawi dengan tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir. Pelaksanaannya dua tahap: dua puluh rakaat pada awal malam (selepas isya) dan enam belas rakaat pada akhir malam (menjelang subuh). Keadaan ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya (Abu Zur’ah al-‘Iraqi, Tarh al-Tasrif Fi Syarh al-Taqrib, III/98). Sebelum ini diduga praktik Salat Tarawih sebanyak 20 rakaat selain witir.

Saat Perang Dunia I (1914-1918), penguasa Saudi memutuskan berkoalisi dengan Inggris. Setelah Dinasti Ottoman runtuh dalam Perang Dunia II, Abdulaziz dari kerajaan Arab Saudi menguasai seluruh Najd dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah tahun 1344 H/1926 M. Sejak dikuasainya wilayah Masjid Nabawi oleh pemerintahan Saudi hingga sekarang, Salat Tarawih dilaksanakan dalam formasi dua puluh rakat (Syamsul Anwar, Salat Tarawih, 99).

Keterangan ini menunjukkan bahwa praktik Salat Tarawih dari masa ke masa mengalami dinamika. Ibn Taymiyah dalam al-Fatawa al-Kubra mengatakan bahwa Nabi melakukan salat malam dan witirnya (Salat Tarawih) di bulan Ramadan dan di luar Ramadan sebanyak 11 atau 13 rakaat dengan waktu yang lama, kemudian untuk meringankan beban, pada masa Umar bin al-Khattab salatnya ditambah menjadi 20 rakaat sebagai ganti lamanya berdiri. Sebagian salaf ada yang mengerjakannya 40 rakaat ditambah witir 3 rakaat, dan sebagian yang lain mengerjakannya 36 rakaat ditambah witir (Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, II/254).

Begitulah sejarah singkat perjalanan Salat Tarawih dan aneka ragamnya dari masa ke masa hingga kini. Apabila kita harus memilih praktik qiyam Ramadan (tarawih) mana yang perlu dicontoh, tentu praktik pada masa Nabi yang perlu kita contoh, karena dalam masalah salat kita diperintahkan agar mengikuti contoh Nabi . Nabi bersabda: “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat cara saya salat” (HR. al-Bukhari No. 6008). Wallahu A’lam!

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Maret 2025)